Memacu Kualitas Pertumbuhan Ekonomi

Senin, 19 November 2018 - 08:32 WIB
Memacu Kualitas Pertumbuhan Ekonomi
Memacu Kualitas Pertumbuhan Ekonomi
A A A
Ahmad Erani Yustika
Staf Khusus Presiden, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya

IDEOLOGI per­tum­buhan ekonomi te­lah menjadi “aga­ma” baru pem­ba­ngunan sejak dekade 1950-an, terutama dipicu oleh tulisan para ekonom beken masa ter­se­but, seperti Harrod-Domar, Ros­tow, dan lain-lain. Per­tum­buhan ekonomi menunjukkan akumulasi ekonomi (misalnya per­tambahan barang/jasa) yang dicapai oleh suatu negara pada kurun waktu tertentu (bia­sanya diukur setiap tahun).

Jika ekonomi suatu negara ber­ge­rak, hal itu mesti dilapisi dengan fakta adanya pertumbuhan eko­nomi (yang tinggi). Para pe­mimpin negara di dunia merasa sudah puas apabila data per­tum­buhan ekonomi menun­juk­kan perbaikan, tidak peduli apakah data-data lain menun­juk­kan perubahan serupa. Sejak saat itu, setiap negara ber­pa­cu menggapai pertumbuhan ekonomi demi mendapatkan predikat kemajuan ekonomi.

Pandangan itu tidaklah se­penuhnya keliru karena setiap negara harus bergegas meng­ge­rakkan aktivitas ekonomi, se­per­­ti pembuatan barang/jasa agar kemakmuran warga di­per­oleh. Sederhananya begini. Jika terjadi pembuatan barang/jasa, baik yang dilakukan oleh indi­vi­du (rumah tangga) atau kor­po­rasi, itu sama halnya dengan mun­culnya investasi.

Produksi barang/jasa, di sisi permintaan (demand), berarti membuka lapangan pekerjaan. Tenaga kerja bisa bekerja dan memperoleh upah. Di sisi lain, investasi me­nam­bah barang/jasa (pasok­an/ sup­ply) yang mengandaikan ada­nya pembelian di pasar sehingga korporasi men­da­pat­kan laba dan konsumen membelanjakan pen­dapatannya. Ekonomi akan terus bergulir dengan pola itu.

Indonesia juga mengadopsi hal tersebut sejak dekade 1960-an. Desain ekonomi dikerjakan untuk memenuhi target per­tum­buhan ekonomi dan pe­ning­katan pendapatan per ka­pita. Indonesia juga merupakan ki­sah sukses negara yang ber­hasil mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Bahkan, pada dekade 1990-an Indonesia di­go­longkan sebagai Macan Asia oleh Bank Dunia karena pen­ca­paian pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara terus-me­ne­rus.

Tapi, krisis ekonomi besar pada medio 1997/1998 me­nya­dar­kan banyak pihak, termasuk Indonesia, bahwa pertum­buh­an ekonomi bukanlah segala­nya. Bahkan, jika tidak cermat, pertumbuhan ekonomi men­jadi musabab dari banyak ben­ca­na sosial ekonomi lainnya. Sekurangnya terdapat tiga kelemahan dari target tunggal pertumbuhan ekonomi.

Per­ta­ma, pertumbuhan ekonomi me­nyembunyikan data ketim­pang­an, kemiskinan, dan peng­angguran. Bisa terjadi, per­tum­buhan ekonomi tinggi, tapi yang mendapatkan nisbah eko­nomi hanya segelintir pelaku ekonomi. Hasilnya, pem­ba­ngun­an menjadi timpang dan kedap terhadap penurunan ke­mis­kinan maupun peng­ang­gur­an.

Kedua, pertumbuhan eko­nomi kerap tidak meng­hi­tung kegiatan ekonomi rakyat (ekonomi informal) sehingga tidak menggambarkan kese­lu­ruhan aktivitas ekonomi suatu negara, khususnya di negara berkembang. Ketiga, per­tum­buh­an ekonomi biasanya di­ikuti oleh destruksi lingkungan, terutama di negara yang kaya sumber daya alam (SDA). Jika erosi SDA dimasukkan, boleh jadi yang berlangsung adalah defisit pertumbuhan ekonomi.

Hari-hari ini, kurang lebih isu pertumbuhan ekonomi yang kurang tinggi tersebut yang mun­cul ke permukaan. Kritik itu pada umumnya masih ber­ki­sar pada realisasi per­tum­buhan ekonomi yang tidak se­suai de­ngan target. Tentu saja itu hal lum­rah dan boleh saja di­la­ku­kan.

Namun, perlu juga di­pa­ha­mi bahwa dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi harus di­cermati hubu­ngan­nya dengan variabel lain, misalnya, peng­aruhnya ter­hadap kemis­kin­an, pengang­gur­an, dan ke­tim­pangan; se­per­ti yang di­sam­paikan di atas. Hal ini perlu dimengerti karena per­tum­buh­an ekonomi bukanlah indikator tunggal untuk me­ng­ukur ke­ma­juan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi se­jak 2015-2018:II memang ter­da­pat selisih dari target yang di­tetapkan pada RPJMN 2015-2019. Tetapi, siklus pertum­buh­an ekonomi memang se­dang memasuki perlambatan se­jak akhir 2014, setelah men­ca­pai puncak pada 2011. Pada 2011 pertumbuhan ekonomi masih 6,49% dan menurun men­jadi 6,23% pada 2012.

Per­tumbuhan 5% mulai masuk sejak 2013 dan mencapai 4,88% pada 2015. Setelah mencapai titik terendah pada 2015, eko­no­mi kembali tumbuh di atas 5% dan mencapai angka ter­ting­gi pada Triwulan II-2018 se­be­sar 5,27%. Pada 2018 sendiri target di APBN adalah 5,3% se­hingga jika pada 2018 ini ter­ca­pai pertumbuhan 5,2% maka selisihnya hanya 0,1%. Ban­ding­kan dengan 2013 dan 2014 yang selisih antara target dan realisasi mencapai 1,0-1,1%.

Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, pen­ca­paian pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meyakinkan. Pada 2015-2017, ekonomi In­do­­nesia tumbuh pada kisaran 5%, sedangkan Thailand 3,4% dan Singapura 2,73%. Per­tum­buhan tertinggi dicapai oleh Malaysia dan Filipina rata-rata 5,03% dan 6,57%. Pada Tri­wu­lan II-2018, Indonesia mampu tumbuh hingga 5,27%, Malay­sia 4,5%, Singapura 3,9%, dan Thailand 4,6%.

Pertumbuhan In­do­nesia memang di bawah dari Filipina (6%). Namun, in­fla­si nasional jauh lebih ren­dah dari Filipina. Pada Triwulan II-2018, misalnya, inflasi di Indonesia ha­nya 3,12%, se­dang­kan Fili­pi­na mencapai 4,8% (Bank In­do­nesia, 2018). Ini menandakan Indonesia ber­ada dalam orbit utama ekonomi regional dan global dalam soal per­tumbuhan ekonomi ter­sebut.

Di luar itu, perlu disadari pula bahwa siklus ekonomi na­sional tidak terlepas dari per­ge­rakan ekonomi global. Pada 2010, ekonomi global masih tumbuh 5,4% dan kemudian turun menjadi 4,1% pada 2011. Sepanjang 2012 hingga 2014, pertumbuhan ekonomi global bergerak pada level 3,3 %-3,4 %.

Sementara itu, pada 2015-2017 masing-masing 3,1%, 3,2%, dan 3,7%. Dengan be­gitu, data-data tersebut me­nunjukkan bah­wa pe­me­rin­tah sudah mam­pu menarik per­tumbuhan ke atas seiring de­ngan situasi eko­no­mi inter­na­sio­nal. Sungguh pun begitu, hal terpenting dari pencapaian pemerintah bukan terkait de­ngan pertumbuhan eko­nomi, namun pada aspek lain yang lebih mendasar. Pada titik ini terdapat pencapaian-penca­pai­an yang lebih mem­bu­mi dan terkait dengan hajat publik.

Meski belum sampai pada level 6%, kualitas pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan amat baik. Jumlah dan persentase penduduk miskin turun dari 28,59 juta pada 2015 menjadi 25,95 juta pada 2018 atau dari 11,22% menjadi 9,82%. Ting­kat Pengangguran Terbuka (TPT) juga menurun dari 5,88% pada Februari 2015 menjadi 5,13% pada Februari 2018.

Se­panjang periode tersebut, jum­lah angkatan kerja melonjak hingga 10,77 juta. Rasio Gini/RG (yang menjadi para­me­ter untuk mengukur ketim­pang­an) semakin turun. Pada September 2014, RG mencapai 0,414 dan menjadi level ter­tinggi sejak 2010. RG pada Maret 2018 sudah turun men­jadi 0,389 atau menurun 0,025 dari tinggi tertinggi pada 2014. Pangsa pengeluaran 40% pen­du­duk terbawah juga me­ning­kat, dari 15,62% (Maret 2015) menjadi 17,29% (Maret 2018).

Jadi, kualitas pertumbuhan ekonomi saat ini adalah yang paling baik sejak 2005 karena diikuti penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketim­pang­an sekaligus. Hal ini menjadi sempurna lagi apabila dikait­kan dengan data inflasi yang empat tahun berturut-turut (2015-2018) selalu di bawah 4%. Padahal, pada 2014 inflasi masih pada kisaran 8,3%.

Infla­si yang rendah menun­juk­kan kecakapan pemerintah untuk mengelola stabilitas harga dan menjaga daya beli masyarakat. Sebetulnya masih ada satu hal lagi yang penting, yakni indi­ka­tor peningkatan kualitas pem­bangunan manusia (HDI/Hu­man Development Index). Ini­lah ukuran yang lebih baru dan layak untuk diperjuangkan.

Be­rita bagusnya, sejak 2016 HDI Indonesia telah menembus di atas angka 70 sehingga masuk golongan negara-negara yang bagus pembangunan ma­nu­sia­nya. Jadi, jangan cemas, pen­ca­paian pembangunan ekonomi Indonesia begitu meyakinkan, jauh melampaui dari sekadar pertumbuhan ekonomi.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9107 seconds (0.1#10.140)