Metanoia Korupsi
A
A
A
Stevanus Subagijo
Peneliti pada Center for National Urgency
Studies Jakarta
Setiap kasus korupsi terkuak semisal lewat operasi tangkap tangan (OTT) muncul kontradiksi nurani. Satu sisi bersuka ria karena upaya pemberantasan korupsi menunjukkan hasil, tetapi di sisi lain hal itu lagi dan lagi mencoreng wajah kita.
Sejak kita lantang meneriakkan transparansi dan tanggung jawab agar tidak korupsi, di titik itu juga ketidaktransparanan dan nir-tanggung jawab terus terjadi. Seperti ada sifat endemik ihwal tipu daya dalam kemanusiaan kita, benarkah kita semua adalah orang munafik? (Fool’s Talk, Os Guinness 2018)
Sebuah tindakan korupsi mengalami rasionalisasi sebagai alasan lain (kewajaran misalnya, walau menipu) dari alasan yang sebenarnya, kata Sigmund Freud. Dalam tiap urusan selalu ada motivasi eksternal, tapi juga "motivasi tersembunyi", kata Albert Camus, di mana motif korup disemai.
Penampilan luar jauh berbeda dengan dalamnya, korupsi tidak pernah terlihat seperti apa adanya. Ia selalu bertopeng, penuh tipuan. Transparansi yang sempurna tidaklah mungkin dan tanggung jawab sejati lebih mudah dihindari, kata Guinness lagi.
Natur Lemah
Dengan kata lain, betapa lemahnya manusia. Mungkin kita perlu menerapkan "hermeneutika kecurigaan" dan memiliki hidung tajam untuk mencium sebuah "omong kosong" dari perilaku kita yang berbenih koruptif. Tapi, kita menganggapnya remeh, kata filsuf Yale, Harry Frankfurt. Barulah ketika korupsi terkuak, tanpa merasa bersalah kita bergumam, "saya sudah punya firasat".
Terlambat! Kasus korupsi lagi dan lagi, sudah dan terus saja terjadi. Pengkhotbah cendekia yang meninggal muda Robert Murray M’Cheyne di usia 29 tahun pernah dipuji atas kesucian hidupnya oleh seorang perempuan pendengar ceramahnya. Tapi ia menukas, katanya, "Nyonya, jika Anda bisa melihat ke dalam hati saya, maka Anda akan meludahi saya." Kata peribahasa, dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa tahu?
Korupsi ialah soal kecenderungan hati. Lembaga pencegahan dan pemberantasan bagus, pendidikan antikorupsi dari keluarga dan sekolah sangat perlu, manajemen dan administrasi publik yang transparan, akuntabel, serta profesional mutlak. Tapi kalau kecenderungan hati sudah bengkok, korupsi terus saja mencari celah.
Salah satu Presiden Priceton University yang juga cendekiawan besar Amerika, Jonathan Edwards, pernah berujar tentang pentingnya afeksi, yakni suatu kondisi yang hidup dan intens dari kecenderungan (inclination ) hati dan kehendak.
Semua orang bisa korup, semua urusan bisa dikorupsi, maka kecenderungan hati dan kehendak harus hidup serta intens untuk menolak semua gejala, kemungkinan, percobaan korupsi, bahkan sejak dari keinginan hati dan niatan kehendak. Katanya lagi, kecenderungan ini tidak mungkin manusia melakukan untuk dan demi dirinya sendiri.
Artinya, manusia cenderung menolak korupsi bukan semata karena kesadaran dan kemampuan dirinya sendiri, ini tidak mungkin bisa, tapi harus ada sesuatu lebih besar yang dipercaya untuk disegani, dihormati, dan ditakuti manusia, dalam konteks ini: Tuhan. Semua kecenderungan hati dan kehendak harus tunduk pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dari kacamata Tuhan.
Pandangan ini bukan mengecilkan manusia, tetapi memilih risiko yang lebih kecil. Dari pada manusia meyakini bahwa dirinya mampu dan bisa tidak korup, tetapi bisa saja keyakinannya itu membuat takabur dan lupa sehingga justru yang korup dilakukan.
Sebaliknya, dengan memosisikan dirinya sebagai lemah dan rentan korup, seseorang selalu waspada dan membawa setiap urusannya pada hal-hal yang menjauhi korupsi. Tampaknya itu berakar dalam pandangan reformator Eropa John Calvin. Akal budi manusia yang membedakan baik dan jahat, menilai dan memahami, telah diperlemah dan rusak, ibarat bangunan puingnya berantakan.
Terang itu berjalan dalam kegelapan, tetapi kegelapan itu tidak memahaminya. Terang hati dan niat jujur selalu menerangi kegelapan korupsi, tapi korupsi jalan terus karena terus gagal paham untuk jujur. Kegagalan-kegagalan inilah menjadi bukti natur manusia sebagai "aku manusia celaka", "aku lemah", "aku bersalah", bahkan jeritan "aku berdosa".
Dengan kesadaran ini harus selalu didengungkan pada setiap vokasi manusia apa pun itu. Artinya, pekerjaan apa pun, pejabat negara, pengusaha, wakil rakyat, atau masyarakat umum, mestinya selalu dalam kesadaran ini. Falsafah Jawa memiliki ungkapan eling lan waspada.
Ada keinsyafan, jeritan, permohonan yang mengiba, dan metanoia, sebagai pertobatan kepada Tuhan. Vokasi dijalani sebagai mekanisme pertobatan sekaligus panggilan Tuhan dalam pekerjaan dunia apa pun sehingga pertanggungjawabannya bukan pada manusia, pemerintah, penegak hukum saja, tetapi terutama kepada Tuhan.
Sinyal Transendensi
Metanoia setiap orang bisa berbeda-beda. Meminjam istilah Peter L Berger, kemungkinan pertobatan seseorang umumnya melalui sinyal-sinyal transendensi, Katanya ini adalah fenomena yang dapat ditemukan dalam ranah realitas alami kita, tetapi yang tampaknya menunjuk jauh melampaui realitas itu. Kita mengalami bak sebuah sinyal yang mendorong kita melampaui kesadaran saat ini dan berpikir lebih mendalam, lebih luas, dan lebih serius.
Pesan sinyal ada dua, yakni pertama, menciptakan kontradiksi bahwa apa yang kita percayai tampak salah dan bodoh. Hal ini mendorong kita menginginkan sebuah jawaban dan kerinduan lebih meyakinkan, mendalam, serta memadai dari apa pun yang kita percayai sebelumnya yang terbukti tidak memuaskan dan gagal.
Pendeknya, sinyal transendensi itu merujuk melampaui keyakinan lama dan mengarah pada keyakinan baru yang lebih dan harus benar agar sinyal itu membawa akhir yang memuaskan.
Jika manusia meletakkan hidupnya dalam sinyal seperti ini, apa pun yang dilakukan mungkin saja berpotensi korupsi tidak mungkin dierami dan mewujud menjadi tindakan korupsi. Hal ini karena ia melihat apa yang dilakukan dari kacamata lebih besar, lebih serius, dan lebih kekal. Sinyal transendensi mendorong orang mengutamakan yang abadi daripada yang fana.
Tindakan apa pun berpotensi korupsi menjadi tidak memuaskan ketika sinyal transendensi lebih memilih menjauhinya dan mendekati yang lebih benar, mutlak, dan memuaskan, yakni Tuhan. Ini dialami salah satu penyair Inggris paling berpengaruh menjelang Perang Dunia II, WH Auden. Bahkan, banyak yang menganggapnya "nabi" walau ia seorang atheis.
Ketika menonton film dokumenter kekejian perang invasi pasukan Storm Trooper ke Polandia membayonet wanita dan anak-anak, penonton malah bersorak, bunuh mereka, bunuh mereka. Dirinya tercekat dan hatinya tercerahkan, dari atheis berubah menjadi sangat yakin bahwa harus ada sesuatu mutlak dan absolut yang bisa mengadili, mengutuk, dan mengatakan bahwa itu kekejian, salah, dan berdosa.
Sudah banyak kasus korupsi terkuak dan diberitakan media semestinya sinyal transendensi kita juga makin menyala. Ada yang mengatakan ini sebagai petunjuk, isyarat, titik bingung, pergeseran adegan, epifani, impuls transenden, kehausan akan yang kekal, dan seterusnya. Intinya, kasus korupsi membuat tercekat, kita berpikir pasti ada sesuatu lebih dari kehidupan yang sekadar tersandung kasus demi kasus korupsi.
Dari sinilah kita mencari apa makna ini semua dari kacamata Tuhan. Bahwa tindakan korupsi itu salah dan berdosa, tentu saja membuat lebih waspada bahwa kita pun bisa tergoda dan jatuh dalam tindakan yang sama. Kewaspadaan ini membuat kita selalu merefleksikan apa yang dilakukan dalam tanggung jawab kepada Tuhan yang tidak terlihat.
Kita bukan hanya takut kepada-Nya, tetapi hal itu membimbing kita dalam posisi untuk tidak ada alasan melakukan perbuatan korup dibanding melihat kebaikan-Nya memberi hidup.
Penyair lain, yakni William Wordsworth, menyebutnya sebagai "kerinduan akan kekekalan". Auden menangisi kekejaman perang, kita meratapi setiap kasus korupsi agar tidak terulang kembali. Jangan ada lagi. Niat dan perilaku korupsi direformasi seperti John Calvin katakan, post tenebras lux, light after darkness. Hidup adalah ibadah yang menyenangkan hati Tuhan, karena Tuhan hadir dan melihat, Coram Deo, kata Bapak Reformasi Martin Luther.
Peneliti pada Center for National Urgency
Studies Jakarta
Setiap kasus korupsi terkuak semisal lewat operasi tangkap tangan (OTT) muncul kontradiksi nurani. Satu sisi bersuka ria karena upaya pemberantasan korupsi menunjukkan hasil, tetapi di sisi lain hal itu lagi dan lagi mencoreng wajah kita.
Sejak kita lantang meneriakkan transparansi dan tanggung jawab agar tidak korupsi, di titik itu juga ketidaktransparanan dan nir-tanggung jawab terus terjadi. Seperti ada sifat endemik ihwal tipu daya dalam kemanusiaan kita, benarkah kita semua adalah orang munafik? (Fool’s Talk, Os Guinness 2018)
Sebuah tindakan korupsi mengalami rasionalisasi sebagai alasan lain (kewajaran misalnya, walau menipu) dari alasan yang sebenarnya, kata Sigmund Freud. Dalam tiap urusan selalu ada motivasi eksternal, tapi juga "motivasi tersembunyi", kata Albert Camus, di mana motif korup disemai.
Penampilan luar jauh berbeda dengan dalamnya, korupsi tidak pernah terlihat seperti apa adanya. Ia selalu bertopeng, penuh tipuan. Transparansi yang sempurna tidaklah mungkin dan tanggung jawab sejati lebih mudah dihindari, kata Guinness lagi.
Natur Lemah
Dengan kata lain, betapa lemahnya manusia. Mungkin kita perlu menerapkan "hermeneutika kecurigaan" dan memiliki hidung tajam untuk mencium sebuah "omong kosong" dari perilaku kita yang berbenih koruptif. Tapi, kita menganggapnya remeh, kata filsuf Yale, Harry Frankfurt. Barulah ketika korupsi terkuak, tanpa merasa bersalah kita bergumam, "saya sudah punya firasat".
Terlambat! Kasus korupsi lagi dan lagi, sudah dan terus saja terjadi. Pengkhotbah cendekia yang meninggal muda Robert Murray M’Cheyne di usia 29 tahun pernah dipuji atas kesucian hidupnya oleh seorang perempuan pendengar ceramahnya. Tapi ia menukas, katanya, "Nyonya, jika Anda bisa melihat ke dalam hati saya, maka Anda akan meludahi saya." Kata peribahasa, dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa tahu?
Korupsi ialah soal kecenderungan hati. Lembaga pencegahan dan pemberantasan bagus, pendidikan antikorupsi dari keluarga dan sekolah sangat perlu, manajemen dan administrasi publik yang transparan, akuntabel, serta profesional mutlak. Tapi kalau kecenderungan hati sudah bengkok, korupsi terus saja mencari celah.
Salah satu Presiden Priceton University yang juga cendekiawan besar Amerika, Jonathan Edwards, pernah berujar tentang pentingnya afeksi, yakni suatu kondisi yang hidup dan intens dari kecenderungan (inclination ) hati dan kehendak.
Semua orang bisa korup, semua urusan bisa dikorupsi, maka kecenderungan hati dan kehendak harus hidup serta intens untuk menolak semua gejala, kemungkinan, percobaan korupsi, bahkan sejak dari keinginan hati dan niatan kehendak. Katanya lagi, kecenderungan ini tidak mungkin manusia melakukan untuk dan demi dirinya sendiri.
Artinya, manusia cenderung menolak korupsi bukan semata karena kesadaran dan kemampuan dirinya sendiri, ini tidak mungkin bisa, tapi harus ada sesuatu lebih besar yang dipercaya untuk disegani, dihormati, dan ditakuti manusia, dalam konteks ini: Tuhan. Semua kecenderungan hati dan kehendak harus tunduk pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dari kacamata Tuhan.
Pandangan ini bukan mengecilkan manusia, tetapi memilih risiko yang lebih kecil. Dari pada manusia meyakini bahwa dirinya mampu dan bisa tidak korup, tetapi bisa saja keyakinannya itu membuat takabur dan lupa sehingga justru yang korup dilakukan.
Sebaliknya, dengan memosisikan dirinya sebagai lemah dan rentan korup, seseorang selalu waspada dan membawa setiap urusannya pada hal-hal yang menjauhi korupsi. Tampaknya itu berakar dalam pandangan reformator Eropa John Calvin. Akal budi manusia yang membedakan baik dan jahat, menilai dan memahami, telah diperlemah dan rusak, ibarat bangunan puingnya berantakan.
Terang itu berjalan dalam kegelapan, tetapi kegelapan itu tidak memahaminya. Terang hati dan niat jujur selalu menerangi kegelapan korupsi, tapi korupsi jalan terus karena terus gagal paham untuk jujur. Kegagalan-kegagalan inilah menjadi bukti natur manusia sebagai "aku manusia celaka", "aku lemah", "aku bersalah", bahkan jeritan "aku berdosa".
Dengan kesadaran ini harus selalu didengungkan pada setiap vokasi manusia apa pun itu. Artinya, pekerjaan apa pun, pejabat negara, pengusaha, wakil rakyat, atau masyarakat umum, mestinya selalu dalam kesadaran ini. Falsafah Jawa memiliki ungkapan eling lan waspada.
Ada keinsyafan, jeritan, permohonan yang mengiba, dan metanoia, sebagai pertobatan kepada Tuhan. Vokasi dijalani sebagai mekanisme pertobatan sekaligus panggilan Tuhan dalam pekerjaan dunia apa pun sehingga pertanggungjawabannya bukan pada manusia, pemerintah, penegak hukum saja, tetapi terutama kepada Tuhan.
Sinyal Transendensi
Metanoia setiap orang bisa berbeda-beda. Meminjam istilah Peter L Berger, kemungkinan pertobatan seseorang umumnya melalui sinyal-sinyal transendensi, Katanya ini adalah fenomena yang dapat ditemukan dalam ranah realitas alami kita, tetapi yang tampaknya menunjuk jauh melampaui realitas itu. Kita mengalami bak sebuah sinyal yang mendorong kita melampaui kesadaran saat ini dan berpikir lebih mendalam, lebih luas, dan lebih serius.
Pesan sinyal ada dua, yakni pertama, menciptakan kontradiksi bahwa apa yang kita percayai tampak salah dan bodoh. Hal ini mendorong kita menginginkan sebuah jawaban dan kerinduan lebih meyakinkan, mendalam, serta memadai dari apa pun yang kita percayai sebelumnya yang terbukti tidak memuaskan dan gagal.
Pendeknya, sinyal transendensi itu merujuk melampaui keyakinan lama dan mengarah pada keyakinan baru yang lebih dan harus benar agar sinyal itu membawa akhir yang memuaskan.
Jika manusia meletakkan hidupnya dalam sinyal seperti ini, apa pun yang dilakukan mungkin saja berpotensi korupsi tidak mungkin dierami dan mewujud menjadi tindakan korupsi. Hal ini karena ia melihat apa yang dilakukan dari kacamata lebih besar, lebih serius, dan lebih kekal. Sinyal transendensi mendorong orang mengutamakan yang abadi daripada yang fana.
Tindakan apa pun berpotensi korupsi menjadi tidak memuaskan ketika sinyal transendensi lebih memilih menjauhinya dan mendekati yang lebih benar, mutlak, dan memuaskan, yakni Tuhan. Ini dialami salah satu penyair Inggris paling berpengaruh menjelang Perang Dunia II, WH Auden. Bahkan, banyak yang menganggapnya "nabi" walau ia seorang atheis.
Ketika menonton film dokumenter kekejian perang invasi pasukan Storm Trooper ke Polandia membayonet wanita dan anak-anak, penonton malah bersorak, bunuh mereka, bunuh mereka. Dirinya tercekat dan hatinya tercerahkan, dari atheis berubah menjadi sangat yakin bahwa harus ada sesuatu mutlak dan absolut yang bisa mengadili, mengutuk, dan mengatakan bahwa itu kekejian, salah, dan berdosa.
Sudah banyak kasus korupsi terkuak dan diberitakan media semestinya sinyal transendensi kita juga makin menyala. Ada yang mengatakan ini sebagai petunjuk, isyarat, titik bingung, pergeseran adegan, epifani, impuls transenden, kehausan akan yang kekal, dan seterusnya. Intinya, kasus korupsi membuat tercekat, kita berpikir pasti ada sesuatu lebih dari kehidupan yang sekadar tersandung kasus demi kasus korupsi.
Dari sinilah kita mencari apa makna ini semua dari kacamata Tuhan. Bahwa tindakan korupsi itu salah dan berdosa, tentu saja membuat lebih waspada bahwa kita pun bisa tergoda dan jatuh dalam tindakan yang sama. Kewaspadaan ini membuat kita selalu merefleksikan apa yang dilakukan dalam tanggung jawab kepada Tuhan yang tidak terlihat.
Kita bukan hanya takut kepada-Nya, tetapi hal itu membimbing kita dalam posisi untuk tidak ada alasan melakukan perbuatan korup dibanding melihat kebaikan-Nya memberi hidup.
Penyair lain, yakni William Wordsworth, menyebutnya sebagai "kerinduan akan kekekalan". Auden menangisi kekejaman perang, kita meratapi setiap kasus korupsi agar tidak terulang kembali. Jangan ada lagi. Niat dan perilaku korupsi direformasi seperti John Calvin katakan, post tenebras lux, light after darkness. Hidup adalah ibadah yang menyenangkan hati Tuhan, karena Tuhan hadir dan melihat, Coram Deo, kata Bapak Reformasi Martin Luther.
(nag)