NU Struktural versus NU Kultural
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
PEMILIHAN presiden/pilpres dan pemilu legislatif/ pileg 2019 akan diselenggarakan serentak pada April 2019. Ada dua calon presiden (capres) yang berkontestasi di ajang pertarungan Pilpres 2019, yaitu Joko Widodo/Jokowi (calon petahana berpasangan dengan calon wakil presiden/cawapres KH Ma’ruf Amin) yang diusung PDIP dan mitra koalisinya serta Prabowo Subianto (berpasangan dengan cawapres Sandiaga Salahuddin Uno) yang didukung Gerindra dan koalisinya.
Pasangan Jokowi-Ma’ruf mendapat nomor urut 01, sedangkan pasangan Prabowo-Sandi memperoleh nomor urut 02. Kegiatan kampanye pun sudah dimulai sejak dua bulan lalu. Kontestasi politik Jokowi-Prabowo di Pilpres 2019 merupakan pertarungan ulang yang dalam Pilpres 2014.
Kedua pasangan tersebut melakukan kampanye intensif dan ekstensif, antara lain mengincar dan hendak merebut suara massa Nahdlatul Ulama (NU) yang besar. Basis massa NU banyak terkonsentrasi di pondok pesantren yang berjumlah ribuan dan tersebar di seluruh Indonesia. Kiai dan ulama NU merupakan pengasuh dan panutan bagi para santri yang menuntut ilmu agama di pondok pesantren.
Kalkulasi politik Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin (terkenal sebagai ulama, tokoh senior NU, dan Rais ëAm Syuriah PBNU) adalah selain menepis isu terhadap dirinya dan kubunya yang dituding kubu lawan melakukan “kriminalisasi” ulama, juga mengeduk suara massa NU yang besar itu. Setelah resmi maju sebagai cawapres mendampingi capres Jokowi, Ma’ruf melepaskan jabatannya sebagai Rais ‘Am Syuriah PBNU.
Struktural Versus Kultural
Skenario awal, Prof Dr Mahfud MD disebut sebagai bakal cawapres yang akan mendampingi capres petahana Jokowi. PBNU tampak tidak sreg kalau Mahfud yang maju sebagai cawapres. Alasannya, profesor kelahiran Madura itu bukan “kader” NU (tidak menduduki jabatan struktural di IPNU, GP Ansor, PMII, dan NU).
Saya menyebut PBNU yang memberikan restu dan dukungan politik kepada KH Ma’ruf Amin menjadi cawapres sebagai kelompok “NU struktrural.” Menurut kategorisasi dan versi saya, termasuk para pendukung kelompok NU struktural ini adalah Yenny Wahid (putri KH Abdurrahman Wahid/Gus Dur dan cicit pendiri NU KH Hasyim Asy’ari), Romahurmuziy (Ketum PPP hasil Muktamar Surabaya), Saifullah Yusuf (Wagub Jatim), dan Muhaimin Iskandar (Ketum PKB). Kelompok NU struktural ini memberikan dukungan politik secara kuat kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019.
Munculnya kelompok yang disebut kelompok NU struktural di atas memicu bangkitnya kelompok lain yang saya sebut kelompok “NU kultural.” Kelompok NU kultural ini tidak menduduki jabatan struktural penting di jajaran kepengurusan NU. Mereka dikenal sebagai dzurriyah (keturunan) pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, misalnya KH Irfan Yusuf Hasyim/ Gus Irfan (putra KH Yusuf Hasyim dan cucu KH Hasyim Asy’ari).
KH Yusuf Hasyim (tokoh terkenal NU era 1960-an sampai 1980-an dan politisi PPP) adalah putra pendiri NU dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang, Jatim) Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Setelah KH Hasyim Asy’ari wafat, KH Yusuf Hasyim menggantikan ayahnya sebagai pengasuh dan pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng.
Menurut kategorisasi dan versi saya, termasuk dalam kelompok NU kultural ini adalah KH Hasyim Karim (Gus Aying), KH Fahmi Amrullah (Gus Fahmi), dan KHA Baidhowi (Gus Dhowi). Ketiganya adalah dzurriyah KH Hasyim Asy’ari. KH Hasib Wahab dan KH Rohmat Wahab (putra tokoh dan pendiri NU KHA Wahab Hasbullah) serta Gus Billy (cicit KH Bisri Syansuri) juga termasuk dalam kelompok ini. Semua kiai yang tergabung dalam kelompok NU kultural ini secara resmi memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.
Secara organisasional, NU merupakan satu jam’iyah ijtimaiyah yang utuh. Walau demikian, menjelang Pilpres 2019 muncul dua kelompok saya sebut kelompok NU struktural (dimotori PBNU) yang memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf dan kelompok NU kultural (dinakhodai KH Irfan Yusuf dkk) yang memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi.
Terlepas kelompok mana lebih dominan dalam memberikan dukungan kepada capres-cawapres masing-masing, fakta memperlihatkan secara jelas bahwa kelompok NU struktural dan kelompok NU kultural mempunyai pandangan serta pilihan politik berseberangan. Masing-masing kelompok tentu ingin berkontribusi besar untuk memenangkan pasangan capres-cawapres pilihannya sendiri.
Godaan Politik
Sejak 1984, NU mendeklarasikan diri kembali ke khittah 1926, yaitu kembali ke garis perjuangan awal sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, meninggalkan politik praktis, dan tidak memiliki hubungan politik dengan parpol mana pun. Dalam praktiknya, NU dihadapkan dengan “godaan” politik terutama menjelang pemilu/pilpres. Godaan politik ini merupakan tantangan terhadap NU dalam melaksanakan khittah-nya.
Di tengah kampanye Pilpres 2019, muncul dua kelompok yang saya sebut NU struktural dan NU kultural. Kedua kelompok ini memiliki pilihan politik berseberangan. Kelompok NU struktural mendukung Jokowi-Ma’ruf, sedangkan kelompok NU kultural mendukung Prabowo-Sandi. Terlihat ada rivalitas dan kontestasi antara kelompok NU struktural versus kelompok NU kultural dalam memilih dan memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres.
Sesuai spirit khittah 1926, hak-hak politik warga NU seharusnya diserahkan kepada pribadi masing-masing untuk menyalurkan aspirasi politiknya tanpa membawa nama atau mengatasnamakan NU. Demi kemurnian dan konsistensi khittah 1926, NU dalam kontetasi politik seharusnya netral serta menjaga jarak yang sama terhadap parpol mana pun dan terhadap pasangan capres-cawapres mana pun.
Pemberian dukungan politik secara resmi dan terbuka (baik oleh kelompok NU struktural maupun oleh NU kultural) terhadap pasangan capres-cawapres tertentu di Pilpres 2019, menurut saya, tidak konsisten dengan visi dan misi khittah NU.
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
PEMILIHAN presiden/pilpres dan pemilu legislatif/ pileg 2019 akan diselenggarakan serentak pada April 2019. Ada dua calon presiden (capres) yang berkontestasi di ajang pertarungan Pilpres 2019, yaitu Joko Widodo/Jokowi (calon petahana berpasangan dengan calon wakil presiden/cawapres KH Ma’ruf Amin) yang diusung PDIP dan mitra koalisinya serta Prabowo Subianto (berpasangan dengan cawapres Sandiaga Salahuddin Uno) yang didukung Gerindra dan koalisinya.
Pasangan Jokowi-Ma’ruf mendapat nomor urut 01, sedangkan pasangan Prabowo-Sandi memperoleh nomor urut 02. Kegiatan kampanye pun sudah dimulai sejak dua bulan lalu. Kontestasi politik Jokowi-Prabowo di Pilpres 2019 merupakan pertarungan ulang yang dalam Pilpres 2014.
Kedua pasangan tersebut melakukan kampanye intensif dan ekstensif, antara lain mengincar dan hendak merebut suara massa Nahdlatul Ulama (NU) yang besar. Basis massa NU banyak terkonsentrasi di pondok pesantren yang berjumlah ribuan dan tersebar di seluruh Indonesia. Kiai dan ulama NU merupakan pengasuh dan panutan bagi para santri yang menuntut ilmu agama di pondok pesantren.
Kalkulasi politik Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin (terkenal sebagai ulama, tokoh senior NU, dan Rais ëAm Syuriah PBNU) adalah selain menepis isu terhadap dirinya dan kubunya yang dituding kubu lawan melakukan “kriminalisasi” ulama, juga mengeduk suara massa NU yang besar itu. Setelah resmi maju sebagai cawapres mendampingi capres Jokowi, Ma’ruf melepaskan jabatannya sebagai Rais ‘Am Syuriah PBNU.
Struktural Versus Kultural
Skenario awal, Prof Dr Mahfud MD disebut sebagai bakal cawapres yang akan mendampingi capres petahana Jokowi. PBNU tampak tidak sreg kalau Mahfud yang maju sebagai cawapres. Alasannya, profesor kelahiran Madura itu bukan “kader” NU (tidak menduduki jabatan struktural di IPNU, GP Ansor, PMII, dan NU).
Saya menyebut PBNU yang memberikan restu dan dukungan politik kepada KH Ma’ruf Amin menjadi cawapres sebagai kelompok “NU struktrural.” Menurut kategorisasi dan versi saya, termasuk para pendukung kelompok NU struktural ini adalah Yenny Wahid (putri KH Abdurrahman Wahid/Gus Dur dan cicit pendiri NU KH Hasyim Asy’ari), Romahurmuziy (Ketum PPP hasil Muktamar Surabaya), Saifullah Yusuf (Wagub Jatim), dan Muhaimin Iskandar (Ketum PKB). Kelompok NU struktural ini memberikan dukungan politik secara kuat kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019.
Munculnya kelompok yang disebut kelompok NU struktural di atas memicu bangkitnya kelompok lain yang saya sebut kelompok “NU kultural.” Kelompok NU kultural ini tidak menduduki jabatan struktural penting di jajaran kepengurusan NU. Mereka dikenal sebagai dzurriyah (keturunan) pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, misalnya KH Irfan Yusuf Hasyim/ Gus Irfan (putra KH Yusuf Hasyim dan cucu KH Hasyim Asy’ari).
KH Yusuf Hasyim (tokoh terkenal NU era 1960-an sampai 1980-an dan politisi PPP) adalah putra pendiri NU dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang, Jatim) Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Setelah KH Hasyim Asy’ari wafat, KH Yusuf Hasyim menggantikan ayahnya sebagai pengasuh dan pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng.
Menurut kategorisasi dan versi saya, termasuk dalam kelompok NU kultural ini adalah KH Hasyim Karim (Gus Aying), KH Fahmi Amrullah (Gus Fahmi), dan KHA Baidhowi (Gus Dhowi). Ketiganya adalah dzurriyah KH Hasyim Asy’ari. KH Hasib Wahab dan KH Rohmat Wahab (putra tokoh dan pendiri NU KHA Wahab Hasbullah) serta Gus Billy (cicit KH Bisri Syansuri) juga termasuk dalam kelompok ini. Semua kiai yang tergabung dalam kelompok NU kultural ini secara resmi memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.
Secara organisasional, NU merupakan satu jam’iyah ijtimaiyah yang utuh. Walau demikian, menjelang Pilpres 2019 muncul dua kelompok saya sebut kelompok NU struktural (dimotori PBNU) yang memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf dan kelompok NU kultural (dinakhodai KH Irfan Yusuf dkk) yang memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi.
Terlepas kelompok mana lebih dominan dalam memberikan dukungan kepada capres-cawapres masing-masing, fakta memperlihatkan secara jelas bahwa kelompok NU struktural dan kelompok NU kultural mempunyai pandangan serta pilihan politik berseberangan. Masing-masing kelompok tentu ingin berkontribusi besar untuk memenangkan pasangan capres-cawapres pilihannya sendiri.
Godaan Politik
Sejak 1984, NU mendeklarasikan diri kembali ke khittah 1926, yaitu kembali ke garis perjuangan awal sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, meninggalkan politik praktis, dan tidak memiliki hubungan politik dengan parpol mana pun. Dalam praktiknya, NU dihadapkan dengan “godaan” politik terutama menjelang pemilu/pilpres. Godaan politik ini merupakan tantangan terhadap NU dalam melaksanakan khittah-nya.
Di tengah kampanye Pilpres 2019, muncul dua kelompok yang saya sebut NU struktural dan NU kultural. Kedua kelompok ini memiliki pilihan politik berseberangan. Kelompok NU struktural mendukung Jokowi-Ma’ruf, sedangkan kelompok NU kultural mendukung Prabowo-Sandi. Terlihat ada rivalitas dan kontestasi antara kelompok NU struktural versus kelompok NU kultural dalam memilih dan memberikan dukungan politik kepada pasangan capres-cawapres.
Sesuai spirit khittah 1926, hak-hak politik warga NU seharusnya diserahkan kepada pribadi masing-masing untuk menyalurkan aspirasi politiknya tanpa membawa nama atau mengatasnamakan NU. Demi kemurnian dan konsistensi khittah 1926, NU dalam kontetasi politik seharusnya netral serta menjaga jarak yang sama terhadap parpol mana pun dan terhadap pasangan capres-cawapres mana pun.
Pemberian dukungan politik secara resmi dan terbuka (baik oleh kelompok NU struktural maupun oleh NU kultural) terhadap pasangan capres-cawapres tertentu di Pilpres 2019, menurut saya, tidak konsisten dengan visi dan misi khittah NU.
(thm)