Budaya Daerah Pascakongres

Sabtu, 15 Desember 2018 - 08:15 WIB
Budaya Daerah Pascakongres
Budaya Daerah Pascakongres
A A A
Budi Hatees
Peneliti di Sahata Institute

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, belum lama ini menggelar Kongres Kebudayaan Indonnesia (KKI) di Jakarta, 7-9 Desember 2018. Para pemangku kepentingan di daerah, sebagian besar pejabat pemerintah daerah yang terkait dengan urusan kebudayaan, diundang dalam acara penting itu. Mereka hadir untuk berkongres, mendengarkan para ahli menyampaikan pidato kebudayaan, menyaksikan para kreator menampilkan pertunjukan karya seni, dan berdiskusi sesama peserta tentang “apa itu kebudayaan”, “bagaimana memahamkan kebudayaan”, “apakah kebudayaan di suatu daerah tumbuh dengan baik atau malah sebaliknya, tidak pernah di­pi­kirkan”, dan sebagainya.

Para peserta ini sebelumnya sudah mengikuti prakongres, yakni sebuah tahapan sebelum kongres digelar, yaitu peserta yang merupakan pejabat di provinsi dan kabupaten/kota diminta untuk merumuskan pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah (PPKD) dari daerah masing-masing. PPKD kemudian digodok dalam kongres untuk merumuskan sebuah strategi kebudayaan, yakni sebuah rumusan atau semacam konsep menata dan mengelola kebudayaan Indonesia; sesuatu yang kemudian menjadi dasar-dasar untuk membuat rencana induk pemajuan kebudayaan (RIPK).
RIPK ini akan menjadi semacam cetak biru (blue print) dalam menyusun dokumen rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), dan rencana kerja pemerintah (RKP). Kita tahu, selama ini RPJP, RPJM, dan RKP menjadi dokumen resmi yang harus diacu oleh pemerintah daerah dalam menyusun rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD), rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), dan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) yang implementasinya berupa peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Persoalan Mendasar

Sampai di sini timbul pertanyaan, apakah PPKD yang disampaikan oleh para pejabat daerah provinsi dan kabupaten/kota itu betul-betul merupakan pokok-pokok pikiran kebudayaan yang ada di lingkungan masyarakat dari daerah bersangkutan, mengingat metodologi penetapan pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Disebut begitu karena para pejabat yang menghadiri pertemuan pra­kongres masing-masing disodori daftar isian yang harus mereka penuhi dengan apa yang disebut sebagai pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah.

Dengan kata-kata lain, penentuan mana yang menjadi pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah dan mana yang bukan pokok pikiran, serta mana dari pokok pikiran kebudayaan daerah itu yang harus masuk dalam daftar, sama sekali tidak mendasar dan sulit dipertanggungjawabkan keilmiahannya.

Selama ini banyak pihak beranggapan, nasionalisme yang ditanamkan sebagai nilai kebangsaan telah membuat sejarah politik kita menjadi tidak sejalan (atau malah bertentangan) dengan kebudayaan. Integritas nasional sebagai kesepakatan baru bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia diterima sambil menggerutu karena penerimaan itu berarti menghilangkan sentimen primordial seperti perasaan-perasaan yang erat hubungannya dengan kebudayaan.

Karena itu, ketika reformasi bergulir yang kemudian pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memiliki otonomi dan dengan sendirinya memiliki kekuasaan (sebetulnya untuk menumbuhkembangkan daya cipta), kebudayaan daerah berikut faktor-faktor yang dianggap given dalam kebudayaan seperti hubungan darah, kesamaan daerah, kesamaan asal-usul, bahasa ibu, atau malah marga mendapat peluang untuk bangkit dan memegang kekuasaan di daerah.

Kebangkitan kebudayaan daerah dengan riwayat untuk menegaskan eksistensi pemilik sah atas daerah bersangkutan membuat kita bisa membayangkan PPKD seperti apa yang akan dipilih oleh para pejabat pemerintah daerah. Sebagai contoh, masyarakat Jawa yang menjadi Jawa semata-mata karena askripsi dan tinggal di Provinsi Lampung yang bukan di Pulau Jawa sudah tentu akan menjadi kebudayaan pendatang. Pada tataran ini, integrasi nasional akan disingkirkan perlahan-lahan demi bangkitkan hal-hal yang bersifat primordial. Pada tingkat kreativitas berbahasa, gejala ini sudah muncul ketika para sastrawan memberi posisi penting kepada bahasa ibu (vernacular) dalam teks-teks sastra, saat dialek bahkan kosakata dari bahasa daerah dipakai da­lam narasi-narasi sastra untuk menguatkan rasa daerah (lokalitas).

Dengan kata lain, jangan-jangan pejabat daerah yang mengisi daftar pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah itu sama sekali tidak bisa membedakan apa yang disebut dengan kebudayaan daerah dan bagaimana mendefinisikan pokok pikiran kebudayaan daerah. Kekhawatiran seperti ini sangat wajar karena kebudayaan bagi pemerintah daerah tidak lain dan tak bukan merupakan beban, sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan agar tidak punah sehingga kebudayaan lebih dipahamkan semata sebagai kata benda, bukan kata kerja.

Sebagai kata benda, kebudayaan tidak lebih dari urusan merawat, mengelap, dan memanfaatkan kebudayaan yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, misalnya lewat pengembangan sektor pariwisata. Dengan pemahaman seperti itu, wajar bila kita meragukan para pejabat pemerintah daerah mengetahui ada pemikiran dalam kebudayaan, konon lagi mengharapkan mereka mengetahui pokok-pokok pikiran dari kebudayaan daerah tersebut.

Selain itu, mungkinkah PPKD, yang menjadi sumber utama perumusan strategi kebudayaan dan pembuatan RIPK, itu sesungguhnya tidak begitu dibutuhkan karena pemerintah pusat sudah memiliki cetak biru pemikiran kebudayaan dan cetak biru itu pun telah menjadi pijakan utama bagi pemerintah dalam mengajukan UU Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan? Artinya, apa yang ada dalam PPKD sesungguhnya sudah diperkirakan sejak awal oleh pemerintah pusat (barangkali juga sudah disusun lebih dulu), sehingga ada atau tidak PPKD bukan persoalan penting dalam pembicaraan tentang strategi kebudayaan. Pasalnya, sekalipun prakongres untuk mengumpulkan PPKD telah dilangsungkan, ternyata masih ada kabupaten/kota yang tidak mengajukan PPKD. Di Provinsi Sumatra Utara, misalnya, dari sekian banyak pemerintah daerah kabupaten/kota, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal tidak terlibat dalam pengajuan PPKD.

Artinya, seandainya pun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) tidak ikut dalam prakongres, bisa dipastikan Kongres Kebudayaan Indo­nesia akan tetap digelar untuk merumuskan strategi kebudayaan. Ke­hadiran pemerintah daerah ini hanya untuk memenuhi amanat UU Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mulai berlaku April 2017 lalu. Dengan kata-kata lain, begitu melihat daftar undangan KKI, yakni para pejabat pemerintah di daerah (provinsi dan kabupaten/kota), tidak berlebihan bila disebutkan bahwa kongres ini menjadi medium bagi pe­merintah pusat untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya tentang kebudayaan (jika pemikiran memang ada di sana) kepada pemerintah daerah.

Pemikiran-pemikiran tersebut, yang dikristalisasikan menjadi RIPK, ditekankan seakan-akan merupakan rumusan atau saripati dari PPKD yang sebelumnya disampaikan pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah akan merasa memilikinya dan menerima RIPK itu tanpa sikap kritis. Pada akhirnya pemerintah daerah akan taklid dan tunduk pada RIPK tersebut, dan menjadikannya sebagai acuan, panduan, rujukan, dan juga menjadi peraturan yang mengingat di dalam segala upaya merancang pembangunan kebudayaan di daerah. Jika di kemudian hari pemerintah daerah membuat rencana pembangunan, maka pemerintah pusat memiliki wewenang untuk mencoretnya dengan alasan tidak sesuai dengan RIPK yang telah disahkan sebagai hasil KKI.

Kalau kondisi seperti inilah yang sedang terjadi, maka kongres hanya untuk menegaskan bahwa kita masih berkelindan dengan pemikiran dalam determinasi kebudayaan. Kebudayaan bagi kita tak lebih dari perkara norma dan nilai yang tak boleh diganggu gugat, yang tidak perlu direfleksikan, yang hanya perlu dielus-elus dan dilap-lap sebagaimana kita memperlakukan sebuah benda. Padahal, kebudayaan harus diandaikan sebagai sesuatu yang dinamis dan dapat berubah, juga diubah, apabila tidak sesuai lagi dengan keperluan pada saat ini. Dan, kembali, kebudayaan Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri ini karena tidak selalu didapatkan padanannya dalam kebudayaan lain, tetap tidak mampu menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dengan segenap pencapaian dan prestasi yang membanggakan.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8586 seconds (0.1#10.140)