Strategi Kebudayaan Semesta dan Universal

Jum'at, 07 Desember 2018 - 08:05 WIB
Strategi Kebudayaan...
Strategi Kebudayaan Semesta dan Universal
A A A
Nadjamuddin Ramly
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI

BANGSA Indonesia memiliki hajatan besar Kongres Kebudayaan Indonesia pada 7-9 Desember 2018. Tujuannya satu, merumuskan Strategi Nasional Kebudayaan kemudian merincinya dalam Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan Indonesia. Untuk kepentingan itu, sudah berbulan-bulan dikumpulkan rumusan pokok-pokok pikiran, secara berjenjang dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi.

Selanjutnya, hasil rumusan pokok-pokok pikiran tingkat provinsi tersebut dirumuskan kembali oleh Panitia Pengarah menjadi Rancangan Strategi Nasional Kebudayaan Indonesia dan Rancangan Induk Pemajuan Kebudayaan Indonesia. Hasil pemikiran dari seluruh pemangku kebudayaan itu kini sedang diolah dan disusun menjadi satu konsep Strategi Kebudayaan Nasional dan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yang akan dibahas lalu diputuskan dalam kongres nanti.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memang mengamanatkan pembentukan strategi kebudayaan yang disepakati secara nasional. Jika Kongres Kebudayaan nanti betul mampu melahirkan keputusan bersama tersebut, boleh jadi inilah Strategi Kebudayaan Nasional dan Induk Pemajuan Kebudayaan pertama yang lahir dalam sejarah Republik Indonesia. Dan, Strategi Kebudayaan Nasional dan Induk Pemajuan Kebudayaan ini akan berlaku resmi hingga dibahas lagi di kongres lima tahun berikutnya.

Memang harus diakui, selama 73 tahun merdeka, bangsa Indonesia belum memiliki satu Strategi Kebudayaan Nasional dan Induk Pemajuan Kebudayaan yang disepakati bersama. Betul Ali Moertopo pada 1978 sudah menulis buku 77 halaman tentang strategi kebudayaan. Buku karya HM Nasruddin Anshoriy Ch lebih tebal lagi. Daoed Joesoef dan sejumlah pemikir lainnya juga menulis tentang strategi kebudayaan. Tapi, pemikiran strategi kebudayaan mereka bersifat pribadi.

Di kampus-kampus, strategi kebudayaan dipelajari sebagai bagian materi kuliah filsafat. Rujukan utamanya, buku Strategi Kebudayaan karya Cornelis Anthonie van Peursen, yang terbit di Belanda pada 1970. Baginya, strategi kebudayaan bukan hanya masalah kebijakan pemerintah tentang kebudayaan, tapi lebih luas dari itu. Ia mencakup upaya manusia untuk belajar dan merancang masa depan kebudayaannya.

Pada tataran filosofis, strategi kebudayaan berakar dari pertanyaan dalam diri manusia yang diperjuangkan oleh semua kalangan. Misalnya, pertanyaan bagaimana manusia dapat memberikan jawaban secara tepat mengenai tujuan hidupnya, makna kehidupan ini, norma-norma kontak antarmanusia, dan perkembangan masyarakat. Ini terkait perencanaan masa depan, di mana kebudayaan diletakkan sebagai instrumen strategis.

Pertanyaan sama dikemukakan Harmoko dalam artikelnya tentang strategi kebudayaan belum lama ini. Dia mengajukan pertanyaan, mengapa Indonesia begitu mudah menerima kehadiran kebudayaan dari bangsa lain? Mengapa kita tidak bangga dengan kebudayaan sendiri? Bukankah manifesto Trisakti Bung Karno, salah satunya berbunyi, "Berkepribadian dengan budaya Indonesia"? Ketika Undang-Undang tentang Pemajuan Kebudayaan menuntut kita segera membuat rumusan Strategi Kebudayaan Nasional dan Induk Pemajuan Kebudayaan, maka apa yang ada di benak kita?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudah memberi jawabannya. Dia mengatakan, idealnya kebudayaan memayungi seluruh sektor yang mengarah pada Trisakti. Maksudnya, Trisakti ajaran Bung Karno yang menyatakan Indonesia harus "berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan." Dia merujuk aspirasi ini dari para pegiat kebudayaan, seperti seniman, penulis, produser, sutradara, pemain film, sastrawan, dan presenter.

Jika dirujuk pada Trisakti Bung Karno, kebudayaan hanyalah satu dari tiga bidang yang membentuk kerangka bangunan sebuah peradaban, dengan penekanan pada kemandirian yang bersandar pada kekuatan sendiri. Maka, strategi kebudayaan yang hendak dirumuskan haruslah selaras dengan dua bidang lainnya, politik dan ekonomi. Ketiganya tak boleh pincang, sebab jika tidak maka strategi kebudayaan akan kacau.

Dengan demikian, perumusan Strategi Kebudayaan Nasional dan Induk Pemajuan Kebudayaan sejatinya kerja besar, kompleks, dan rumit. Dalam hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada saatnya perlu melibatkan kementerian-kementerian lain yang menangani bidang politik dan ekonomi. Selama ini, karena tuntutan Undang-Undang, hanya jajaran Kemendikbud dari pusat hingga daerah yang bekerja dalam perumusan Strategi Kebudayaan Nasional dan Induk Pemajuan Kebudayaan dambaan kita.

Kita semua menyaksikan, kebijakan politik dan ekonomi selama ini dibangun dengan basis nilai liberal sebagai konsekuensi perubahan UUD 1945. Dengan alasan globalisasi, perekonomian sepenuhnya diserahkan pada pasar sehingga keran impor dibuka selebar-lebarnya. Dengan alasan demokrasi, politik oligopoli merebak di seluruh negeri tanpa bisa dicegah. Budaya asing pun bebas masuk ke tatanan masyarakat Indonesia. Tampak bahasa asing lebih mendominasi pada ruang-ruang publik seperti di bandara, pasar-pasar modern, televisi dan hotel-hotel di Indonesia daripada Bahasa Indonesia.

Pertanyaan kita, akankah Strategi Kebudayaan Nasional dan Induk Pemajuan Kebudayaan harus diselaraskan dengan kebijakan politik dan ekonomi yang berbasis liberal tadi? Hal ini mesti dijawab dalam Strategi Kebudayaan Nasional dan Induk Pemajuan Kebudayaan yang akan dilahirkan nanti.

Kita berharap rumusan Strategi Kebudayaan Nasional dan Induk Pemajuan Kebudayaan dapat dijadikan pijakan bagi setiap komponen bangsa dalam menyikapi berbagai pengaruh negatif budaya asing yang merusak dan menghancurkan kemerdekaan dan kemandirian kita sebagai sebuah bangsa. Karena, memang kebudayaan nasional kita sejatinya menunjukkan eksistensi kepribadian bangsa Indonesia yang tinggi dan dinamis.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8243 seconds (0.1#10.140)