Memacu Kualitas Pertumbuhan Ekonomi
A
A
A
Ahmad Erani Yustika
Staf Khusus Presiden, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
IDEOLOGI pertumbuhan ekonomi telah menjadi “agama” baru pembangunan sejak dekade 1950-an, terutama dipicu oleh tulisan para ekonom beken masa tersebut, seperti Harrod-Domar, Rostow, dan lain-lain. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan akumulasi ekonomi (misalnya pertambahan barang/jasa) yang dicapai oleh suatu negara pada kurun waktu tertentu (biasanya diukur setiap tahun).
Jika ekonomi suatu negara bergerak, hal itu mesti dilapisi dengan fakta adanya pertumbuhan ekonomi (yang tinggi). Para pemimpin negara di dunia merasa sudah puas apabila data pertumbuhan ekonomi menunjukkan perbaikan, tidak peduli apakah data-data lain menunjukkan perubahan serupa. Sejak saat itu, setiap negara berpacu menggapai pertumbuhan ekonomi demi mendapatkan predikat kemajuan ekonomi.
Pandangan itu tidaklah sepenuhnya keliru karena setiap negara harus bergegas menggerakkan aktivitas ekonomi, seperti pembuatan barang/jasa agar kemakmuran warga diperoleh. Sederhananya begini. Jika terjadi pembuatan barang/jasa, baik yang dilakukan oleh individu (rumah tangga) atau korporasi, itu sama halnya dengan munculnya investasi.
Produksi barang/jasa, di sisi permintaan (demand), berarti membuka lapangan pekerjaan. Tenaga kerja bisa bekerja dan memperoleh upah. Di sisi lain, investasi menambah barang/jasa (pasokan/ supply) yang mengandaikan adanya pembelian di pasar sehingga korporasi mendapatkan laba dan konsumen membelanjakan pendapatannya. Ekonomi akan terus bergulir dengan pola itu.
Indonesia juga mengadopsi hal tersebut sejak dekade 1960-an. Desain ekonomi dikerjakan untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita. Indonesia juga merupakan kisah sukses negara yang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Bahkan, pada dekade 1990-an Indonesia digolongkan sebagai Macan Asia oleh Bank Dunia karena pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara terus-menerus.
Tapi, krisis ekonomi besar pada medio 1997/1998 menyadarkan banyak pihak, termasuk Indonesia, bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah segalanya. Bahkan, jika tidak cermat, pertumbuhan ekonomi menjadi musabab dari banyak bencana sosial ekonomi lainnya. Sekurangnya terdapat tiga kelemahan dari target tunggal pertumbuhan ekonomi.
Pertama, pertumbuhan ekonomi menyembunyikan data ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran. Bisa terjadi, pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi yang mendapatkan nisbah ekonomi hanya segelintir pelaku ekonomi. Hasilnya, pembangunan menjadi timpang dan kedap terhadap penurunan kemiskinan maupun pengangguran.
Kedua, pertumbuhan ekonomi kerap tidak menghitung kegiatan ekonomi rakyat (ekonomi informal) sehingga tidak menggambarkan keseluruhan aktivitas ekonomi suatu negara, khususnya di negara berkembang. Ketiga, pertumbuhan ekonomi biasanya diikuti oleh destruksi lingkungan, terutama di negara yang kaya sumber daya alam (SDA). Jika erosi SDA dimasukkan, boleh jadi yang berlangsung adalah defisit pertumbuhan ekonomi.
Hari-hari ini, kurang lebih isu pertumbuhan ekonomi yang kurang tinggi tersebut yang muncul ke permukaan. Kritik itu pada umumnya masih berkisar pada realisasi pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai dengan target. Tentu saja itu hal lumrah dan boleh saja dilakukan.
Namun, perlu juga dipahami bahwa dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi harus dicermati hubungannya dengan variabel lain, misalnya, pengaruhnya terhadap kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan; seperti yang disampaikan di atas. Hal ini perlu dimengerti karena pertumbuhan ekonomi bukanlah indikator tunggal untuk mengukur kemajuan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi sejak 2015-2018:II memang terdapat selisih dari target yang ditetapkan pada RPJMN 2015-2019. Tetapi, siklus pertumbuhan ekonomi memang sedang memasuki perlambatan sejak akhir 2014, setelah mencapai puncak pada 2011. Pada 2011 pertumbuhan ekonomi masih 6,49% dan menurun menjadi 6,23% pada 2012.
Pertumbuhan 5% mulai masuk sejak 2013 dan mencapai 4,88% pada 2015. Setelah mencapai titik terendah pada 2015, ekonomi kembali tumbuh di atas 5% dan mencapai angka tertinggi pada Triwulan II-2018 sebesar 5,27%. Pada 2018 sendiri target di APBN adalah 5,3% sehingga jika pada 2018 ini tercapai pertumbuhan 5,2% maka selisihnya hanya 0,1%. Bandingkan dengan 2013 dan 2014 yang selisih antara target dan realisasi mencapai 1,0-1,1%.
Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meyakinkan. Pada 2015-2017, ekonomi Indonesia tumbuh pada kisaran 5%, sedangkan Thailand 3,4% dan Singapura 2,73%. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Malaysia dan Filipina rata-rata 5,03% dan 6,57%. Pada Triwulan II-2018, Indonesia mampu tumbuh hingga 5,27%, Malaysia 4,5%, Singapura 3,9%, dan Thailand 4,6%.
Pertumbuhan Indonesia memang di bawah dari Filipina (6%). Namun, inflasi nasional jauh lebih rendah dari Filipina. Pada Triwulan II-2018, misalnya, inflasi di Indonesia hanya 3,12%, sedangkan Filipina mencapai 4,8% (Bank Indonesia, 2018). Ini menandakan Indonesia berada dalam orbit utama ekonomi regional dan global dalam soal pertumbuhan ekonomi tersebut.
Di luar itu, perlu disadari pula bahwa siklus ekonomi nasional tidak terlepas dari pergerakan ekonomi global. Pada 2010, ekonomi global masih tumbuh 5,4% dan kemudian turun menjadi 4,1% pada 2011. Sepanjang 2012 hingga 2014, pertumbuhan ekonomi global bergerak pada level 3,3 %-3,4 %.
Sementara itu, pada 2015-2017 masing-masing 3,1%, 3,2%, dan 3,7%. Dengan begitu, data-data tersebut menunjukkan bahwa pemerintah sudah mampu menarik pertumbuhan ke atas seiring dengan situasi ekonomi internasional. Sungguh pun begitu, hal terpenting dari pencapaian pemerintah bukan terkait dengan pertumbuhan ekonomi, namun pada aspek lain yang lebih mendasar. Pada titik ini terdapat pencapaian-pencapaian yang lebih membumi dan terkait dengan hajat publik.
Meski belum sampai pada level 6%, kualitas pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan amat baik. Jumlah dan persentase penduduk miskin turun dari 28,59 juta pada 2015 menjadi 25,95 juta pada 2018 atau dari 11,22% menjadi 9,82%. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) juga menurun dari 5,88% pada Februari 2015 menjadi 5,13% pada Februari 2018.
Sepanjang periode tersebut, jumlah angkatan kerja melonjak hingga 10,77 juta. Rasio Gini/RG (yang menjadi parameter untuk mengukur ketimpangan) semakin turun. Pada September 2014, RG mencapai 0,414 dan menjadi level tertinggi sejak 2010. RG pada Maret 2018 sudah turun menjadi 0,389 atau menurun 0,025 dari tinggi tertinggi pada 2014. Pangsa pengeluaran 40% penduduk terbawah juga meningkat, dari 15,62% (Maret 2015) menjadi 17,29% (Maret 2018).
Jadi, kualitas pertumbuhan ekonomi saat ini adalah yang paling baik sejak 2005 karena diikuti penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sekaligus. Hal ini menjadi sempurna lagi apabila dikaitkan dengan data inflasi yang empat tahun berturut-turut (2015-2018) selalu di bawah 4%. Padahal, pada 2014 inflasi masih pada kisaran 8,3%.
Inflasi yang rendah menunjukkan kecakapan pemerintah untuk mengelola stabilitas harga dan menjaga daya beli masyarakat. Sebetulnya masih ada satu hal lagi yang penting, yakni indikator peningkatan kualitas pembangunan manusia (HDI/Human Development Index). Inilah ukuran yang lebih baru dan layak untuk diperjuangkan.
Berita bagusnya, sejak 2016 HDI Indonesia telah menembus di atas angka 70 sehingga masuk golongan negara-negara yang bagus pembangunan manusianya. Jadi, jangan cemas, pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia begitu meyakinkan, jauh melampaui dari sekadar pertumbuhan ekonomi.
Staf Khusus Presiden, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
IDEOLOGI pertumbuhan ekonomi telah menjadi “agama” baru pembangunan sejak dekade 1950-an, terutama dipicu oleh tulisan para ekonom beken masa tersebut, seperti Harrod-Domar, Rostow, dan lain-lain. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan akumulasi ekonomi (misalnya pertambahan barang/jasa) yang dicapai oleh suatu negara pada kurun waktu tertentu (biasanya diukur setiap tahun).
Jika ekonomi suatu negara bergerak, hal itu mesti dilapisi dengan fakta adanya pertumbuhan ekonomi (yang tinggi). Para pemimpin negara di dunia merasa sudah puas apabila data pertumbuhan ekonomi menunjukkan perbaikan, tidak peduli apakah data-data lain menunjukkan perubahan serupa. Sejak saat itu, setiap negara berpacu menggapai pertumbuhan ekonomi demi mendapatkan predikat kemajuan ekonomi.
Pandangan itu tidaklah sepenuhnya keliru karena setiap negara harus bergegas menggerakkan aktivitas ekonomi, seperti pembuatan barang/jasa agar kemakmuran warga diperoleh. Sederhananya begini. Jika terjadi pembuatan barang/jasa, baik yang dilakukan oleh individu (rumah tangga) atau korporasi, itu sama halnya dengan munculnya investasi.
Produksi barang/jasa, di sisi permintaan (demand), berarti membuka lapangan pekerjaan. Tenaga kerja bisa bekerja dan memperoleh upah. Di sisi lain, investasi menambah barang/jasa (pasokan/ supply) yang mengandaikan adanya pembelian di pasar sehingga korporasi mendapatkan laba dan konsumen membelanjakan pendapatannya. Ekonomi akan terus bergulir dengan pola itu.
Indonesia juga mengadopsi hal tersebut sejak dekade 1960-an. Desain ekonomi dikerjakan untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita. Indonesia juga merupakan kisah sukses negara yang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Bahkan, pada dekade 1990-an Indonesia digolongkan sebagai Macan Asia oleh Bank Dunia karena pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara terus-menerus.
Tapi, krisis ekonomi besar pada medio 1997/1998 menyadarkan banyak pihak, termasuk Indonesia, bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah segalanya. Bahkan, jika tidak cermat, pertumbuhan ekonomi menjadi musabab dari banyak bencana sosial ekonomi lainnya. Sekurangnya terdapat tiga kelemahan dari target tunggal pertumbuhan ekonomi.
Pertama, pertumbuhan ekonomi menyembunyikan data ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran. Bisa terjadi, pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi yang mendapatkan nisbah ekonomi hanya segelintir pelaku ekonomi. Hasilnya, pembangunan menjadi timpang dan kedap terhadap penurunan kemiskinan maupun pengangguran.
Kedua, pertumbuhan ekonomi kerap tidak menghitung kegiatan ekonomi rakyat (ekonomi informal) sehingga tidak menggambarkan keseluruhan aktivitas ekonomi suatu negara, khususnya di negara berkembang. Ketiga, pertumbuhan ekonomi biasanya diikuti oleh destruksi lingkungan, terutama di negara yang kaya sumber daya alam (SDA). Jika erosi SDA dimasukkan, boleh jadi yang berlangsung adalah defisit pertumbuhan ekonomi.
Hari-hari ini, kurang lebih isu pertumbuhan ekonomi yang kurang tinggi tersebut yang muncul ke permukaan. Kritik itu pada umumnya masih berkisar pada realisasi pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai dengan target. Tentu saja itu hal lumrah dan boleh saja dilakukan.
Namun, perlu juga dipahami bahwa dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi harus dicermati hubungannya dengan variabel lain, misalnya, pengaruhnya terhadap kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan; seperti yang disampaikan di atas. Hal ini perlu dimengerti karena pertumbuhan ekonomi bukanlah indikator tunggal untuk mengukur kemajuan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi sejak 2015-2018:II memang terdapat selisih dari target yang ditetapkan pada RPJMN 2015-2019. Tetapi, siklus pertumbuhan ekonomi memang sedang memasuki perlambatan sejak akhir 2014, setelah mencapai puncak pada 2011. Pada 2011 pertumbuhan ekonomi masih 6,49% dan menurun menjadi 6,23% pada 2012.
Pertumbuhan 5% mulai masuk sejak 2013 dan mencapai 4,88% pada 2015. Setelah mencapai titik terendah pada 2015, ekonomi kembali tumbuh di atas 5% dan mencapai angka tertinggi pada Triwulan II-2018 sebesar 5,27%. Pada 2018 sendiri target di APBN adalah 5,3% sehingga jika pada 2018 ini tercapai pertumbuhan 5,2% maka selisihnya hanya 0,1%. Bandingkan dengan 2013 dan 2014 yang selisih antara target dan realisasi mencapai 1,0-1,1%.
Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meyakinkan. Pada 2015-2017, ekonomi Indonesia tumbuh pada kisaran 5%, sedangkan Thailand 3,4% dan Singapura 2,73%. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Malaysia dan Filipina rata-rata 5,03% dan 6,57%. Pada Triwulan II-2018, Indonesia mampu tumbuh hingga 5,27%, Malaysia 4,5%, Singapura 3,9%, dan Thailand 4,6%.
Pertumbuhan Indonesia memang di bawah dari Filipina (6%). Namun, inflasi nasional jauh lebih rendah dari Filipina. Pada Triwulan II-2018, misalnya, inflasi di Indonesia hanya 3,12%, sedangkan Filipina mencapai 4,8% (Bank Indonesia, 2018). Ini menandakan Indonesia berada dalam orbit utama ekonomi regional dan global dalam soal pertumbuhan ekonomi tersebut.
Di luar itu, perlu disadari pula bahwa siklus ekonomi nasional tidak terlepas dari pergerakan ekonomi global. Pada 2010, ekonomi global masih tumbuh 5,4% dan kemudian turun menjadi 4,1% pada 2011. Sepanjang 2012 hingga 2014, pertumbuhan ekonomi global bergerak pada level 3,3 %-3,4 %.
Sementara itu, pada 2015-2017 masing-masing 3,1%, 3,2%, dan 3,7%. Dengan begitu, data-data tersebut menunjukkan bahwa pemerintah sudah mampu menarik pertumbuhan ke atas seiring dengan situasi ekonomi internasional. Sungguh pun begitu, hal terpenting dari pencapaian pemerintah bukan terkait dengan pertumbuhan ekonomi, namun pada aspek lain yang lebih mendasar. Pada titik ini terdapat pencapaian-pencapaian yang lebih membumi dan terkait dengan hajat publik.
Meski belum sampai pada level 6%, kualitas pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan amat baik. Jumlah dan persentase penduduk miskin turun dari 28,59 juta pada 2015 menjadi 25,95 juta pada 2018 atau dari 11,22% menjadi 9,82%. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) juga menurun dari 5,88% pada Februari 2015 menjadi 5,13% pada Februari 2018.
Sepanjang periode tersebut, jumlah angkatan kerja melonjak hingga 10,77 juta. Rasio Gini/RG (yang menjadi parameter untuk mengukur ketimpangan) semakin turun. Pada September 2014, RG mencapai 0,414 dan menjadi level tertinggi sejak 2010. RG pada Maret 2018 sudah turun menjadi 0,389 atau menurun 0,025 dari tinggi tertinggi pada 2014. Pangsa pengeluaran 40% penduduk terbawah juga meningkat, dari 15,62% (Maret 2015) menjadi 17,29% (Maret 2018).
Jadi, kualitas pertumbuhan ekonomi saat ini adalah yang paling baik sejak 2005 karena diikuti penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sekaligus. Hal ini menjadi sempurna lagi apabila dikaitkan dengan data inflasi yang empat tahun berturut-turut (2015-2018) selalu di bawah 4%. Padahal, pada 2014 inflasi masih pada kisaran 8,3%.
Inflasi yang rendah menunjukkan kecakapan pemerintah untuk mengelola stabilitas harga dan menjaga daya beli masyarakat. Sebetulnya masih ada satu hal lagi yang penting, yakni indikator peningkatan kualitas pembangunan manusia (HDI/Human Development Index). Inilah ukuran yang lebih baru dan layak untuk diperjuangkan.
Berita bagusnya, sejak 2016 HDI Indonesia telah menembus di atas angka 70 sehingga masuk golongan negara-negara yang bagus pembangunan manusianya. Jadi, jangan cemas, pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia begitu meyakinkan, jauh melampaui dari sekadar pertumbuhan ekonomi.
(thm)