Iman yang Menyejarah

Jum'at, 23 November 2018 - 07:33 WIB
Iman yang Menyejarah
Iman yang Menyejarah
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
DARI mana seseorang mengenal dan meyakini sebuah iman? Lalu apakah dampak riil dari iman seseorang dalam panggung sejarah? Dua pertanyaan itu mengawali buku saya yang terbit November 2018 ini yang berjudul Iman yang Menyejarah.
Saya memulai dengan membaca perjalanan hidup yang saya jalani. Pertama, setiap orang terlahir dan tumbuh tidak saja diasuh oleh orang tuanya, melainkan juga disambut dan diasuh oleh budayanya. Kalau kita menemukan masyarakat berbeda bahasa, budaya, agama, dan iman, hal itu logis saja karena sejak lahir yang berperan sebagai pengasuh budaya, bahasa, dan agama memang berbeda-beda.

Dengan kata lain, kita semua ini adalah anak kandung tradisi dan tidak bisa keluar dari rumah tradisi sekalipun kita bisa saja mengkritisi tradisi. Tradisi yang paling fenomenal adalah bahasa ibu, sedangkan dalam bahasa terkandung nilai-nilai yang sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang, termasuk paham dan perilaku keberagamaannya.
Bayi terlahir dan tumbuh dengan modal natur atau insting, lalu tumbuh bertemu dengan asuhan kultur. Natur adalah sebuah insting yang melekat sebagai bawaan primordial, bukan produk sekolahan, sedangkan kultur adalah produk pendidikan, pembiasaan, dan budaya. Misalnya saja mulut bersuara itu natur, tetapi ketika berbahasa itu kultur.
Naluri untuk makan dan minum itu natur, tetapi mengapa lidah orang Jawa senang masakan gudeg, misalnya, itu adalah pengaruh kultur. Lalu apakah iman itu merupakan natur atau insting bawaan? Dalam ranah psikologi paling jauh hanya bisa dinyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat the will to believe, dorongan untuk mencari dan percaya adanya sang Adikuasa, yang mengatasi kekuatan dirinya dan alam semesta.

Dorongan itu pada urutannya melahirkan kepercayaan pada kekuatan gaib dan mitos-mitos. Dorongan untuk percaya pada kekuatan Adikuasa itu didorong rasa takut ketika melihat dirinya kecil di tengah belantara semesta yang akbar dan sekali-sekali mendatangkan tragedi. Di sisi lain, orang merasa kagum dan terpesona ketika manusia menyaksikan keindahan alam semesta ini sehingga muncul keyakinan bahwa pasti ada maha-disainer yang mahahebat.

Didorong rasa takut dan kagum pada keindahan dan misteri semesta, masyarakat primitif memercayai banyak dewa yang menguasai hidup manusia. Namun ketika logos berkembang dan melahirkan sains modern, mitos-mitos itu berguguran, bahkan banyak pemikir modern yang kemudian tidak percaya kepada dewa-dewa, bahkan tidak percaya kepada Tuhan, karena semua kebutuhan hidupnya merasa bisa terpenuhi tanpa melibatkan Tuhan. Jasa sains dan teknologi dirasakan dan diyakini lebih besar dalam menyelesaikan beban hidup ketimbang para dewa dan Tuhan.

Dalam kajian tasawuf terdapat keyakinan bahwa manusia itu memiliki dimensi dan kekuatan rohani yang terpancar dari roh yang ditiupkan Tuhan ke dalam diri manusia. Sebelum masuk ke jasad, roh itu sudah bersaksi atau bersyahadat tiada apa pun dan siapa pun yang mau disembah kecuali Dia Yang Maha-absolut yang disebut Allah.

Jadi sesungguhnya benih iman kepada Tuhan itu sudah bersemayam dan hidup dalam diri setiap manusia, tetapi banyak yang lupa, terkalahkan oleh nafsu jasmani dan nafsani. Roh yang pada dasarnya sudah membawa iman itu tetutup (covered), orangnya disebut kafir. Lalu Tuhan mengirimkan Rasul-Nya sebagai juru pengingat karena manusia mengalami amnesia eksistensial.

Penutup dan penghambat pertumbuhan iman agar selalu terhubung dengan Tuhannya sebagai sumber cahaya itu banyak ragamnya. Bisa jadi sikap sombong atau Fir'aunisme yang merasa dirinya serbahebat tak lagi memerlukan Tuhan. Mungkin juga tertutup oleh kebodohannya atau bisa juga terkurung oleh hegemoni budaya yang atestik.

Dalam konteks masyarakat modern, hegemoni kapitalisme yang dibangun di atas fondasi rasionalisme-positivisme sangat intensif dan ekstensif menghalangi tumbuhnya benih dan pohon iman dalam diri seseorang dan ranah sosial. Kehidupan sosial lalu tersekulerkan, oksigen dan energi iman tidak mengalir ke seluruh sendi dan denyut kehidupan.

Di abad tengah, kekuatan dan cahaya iman itu telah menorehkan jejak-jejaknya dan meletakkan fondasi moralitas berbasis spiritual dalam kehidupan sosial. Monumen gereja, candi, masjid, dan kuil, misalnya, merupakan prasasti betapa kuatnya iman ikut mengarahkan jalannya sejarah.

Iman dan budaya saling menopang, bagaikan hubungan roh dan jasad. Ketika roh iman telah hilang, jasad berubah jadi mayat. Kini roh iman digantikan oleh software kapitalisme-materialisme yang selalu mengejar pertumbuhan, manusia menjadi desiring machine yang mengejar kepuasan pribadi tanpa memedulikan prinsip keadilan dan pemerataan.

Kapitalisme mengondisikan masyarakat modern bagaikan berlari di atas papan treadmill, secepat apa pun dia berlari tetap saja berada di tempat yang sama. Ketika income meningkat, berapa pun besarnya, kebutuhan yang lebih besar sudah menghadang di depannya, hidup tak pernah terpuaskan, dan lama-lama akan menemui kelelahan dan kehampaan ketika menginjak garis finis, mungkin seperti yang terjadi pada Freddie Mercury dalam film Bohemian Rhapsody.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4219 seconds (0.1#10.140)