Hoaks dan Perempuan
A
A
A
Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
BELAKANGAN kata hoaks kian menjadi musuh bersama, ibarat genderuwo yang menakutkan bagi persatuan dan eksistensi kebinekaan bangsa. Hoaks berasal dari kata “hoces corpus” atau “hocus”, yang dijadikan nama samaran tukang sulap pada masa King James I, Raja Inggris, yang artinya: menipu, mengelabui. Mirip kerja tukang sulap atau sihir yang seolah-olah atraksinya mengandung kebenaran, tapi sesungguhnya palsu untuk sekadar menghibur.
Menurut Kepala Satgas Nusantara Polri Irjen Gatot Eddy Pramono (6/3/2018), hoaks atau kabar bohong yang masif pada tahun politik berpotensi menimbulkan ketakutan, bahkan konflik dan perpecahan di masyarakat. Karena itu, perlu ada komitmen dan aksi nyata tanpa jeda oleh seluruh masyarakat untuk melawan segala bentuk hoaks.
Beberapa waktu lalu Mabes Polri merilis identitas para tersangka penyebar hoaks yang ditangkap di beberapa tempat selama kurun waktu 31 Oktober-6 November 2018. Ternyata para tersangka tersebut didominasi oleh ibu rumah tangga muda dengan rentang usia antara 20-42. Menurut tajuk KORAN SINDO (15/11), dari delapan orang ibu rumah tangga yang ditangkap, satu orang diciduk karena mengunggah hoaks tentang kecelakaan pesawat Lion Air dan yang lainnya karena menyebarkan hoaks terkait penculikan anak.
Survei dari Riset Daily Social.id (13/9/2018) misalnya, menunjukkan saluran terbanyak penyebar berita bohong atau hoaks dijumpai di media sosial: Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Sayangnya, 44,19% responden tidak piawai mendeteksi berita hoaks dan 51,03% responden berdiam diri serta tidak percaya dengan informasi ketika menerima hoaks. Sementara 72% memiliki kecenderungan membagikan informasi yang mereka anggap penting dan dari 73% responden yang membaca seluruh informasi hanya sekitar setengah (55%) yang selalu memverifikasi keakuratan (fact check).
Ini menunjukkan hoaks identik pada kalangan masyarakat yang tidak kritis. Berdasarkan hasil riset World’s Most Literate Nation tahun 2016, Indonesia termasuk lima besar pengguna smartphone dunia, namun tingkat literasinya justru kedua terbawah setelah Bostwana di Afrika.
Kenapa Ibu?
Kita tiba di pertanyaan mengerucut, kenapa ibu rumah tangga tertarik masuk di pusaran gelombang hoaks? Apakah memang profesi sebagai ibu rumah tangga lebih rentan dalam memproduksi hoaks entah sebagai sebuah keisengan atau prokreasi?
Yang jelas meskipun belakangan dunia kerja kian menarik bagi perempuan (milenial) untuk meniti karier profesionalnya sehubungan dengan kian bertambahnya kualitas pendidikan, tuntutan kebutuhan ekonomi dan eksistensi sosial serta mulai terciptanya kesetaraan gender dalam dunia kerja (Grant Thornton, 2018). Tetapi harus dikatakan, ruang domestik masih menjadi pilihan utama atau terakhir bagi kaum perempuan karena berbagai pertimbangan, seperti kenyamanan atau sekadar memenuhi tuntutan pria (suami) yang memang lebih menginginkan perempuan (istri) bekerja di rumah sebagai pengasuh dan pelayan bagi anak, suami, dan keluarga (survei Prof Roger Wilkins dari Wolipop, 2015).
Ada banyak problem harus dihadapi kaum ibu rumah tangga di ruang domestik seperti menjalani rutinitas yang menjenuhkan sehari-hari, harus merawat dan membesarkan anak 24 jam, termasuk tidak ada jobdesk yang definitif dalam melakoni kerja keseharian (kerap harus menjadi supermom dengan beban fisik, ekonomi yang besar). Untuk keluar dari tekanan itulah, tidak sedikit ibu rumah tangga pada akhirnya mencari pelampiasan dengan mengisi waktu luang dengan mengaktifkan kegiatan bersifat prokreatif termasuk dengan bermedia sosial.
Menurut riset perusahaan media asal Inggris We Are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite dalam laporan berjudul “Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World” (30/1/2018), rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial.
Sebanyak 120 juta orang Indonesia menggunakan perangkat mobile, seperti smartphone atau tablet untuk mengakses media sosial dengan penetrasi 45%. Aplikasi yang paling banyak diunduh berurutan adalah WhatsApp, Facebook, Instagram, dan Line. Facebook menjadi media sosial paling banyak dikunjungi dengan capaian lebih dari 1 miliar juta pengunjung per bulan.
Personal Branding
Data di atas menunjukkan tidak sedikit kaum perempuan termasuk di dalamnya ibu-ibu yang menjadikan media sosial sebagai ajang untuk membangun dunianya sendiri demi melepaskan diri dari kepenatan sekaligus merekatkan relasi dan pertemanan. Menurut Antony Mayfield (What Is Social Media, 2008) media sosial merupakan ruang di mana orang-orang saling berinteraksi, membagi ide, bekerja sama, berteman, dan berkolaborasi untuk menciptakan komunitas.
Dengan kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, orang-orang bisa memuaskan dahaganya untuk mengaktualisasi diri, termasuk menciptakan personal branding. Tren penggunaan medsos di kalangan ibu rumah tangga selain sekadar membangun relasi dan komunitas, juga ingin menciptakan image atau personal branding, misalnya ingin direkognisi sebagai perempuan yang terbuka terhadap pergaulan, perkembangan informasi, ingin dicitrakan sebagai sosok feminin mampu mengurus rumah tangga, membahagiakan anak-anak dan suami, serta lainnya.
Di sinilah kerap kali ruang medsos disalahgunakan. Karena tekanan personal branding itu supaya tidak dibilang introvert, tidak gaul, kaum ibu mudah sekali tergoda membuat dan menyebarkan secara cepat kabar-kabar hoaks ke teman, komunitas, kerabat, dan sebagainya. Semua itu dilakukan tanpa dibarengi daya kritis dan kemampuan memverifikasi kebenaran pada sumber informasi yang terpercaya.
Keseriusan Polri mengejar dan menangkap para pemilik akun penyebar hoaks menjadi alarm bagi masyarakat terutama kaum perempuan untuk lebih bijak dan dewasa menggunakan medsos. Bangunlah sikap kritis dengan budaya fact check saat menerima informasi sebelum dibagi dan disebarluaskan. Kaum perempuan dituntut menunjukkan diri sebagai sosok peneduh dan pencair ketegangan terlebih di tengah atmosfer persaingan politik yang makin memanas saat ini.
Ini sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab menjaga kohesivitas sosial, berbangsa, dan bernegara. Kaum perempuan harus membuktikan bahwa penganugerahan Ratna Sarumpaet sebagai simbol Ibu Hoaks Indonesia oleh Lembaga Pemilih Indonesia (6/10/2018) tidak mencerminkan wajah ibu-ibu Indonesia yang sesungguhnya. Semoga!
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
BELAKANGAN kata hoaks kian menjadi musuh bersama, ibarat genderuwo yang menakutkan bagi persatuan dan eksistensi kebinekaan bangsa. Hoaks berasal dari kata “hoces corpus” atau “hocus”, yang dijadikan nama samaran tukang sulap pada masa King James I, Raja Inggris, yang artinya: menipu, mengelabui. Mirip kerja tukang sulap atau sihir yang seolah-olah atraksinya mengandung kebenaran, tapi sesungguhnya palsu untuk sekadar menghibur.
Menurut Kepala Satgas Nusantara Polri Irjen Gatot Eddy Pramono (6/3/2018), hoaks atau kabar bohong yang masif pada tahun politik berpotensi menimbulkan ketakutan, bahkan konflik dan perpecahan di masyarakat. Karena itu, perlu ada komitmen dan aksi nyata tanpa jeda oleh seluruh masyarakat untuk melawan segala bentuk hoaks.
Beberapa waktu lalu Mabes Polri merilis identitas para tersangka penyebar hoaks yang ditangkap di beberapa tempat selama kurun waktu 31 Oktober-6 November 2018. Ternyata para tersangka tersebut didominasi oleh ibu rumah tangga muda dengan rentang usia antara 20-42. Menurut tajuk KORAN SINDO (15/11), dari delapan orang ibu rumah tangga yang ditangkap, satu orang diciduk karena mengunggah hoaks tentang kecelakaan pesawat Lion Air dan yang lainnya karena menyebarkan hoaks terkait penculikan anak.
Survei dari Riset Daily Social.id (13/9/2018) misalnya, menunjukkan saluran terbanyak penyebar berita bohong atau hoaks dijumpai di media sosial: Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Sayangnya, 44,19% responden tidak piawai mendeteksi berita hoaks dan 51,03% responden berdiam diri serta tidak percaya dengan informasi ketika menerima hoaks. Sementara 72% memiliki kecenderungan membagikan informasi yang mereka anggap penting dan dari 73% responden yang membaca seluruh informasi hanya sekitar setengah (55%) yang selalu memverifikasi keakuratan (fact check).
Ini menunjukkan hoaks identik pada kalangan masyarakat yang tidak kritis. Berdasarkan hasil riset World’s Most Literate Nation tahun 2016, Indonesia termasuk lima besar pengguna smartphone dunia, namun tingkat literasinya justru kedua terbawah setelah Bostwana di Afrika.
Kenapa Ibu?
Kita tiba di pertanyaan mengerucut, kenapa ibu rumah tangga tertarik masuk di pusaran gelombang hoaks? Apakah memang profesi sebagai ibu rumah tangga lebih rentan dalam memproduksi hoaks entah sebagai sebuah keisengan atau prokreasi?
Yang jelas meskipun belakangan dunia kerja kian menarik bagi perempuan (milenial) untuk meniti karier profesionalnya sehubungan dengan kian bertambahnya kualitas pendidikan, tuntutan kebutuhan ekonomi dan eksistensi sosial serta mulai terciptanya kesetaraan gender dalam dunia kerja (Grant Thornton, 2018). Tetapi harus dikatakan, ruang domestik masih menjadi pilihan utama atau terakhir bagi kaum perempuan karena berbagai pertimbangan, seperti kenyamanan atau sekadar memenuhi tuntutan pria (suami) yang memang lebih menginginkan perempuan (istri) bekerja di rumah sebagai pengasuh dan pelayan bagi anak, suami, dan keluarga (survei Prof Roger Wilkins dari Wolipop, 2015).
Ada banyak problem harus dihadapi kaum ibu rumah tangga di ruang domestik seperti menjalani rutinitas yang menjenuhkan sehari-hari, harus merawat dan membesarkan anak 24 jam, termasuk tidak ada jobdesk yang definitif dalam melakoni kerja keseharian (kerap harus menjadi supermom dengan beban fisik, ekonomi yang besar). Untuk keluar dari tekanan itulah, tidak sedikit ibu rumah tangga pada akhirnya mencari pelampiasan dengan mengisi waktu luang dengan mengaktifkan kegiatan bersifat prokreatif termasuk dengan bermedia sosial.
Menurut riset perusahaan media asal Inggris We Are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite dalam laporan berjudul “Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World” (30/1/2018), rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial.
Sebanyak 120 juta orang Indonesia menggunakan perangkat mobile, seperti smartphone atau tablet untuk mengakses media sosial dengan penetrasi 45%. Aplikasi yang paling banyak diunduh berurutan adalah WhatsApp, Facebook, Instagram, dan Line. Facebook menjadi media sosial paling banyak dikunjungi dengan capaian lebih dari 1 miliar juta pengunjung per bulan.
Personal Branding
Data di atas menunjukkan tidak sedikit kaum perempuan termasuk di dalamnya ibu-ibu yang menjadikan media sosial sebagai ajang untuk membangun dunianya sendiri demi melepaskan diri dari kepenatan sekaligus merekatkan relasi dan pertemanan. Menurut Antony Mayfield (What Is Social Media, 2008) media sosial merupakan ruang di mana orang-orang saling berinteraksi, membagi ide, bekerja sama, berteman, dan berkolaborasi untuk menciptakan komunitas.
Dengan kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, orang-orang bisa memuaskan dahaganya untuk mengaktualisasi diri, termasuk menciptakan personal branding. Tren penggunaan medsos di kalangan ibu rumah tangga selain sekadar membangun relasi dan komunitas, juga ingin menciptakan image atau personal branding, misalnya ingin direkognisi sebagai perempuan yang terbuka terhadap pergaulan, perkembangan informasi, ingin dicitrakan sebagai sosok feminin mampu mengurus rumah tangga, membahagiakan anak-anak dan suami, serta lainnya.
Di sinilah kerap kali ruang medsos disalahgunakan. Karena tekanan personal branding itu supaya tidak dibilang introvert, tidak gaul, kaum ibu mudah sekali tergoda membuat dan menyebarkan secara cepat kabar-kabar hoaks ke teman, komunitas, kerabat, dan sebagainya. Semua itu dilakukan tanpa dibarengi daya kritis dan kemampuan memverifikasi kebenaran pada sumber informasi yang terpercaya.
Keseriusan Polri mengejar dan menangkap para pemilik akun penyebar hoaks menjadi alarm bagi masyarakat terutama kaum perempuan untuk lebih bijak dan dewasa menggunakan medsos. Bangunlah sikap kritis dengan budaya fact check saat menerima informasi sebelum dibagi dan disebarluaskan. Kaum perempuan dituntut menunjukkan diri sebagai sosok peneduh dan pencair ketegangan terlebih di tengah atmosfer persaingan politik yang makin memanas saat ini.
Ini sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab menjaga kohesivitas sosial, berbangsa, dan bernegara. Kaum perempuan harus membuktikan bahwa penganugerahan Ratna Sarumpaet sebagai simbol Ibu Hoaks Indonesia oleh Lembaga Pemilih Indonesia (6/10/2018) tidak mencerminkan wajah ibu-ibu Indonesia yang sesungguhnya. Semoga!
(thm)