Rasionalitas Pendirian Fakultas Kelapa Sawit

Senin, 26 November 2018 - 08:34 WIB
Rasionalitas Pendirian Fakultas Kelapa Sawit
Rasionalitas Pendirian Fakultas Kelapa Sawit
A A A
Nurkhamid Alfi
Profesional di Sektor Power,
Pernah Bekerja pada Group Perusahaan Sawit,
dan Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta

PADA kesempatan peresmian masjid Universitas Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur, tanggal 19 November 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengimbau perguruan tinggi membuka fakultas kelapa sawit. Fakultas itu nanti mengkhususkan studi pendalaman yang lebih komprehensif dengan dukungan laboratorium dan riset yang memadai tentang perkelapa-sawitan dari hulu sampai hilir. Dengan begitu, akan menambah produktivitas sawit dan berbagai hasil turunannya. Hal ini menurut Jokowi bernilai strategis pada kemudian hari karena potensi Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan lahan sebanyak 14 juta hektare masih belum maksimal.

Produksi CPO (crude palm oil) Indonesia pada 2017 adalah 38,17 juta ton dan PKO (minyak inti sawit) 3,05 juta ton sehingga total produksi adalah 41,98 juta ton (GAPKI/2018). Terbesar di dunia. Sementara terbesar kedua adalah Malaysia dengan total produksi pada tahun yang sama sebesar 19,7 juta ton, tetapi secara rendemen (yield) mulai dari hasil TBS (tandan buah segar), mutu CPO, maupun produk utama berupa minyak goreng serta produk turunannya, Indonesia kalah jauh dari Malaysia.Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian pada 2017, jumlah TBS yang dihasilkan lahan di Indonesia baru 4 ton per hektare, kalah jauh dari Malaysia yang mencapai 10–12 ton per hektarenya. Karena itu, ketika Jokowi menunjuk luas lahan yang saat ini ditanami kelapa sawit adalah 14 juta hektare, maka seharusnya produksi kita jauh lebih besar dari yang dicapai saat ini. Dari kondisi ini bisa dibayangkan puluhan triliun rupiah terbuang akibat rendahnya produktivitas.
Lebih dari itu, prospek ke depan dunia perkepala-sawitan Indonesia sangat cerah. Hal ini karena pohon kelapa sawit hanya bisa tumbuh di iklim tropis, tidak bisa tumbuh di Amerika dan Eropa. Sementara kebutuhan minyak makan dan produk turunannya terus berkembang sesuai dengan jumlah perkembangan populasi manusia. Di sinilah letak rasionalitasnya mendirikan fakultas kelapa sawit yang diusulkan Jokowi.

Studi dari Hulu ke Hilir

Pemerintah telah memasukkan kelapa sawit sebagai industri strategis nasional karena kontribusi terhadap perekonomian nasional sangat tinggi. Tercatat total nilai ekspor produk sawit pada 2017 sebesar 239 triliun yang merupakan terbesar dan lebih besar dari sektor minyak dan gas. Dalam sektor ketahanan energi, penerapan kebijakan mandatori biodiesel (Agustus 2015 s/d 30 Juni 2018) menciptakan penghematan devisa sebesar USD2,52 miliar. Dari segi tenaga kerja, kebun industri mampu menyerap 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga tidak langsung. Sedangkan untuk petani swadaya mampu menyerap 4,6 juta orang. Dari jasa pendukung, kelapa sawit telah memberikan efek domino luar biasa bagi pengembangan jasa keuangan dan asuransi, transportasi dan logistik, maupun pelabuhan.

Industri kelapa sawit terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) juga mempunyai kaitan kuat. Hal itu berdasarkan hasil analisis kuantitatif yang dilakukan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI). Hasil riset menunjukkan dari 10% kenaikan jumlah lahan dari perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap 0,05% penurunan tingkat kemiskinan dan berpengaruh sebesar 0,02% dalam menurunkan tingkat pengangguran. Selain itu, juga 0,03% peningkatan jumlah lulusan sekolah menengah atas, sebesar 0,12% peningkatan konsumsi non-makanan, serta sebesar 0,21% peningkatan akses air bersih.

Kita membayangkan, fakultas kelapa sawit nanti akan mempunyai jurusan-jurusan yang mendalami sektor-sektor seperti yang diinginkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Pertama, sektor hulu (up-stream sector). Studi dan riset sektor ini akan meliputi penelitian bibit unggul dengan rendemen tinggi dan proses penanaman serta penerapan teknologi pertanian. Peningkatan produktivitas kelapa sawit akan berawal dari titik ini di kebun. Kedua, sektor pengolahan kelapa sawit (intermediate sector), yakni proses teknologi dari TBS menjadi CPO. Proses ini sangat krusial karena umur TBS untuk bisa diproses hanya maksimal 24 jam.Diharapkan selama pemrosesan kandungan gizi dan vitamin yang ada pada CPO tidak tereduksi. CPO merupakan minyak kelapa sawit mentah berwarna kemerah-merahan diperoleh dari hasil ekstraksi daging buah kelapa sawit segar (TBS). Dengan warnanya yang merah itu, maka CPO kaya akan karotene (pro-vitamin A) yang tinggi, termasuk alfa-karotena, beta-karotena, dan likopen. Total kandungan karotena adalah sekitar 500-700 ppm. CPO juga kaya akan pro-vitamin E berupa tokoferol dan tokotrienol serta fitosterol dan gikolipid.
Ketiga, sektor hilir sawit (down-stream sector). Sektor ini lebih pada studi dan pengembangan industri modern proses pengolahan CPO menjadi produk jadi atau setengah jadi. Telah diketahui tentang bagaimana Indonesia sebagai negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, tetapi tidak mempunyai engineering basis & design engineering pada tataran bisnis pengolahan modern. Untuk menciptakan adding value, tidak seharusnya CPO diekspor dalam bentuk raw material, tetapi harus diolah dahulu di dalam negeri menjadi produk jadi atau setengah jadi. Dari studi ini akan memperkuat proses industri di berbagai macam bidang, termasuk bidang industri pangan, oleokimia komplex, industri bio-energy, bio-surfactant, bio-lubricant, dan lainnya.

Di sektor hilir ini pun membutuhkan pengembangan melalui riset laboratorium produk-produk baru berbasis kelapa sawit. Perlu diteliti bagaimana cara mengolah minyak goreng sawit yang lebih sehat dengan kandungan vitamin tinggi. Secara teori, karotene dan vitamin lainnya hanya tahan melalui pemrosesan pada suhu maksimal 200 derajat celsius. Selanjutnya vitamin akan menguap dan terbuang jika suhu proses lebih tinggi dari suhu maksimal tersebut.

Sementara itu, proses penyulingan (refinery) untuk memisahkan olein (minyak goreng) dengan asam lemak bebas (free fatty acid) saat ini masih menggunakan teknologi suhu tinggi sampai 260 derajat celsius. Akibatnya, vitamin yang terkandung di dalam CPO habis menguap. CPO dengan kandungan karotene lebih dari 500 ppm yang ditandai warna merah ketika menjadi minyak goreng berubah putih pucat dengan kandungan karotene-nya tidak lebih dari 50 ppm. Hal ini sangat merugikan, baik secara ekonomis maupun kesehatan. Karotene yang berwarna merah itu jika berhasil diekstraksi akan mampu mengganti beta-karotene sintetik yang mahal harganya.

Dengan riset mendalam, suatu saat nanti mungkin ditemukan sebuah teknologi nonkonvensional yang mampu memproduksi minyak goreng kelapa sawit dengan suhu rendah sehingga mampu mempertahankan unsur karotene 500 ppm dan pro-vitamin E. Dengan demikian, kandungan gizi minyak goreng sawit akan mampu mengalahkan minyak kedelai di Amerika dan atau minyak bunga matahari di Eropa. Dominasi minyak kelapa sawit akan semakin tinggi terhadap kebutuhan minyak makan dunia.

Memang telah ada sebuah lembaga pengembangan kelapa sawit, tetapi masih perlu dukungan akademisi untuk memperluas dan memperdalam cakupan. Bila Indonesia serius menjadikan industri kelapa sawit sebagai industri strategis, maka membangun riset dan pengembangan (R&D) dengan melibatkan perguruan tinggi adalah sebuah keharusan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4440 seconds (0.1#10.140)