Keadilan Belum Merata

Sabtu, 01 Desember 2018 - 07:31 WIB
Keadilan Belum Merata
Keadilan Belum Merata
A A A
Sudjito Atmoredjo

Guru Besar Ilmu Hukum UGM

KEADILAN di negeri ini belum merata. Sulit digapai. Tak ubah­nya rintik-rintik hu­jan di siang hari yang mem­basahi sebagian bumi. Tanah tandus berharap dapat subur kembali. Sayang, belum sempat tunas-tunas tumbuh ber­semi, hujan berhenti. Kering kerontang dan kemarau panjang pun ber­lang­sung sepanjang hari.

Keadilan untuk Baiq Nuril hanya­lah setitik air hujan. Cepat menguap diterpa panasnya ma­ta­hari. Keadilan sekejap dari vonis Pengadilan Negeri Mata­ram “di­rampas” penegak hukum melalui kasasi. Pola pikir legal-positivistik, memosisikan diri sebagai “corong undang-undang” dan meng­guna­kan “kac­amata kuda” sekaligus, di­jad­ikan argu­men­tasi dalam pe­negakan hukum.

Tiada ampun, perempuan malang dari Lombok, NTB, ter­sebut diganjar vonis 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta. Vonis berkekuatan hukum tetap (inkracht) sehingga wajib segera di­ekse­­kusi oleh jaksa. Hanya karena marak­nya protes anak kecil, akademisi, po­liti­si, aktivis perempuan hingga Presiden, eksekusi ditunda sampai adanya pu­tus­an peninjauan kembali (PK).

Dalam perspektif hukum alam (natural law), air dapat dianalogikan dengan keadilan. Analogi demikian sekadar upa­ya untuk memahamkan agar manusia senantiasa ber­pikir ten­t­ang keadilan sebagai­mana alam telah memberi inspirasi dan keteladanan. Fungsi air da­lam kehidupan semua makhluk sungguh amat besar. Tiada ke­hidupan dapat terselenggara kontinuitasnya kecuali di­dukung air. Kematian segera menghampiri ketika makhluk tiada mendapatkan air untuk makan dan minum. Sepadan dengan itu, rakyat di negeri ini juga akan mati atau setidaknya sengsara ketika air (keadilan) sulit diraih.

Setiap warga negara dan penye­leng­gara negara butuh keadilan. Alam (lingkungan hidup) pun butuh ke­adil­an. Nyata adanya bahwa segala yang hidup membutuhkan ke­adilan. Ke­hidupan yang nya­man, tenteram, dan bahagia adalah kehidupan yang sarat dengan keadilan.

Keadilan merupakan sub­sis­tem dari sistem kehidupan. Bila subsistem (keadilan) ini rusak atau hilang, sistem ke­hidupan seutuhnya akan kacau, macet sebagaimana air tak mengalir, tergenang pada tempat tertentu saja. Pada situasi demikian, ke­hidupan rawan penyakit men­jadi sarang nya­muk, ber­­bau busuk. Karena itulah, agar kehi­dup­an ber­ne­gara sehat, eksis­tensi dan fung­si ke­adilan perlu te­rus di­jaga kenormalannya.

Sebagai bangsa ber-Panca­sila, tiada keraguan sedikit pun bahwa Tuhan itu maha adil. Negeri ini butuh manusia-manusia ber­komit­men untuk ber­buat adil. Bila manusia ber­keadilan banyak jumlahnya (mayoritas), keadilan sosial pun pasti tersebar di mana-mana. Sudahkan demikian? Menga­pa­kah ke­tidakadilan sosial dialami kaum pe­rem­puan, golong­an miskin, orang-orang pinggiran? Me­ngapakah keadil­an diper­tukarkan dengan uang, jabat­an, dan kemapanan karier penegak hukum?

Setiap hakim dalam mem­buat vonis terikat persyaratan yuridis, yakni wajib men­gguna­kan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ke­tuhan­an Yang Maha Esa”. Sayang, apa yang di­lakukannya semata-mata demi tegak­nya hukum (perundang-undang­an). Akibatnya keadil­an substansial jauh panggang dari api, hanya harapan, tidak pernah menjadi kenyataan. Nama Tuhan disalahgunakan untuk “memanipulasi” keadil­an substansial menjadi ke­adil­an formal belaka.

Dihadapkan pada arogansi ke­kua­saan dan sesat pikir penegak hukum, sungguh amat sulit rakyat jelata meng­gapai keadilan. Friedman W (dalam Legal Theory, 1967, p. 96) me­lukiskan kisah kegagalan ma­nusia dalam pencarian keadilan absolut sebagai sejarah hukum alam yang berlangsung sepan­jang waktu. Konsepsi-konsepsi tentang hukum di zaman Yunani kuno sebenarnya sarat dengan pesan moral agar hukum dipraktikkan sebagai upaya me­wujudkan tatanan per­damai­an berbasis keadilan. Hukum tidak sekali-kali dipisahkan dari nilai-nilai moral-religius.

Penguasa, pe­negak hukum, utamanya ha­kim, mesti meng­emban ama­nah sesuai dengan sumpah jabatan. Sumpah itu wajib di­per­tang­gungjawabkan kepada manu­sia maupun Tu­han. Sungguh amat disayang­kan ketika sumpah ja­batan di­anggap sebagai for­ma­litas belaka. Amat disesalkan pula maraknya feno­mena pe­misahan nilai-nilai religius dari hukum dan keadilan.

Hukum alam telah meng­ingatkan bahwa curahan hujan dan aliran su­ngai keadilan ha­kikatnya merupakan anugerah Ilahi. Tapi anugerah bisa ber­ubah menjadi bencana ketika hu­kum dan alam dirusak oleh manusia. Kemarau keadilan dapat berlangsung lama, ber­kelindan dengan bencana alam sekaligus bencana kema­nusia­an. Itu bukannya Tuhan tidak adil. Bukan pula alam marah. Tapi manusia-ma­nusialah yang merusak hukum, me­rusak ke­se­imbangan alam, merusak eko­sistem, serta-merta meng­undang bencana.

Sensitivitas manusia ter­ha­dap fenomena alam cenderung kian lemah. Tak terbantahkan bahwa utak-atik akal merupa­kan dinamika dari rasionalitas dalam hukum dan keadil­a­n, se­kaligus sebagai isyarat per­cerai­annya dengan hukum alam. Akal diagung-agung­kan setinggi langit walau­pun disadari bahwa akal tidak akan mampu meng­gantikan peran hati-nurani. Di era modern, akal rentan diperbudak nafsu. Akal sehat menjadi amat langka. Akal-akalan, akal busuk, akal jongkok, akal bulus ataupun akal akrobatik justru ber­kem­bang biak. Bagai­mana mung­kin ke­adil­an substansial ter­­lahir dari perse­kongkolan nafsu dan akal tanpa kendali hati-nurani? Bukankah nafsu menggiring pada kezaliman?

Pemerataan keadilan me­rupa­kan tanggung jawab ber­sama dan bukan monopoli aparat penegak hukum. Lem­baga pengadilan otentiknya me­rupa­kan rumah keadilan (house of justice), bukan ajang jual beli perkara, bukan pula medan pe­pe­rangan antara penguasa versus rakyat. Sewajarnya masyarakat ikut mengendalikan proses peradilan agar berjalan fair (fair trial).

Keadilan sosial dapat digapai bila segenap komponen bangsa bersedia melakukan revolusi rohaniah-spiritual. Kuncinya: ber­perilaku melalui lorong-lorong kebenaran Ilahiah, ber­dasarkan nilai-nilai Pancasila, dan konsisten pada moralitas. Insyaallah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ter­wujud. Wallahu a’lam . l
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6857 seconds (0.1#10.140)