Keadilan Belum Merata
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
KEADILAN di negeri ini belum merata. Sulit digapai. Tak ubahnya rintik-rintik hujan di siang hari yang membasahi sebagian bumi. Tanah tandus berharap dapat subur kembali. Sayang, belum sempat tunas-tunas tumbuh bersemi, hujan berhenti. Kering kerontang dan kemarau panjang pun berlangsung sepanjang hari.
Keadilan untuk Baiq Nuril hanyalah setitik air hujan. Cepat menguap diterpa panasnya matahari. Keadilan sekejap dari vonis Pengadilan Negeri Mataram “dirampas” penegak hukum melalui kasasi. Pola pikir legal-positivistik, memosisikan diri sebagai “corong undang-undang” dan menggunakan “kacamata kuda” sekaligus, dijadikan argumentasi dalam penegakan hukum.
Tiada ampun, perempuan malang dari Lombok, NTB, tersebut diganjar vonis 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta. Vonis berkekuatan hukum tetap (inkracht) sehingga wajib segera dieksekusi oleh jaksa. Hanya karena maraknya protes anak kecil, akademisi, politisi, aktivis perempuan hingga Presiden, eksekusi ditunda sampai adanya putusan peninjauan kembali (PK).
Dalam perspektif hukum alam (natural law), air dapat dianalogikan dengan keadilan. Analogi demikian sekadar upaya untuk memahamkan agar manusia senantiasa berpikir tentang keadilan sebagaimana alam telah memberi inspirasi dan keteladanan. Fungsi air dalam kehidupan semua makhluk sungguh amat besar. Tiada kehidupan dapat terselenggara kontinuitasnya kecuali didukung air. Kematian segera menghampiri ketika makhluk tiada mendapatkan air untuk makan dan minum. Sepadan dengan itu, rakyat di negeri ini juga akan mati atau setidaknya sengsara ketika air (keadilan) sulit diraih.
Setiap warga negara dan penyelenggara negara butuh keadilan. Alam (lingkungan hidup) pun butuh keadilan. Nyata adanya bahwa segala yang hidup membutuhkan keadilan. Kehidupan yang nyaman, tenteram, dan bahagia adalah kehidupan yang sarat dengan keadilan.
Keadilan merupakan subsistem dari sistem kehidupan. Bila subsistem (keadilan) ini rusak atau hilang, sistem kehidupan seutuhnya akan kacau, macet sebagaimana air tak mengalir, tergenang pada tempat tertentu saja. Pada situasi demikian, kehidupan rawan penyakit menjadi sarang nyamuk, berbau busuk. Karena itulah, agar kehidupan bernegara sehat, eksistensi dan fungsi keadilan perlu terus dijaga kenormalannya.
Sebagai bangsa ber-Pancasila, tiada keraguan sedikit pun bahwa Tuhan itu maha adil. Negeri ini butuh manusia-manusia berkomitmen untuk berbuat adil. Bila manusia berkeadilan banyak jumlahnya (mayoritas), keadilan sosial pun pasti tersebar di mana-mana. Sudahkan demikian? Mengapakah ketidakadilan sosial dialami kaum perempuan, golongan miskin, orang-orang pinggiran? Mengapakah keadilan dipertukarkan dengan uang, jabatan, dan kemapanan karier penegak hukum?
Setiap hakim dalam membuat vonis terikat persyaratan yuridis, yakni wajib menggunakan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sayang, apa yang dilakukannya semata-mata demi tegaknya hukum (perundang-undangan). Akibatnya keadilan substansial jauh panggang dari api, hanya harapan, tidak pernah menjadi kenyataan. Nama Tuhan disalahgunakan untuk “memanipulasi” keadilan substansial menjadi keadilan formal belaka.
Dihadapkan pada arogansi kekuasaan dan sesat pikir penegak hukum, sungguh amat sulit rakyat jelata menggapai keadilan. Friedman W (dalam Legal Theory, 1967, p. 96) melukiskan kisah kegagalan manusia dalam pencarian keadilan absolut sebagai sejarah hukum alam yang berlangsung sepanjang waktu. Konsepsi-konsepsi tentang hukum di zaman Yunani kuno sebenarnya sarat dengan pesan moral agar hukum dipraktikkan sebagai upaya mewujudkan tatanan perdamaian berbasis keadilan. Hukum tidak sekali-kali dipisahkan dari nilai-nilai moral-religius.
Penguasa, penegak hukum, utamanya hakim, mesti mengemban amanah sesuai dengan sumpah jabatan. Sumpah itu wajib dipertanggungjawabkan kepada manusia maupun Tuhan. Sungguh amat disayangkan ketika sumpah jabatan dianggap sebagai formalitas belaka. Amat disesalkan pula maraknya fenomena pemisahan nilai-nilai religius dari hukum dan keadilan.
Hukum alam telah mengingatkan bahwa curahan hujan dan aliran sungai keadilan hakikatnya merupakan anugerah Ilahi. Tapi anugerah bisa berubah menjadi bencana ketika hukum dan alam dirusak oleh manusia. Kemarau keadilan dapat berlangsung lama, berkelindan dengan bencana alam sekaligus bencana kemanusiaan. Itu bukannya Tuhan tidak adil. Bukan pula alam marah. Tapi manusia-manusialah yang merusak hukum, merusak keseimbangan alam, merusak ekosistem, serta-merta mengundang bencana.
Sensitivitas manusia terhadap fenomena alam cenderung kian lemah. Tak terbantahkan bahwa utak-atik akal merupakan dinamika dari rasionalitas dalam hukum dan keadilan, sekaligus sebagai isyarat perceraiannya dengan hukum alam. Akal diagung-agungkan setinggi langit walaupun disadari bahwa akal tidak akan mampu menggantikan peran hati-nurani. Di era modern, akal rentan diperbudak nafsu. Akal sehat menjadi amat langka. Akal-akalan, akal busuk, akal jongkok, akal bulus ataupun akal akrobatik justru berkembang biak. Bagaimana mungkin keadilan substansial terlahir dari persekongkolan nafsu dan akal tanpa kendali hati-nurani? Bukankah nafsu menggiring pada kezaliman?
Pemerataan keadilan merupakan tanggung jawab bersama dan bukan monopoli aparat penegak hukum. Lembaga pengadilan otentiknya merupakan rumah keadilan (house of justice), bukan ajang jual beli perkara, bukan pula medan peperangan antara penguasa versus rakyat. Sewajarnya masyarakat ikut mengendalikan proses peradilan agar berjalan fair (fair trial).
Keadilan sosial dapat digapai bila segenap komponen bangsa bersedia melakukan revolusi rohaniah-spiritual. Kuncinya: berperilaku melalui lorong-lorong kebenaran Ilahiah, berdasarkan nilai-nilai Pancasila, dan konsisten pada moralitas. Insyaallah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terwujud. Wallahu a’lam . l
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
KEADILAN di negeri ini belum merata. Sulit digapai. Tak ubahnya rintik-rintik hujan di siang hari yang membasahi sebagian bumi. Tanah tandus berharap dapat subur kembali. Sayang, belum sempat tunas-tunas tumbuh bersemi, hujan berhenti. Kering kerontang dan kemarau panjang pun berlangsung sepanjang hari.
Keadilan untuk Baiq Nuril hanyalah setitik air hujan. Cepat menguap diterpa panasnya matahari. Keadilan sekejap dari vonis Pengadilan Negeri Mataram “dirampas” penegak hukum melalui kasasi. Pola pikir legal-positivistik, memosisikan diri sebagai “corong undang-undang” dan menggunakan “kacamata kuda” sekaligus, dijadikan argumentasi dalam penegakan hukum.
Tiada ampun, perempuan malang dari Lombok, NTB, tersebut diganjar vonis 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta. Vonis berkekuatan hukum tetap (inkracht) sehingga wajib segera dieksekusi oleh jaksa. Hanya karena maraknya protes anak kecil, akademisi, politisi, aktivis perempuan hingga Presiden, eksekusi ditunda sampai adanya putusan peninjauan kembali (PK).
Dalam perspektif hukum alam (natural law), air dapat dianalogikan dengan keadilan. Analogi demikian sekadar upaya untuk memahamkan agar manusia senantiasa berpikir tentang keadilan sebagaimana alam telah memberi inspirasi dan keteladanan. Fungsi air dalam kehidupan semua makhluk sungguh amat besar. Tiada kehidupan dapat terselenggara kontinuitasnya kecuali didukung air. Kematian segera menghampiri ketika makhluk tiada mendapatkan air untuk makan dan minum. Sepadan dengan itu, rakyat di negeri ini juga akan mati atau setidaknya sengsara ketika air (keadilan) sulit diraih.
Setiap warga negara dan penyelenggara negara butuh keadilan. Alam (lingkungan hidup) pun butuh keadilan. Nyata adanya bahwa segala yang hidup membutuhkan keadilan. Kehidupan yang nyaman, tenteram, dan bahagia adalah kehidupan yang sarat dengan keadilan.
Keadilan merupakan subsistem dari sistem kehidupan. Bila subsistem (keadilan) ini rusak atau hilang, sistem kehidupan seutuhnya akan kacau, macet sebagaimana air tak mengalir, tergenang pada tempat tertentu saja. Pada situasi demikian, kehidupan rawan penyakit menjadi sarang nyamuk, berbau busuk. Karena itulah, agar kehidupan bernegara sehat, eksistensi dan fungsi keadilan perlu terus dijaga kenormalannya.
Sebagai bangsa ber-Pancasila, tiada keraguan sedikit pun bahwa Tuhan itu maha adil. Negeri ini butuh manusia-manusia berkomitmen untuk berbuat adil. Bila manusia berkeadilan banyak jumlahnya (mayoritas), keadilan sosial pun pasti tersebar di mana-mana. Sudahkan demikian? Mengapakah ketidakadilan sosial dialami kaum perempuan, golongan miskin, orang-orang pinggiran? Mengapakah keadilan dipertukarkan dengan uang, jabatan, dan kemapanan karier penegak hukum?
Setiap hakim dalam membuat vonis terikat persyaratan yuridis, yakni wajib menggunakan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sayang, apa yang dilakukannya semata-mata demi tegaknya hukum (perundang-undangan). Akibatnya keadilan substansial jauh panggang dari api, hanya harapan, tidak pernah menjadi kenyataan. Nama Tuhan disalahgunakan untuk “memanipulasi” keadilan substansial menjadi keadilan formal belaka.
Dihadapkan pada arogansi kekuasaan dan sesat pikir penegak hukum, sungguh amat sulit rakyat jelata menggapai keadilan. Friedman W (dalam Legal Theory, 1967, p. 96) melukiskan kisah kegagalan manusia dalam pencarian keadilan absolut sebagai sejarah hukum alam yang berlangsung sepanjang waktu. Konsepsi-konsepsi tentang hukum di zaman Yunani kuno sebenarnya sarat dengan pesan moral agar hukum dipraktikkan sebagai upaya mewujudkan tatanan perdamaian berbasis keadilan. Hukum tidak sekali-kali dipisahkan dari nilai-nilai moral-religius.
Penguasa, penegak hukum, utamanya hakim, mesti mengemban amanah sesuai dengan sumpah jabatan. Sumpah itu wajib dipertanggungjawabkan kepada manusia maupun Tuhan. Sungguh amat disayangkan ketika sumpah jabatan dianggap sebagai formalitas belaka. Amat disesalkan pula maraknya fenomena pemisahan nilai-nilai religius dari hukum dan keadilan.
Hukum alam telah mengingatkan bahwa curahan hujan dan aliran sungai keadilan hakikatnya merupakan anugerah Ilahi. Tapi anugerah bisa berubah menjadi bencana ketika hukum dan alam dirusak oleh manusia. Kemarau keadilan dapat berlangsung lama, berkelindan dengan bencana alam sekaligus bencana kemanusiaan. Itu bukannya Tuhan tidak adil. Bukan pula alam marah. Tapi manusia-manusialah yang merusak hukum, merusak keseimbangan alam, merusak ekosistem, serta-merta mengundang bencana.
Sensitivitas manusia terhadap fenomena alam cenderung kian lemah. Tak terbantahkan bahwa utak-atik akal merupakan dinamika dari rasionalitas dalam hukum dan keadilan, sekaligus sebagai isyarat perceraiannya dengan hukum alam. Akal diagung-agungkan setinggi langit walaupun disadari bahwa akal tidak akan mampu menggantikan peran hati-nurani. Di era modern, akal rentan diperbudak nafsu. Akal sehat menjadi amat langka. Akal-akalan, akal busuk, akal jongkok, akal bulus ataupun akal akrobatik justru berkembang biak. Bagaimana mungkin keadilan substansial terlahir dari persekongkolan nafsu dan akal tanpa kendali hati-nurani? Bukankah nafsu menggiring pada kezaliman?
Pemerataan keadilan merupakan tanggung jawab bersama dan bukan monopoli aparat penegak hukum. Lembaga pengadilan otentiknya merupakan rumah keadilan (house of justice), bukan ajang jual beli perkara, bukan pula medan peperangan antara penguasa versus rakyat. Sewajarnya masyarakat ikut mengendalikan proses peradilan agar berjalan fair (fair trial).
Keadilan sosial dapat digapai bila segenap komponen bangsa bersedia melakukan revolusi rohaniah-spiritual. Kuncinya: berperilaku melalui lorong-lorong kebenaran Ilahiah, berdasarkan nilai-nilai Pancasila, dan konsisten pada moralitas. Insyaallah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terwujud. Wallahu a’lam . l
(mhd)