Hoaks dan Perempuan

Senin, 19 November 2018 - 07:32 WIB
Hoaks dan Perempuan
Hoaks dan Perempuan
A A A
Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

BELAKANGAN kata hoaks kian men­jadi musuh ber­sa­ma, ibarat gen­de­ru­wo yang menakutkan bagi per­satuan dan eksistensi ke­bi­nekaan bangsa. Hoaks berasal dari kata “hoces corpus” atau “hocus”, yang dijadikan nama sa­maran tukang sulap pada masa King James I, Raja Ing­gris, yang artinya: menipu, mengelabui. Mirip kerja tu­kang sulap atau sihir yang se­olah-olah atraksinya meng­an­dung kebenaran, tapi se­sung­guhnya palsu untuk sekadar menghibur.

Menurut Kepala Satgas Nu­santara Polri Irjen Gatot Eddy Pramono (6/3/2018), hoaks atau kabar bohong yang masif pada tahun politik berpotensi menimbulkan ketakutan, bah­kan konflik dan perpecahan di masyarakat. Karena itu, perlu ada komitmen dan aksi nyata tanpa jeda oleh seluruh ma­sya­rakat untuk melawan segala bentuk hoaks.

Beberapa waktu lalu Mabes Polri merilis identitas para ter­sangka penyebar hoaks yang ditangkap di beberapa tempat selama kurun waktu 31 Okto­ber-6 November 2018. Ter­nya­ta para tersangka tersebut didominasi oleh ibu rumah tang­ga muda dengan rentang usia antara 20-42. Menurut tajuk KORAN SINDO (15/11), dari de­lapan orang ibu rumah tang­ga yang ditangkap, satu orang diciduk karena mengunggah hoaks tentang kecelakaan pe­sa­wat Lion Air dan yang lainnya karena menyebarkan hoaks ter­kait penculikan anak.

Survei dari Riset Daily Social.id (13/9/2018) misal­nya, menunjukkan saluran ter­banyak penyebar berita bohong atau hoaks dijumpai di me­dia sosial: Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Ins­ta­gram (29,48%). Sayangnya, 44,19% res­ponden tidak pia­wai mendeteksi berita hoaks dan 51,03% responden berdiam diri serta tidak percaya de­ngan informasi ketika me­ne­rima hoaks. Sementara 72% memiliki kecenderungan mem­bagikan informasi yang mereka anggap penting dan dari 73% responden yang membaca seluruh informasi hanya sekitar setengah (55%) yang selalu memverifikasi ke­akuratan (fact check).

Ini menunjukkan hoaks identik pada kalangan ma­sya­ra­kat yang tidak kritis. Ber­da­sarkan hasil riset World’s Most Literate Nation tahun 2016, Indonesia termasuk lima besar pengguna smartphone dunia, namun tingkat literasinya jus­tru kedua terbawah setelah Bostwana di Afrika.

Kenapa Ibu?
Kita tiba di pertanyaan me­nge­rucut, kenapa ibu rumah tang­ga tertarik masuk di pu­saran gelombang hoaks? Apa­kah memang profesi sebagai ibu rumah tangga lebih rentan dalam memproduksi hoaks entah sebagai sebuah ke­iseng­an atau prokreasi?

Yang jelas meskipun be­la­kangan dunia kerja kian me­narik bagi perempuan (mi­le­nial) untuk meniti karier profesionalnya sehubungan de­ngan kian bertambahnya kua­li­tas pendidikan, tuntutan ke­bu­tuhan ekonomi dan eksistensi sosial serta mulai terciptanya kesetaraan gender dalam dunia kerja (Grant Thornton, 2018). Tetapi harus dikatakan, ruang domestik masih menjadi pi­lih­an utama atau terakhir bagi kaum perempuan karena ber­ba­gai pertimbangan, seperti kenyamanan atau sekadar me­menuhi tuntutan pria (suami) yang memang lebih meng­ingin­kan perempuan (istri) be­kerja di rumah sebagai peng­asuh dan pelayan bagi anak, suami, dan keluarga (survei Prof Roger Wilkins dari Woli­pop, 2015).

Ada banyak problem harus di­hadapi kaum ibu rumah tang­ga di ruang domestik s­e­perti menjalani rutinitas yang menjenuhkan sehari-hari, ha­rus merawat dan mem­be­sar­kan anak 24 jam, termasuk ti­dak ada jobdesk yang definitif da­lam melakoni kerja kese­ha­ri­an (kerap harus menjadi su­per­mom dengan beban fisik, eko­nomi yang besar). Untuk ke­luar dari tekanan itulah, ti­dak sedikit ibu rumah tangga pada akhirnya mencari pelampias­an dengan mengisi waktu luang dengan mengaktifkan ke­giatan bersifat prokreatif ter­masuk dengan bermedia sosial.

Menurut riset perusahaan media asal Inggris We Are So­cial yang bekerja sama dengan Hootsuite dalam laporan ber­judul “Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World” (30/1/2018), rata-rata orang Indonesia meng­ha­biskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial.

Sebanyak 120 juta orang Indo­ne­sia menggunakan perangkat mobile, seperti smartphone atau tablet untuk mengakses media sosial dengan penetrasi 45%. Aplikasi yang paling banyak diunduh berurutan adalah Whats­App, Facebook, Insta­gram, dan Line. Facebook men­ja­di media sosial paling banyak di­kunjungi dengan capaian le­bih dari 1 miliar juta pengun­jung per bulan.

Personal Branding
Data di atas menunjukkan tidak sedikit kaum perempuan termasuk di dalamnya ibu-ibu yang menjadikan media sosial sebagai ajang untuk mem­ba­ngun dunianya sendiri demi me­lepaskan diri dari kepe­nat­an sekaligus merekatkan relasi dan pertemanan. Menurut Antony Mayfield (What Is Social Media, 2008) media so­sial merupakan ruang di mana orang-orang saling ber­in­te­raksi, membagi ide, bekerja sa­ma, berteman, dan berko­la­bo­rasi untuk menciptakan ko­mu­nitas.

Dengan kecepatan infor­masi yang bisa diakses dalam hitungan detik, orang-orang bisa memuaskan dahaganya untuk mengaktualisasi diri, ter­masuk menciptakan per­so­nal branding. Tren penggunaan medsos di kalangan ibu rumah tangga selain sekadar membangun re­lasi dan komunitas, juga ingin menciptakan image atau per­sonal branding, misalnya ingin direkognisi sebagai perem­pu­an yang terbuka terhadap pergaulan, perkembangan infor­ma­si, ingin dicitrakan sebagai sosok feminin mampu mengurus rumah tangga, mem­ba­ha­gia­kan anak-anak dan suami, serta lainnya.

Di sinilah kerap kali ruang medsos disalahgunakan. Ka­re­na tekanan personal branding itu supaya tidak dibilang intro­vert, tidak gaul, kaum ibu mu­dah sekali tergoda membuat dan menyebarkan secara cepat kabar-kabar hoaks ke teman, komunitas, kerabat, dan seba­gainya. Semua itu dilakukan tanpa dibarengi daya kritis dan kemampuan memverifikasi kebenaran pada sumber infor­masi yang terpercaya.

Keseriusan Polri mengejar dan menangkap para pemilik akun penyebar hoaks menjadi alarm bagi masyarakat ter­uta­ma kaum perempuan untuk lebih bijak dan dewasa meng­gunakan medsos. Bangunlah sikap kritis dengan budaya fact check saat menerima informasi sebelum dibagi dan dise­bar­luas­kan. Kaum perempuan di­tuntut menunjukkan diri se­bagai so­sok peneduh dan pencair ke­tegangan terlebih di tengah atmosfer persaingan politik yang makin memanas saat ini.

Ini sebagai bentuk kepedulian dan tanggung ja­wab menjaga kohesivitas so­sial, berbangsa, dan bernegara. Kaum perem­puan harus mem­buktikan bah­wa penganu­ge­rahan Ratna Sa­rumpaet seba­gai simbol Ibu Hoaks Indonesia oleh Lembaga Pemilih Indo­ne­sia (6/10/2018) tidak men­cer­minkan wajah ibu-ibu Indo­ne­sia yang sesung­guh­nya. Se­mo­ga!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8138 seconds (0.1#10.140)