NU Struktural versus NU Kultural

Jum'at, 07 Desember 2018 - 08:45 WIB
NU Struktural versus...
NU Struktural versus NU Kultural
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

PEMILIHAN pre­si­den/pilpres dan pemilu le­gis­la­tif/ pileg 2019 akan di­selenggarakan serentak pada April 2019. Ada dua calon pre­siden (capres) yang ber­kon­testasi di ajang pertarungan Pilpres 2019, yaitu Joko Wi­dodo/Jokowi (calon petahana berpasangan dengan calon wakil presiden/cawapres KH Ma’ruf Amin) yang diusung PDIP dan mitra koalisinya ser­ta Prabowo Subianto (ber­pa­sa­ngan dengan cawapres Sandiaga Salahuddin Uno) yang di­du­kung Gerindra dan koa­lisinya.

Pasangan Jokowi-Ma’ruf men­dapat nomor urut 01, se­dangkan pasangan Prabowo-Sandi memperoleh nomor urut 02. Kegiatan kampanye pun sudah dimulai sejak dua bulan lalu. Kontestasi politik Jokowi-Prabowo di Pilpres 2019 me­ru­pakan per­ta­ru­ngan ulang yang dalam Pilpres 2014.

Kedua pasangan ter­se­but melakukan kampanye in­tensif dan ekstensif, antara lain me­ng­incar dan hendak me­­rebut suara massa Nah­dla­tul Ulama (NU) yang besar. Ba­sis massa NU ba­nyak ter­kon­sen­trasi di pondok pesantren yang berjumlah ri­buan dan tersebar di seluruh Indonesia. Kiai dan ulama NU me­rupakan pengasuh dan panutan bagi para santri yang menuntut il­mu agama di pondok pesan­tren.

Kalkulasi politik Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin (terkenal sebagai ulama, tokoh senior NU, dan Rais ëAm Syu­riah PBNU) adalah selain menepis isu terhadap dirinya dan kubunya yang dituding kubu la­wan melakukan “krimi­na­li­sasi” ulama, juga mengeduk suara mas­sa NU yang besar itu. Se­te­lah resmi maju sebagai cawapres mendampingi capres Jokowi, Ma’ruf melepaskan jabatannya sebagai Rais ‘Am Syuriah PBNU.

Struktural Versus Kultural
Skenario awal, Prof Dr Mah­fud MD disebut sebagai ba­kal ca­wapres yang akan men­dam­pingi capres petahana Jo­kowi. PBNU tampak tidak sreg kalau Mahfud yang maju se­bagai ca­wa­pres. Alasannya, pro­fesor ke­lahiran Madura itu bukan “kader” NU (tidak men­du­duki ja­­batan struktural di IPNU, GP Ansor, PMII, dan NU).

Saya me­nyebut PBNU yang mem­be­rikan restu dan du­ku­ngan po­litik kepada KH Ma’ruf Amin menjadi cawapres se­ba­gai ke­lompok “NU struktrural.” Me­nurut kategorisasi dan versi saya, termasuk para pen­du­kung kelompok NU struktural ini adalah Yenny Wa­hid (putri KH Abdurrahman Wahid/Gus Dur dan cicit pen­diri NU KH Ha­syim Asy’ari), Ro­ma­hur­mu­ziy (Ketum PPP hasil Muk­ta­mar Surabaya), Saifullah Yusuf (Wagub Jatim), dan Mu­haimin Iskandar (Ke­tum PKB). Ke­lom­pok NU struk­tural ini mem­be­ri­kan duku­ng­an politik secara kuat kepada pa­sangan Jo­ko­wi-Ma’ruf di Pilpres 2019.

Munculnya kelompok yang disebut kelompok NU struk­tural di atas memicu bang­kit­nya kelompok lain yang saya se­but kelompok “NU kultural.” Ke­lompok NU kultural ini ti­dak menduduki jabatan struk­tural penting di jajaran ke­pe­ng­urus­an NU. Mereka dikenal sebagai dzurriyah (keturunan) pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, misal­nya KH Irfan Yusuf Ha­syim/ Gus Irfan (putra KH Yusuf Ha­syim dan cucu KH Hasyim Asy’ari).

KH Yusuf Hasyim (tokoh terkenal NU era 1960-an sampai 1980-an dan politisi PPP) adalah putra pen­diri NU dan pendiri Pondok Pe­santren Tebuireng (Jombang, Jatim) Hadratussyaikh KH Ha­syim Asy’ari. Setelah KH Ha­syim Asy’ari wafat, KH Yusuf Hasyim menggantikan ayah­nya sebagai pengasuh dan pe­mim­pin Pon­dok Pesantren Te­buireng.

Menurut kategorisasi dan versi saya, termasuk dalam ke­lompok NU kultural ini adalah KH Hasyim Karim (Gus Aying), KH Fahmi Amrullah (Gus Fahmi), dan KHA Bai­dho­wi (Gus Dhowi). Ketiganya ada­lah dzurriyah KH Hasyim Asy’ari. KH Hasib Wahab dan KH Rohmat Wahab (putra to­koh dan pendiri NU KHA Wa­hab Hasbullah) serta Gus Billy (cicit KH Bisri Syansuri) juga termasuk dalam kelompok ini. Semua kiai yang tergabung dalam kelompok NU kultural ini secara resmi memberikan dukungan politik kepada pa­sa­ngan capres-cawapres Pra­bowo-Sandi di Pilpres 2019.

Secara organisasional, NU me­rupakan satu jam’iyah ij­ti­mai­yah yang utuh. Walau de­mi­kian, menjelang Pilpres 2019 muncul dua kelompok saya sebut kelompok NU struktural (dimotori PBNU) yang mem­berikan dukungan politik ke­pada pasangan capres-ca­wa­pres Jokowi-Ma’ruf dan kelom­pok NU kultural (di­nakhodai KH Irfan Yusuf dkk) yang mem­berikan dukungan politik ke­pa­da pasangan ca­pres-cawapres Prabowo-San­di.

Terlepas ke­lom­pok mana lebih dominan dalam mem­be­rikan dukungan kepada capres-cawa­pres masing-ma­sing, fakta mem­­­per­li­hat­kan secara jelas bah­wa ke­lom­pok NU struktural dan ke­lom­pok NU kultural mem­pu­nyai panda­ngan serta pilihan po­li­tik ber­se­berangan. Ma­sing-masing kelompok tentu ingin ber­kon­tri­busi besar untuk me­me­nang­kan pa­sangan ca­pres-cawapres pi­lih­an­nya sendiri.

Godaan Politik
Sejak 1984, NU men­de­kla­ra­si­kan diri kembali ke khittah 1926, yaitu kembali ke garis perjuangan awal sebagai or­ga­ni­sasi sosial kemasyarakatan, meninggalkan politik praktis, dan tidak memiliki hubungan politik dengan parpol mana pun. Dalam praktiknya, NU dihadapkan dengan “godaan” po­li­tik terutama menjelang pe­milu/pilpres. Godaan politik ini merupakan tantangan ter­ha­dap NU dalam me­lak­sa­na­kan khittah-nya.

Di tengah kam­pa­nye Pilpres 2019, mun­cul dua ke­lompok yang saya sebut NU struktural dan NU kultural. Ke­dua kelompok ini memiliki pi­lih­an politik ber­se­berangan. Ke­lompok NU struk­tural men­du­­kung Jo­ko­wi-Ma’ruf, se­dang­­kan ke­lom­pok NU kultural men­­dukung Prabowo-Sandi. Terlihat ada rivalitas dan kon­tes­tasi antara kelompok NU struk­tu­ral ver­sus kelompok NU kul­tu­ral da­lam memilih dan mem­be­rikan dukungan politik ke­pa­da pa­sangan capres-cawapres.

Sesuai spirit khittah 1926, hak-hak politik warga NU se­ha­rusnya diserahkan kepada pribadi masing-masing untuk menyalurkan aspirasi politiknya tanpa membawa nama atau mengatasnamakan NU. Demi kemurnian dan kon­sis­tensi khit­tah 1926, NU dalam kon­te­tasi politik seharusnya netral serta menjaga jarak yang sama terhadap parpol mana pun dan terhadap pasangan ca­pres-ca­wa­pres mana pun.

Pemberian dukungan politik secara resmi dan terbuka (baik oleh kelom­pok NU struktural maupun oleh NU kultural) ter­hadap pa­sa­ngan capres-ca­wa­pres ter­ten­tu di Pilpres 2019, menurut saya, tidak konsisten dengan visi dan misi khittah NU.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0855 seconds (0.1#10.140)