Mereduksi Korupsi Sedari Dini
A
A
A
PERINGATAN Hari Anti Korupsi Sedunia atau Hakordia setiap 9 Desember sebagai simbol perang melawan korupsi ternyata tidak cukup kuat menyurutkan nyali orang untuk terus korup. Meski anggaran untuk memberantas korupsi besar, sejumlah lembaga untuk menangkal korupsi dibentuk, gaji pejabat publik baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif kian besar namun ternyata kejahatan korupsi terus berlanjut.
Trend korupsi bahkan justru semakin tinggi. Era otonomi daerah menyuburkan serangkaian kasus korupsi di daerah. Selain itu, alokasi dana desa menjadi objek baru korupsi. Tidak adanya efek jera. Fasilitas “wah” kepada koruptor serta obral remisi kepada koruptor mematik tingginya tren korupsi ini. Terkait ini, yang justru menjadi pertanyaan bagaimana mereduksi sedari dini peluang korupsi?
Menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2019 kian banyak pejabat publik yang terjerat korupsi. Bahkan diantaranya melalui operasi tangkap tangan (OTT), termasuk yang terbaru yaitu Bupati Pakpak Bharat Sumatera Utara, Remigo Yolanda Berutu. Kasus ini yang ke-37 kepala daerah terjerat OTT KPK. Padahal, sebelumnya telah ada 111 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Fakta ini menjadi ironi di tengah peringatan Hakordia.
Ancaman
Fakta maraknya korupsi di republik ini kian menguatkan temuan sejumlah lembaga internasional terkait predikat Indonesia sebagai negara terkorup. Oleh karena itu, ancaman kebangkrutan bisa dialami negara ini pada 2030 tidak terlepas dari maraknya kasus korupsi yang terjadi berkelanjutan yang seolah tidak memberi efek jera.
Ini menjadi preseden buruk terkait pelaksanaan Pilpres 2019. Argumen mendasar dari fakta ini karena adanya kepentingan ekonomi-politik dan politik-ekonomi, apalagi para penyandang dana pasti juga berkepentingan terhadap hasil pilpres. Begitu juga dari kasus pilkada yang sangat rentan menghasilkan kepala daerah korup. Logika mahalnya ongkos politik menjadi dasar yang menguatkan tuntutan balik modal para calon, belum lagi target kejar setoran untuk bisa secepatnya balik modal.
Pertanyaannya adalah bagaimana membangun efek jera yang efektif? Pertanyaan ini mengemuka karena efek hukum yang maksimal diterapkan tidak efektif meredam perilaku korupsi. Pada 2017 sampai triwulan III 2018 banyak kepala daerah terjerat OTT. Bahkan, ada juga diantaranya yang menjadi petahana dan ada juga yang menang.
Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah KPK sengaja menjerat petahana di pesta demokrasi karena sebelumnya KPK telah merilis pernyataan tentang adanya sejumlah petahana yang diduga terlibat korupsi dan kasusnya dalam proses penyidikan.
Artinya, bukan tidak mungkin pascapesta demokrasi akan ada lagi petahana dan kepala daerah terciduk KPK. Jika ini benar maka sinyalemen pilkada menjadi muara terjadinya kasus korupsi ada benarnya karena mahalnya biaya politik dan keinginan balik modal. Realitas ini menjadi ironi di tengah peringatan Hakordia.
Salah Siapa?
Fakta maraknya korupsi di republik ini sejatinya menjadi titik nadir untuk mengambil tindakan tegas karena jerat hukum seolah tidak lagi mampu memberikan efek jera. Selain itu, perlakuan istimewa kepada koruptor oleh peradilan dan negara secara tidak langsung juga memicu sentimen terhadap rasa ketidakadilan hukum.
Artinya, dalih sebagai negara hukum seolah hanya menjadi pemanis berita media sedangkan praktiknya sangat jauh dari harapan. Oleh karena itu ketidakadilan hukum ini menjadi tantangan bagi semuanya untuk membangun suatu sanksi yang bisa memberatkan hukuman bagi koruptor yang kemudian bisa berdampak sistemik terhadap efek jera secara berkelanjutan.
Apa yang terjadi dengan rangkaian OTT oleh KPK sejatinya adalah perilaku yang terjadi di masa lalu sehingga bisa disimpulkan bahwa kepala daerah yang kali ini terjerat pada dasarnya hanyalah menunggu waktu untuk ditangkap KPK. Ke depan perlu ada tindakan tegas yang bisa lebih memicu efek jera.
Fakta ini tidak lepas dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menegaskan rentang waktu 2016 rerata koruptor di penjara hanya 26 bulan saja, setelah itu bebas dan dapat mendikte lagi politik dinasti yang dibangunnya untuk kembali korupsi. Rompi orange yang dulu
diharapkan menjadi efek jera ternyata justru kian menghiasai media sambil tersenyum para koruptor melambaikan tangan tanpa rasa malu, termasuk juga melayangkan salam metal saat digelandang KPK.
Artinya OTT KPK kepada Bupati Pakpak Bharat Sumatera Utara, Remigo Yolanda Berutu diyakini bukan yang terakhir dan dipastikan akan ada lagi OTT sejumlah kepala daerah sehingga peringatan Hakordia mengesankan hanya sekadar seremonial.
Trend korupsi bahkan justru semakin tinggi. Era otonomi daerah menyuburkan serangkaian kasus korupsi di daerah. Selain itu, alokasi dana desa menjadi objek baru korupsi. Tidak adanya efek jera. Fasilitas “wah” kepada koruptor serta obral remisi kepada koruptor mematik tingginya tren korupsi ini. Terkait ini, yang justru menjadi pertanyaan bagaimana mereduksi sedari dini peluang korupsi?
Menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2019 kian banyak pejabat publik yang terjerat korupsi. Bahkan diantaranya melalui operasi tangkap tangan (OTT), termasuk yang terbaru yaitu Bupati Pakpak Bharat Sumatera Utara, Remigo Yolanda Berutu. Kasus ini yang ke-37 kepala daerah terjerat OTT KPK. Padahal, sebelumnya telah ada 111 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Fakta ini menjadi ironi di tengah peringatan Hakordia.
Ancaman
Fakta maraknya korupsi di republik ini kian menguatkan temuan sejumlah lembaga internasional terkait predikat Indonesia sebagai negara terkorup. Oleh karena itu, ancaman kebangkrutan bisa dialami negara ini pada 2030 tidak terlepas dari maraknya kasus korupsi yang terjadi berkelanjutan yang seolah tidak memberi efek jera.
Ini menjadi preseden buruk terkait pelaksanaan Pilpres 2019. Argumen mendasar dari fakta ini karena adanya kepentingan ekonomi-politik dan politik-ekonomi, apalagi para penyandang dana pasti juga berkepentingan terhadap hasil pilpres. Begitu juga dari kasus pilkada yang sangat rentan menghasilkan kepala daerah korup. Logika mahalnya ongkos politik menjadi dasar yang menguatkan tuntutan balik modal para calon, belum lagi target kejar setoran untuk bisa secepatnya balik modal.
Pertanyaannya adalah bagaimana membangun efek jera yang efektif? Pertanyaan ini mengemuka karena efek hukum yang maksimal diterapkan tidak efektif meredam perilaku korupsi. Pada 2017 sampai triwulan III 2018 banyak kepala daerah terjerat OTT. Bahkan, ada juga diantaranya yang menjadi petahana dan ada juga yang menang.
Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah KPK sengaja menjerat petahana di pesta demokrasi karena sebelumnya KPK telah merilis pernyataan tentang adanya sejumlah petahana yang diduga terlibat korupsi dan kasusnya dalam proses penyidikan.
Artinya, bukan tidak mungkin pascapesta demokrasi akan ada lagi petahana dan kepala daerah terciduk KPK. Jika ini benar maka sinyalemen pilkada menjadi muara terjadinya kasus korupsi ada benarnya karena mahalnya biaya politik dan keinginan balik modal. Realitas ini menjadi ironi di tengah peringatan Hakordia.
Salah Siapa?
Fakta maraknya korupsi di republik ini sejatinya menjadi titik nadir untuk mengambil tindakan tegas karena jerat hukum seolah tidak lagi mampu memberikan efek jera. Selain itu, perlakuan istimewa kepada koruptor oleh peradilan dan negara secara tidak langsung juga memicu sentimen terhadap rasa ketidakadilan hukum.
Artinya, dalih sebagai negara hukum seolah hanya menjadi pemanis berita media sedangkan praktiknya sangat jauh dari harapan. Oleh karena itu ketidakadilan hukum ini menjadi tantangan bagi semuanya untuk membangun suatu sanksi yang bisa memberatkan hukuman bagi koruptor yang kemudian bisa berdampak sistemik terhadap efek jera secara berkelanjutan.
Apa yang terjadi dengan rangkaian OTT oleh KPK sejatinya adalah perilaku yang terjadi di masa lalu sehingga bisa disimpulkan bahwa kepala daerah yang kali ini terjerat pada dasarnya hanyalah menunggu waktu untuk ditangkap KPK. Ke depan perlu ada tindakan tegas yang bisa lebih memicu efek jera.
Fakta ini tidak lepas dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menegaskan rentang waktu 2016 rerata koruptor di penjara hanya 26 bulan saja, setelah itu bebas dan dapat mendikte lagi politik dinasti yang dibangunnya untuk kembali korupsi. Rompi orange yang dulu
diharapkan menjadi efek jera ternyata justru kian menghiasai media sambil tersenyum para koruptor melambaikan tangan tanpa rasa malu, termasuk juga melayangkan salam metal saat digelandang KPK.
Artinya OTT KPK kepada Bupati Pakpak Bharat Sumatera Utara, Remigo Yolanda Berutu diyakini bukan yang terakhir dan dipastikan akan ada lagi OTT sejumlah kepala daerah sehingga peringatan Hakordia mengesankan hanya sekadar seremonial.
(nag)