Pemimpin yang Cerdas Beriman

Kamis, 22 November 2018 - 07:36 WIB
Pemimpin yang Cerdas Beriman
Pemimpin yang Cerdas Beriman
A A A
Fajar S Pramono Alumnus Fakultas Pertanian UNS

DALAM buku Pemimpin yang "Tuhan" (2018), Emha Ainun Nadjib menulis: Pemimpin yang paling berbahaya bagi rakyatnya adalah pemimpin yang semua orang tidak mengemukakan kebenaran kepadanya, baik karena takut, kepentingan untuk menjilat, maupun karena sikap kemunafikan. Ketika pemimpin ini bertelanjang bulat pun, bawahannya membungkuk dan bilang, "Jas dan dasi Bapak bagus sekali."
Sikap yang ditunjukkan para pengikut pemimpin itulah yang menjadikan si pemimpin—sadar atau tidak sadar—menjadi "Tuhan". Ia tidak pernah merasa salah. Ia selalu merasa baik. Merasa keputusannya paling tepat dan merasa seluruh pilihan sikapnya adalah kearifan serta kebijaksanaan. Tapi tentu saja, semua itu hanya ada di dalam pandangannya sendiri dan pandangan para pengikut fanatiknya. Bahkan, ketika pengikut yang merangkap sebagai "penjilat" itu pun tahu bahwa si pemimpin salah. Bahwa keputusan si pemimpin tidak tepat. Bahwa kepemimpinannya jauh dari sikap arif dan bijaksana.Jadi, pemimpin yang "Tuhan" itu bisa lahir dari dua sisi: dari sifat dasar kejemawaan yang sudah mendarah daging sebagai karakter dasar diri atau tercipta akibat "pengondisian" secara tidak langsung oleh para pengikutnya sebagaimana disampaikan Emha di atas.Namun pasti, keduanya sangat berbahaya bagi kehidupan sebuah individu atau organisasi. Jika ia wakil rakyat, maka aspirasi yang mengemuka sesungguhnya merupakan aspirasi pribadinya. Jika ia pemimpin partai, maka partai yang dipimpinnya tak lebih dari sebagai alat representasi dan aktualisasi ambisinya sendiri. Jika ia pemimpin negara, maka bisa jadi negara ini akan dibawa sesuka sang pemimpin memimpin, tanpa arah yang jelas, dan si pemimpin tidak pernah tahu apakah negara yang dipimpinnya sedang menuju pada kualitas negara lebih baik atau justru berjalan mundur dan menuju kehancuran.Tentu akan jauh lebih berbahaya jika ia adalah pemimpin agama. Loyalitas dan (kadang-kadang) taklid buta yang banyak diamini para pengikut agama bisa menjadikan prinsip dan aktivitas keagamaan, yang mereka lakukan justru menuju pada kesesatan ketika seseorang sudah ditasbihkan menjadi pemimpin berlaku seperti "Tuhan".

Maka itu, sudah selayaknya kita harus bisa mencari pemimpin yang "manusia" namun memiliki kecerdasan ekstra berupa "kecerdasan beriman".

Beyond Spiritual AgilityApa itu kecerdasan beriman? Porat Antonius, Master of Arts bidang Manajemen Informasi lulusan Newcastle University yang juga staf pengajar di Universitas Nusa Cendana Kupang menulis buku Vertikalitas Otak dan Peringkat Humanitas Manusia (2018). Secara bernas ia "menggugat" hakikat manusia sebagai homo sapiens , homo religiosus , homo faber , homo economicus , homo narrans , homo homini lupus , dan homo deus .Dalam hierarki jenis kecerdasan manusia, Porat memperkenalkan satu jenis kecerdasan baru. Jika selama ini kita mengenal hierarki konsep kecerdasan manusia berupa kecerdasan rasional, kecerdasan multiple intelligences , kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual, maka Porat memperkenalkan satu jenis kecerdasan yang berada satu level di atas kecerdasan spiritual. Itulah "kecerdasan beriman".
Persis sebagaimana ditulis dalam pengantar bukunya, pertanyaan yang akan segera muncul adalah: apa esensi distingtif antara kecerdasan spiritual dan kecerdasan beriman? Atas pertanyaan itu, Porat menjelaskan secara sederhana bahwa kecerdasan spiritual berkaitan dengan makna dan nilai-nilai dunia, manusia, dan tujuan hidup manusia di dunia. Sementara kecerdasan beriman merupakan kecerdasan bersifat vertikal. Membangun relasi dengan Tuhan. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa kesadaran beriman yang menjadi dasar kecerdasan beriman lahir dari kepatuhan dan ketaatan kepada Tuhan. Dalam bahasa Porat, manusia sesungguhnya hanya pantulan dari kebenaran asli yang berasal dari Tuhan karena sumber kebenaran sejati adalah Tuhan sendiri.Dalam kerangka tersebut, kebenaran pada manusia tidak lebih dari sekadar serpihan cahaya kebenaran yang tertangkap sesuai keterbatasan manusia. Jadi, secara pendek kata, kecerdasan beriman merupakan kecerdasan lanjutan dari kecerdasan spiritual.Masih menurut Porat, kecerdasan beriman mengandung empat makna keterkaitan. Pertama , kecerdasan beriman merupakan kecerdasan untuk memahami apa yang menjadi kehendak Tuhan atas manusia dan atas dunia. Kedua , kecerdasan beriman merupakan kecerdasan untuk memahami kehendak Tuhan atas tujuan hidup manusia dan tujuan dunia. Ketiga , kecerdasan beriman juga berhubungan dengan kapasitas tanggung jawab manusia dalam memelihara dunia dan memelihara kehidupan manusia sendiri sesuai tujuan yang dikehendaki Tuhan. Keempat , kecerdasan beriman merupakan kecerdasan berdialog interaktif dengan Tuhan yang tak terlihat secara kasatmata.Kecerdasan beriman seperti itulah pada akhirnya akan mampu meningkatkan derajat humanitas manusia ke dalam dua pengertiannya: Pertama , manusia dapat memahami dunia, dirinya, dan orang lain secara otentik sesuai desain dunia pada awal mula. Kedua , manusia tidak takut akan apa yang disebut dengan kematian karena manusia tidak bisa menghindarinya. Seseorang yang cerdas beriman justru akan menghadapi kematian itu dengan suka hati karena memahami secara terang benderang bahwa kematian adalah konsekuensi dari hidup sebagai insan Tuhan.Dalam konteks kepemimpinan dan situasi menjelang "perebutan kekuasaan" sebagai pemimpin negeri, postulat Parot ini menjadi sangat menarik sekaligus relevan. Menarik karena jika kita memahami bahwa kecerdasan beriman adalah level tertinggi jenis kecerdasan yang dimiliki manusia, maka sudah seyogianya kecerdasan beriman ini menjadi salah satu kriteria harus dimiliki pemimpin dan para calon pemimpin. Relevan karena negeri kita yang sarat dinamika politik dan pemerintahan ini tampaknya memang membutuhkan pemimpin cerdas secara rasional, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.Kita juga membutuhkan pemimpin yang tidak pernah takut akan "kematian kekuasaan", karena ia sadar bahwa kekuasaan kepemimpinan adalah amanah penuh ujian dan ia layak diestafetkan kepada siapa saja diyakini mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Bagi pemimpin dengan kecerdasan beriman, kekuasaan kepemimpinan bukanlah sesuatu yang harus direbut atau dipertahankan mati-matian dengan penghalalan segala cara, manakala ia atau lawan politiknya diyakini sama-sama berpikir tentang pengabdian pada bangsa negara dan kerangka keimanan kepada Tuhan.Tanpa perlu merasa menjadi "Tuhan", siapa pun pemimpin kita mutlak cerdas beriman. Kecerdasan ini akan membuatnya senantiasa ingat apa tujuan hidup manusia dan ke mana tujuan dunia global yang melingkupi negeri kita sehingga apa yang dilakukan serta diputuskannya benar-benar bersumber dari kemampuannya memahami kebenaran versi Tuhan. Bukan versi para pembisiknya, versi partai pendukungnya, atau versi rakyat yang mengelu-elukannya.

Tidak Mudah

Pertanyaan berikutnya, apakah mudah mengetahui dan mendapatkan pemimpin yang telah memiliki kecerdasan hingga level kecerdasan beriman ini? Tentu tidak. Pemimpin dan calon pemimpin sering kali tak bisa terbaca langsung gestur dan karakteristik aslinya, jika kita hanya melihat profil diri mereka saat ini saja. Karakter kecerdasan itu layaknya kompetensi. Ia selalu muncul dalam frekuensi tinggi dan dalam periode yang lama. Tidak bisa dilihat secara instan, apalagi pada saat ini banyak konsultan personal branding yang bisa menyulap penampilan dan citra para pemimpin di depan publik dalam waktu singkat.Belum lagi jika kita ingat bahwa kita hidup di era teknologi yang bukan saja berkontribusi positif bagi kehidupan politik kita, tapi secara berimbang juga berkontribusi negatif melalui teknologi manipulatif demi penyesatan opini. Hoaks, jual beli akun dan follower , dan bisnis key opinion leader (KOL), menjadi sarana subur bagi pemutarbalikan fakta dan propaganda berbahaya.Maka itu, ketika kita berharap bahwa Indonesia akan dipimpin oleh pemimpin yang cerdas beriman, maka sesungguhnya tuntutan itu juga kembali kepada kita: rakyat dan para pemilihnya. Seperti juga ketika kita menuntut pemimpin bersih, maka yang pertama harus kita lakukan adalah menengok kepada diri kita sendiri: sudahkah kita bersih?Kejelian, sensitivitas, feeling , dan insting yang kita gunakan akan menghasilkan kesimpulan pengamatan dan analisis yang benar jika kita secara paralel juga belajar menjadi manusia sesuai dengan idealitas. Seseorang yang tak mampu menghilangkan timbunan rasa dengki sebelum mengamati, tak akan pernah bisa objektif dan menerima bahwa orang di hadapannya adalah orang baik dan jernih hati. Sebaliknya, seseorang yang memiliki kejernihan hati akan mampu melihat bahwa orang di hadapannya adalah orang yang sekadar berpura-pura baik, semata agar dikagumi, dan dalam konteks kepemimpinan: diakui sebagai pemimpin berbudi.Karena itu, pekerjaan rumah kita jelas: mari tingkatkan kecerdasan kita ke arah kecerdasan beriman agar tak salah pilih ketika kita menginginkan pemimpin dengan tingkat kecerdasan yang paripurna.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5483 seconds (0.1#10.140)