Mewujudkan Pemilu Partisipatif

Kamis, 29 November 2018 - 07:07 WIB
Mewujudkan Pemilu Partisipatif
Mewujudkan Pemilu Partisipatif
A A A
M Addi Fauzani

Staf Bidang Etika dan Hukum, Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Islam Indonesia

Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 secara serentak akan diselenggarakan kurang lebih 5 (lima) bulan lagi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperkirakan jumlah pemilih sementara mencapai 186 juta orang.

KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi elemen sangat penting dalam penyelenggaraan pemilu. Kedua lembaga tersebut sebagai penyelenggara pemilu sangat berperan signifikan dalam mewujudkan demokrasi prosedural nan substansif diidam-idamkan di negara-negara demokrasi, salah satunya negara Indonesia.

Meskipun penyelenggara pemilu merupakan aktor utama dalam penyelenggaraan pemilu, mengesampingkan elemen masyarakat sipil (civil society ) dalam agenda demokrasi bukan suatu langkah bijak.

Hal ini didasarkan karena konsep demokrasi memang menghendaki partisipasi publik. Selain itu, keterbatasan sumber daya, para penyelenggara pemilu merupakan suatu alasan yang realistis untuk melibatkan civil society dalam penyelenggaraan pemilu.

Bahkan, partisipasi masyarakat dalam agenda demokrasi juga sangat penting sekaligus mendesak dibangun dan ditingkatkan. Hal ini untuk meyakinkan pesimisme terhadap demokrasi modern, seperti yang diungkapkan Walter Lippmann bahwa peranan publik atau masyarakat dalam teori demokrasi modern hanya sekadar "kawanan yang kebingungan ?, sebab masyarakat hanya sebagai "penonton" dan "bukan partisipan ".

Salah satu kegiatan yang dapat mengakomodasi partisipasi masyarakat sipil dalam agenda pemilu adalah kegiatan pemantauan pemilu. Partisipasi masyarakat melalui kegiatan pemantauan ini merupakan wujud perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dan anarkisme yang bisa merusak sendi-sendi demokrasi.

Untuk menyelaraskan arah gerak kegiatan pemantauan pemilu oleh masyarakat sipil, maka sejak reformasi 1998 digagas sebuah lembaga pemantauan dalam bentuk pemantau pemilu di Indonesia, meskipun sampai sekarang mengalami pasang surut.

Masalah Pemantau Pemilu

Pemantau pemilu sebagai wadah partisipasi masyarakat sipil masih tertatih-tatih dalam kegiatan pemantauan pemilu di Indonesia. Beberapa permasalahan yang menyebabkan hal tersebut terjadi di antaranya, yaitu pertama , kedudukan dan hubungan pemantau pemilu dengan Bawaslu cenderung ambigu.

Hal ini terbukti dengan kedudukan pemantau pemilu yang menjadi subordinat dari Bawaslu. Hal ini disebabkan mekanisme akreditasi dan pencabutan akreditasi yang hanya dilakukan Bawaslu. Padahal pemantau pemilu seharusnya merupakan lembaga independen yang hidup matinya bukan berada di tangan Bawaslu.

Kedua , minimnya antusiasme masyarakat untuk ikut serta menjadi pemantau pemilu. Sejak Pemilu 1999 sampai dengan pemilu mendatang, terjadi penurunan drastis, yaitu dari jumlah 103 pemantau pemilu hingga hanya 17 lembaga yang baru terakreditasi saat ini.

Hal ini disebabkan keterbatasan dana untuk biaya operasional memantau pemilu. Selama ini biaya pemantauan seluruhnya dibebankan pada lembaga pemantau pemilu tanpa bantuan dari negara.

Ketiga, output pemantauan yang cenderung tidak efektif untuk mencegah pelanggaran pemilu. Hal ini diduga karena paradigma yang kurang progresif sehingga pemantau pemilu sebatas dimaknai sebagai lembaga pengumpul informasi dan pemberi nilai.

Tidak adanya tugas yang diamanahkan pada lembaga pemantau pemilu untuk menjadi aktor pencegah potensi pelanggaran pemilu, memicu pemantau pemilu hanya semacam agen pengawas pemilu.

Restrukturisasi Pemantau Pemilu

Sebagai langkah pembenahan terhadap konsep pemantau pemilu yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilu kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bawaslu Nomor 4/2018, maka perlu restrukturisasi pemantau pemilu.

Restrukturisasi dilaksanakan melalui gagasan penerapan konsep institutional partnership antara pemantau pemilu dengan penyelenggara pemilu. Prinsip institutional partnership diterapkan dengan mendudukkan pemantau pemilu sebagai lembaga yang bermitra dengan penyelenggara pemilu.

Selaras dengan hal tersebut, Ronald W MzQuaid menyatakan, prinsip institutional partnership berorientasi pada upaya saling menciptakan manfaat bersama. Konsep ini telah diterapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-VI/2006 yang membangun desain hubungan kelembagaan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung berbasis kemitraan (partnership ). Karena itu, sangat memungkinkan apabila diterapkan untuk membangun hubungan antara pemantau pemilu dengan penyelenggara pemilu.

Berkaitan dengan penerapan gagasan itu, maka terdapat dua langkah konkret yang harus dilakukan; pertama , struktur dan hubungan kelembagaan pemantau pemilu perlu ditata ulang.

Lembaga pemantau yang ingin menjadi pemantau pemilu cukup mendaftarkan dirinya tanpa akreditasi. Akreditasi hanya diperlukan untuk mendapatkan hak pendanaan, bukan syarat menjadi pemantau pemilu. Kewenangan akreditasi dan pencabutan akreditasi tidak hanya diberikan pada Bawaslu, tetapi dengan membentuk panitia akreditasi ad hoc dari perwakilan semua penyelenggara pemilu.

Kedua, negara perlu mengalokasikan dana operasional bagi pemantau pemilu yang telah terakreditasi. Dana ini tidak bersifat "harus" atau "wajib" diberikan negara, melainkan "dapat".

Hanya pemantau pemilu yang mengikuti tahapan akreditasi saja mendapat akses terhadap pendanaan dari negara. Hal ini juga tidak harus diakses pemantau pemilu yang bersangkutan, mengingat dana tersebut merupakan hak bagi pemantau pemilu yang dapat diambil atau tidak. Oleh karena itu, ke depan perlu merevisi Undang-Undang tentang Pemilu beserta peraturan pelaksananya, yaitu peraturan Bawaslu tentang pemantauan pemilu sesuai dengan konsep institu t ional partnersihp demi mewujudkan pemilu yang partisipatif.

(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7371 seconds (0.1#10.140)