Kehilangan Arah di Laut
A
A
A
Abdul Halim Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity
SESUAI Konferensi Kelautan IV oleh Uni Eropa pada 5-6 Oktober 2017 di Malta, salah seorang pegiat kelautan dan perikanan di Belgia yang berkesempatan hadir di dalam forum internasional tersebut mengirim pesan melalui layanan aplikasi media sosial.
"Saya baru kembali dari Malta dan mendapati Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia turut hadir dan mempresentasikan kebijakan pengeboman kapal penangkap ikan ilegal di perairan Indonesia. Saya tidak meyakini kebijakan tersebut untuk mempromosikan tata kelola perikanan yang berkelanjutan. Di samping itu saya tak melihat upaya yang dilakukannya untuk masyarakat perikanan skala kecil."
Pesan bernada pertanyaan yang dilontarkan tersebut relevan dengan situasi perikanan di Indonesia selama 4 tahun terakhir. Seperti diketahui, komitmen pemerintah untuk menegakkan kedaulatan republik di laut sempat menuai optimisme publik. Betapa tidak, sebanyak 488 kapal penangkap ikan ilegal dilaporkan telah ditenggelamkan oleh Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sepanjang November 2014-Agustus 2018. Sayangnya perang terhadap pelaku pencurian ikan ini belum memberikan efek jera.
Tak mengherankan apabila Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan masih menemui fakta, ada sedikitnya 4 kapal penangkap ikan asal Vietnam, Filipina, dan Malaysia yang tertangkap di perairan Indonesia antara September hingga Desember 2018. Pertanyaannya, mengapa efek jera yang diharapkan justru tak terjadi?
Ada 3 penyebab utama mengapa praktik pencurian ikan di perairan nasional masih terjadi. Pertama, merosotnya stok sumber daya ikan di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Tak pelak, hal ini mendorong kapal-kapal penangkap ikan mereka memasuki perairan Indonesia.
Kedua, diterapkannya sejumlah aturan berkaitan dengan upaya menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab di kawasan ASEAN. Di Thailand, misalnya, setelah mereka dikenai sanksi oleh Komisi Perikanan Uni Eropa akibat maraknya praktik perbudakan dan penangkapan ikan secara ilegal pada tahun 2015, kini mereka menjalankan agenda reformasi perikanan yang mereka namai Good Labour Practices .
Setali tiga uang, Malaysia pun terus memperluas perairan yang bebas dari pemakaian alat tangkap pukat harimau (trawl) hingga 8 mil. Situasi ini mendorong pelaku usaha perikanan negeri jiran untuk menangkap ikan di perairan yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Utara.
Ketiga, terlampau fokusnya pemerintah pada upaya pengeboman dan/atau penenggelaman kapal ikan justru telah mengabaikan betapa signifikannya ikhtiar menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab di dalam negeri.
Bertolak pada ketiga penyebab minusnya efek jera di dalam pemberantasan tindak pidana perikanan di atas, bisa dikatakan bahwa pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan selang 48 bulan atau 4 tahun usia Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober lalu justru terlihat kehilangan arah. Apa saja indikasinya?
Pertama, polemik pelarangan alat tangkap cantrang yang diberlakukan melalui Peraturan Menteri No 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls ) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tak kunjung terselesaikan dan berimbas pada mangkraknya 4.949 kapal cantrang di Pulau Jawa, terdiri atas 2.371 (< 10 GT) dan 2.578 (10-30 GT). Belum lagi proyek kapal yang kembali tersandung masalah hukum.
Kedua, pembiayaan usaha perikanan yang disalurkan melalui Badan Layanan Umum-Lembaga Pengelolaan Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP) dengan porsi anggaran sebesar Rp500 miliar (2017) dan Rp850 miliar (2018) belum sepenuhnya diarahkan untuk mendukung terwujudnya praktik pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Ketiga, besarnya volume dan nilai ekspor rajungan dan kepiting ke sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia justru mendorong eksploitasi yang melebihi ambang batas antara tahun 2014 hingga 2018. Jika pola pembangunan kelautan dan perikanan terus-menerus diarahkan untuk mengejar target ekspor ikan secara gelondongan semata, niscaya stok sumber daya protein di laut yang diklaim terus meningkat bakal habis tak tersisa. Lantas bagaimana ikhtiar yang bisa dilakukan untuk mengoreksi praktik pengelolaan perikanan sejauh ini?
Publik mafhum bahwa kian membesarnya jumlah armada penangkapan ikan di lautan bisa berdampak negatif terhadap kelangsungan sumber daya ikan apabila risiko ketidakpastian di laut tak dikelola secara bijaksana.
Terlebih lagi stok sumber daya ikan di Indonesia dilaporkan terus meningkat antara tahun 2011 (6,52 juta ton) hingga 2017 (12,54 juta ton). Tak jauh berbeda, jumlah perahu/kapal perikanan juga melonjak drastis, dari 568.390 unit (2010) menjadi 625.633 unit (2014). Angka ini diperkirakan terus meningkat sejalan dengan proyek pembangunan kapal perikanan yang dijalankan oleh KKP.
Berkaca pada fakta di atas, besarnya potensi sumber protein di laut bisa berganti menjadi bencana pangan apabila permasalahan antara manajemen sumber daya manusia (human components) dan sumber daya ikan (resource state) dibiarkan amburadul seperti yang terjadi selama 4 tahun terakhir. Apa sajakah permasalahan tersebut? Pertama, perizinan melaut sering kali diterbitkan tanpa mempertimbangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap jenis ikan di 11 wilayah pengelolaan perikanan sebagaimana direkomendasikan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Imbasnya, selain permasalahan ekologis di laut akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan laut, juga berpotensi timbul konflik horizontal antaraktor akibat kompetisi sumber daya yang tidak sehat.
Kedua, laporan log book yang tidak bisa divalidasi akibat lemahnya penegakan hukum berkenaan dengan keharusan setiap pelaku usaha perikanan untuk melakukan pencatatan hasil tangkapan ikan. Padahal pengambilan kebijakan di sektor perikanan di banyak negara seperti Norwegia, Denmark, Prancis, dan Jepang antara lain didasarkan pada rekaman log book. Pada konteks inilah pemerintah masih bisa melakukan koreksi mendasar selama 10 bulan terakhir masa pemerintahannya. Sebaliknya, apabila praktik pengelolaan sumber daya perikanan ini terus dibiarkan, niscaya negara telah kehilangan arah di laut.
SESUAI Konferensi Kelautan IV oleh Uni Eropa pada 5-6 Oktober 2017 di Malta, salah seorang pegiat kelautan dan perikanan di Belgia yang berkesempatan hadir di dalam forum internasional tersebut mengirim pesan melalui layanan aplikasi media sosial.
"Saya baru kembali dari Malta dan mendapati Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia turut hadir dan mempresentasikan kebijakan pengeboman kapal penangkap ikan ilegal di perairan Indonesia. Saya tidak meyakini kebijakan tersebut untuk mempromosikan tata kelola perikanan yang berkelanjutan. Di samping itu saya tak melihat upaya yang dilakukannya untuk masyarakat perikanan skala kecil."
Pesan bernada pertanyaan yang dilontarkan tersebut relevan dengan situasi perikanan di Indonesia selama 4 tahun terakhir. Seperti diketahui, komitmen pemerintah untuk menegakkan kedaulatan republik di laut sempat menuai optimisme publik. Betapa tidak, sebanyak 488 kapal penangkap ikan ilegal dilaporkan telah ditenggelamkan oleh Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sepanjang November 2014-Agustus 2018. Sayangnya perang terhadap pelaku pencurian ikan ini belum memberikan efek jera.
Tak mengherankan apabila Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan masih menemui fakta, ada sedikitnya 4 kapal penangkap ikan asal Vietnam, Filipina, dan Malaysia yang tertangkap di perairan Indonesia antara September hingga Desember 2018. Pertanyaannya, mengapa efek jera yang diharapkan justru tak terjadi?
Ada 3 penyebab utama mengapa praktik pencurian ikan di perairan nasional masih terjadi. Pertama, merosotnya stok sumber daya ikan di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Tak pelak, hal ini mendorong kapal-kapal penangkap ikan mereka memasuki perairan Indonesia.
Kedua, diterapkannya sejumlah aturan berkaitan dengan upaya menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab di kawasan ASEAN. Di Thailand, misalnya, setelah mereka dikenai sanksi oleh Komisi Perikanan Uni Eropa akibat maraknya praktik perbudakan dan penangkapan ikan secara ilegal pada tahun 2015, kini mereka menjalankan agenda reformasi perikanan yang mereka namai Good Labour Practices .
Setali tiga uang, Malaysia pun terus memperluas perairan yang bebas dari pemakaian alat tangkap pukat harimau (trawl) hingga 8 mil. Situasi ini mendorong pelaku usaha perikanan negeri jiran untuk menangkap ikan di perairan yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Utara.
Ketiga, terlampau fokusnya pemerintah pada upaya pengeboman dan/atau penenggelaman kapal ikan justru telah mengabaikan betapa signifikannya ikhtiar menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab di dalam negeri.
Bertolak pada ketiga penyebab minusnya efek jera di dalam pemberantasan tindak pidana perikanan di atas, bisa dikatakan bahwa pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan selang 48 bulan atau 4 tahun usia Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober lalu justru terlihat kehilangan arah. Apa saja indikasinya?
Pertama, polemik pelarangan alat tangkap cantrang yang diberlakukan melalui Peraturan Menteri No 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls ) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tak kunjung terselesaikan dan berimbas pada mangkraknya 4.949 kapal cantrang di Pulau Jawa, terdiri atas 2.371 (< 10 GT) dan 2.578 (10-30 GT). Belum lagi proyek kapal yang kembali tersandung masalah hukum.
Kedua, pembiayaan usaha perikanan yang disalurkan melalui Badan Layanan Umum-Lembaga Pengelolaan Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP) dengan porsi anggaran sebesar Rp500 miliar (2017) dan Rp850 miliar (2018) belum sepenuhnya diarahkan untuk mendukung terwujudnya praktik pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Ketiga, besarnya volume dan nilai ekspor rajungan dan kepiting ke sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia justru mendorong eksploitasi yang melebihi ambang batas antara tahun 2014 hingga 2018. Jika pola pembangunan kelautan dan perikanan terus-menerus diarahkan untuk mengejar target ekspor ikan secara gelondongan semata, niscaya stok sumber daya protein di laut yang diklaim terus meningkat bakal habis tak tersisa. Lantas bagaimana ikhtiar yang bisa dilakukan untuk mengoreksi praktik pengelolaan perikanan sejauh ini?
Publik mafhum bahwa kian membesarnya jumlah armada penangkapan ikan di lautan bisa berdampak negatif terhadap kelangsungan sumber daya ikan apabila risiko ketidakpastian di laut tak dikelola secara bijaksana.
Terlebih lagi stok sumber daya ikan di Indonesia dilaporkan terus meningkat antara tahun 2011 (6,52 juta ton) hingga 2017 (12,54 juta ton). Tak jauh berbeda, jumlah perahu/kapal perikanan juga melonjak drastis, dari 568.390 unit (2010) menjadi 625.633 unit (2014). Angka ini diperkirakan terus meningkat sejalan dengan proyek pembangunan kapal perikanan yang dijalankan oleh KKP.
Berkaca pada fakta di atas, besarnya potensi sumber protein di laut bisa berganti menjadi bencana pangan apabila permasalahan antara manajemen sumber daya manusia (human components) dan sumber daya ikan (resource state) dibiarkan amburadul seperti yang terjadi selama 4 tahun terakhir. Apa sajakah permasalahan tersebut? Pertama, perizinan melaut sering kali diterbitkan tanpa mempertimbangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap jenis ikan di 11 wilayah pengelolaan perikanan sebagaimana direkomendasikan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Imbasnya, selain permasalahan ekologis di laut akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan laut, juga berpotensi timbul konflik horizontal antaraktor akibat kompetisi sumber daya yang tidak sehat.
Kedua, laporan log book yang tidak bisa divalidasi akibat lemahnya penegakan hukum berkenaan dengan keharusan setiap pelaku usaha perikanan untuk melakukan pencatatan hasil tangkapan ikan. Padahal pengambilan kebijakan di sektor perikanan di banyak negara seperti Norwegia, Denmark, Prancis, dan Jepang antara lain didasarkan pada rekaman log book. Pada konteks inilah pemerintah masih bisa melakukan koreksi mendasar selama 10 bulan terakhir masa pemerintahannya. Sebaliknya, apabila praktik pengelolaan sumber daya perikanan ini terus dibiarkan, niscaya negara telah kehilangan arah di laut.
(kri)