Fleksibilitas Strategi
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
DINAMIKA lingkungan terus terjadi dan berjalan sangat cepat. Sensitivitas juga kian cepat menjalar pada saat beberapa negara adidaya melakukan hal-hal yang sulit diprediksi.
Perubahan iklim perekonomian global sedang berada pada ketidakpastian seiring dilaksanakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Buenos Aires, Argentina. Dunia sedang berdebar menanti hasil pertemuan itu karena bisa berdampak relatif, khususnya terhadap perekonomian negara emerging market.
Banyak negara yang berharap konferensi tersebut bisa menghasilkan konsensus yang “normal” untuk mutualisme bersama, tidak ada lagi ketegangan pada isu-isu strategis seperti migrasi, perdagangan, dan perubahan iklim. Sorotan dunia kali ini pun tertuju pada Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden China Xi Jinping terkait dengan apa yang akan mereka putuskan berikutnya.
Kebijakan Trump dan Xi Jinping terkait dengan perang dagang yang sedang mereka hadapi, sedangkan Putin perihal kebijakan perdagangan minyak yang sepertinya akan terjadi penyesuaian proyeksi.
Sekjen Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengatakan perang dagang antara China dan AS mestinya perlu segera dijinakkan. Pasalnya dampak penetapan tarif perdagangan AS sebesar 10% pada barang-barang dari China bisa menghilangkan 0,2% produk domestik bruto (PDB) global pada tahun 2020. Sementara itu, IMF turut mengubah proyeksinya terhadap pertumbuhan ekonomi global dari 3,9% menjadi 3,7% pada 2018 dan 2019.
Situasi perekonomian global bisa kian memburuk jika Presiden Trump makin nekat untuk meningkatkan tarif impor produk China di negaranya menjadi 25% pada beberapa barang senilai USD200 miliar karena nanti dampaknya juga bisa semakin hebat dengan potensi loss 1% PDB global. Jadi, perlahan-lahan kita akan kembali mengalami perlambatan ekonomi dunia.
Sorotan terhadap Presiden Putin juga tidak kalah strategisnya seiring dengan perkembangan harga minyak dunia. Selama November kemarin harga minyak light sweet dan Brent kontrak berjangka secara serentak turun lebih dari 22% secara point-to-point.
Pelemahan bulanan itu menjadi yang terburuk dalam 10 tahun terakhir. Cadangan produksi minyak di tiga negara terbesar, yakni AS, Arab Saudi, dan Rusia yang melonjak turut membuat pasar global mengalami oversupply. Cadangan minyak AS naik 3,6 juta barel menjadi 450 juta barel dalam sepekan hingga minggu ketiga November.
Hal tersebut disebabkan kenaikan produksi minyak mentah mingguan AS yang stabil di rekor tertinggi sepanjang sejarah, yakni sebesar 11,7 juta barel/hari. Produksi minyak Arab Saudi pada November mencapai 11,1 juta-11,3 juta barel/hari dan turut menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah Saudi.
Sedangkan produksi minyak Rusia juga telah meningkat ke rekor tertinggi di level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Kenaikan produksi minyak pada ketiga negara tersebut terasa terjadi dalam momentum yang kurang tepat karena perekonomian global masih terancam oleh adanya perlambatan. Rusia dan negara anggota OPEC sepakat untuk mengurangi distribusi agar harga jual minyak secepatnya kembali perkasa.
Kabarnya, pertemuan OPEC pekan ini di Austria tinggal melegalkan kesepakatan bersama untuk menurunkan suplai minyak dunia sekitar 1-1,4 juta barel per hari. Spekulasi juga masih belum terhenti di pasar saham karena para investor masih menanti hasil KTT G-20.
Bursa-bursa saham utama di Eropa ditutup melemah pada Jumat kemarin. Pasar saham Asia-Pasifik dan IHSG juga mengalami hal yang sama.
Pasar saham yang paling terguncang adalah sektor automotif, hasil sumber daya alam, dan bahan material. Nasib sedikit berbeda dialami bursa saham Wall Street yang justru menguat seiring optimisme hasil G-20 akan meredakan perang dagang.
Jika AS dan China berkenan mencairkan hubungan dengan melakukan gencatan sengketa perdagangan, tentu hal tersebut akan banyak mengubah proyeksi perekonomian dunia. Jadi cukup wajar jika pertemuan G-20 kali ini (setelah terakhir dilakukan 2008 silam) banyak diharapkan memberikan hasil yang positif, meskipun di balik itu semua tersebar isu bahwa lebih banyak kepentingan bilateral yang diangkut dalam pertemuan tersebut.
Sementara itu, pada lingkungan internal kita sensitivitas pasar mulai terarah pada perubahan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI) yang tampaknya sedang sulit diprediksi. Sebulan lalu, dari 30 ekonom yang mengamati perubahan tingkat suku bunga, hanya 3 di antaranya yang berani mengisyaratkan bahwa BI perlu meningkatkan 7 days repo rate (7DRR).
Dan kenyataannya, BI kembali meningkatkan tingkat suku bunganya sebesar 0,25% pada pertengahan November sehingga sekarang terakumulasi menjadi 6%. BI juga memutuskan menaikkan suku bunga deposit facility 25 basis poin menjadi sebesar 5,25% dan lending facility menjadi sebesar 6,75%.
Kabarnya, kenaikan tersebut bukan yang terakhir untuk tahun ini karena masih berpeluang terjadi penyesuaian kembali jika The Fed (Bank Sentral AS) kembali meningkatkan tingkat suku bunganya. Untuk sementara ini hasilnya masih cukup positif terhadap kenaikan kurs rupiah, meskipun sebetulnya turut didukung situasi perekonomian AS yang sedang melemah.
Untuk sementara ini, kita bisa sedikit lega dengan angka kurs rupiah yang berada pada posisi Rp14.339 per dolar AS berdasarkan kurs referensi Jisdor. Setidaknya apa yang sedang terjadi ini menggambarkan bahwa lingkungan ekonomi itu terus berubah dan kita perlu dengan saksama menyikapi dinamika tersebut dengan langkah-langkah strategis seraya tidak melupakan cara-cara untuk mitigasi.
Strategi Selanjutnya
Bagaimana sikap kita dalam menghadapi dinamika dan perubahan dunia, tentu akan sangat memengaruhi rentetan strategi-strategi selanjutnya. Secara normatif, kita bisa bertindak seolah-olah sebagai negara independen untuk memilih apakah akan hendak menolaknya (ignorance) atau menghindarinya (avoidance).
Pilihan tersebut cukup wajar dilakukan sebagai suatu negara yang berkeinginan untuk terus tumbuh berkembang demi mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Tetapi, suatu keniscayaan tersebut tetap harus menerima/menyesuaikan dengan segala perubahan dan dinamika dunia karena kita sudah terlanjur terikat pada ekosistem perekonomian global.
Saat ini yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya kita dapat menyusun sejumlah strategi agar dapat mengontrol dan menyikapi dinamika yang ada sehingga nantinya kita bisa menjadi kekuatan baru yang bernilai positif bagi kita semua.
Di saat lingkungan eksternal terus mengalami penyesuaian dengan cepat dan tak beraturan, orang-orang kerap menyebutnya sebagai fase vulnerability, uncertainty, complexity and ambiguity (VUCA). Masa tersebut menuntut kita sebagai institusi pembangunan untuk selalu bersikap cair dan fleksibel agar terus mampu menghadapi dan menciptakan peluang untuk menang.
Bagi perusahaan swasta, kondisi ini mungkin akan sangat mudah dilakukan, khususnya jika pemilik dan tim pengelolaannya memiliki visi yang sama dan searah. Hal yang berbeda akan sulit dilakukan pada institusi (perusahaan) publik macam badan usaha milik negara (BUMN), di mana proses pengambilan keputusannya tidak jarang diintervensi pemiliknya (negara).
Kendati demikian, kita berharap bahwa adanya tantangan yang berat ini menjadikan BUMN semakin kuat dan mampu menyokong penguatan perekonomian nasional. Mengapa kita perlu berharap banyak pada BUMN, karena mereka inilah yang dapat kita harapkan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah untuk mengontrol dinamika pasar dengan lebih cepat.
Alasannya, meskipun dikuasai negara, tata cara proses pengambilan kebijakan yang mereka anut bisa lebih cepat disesuaikan ketimbang harus beradu nasib melalui tangan pemerintah sendiri yang memiliki birokrasi perencanaan dan penganggaran yang relatif panjang. Apalagi, segala lini bisnis dan sektor-sektor ekonomi hampir seluruhnya turut diisi kiprahnya oleh perusahaan-perusahaan plat merah.
Jika kita terlalu berharap pada bisnis swasta juga belum tentu sejalan dengan prinsip pemerintah karena dalam beberapa hal prinsip social benefit (pemerintah/BUMN) sering justru vis a vis dengan prinsip profit oriented (swasta). Kecuali pemerintah bisa membangun modal sosial yang kuat dengan swasta untuk bergandengan tangan tumbuh berkembang menghadapi dinamika perekonomian global.
Untuk sementara ini tampaknya belum pada kondisi ideal tersebut karena secara tersirat berulang kali pemerintah “memaksa” para pebisnis swasta mau membantu pemerintah dalam menyikapi dinamika perekonomian global. Misalnya terkait tarif impor yang dipaksa meningkat dan kebijakan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE).
Pada fase ini sangat penting bagi institusi pemerintah, swasta, dan lini bisnis lain untuk terus menjaga fleksibilitasnya yang tinggi, agar mampu berubah dan terus berbenah sesuai arah perubahan lingkungan global. Kita perlu segera menuntaskan masalah dari sisi SDM, dengan mengedepankan semangat bersaing secara sehat melalui penerapan reward and punishment, disertai dengan penyesuaian struktur organisasi.
Penyesuaian struktur organisasi sendiri bisa akan berpengaruh kuat pada kekuatan fleksibilitas. Struktur yang ramping, tetapi kaya fungsi, akan lebih efektif dalam menghadapi perubahan lingkungan yang kuat. Proses pengambilan keputusan untuk organisasi yang seperti ini akan lebih cepat dan menurunkan biaya transaksi yang biasanya cukup besar.
Peran teknologi juga cukup penting di dalam menghadapi perubahan lingkungan perusahaan. Terutama berpengaruh di dalam kecepatan, di dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, perubahan lingkungan yang saat ini terjadi, tidak perlu kita hadapi dengan skeptis, tetapi dihadapi dengan kecerdasan dan fleksibilitas yang sangat tinggi.
Dalam beberapa kondisi juga kerap menuntut adanya perampingan organisasi. Alasannya sederhana, organisasi yang ramping, kadang bisa berlaku lebih efektif karena meminimalkan potensi disintegrasi, serta jika didukung kemampuan yang kuat untuk dinamis melalui input teknologi (dalam arti luas), maka keberhasilan suatu organisasi akan selangkah lebih dekat untuk diraih.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
DINAMIKA lingkungan terus terjadi dan berjalan sangat cepat. Sensitivitas juga kian cepat menjalar pada saat beberapa negara adidaya melakukan hal-hal yang sulit diprediksi.
Perubahan iklim perekonomian global sedang berada pada ketidakpastian seiring dilaksanakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Buenos Aires, Argentina. Dunia sedang berdebar menanti hasil pertemuan itu karena bisa berdampak relatif, khususnya terhadap perekonomian negara emerging market.
Banyak negara yang berharap konferensi tersebut bisa menghasilkan konsensus yang “normal” untuk mutualisme bersama, tidak ada lagi ketegangan pada isu-isu strategis seperti migrasi, perdagangan, dan perubahan iklim. Sorotan dunia kali ini pun tertuju pada Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden China Xi Jinping terkait dengan apa yang akan mereka putuskan berikutnya.
Kebijakan Trump dan Xi Jinping terkait dengan perang dagang yang sedang mereka hadapi, sedangkan Putin perihal kebijakan perdagangan minyak yang sepertinya akan terjadi penyesuaian proyeksi.
Sekjen Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengatakan perang dagang antara China dan AS mestinya perlu segera dijinakkan. Pasalnya dampak penetapan tarif perdagangan AS sebesar 10% pada barang-barang dari China bisa menghilangkan 0,2% produk domestik bruto (PDB) global pada tahun 2020. Sementara itu, IMF turut mengubah proyeksinya terhadap pertumbuhan ekonomi global dari 3,9% menjadi 3,7% pada 2018 dan 2019.
Situasi perekonomian global bisa kian memburuk jika Presiden Trump makin nekat untuk meningkatkan tarif impor produk China di negaranya menjadi 25% pada beberapa barang senilai USD200 miliar karena nanti dampaknya juga bisa semakin hebat dengan potensi loss 1% PDB global. Jadi, perlahan-lahan kita akan kembali mengalami perlambatan ekonomi dunia.
Sorotan terhadap Presiden Putin juga tidak kalah strategisnya seiring dengan perkembangan harga minyak dunia. Selama November kemarin harga minyak light sweet dan Brent kontrak berjangka secara serentak turun lebih dari 22% secara point-to-point.
Pelemahan bulanan itu menjadi yang terburuk dalam 10 tahun terakhir. Cadangan produksi minyak di tiga negara terbesar, yakni AS, Arab Saudi, dan Rusia yang melonjak turut membuat pasar global mengalami oversupply. Cadangan minyak AS naik 3,6 juta barel menjadi 450 juta barel dalam sepekan hingga minggu ketiga November.
Hal tersebut disebabkan kenaikan produksi minyak mentah mingguan AS yang stabil di rekor tertinggi sepanjang sejarah, yakni sebesar 11,7 juta barel/hari. Produksi minyak Arab Saudi pada November mencapai 11,1 juta-11,3 juta barel/hari dan turut menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah Saudi.
Sedangkan produksi minyak Rusia juga telah meningkat ke rekor tertinggi di level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Kenaikan produksi minyak pada ketiga negara tersebut terasa terjadi dalam momentum yang kurang tepat karena perekonomian global masih terancam oleh adanya perlambatan. Rusia dan negara anggota OPEC sepakat untuk mengurangi distribusi agar harga jual minyak secepatnya kembali perkasa.
Kabarnya, pertemuan OPEC pekan ini di Austria tinggal melegalkan kesepakatan bersama untuk menurunkan suplai minyak dunia sekitar 1-1,4 juta barel per hari. Spekulasi juga masih belum terhenti di pasar saham karena para investor masih menanti hasil KTT G-20.
Bursa-bursa saham utama di Eropa ditutup melemah pada Jumat kemarin. Pasar saham Asia-Pasifik dan IHSG juga mengalami hal yang sama.
Pasar saham yang paling terguncang adalah sektor automotif, hasil sumber daya alam, dan bahan material. Nasib sedikit berbeda dialami bursa saham Wall Street yang justru menguat seiring optimisme hasil G-20 akan meredakan perang dagang.
Jika AS dan China berkenan mencairkan hubungan dengan melakukan gencatan sengketa perdagangan, tentu hal tersebut akan banyak mengubah proyeksi perekonomian dunia. Jadi cukup wajar jika pertemuan G-20 kali ini (setelah terakhir dilakukan 2008 silam) banyak diharapkan memberikan hasil yang positif, meskipun di balik itu semua tersebar isu bahwa lebih banyak kepentingan bilateral yang diangkut dalam pertemuan tersebut.
Sementara itu, pada lingkungan internal kita sensitivitas pasar mulai terarah pada perubahan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI) yang tampaknya sedang sulit diprediksi. Sebulan lalu, dari 30 ekonom yang mengamati perubahan tingkat suku bunga, hanya 3 di antaranya yang berani mengisyaratkan bahwa BI perlu meningkatkan 7 days repo rate (7DRR).
Dan kenyataannya, BI kembali meningkatkan tingkat suku bunganya sebesar 0,25% pada pertengahan November sehingga sekarang terakumulasi menjadi 6%. BI juga memutuskan menaikkan suku bunga deposit facility 25 basis poin menjadi sebesar 5,25% dan lending facility menjadi sebesar 6,75%.
Kabarnya, kenaikan tersebut bukan yang terakhir untuk tahun ini karena masih berpeluang terjadi penyesuaian kembali jika The Fed (Bank Sentral AS) kembali meningkatkan tingkat suku bunganya. Untuk sementara ini hasilnya masih cukup positif terhadap kenaikan kurs rupiah, meskipun sebetulnya turut didukung situasi perekonomian AS yang sedang melemah.
Untuk sementara ini, kita bisa sedikit lega dengan angka kurs rupiah yang berada pada posisi Rp14.339 per dolar AS berdasarkan kurs referensi Jisdor. Setidaknya apa yang sedang terjadi ini menggambarkan bahwa lingkungan ekonomi itu terus berubah dan kita perlu dengan saksama menyikapi dinamika tersebut dengan langkah-langkah strategis seraya tidak melupakan cara-cara untuk mitigasi.
Strategi Selanjutnya
Bagaimana sikap kita dalam menghadapi dinamika dan perubahan dunia, tentu akan sangat memengaruhi rentetan strategi-strategi selanjutnya. Secara normatif, kita bisa bertindak seolah-olah sebagai negara independen untuk memilih apakah akan hendak menolaknya (ignorance) atau menghindarinya (avoidance).
Pilihan tersebut cukup wajar dilakukan sebagai suatu negara yang berkeinginan untuk terus tumbuh berkembang demi mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Tetapi, suatu keniscayaan tersebut tetap harus menerima/menyesuaikan dengan segala perubahan dan dinamika dunia karena kita sudah terlanjur terikat pada ekosistem perekonomian global.
Saat ini yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya kita dapat menyusun sejumlah strategi agar dapat mengontrol dan menyikapi dinamika yang ada sehingga nantinya kita bisa menjadi kekuatan baru yang bernilai positif bagi kita semua.
Di saat lingkungan eksternal terus mengalami penyesuaian dengan cepat dan tak beraturan, orang-orang kerap menyebutnya sebagai fase vulnerability, uncertainty, complexity and ambiguity (VUCA). Masa tersebut menuntut kita sebagai institusi pembangunan untuk selalu bersikap cair dan fleksibel agar terus mampu menghadapi dan menciptakan peluang untuk menang.
Bagi perusahaan swasta, kondisi ini mungkin akan sangat mudah dilakukan, khususnya jika pemilik dan tim pengelolaannya memiliki visi yang sama dan searah. Hal yang berbeda akan sulit dilakukan pada institusi (perusahaan) publik macam badan usaha milik negara (BUMN), di mana proses pengambilan keputusannya tidak jarang diintervensi pemiliknya (negara).
Kendati demikian, kita berharap bahwa adanya tantangan yang berat ini menjadikan BUMN semakin kuat dan mampu menyokong penguatan perekonomian nasional. Mengapa kita perlu berharap banyak pada BUMN, karena mereka inilah yang dapat kita harapkan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah untuk mengontrol dinamika pasar dengan lebih cepat.
Alasannya, meskipun dikuasai negara, tata cara proses pengambilan kebijakan yang mereka anut bisa lebih cepat disesuaikan ketimbang harus beradu nasib melalui tangan pemerintah sendiri yang memiliki birokrasi perencanaan dan penganggaran yang relatif panjang. Apalagi, segala lini bisnis dan sektor-sektor ekonomi hampir seluruhnya turut diisi kiprahnya oleh perusahaan-perusahaan plat merah.
Jika kita terlalu berharap pada bisnis swasta juga belum tentu sejalan dengan prinsip pemerintah karena dalam beberapa hal prinsip social benefit (pemerintah/BUMN) sering justru vis a vis dengan prinsip profit oriented (swasta). Kecuali pemerintah bisa membangun modal sosial yang kuat dengan swasta untuk bergandengan tangan tumbuh berkembang menghadapi dinamika perekonomian global.
Untuk sementara ini tampaknya belum pada kondisi ideal tersebut karena secara tersirat berulang kali pemerintah “memaksa” para pebisnis swasta mau membantu pemerintah dalam menyikapi dinamika perekonomian global. Misalnya terkait tarif impor yang dipaksa meningkat dan kebijakan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE).
Pada fase ini sangat penting bagi institusi pemerintah, swasta, dan lini bisnis lain untuk terus menjaga fleksibilitasnya yang tinggi, agar mampu berubah dan terus berbenah sesuai arah perubahan lingkungan global. Kita perlu segera menuntaskan masalah dari sisi SDM, dengan mengedepankan semangat bersaing secara sehat melalui penerapan reward and punishment, disertai dengan penyesuaian struktur organisasi.
Penyesuaian struktur organisasi sendiri bisa akan berpengaruh kuat pada kekuatan fleksibilitas. Struktur yang ramping, tetapi kaya fungsi, akan lebih efektif dalam menghadapi perubahan lingkungan yang kuat. Proses pengambilan keputusan untuk organisasi yang seperti ini akan lebih cepat dan menurunkan biaya transaksi yang biasanya cukup besar.
Peran teknologi juga cukup penting di dalam menghadapi perubahan lingkungan perusahaan. Terutama berpengaruh di dalam kecepatan, di dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, perubahan lingkungan yang saat ini terjadi, tidak perlu kita hadapi dengan skeptis, tetapi dihadapi dengan kecerdasan dan fleksibilitas yang sangat tinggi.
Dalam beberapa kondisi juga kerap menuntut adanya perampingan organisasi. Alasannya sederhana, organisasi yang ramping, kadang bisa berlaku lebih efektif karena meminimalkan potensi disintegrasi, serta jika didukung kemampuan yang kuat untuk dinamis melalui input teknologi (dalam arti luas), maka keberhasilan suatu organisasi akan selangkah lebih dekat untuk diraih.
(poe)