Muhammadiyah dan Tajdid Peradaban
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah,
Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
PADA 18 November 2018 ini Muhammadiyah genap berusia 106 tahun. Secara psikologis, usia tersebut tergolong sangat matang dan dewasa karena telah melampaui satu abad lebih dalam berdedikasi untuk negeri sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar yang bervisi tajdid (pembaruan, reformasi) menuju Islam berkemajuan di Indonesia tercinta.
Memasuki 100 tahun kedua, Muhammadiyah dinilai sebagai organisasi sosial keagamaan paling konsisten dengan khitahnya, paling tertib administrasinya dan paling akuntabel manajemennya. Dengan mengusung tema milad “Ta’awun untuk Negeri”, Muhammadiyah terus menyinari dan mencerahkan negeri.
Tema “Taíawun “ (saling menolong, berkolaborasi, berbagi, dan bergotong-royong) mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah senantiasa istikamah mengepakkan “sayap dakwah pencerahan dan jihad keumatannya” secara lebih luas dan lebih strategis dengan lima keunggulan amal usahanya: pendidikan, kesehatan, pelayanan dan kesejahteraan sosial, pemikiran keagamaan yang moderat, dan jihad konstitusinya yang sangat prorakyat.
Mengapa Muhammadiyah mampu bertahan melampaui satu abad, melintasi zaman, dan tetap dinamis dengan khitahnya sebagai gerakan tajdid (pembaruan)? Kunci suksesnya dalam aktulisasi Islam berkemajuan adalah keikhlasan, kemandirian, ketekunan, kesederhanaan, dan kesabaran. Keikhlasan para kader dan simpatisan dalam berjuang melalui Muhammadiyah membuat pimpinan, anggota, dan simpatisan selalu berkomitmen untuk “menghidup-hidupi Muhammadiyah” dan tidak mencari penghidupan dalam Muhammadiyah. Persyarikatan ini dijadikan sebagai ladang untuk menanam dan menumbuhkembangkan amal saleh, kinerja keumatan, dan pemajuan peradaban.
Ikhlas Berkhidmat
Kemandirian merupakan salah satu kunci soliditas pimpinan, anggota, dan simpatisan Muhammadiyah sehingga memiliki mental baja dalam mengembangkan amal usaha, tanpa harus bergantung kepada pihak lain, dan tidak juga menjadikan jabatan pada birokrasi pemerintah sebagai “ATM” persyarikatan. Ketekunan pimpinan dalam mengurus amal usaha menjadikan terus berkembang dan berkemajuan. Sekadar contoh dari buah ketekunan, sejak 1915, Muhammadiyah telah merintis penerbitan majalah Suara Muhammadiyah, dan hingga sekarang tetap terbit bahkan semakin maju, sehingga majalah ini meraih rekor Muri sebagai majalah Islam yang terbit berkesinambungan terlama (103 tahun).
Di era milenial ini kita dihadapkan pada tantangan globalisasi, teknologi informasi, dan komunikasi yang semakin kompleks dan menuntut reaktualisasi tajdid (pembaruan) peradaban. Dalam forum Muktamar ke 47 di Makassar, Agustus 2015 lalu, Muhammadiyah telah menghasilkan 13 butir rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh PP Muhammadiyah periode 2015-2020.
Salah satu dari 13 rekomendasi itu adalah membangun masyarakat dengan ilmu. Muhammadiyah menilai budaya ilmu di Indonesia masih rendah dan menjadi masalah serius bagi bangsa. Kelemahan dari budaya keilmuan juga menyebabkan sebagian warga bangsa sering bertindak tidak rasional, bahkan terkadang berperilaku tidak sesuai dengan akal sehat.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu membangun keunggulan dengan mengembangkan masyarakat ilmu melalui pengembangan budaya literasi, gerakan membaca, meneliti, menulis, berpikir rasional, bertindak strategis, bekerja efisien, dan menggunakan teknologi untuk tujuan kemaslahatan, keadaban perilaku, dan aneka kinerja produktif dan konstruktif.
Selain itu, Muktamar Muhammadiyah juga merekomendasikan pentingnya peningkatan daya saing umat Islam. Indonesia selama ini dianggap sebagai negara Islam terbesar di dunia. Namun, eksistensinya belum mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara di dunia internasional. Bahkan, sikap minder dengan negara lain pun kerap muncul. Muslim di Indonesia itu seolah majority with minority mentality atau inferiority complex. Akibatnya, umat ini gampang terpengaruh oleh aneka budaya negatif dan destruktif dari luar. Dua kata kunci rekomendasi tersebut, yaitu masyarakat ilmu dan peningkatan daya saing umat Islam Indonesia mengharuskan reaktualisasi tajdid peradaban era milenial ini.
Aktualisasi Tajdid Peradaban
Islam berkemajuan yang dicita-citakan oleh pendiri Muhammadiyah perlu diperkokoh setidaknya dengan tiga landasan dalam rangka aktualisasi tajdid peradaban ke depan. Pertama, peneguhan “teologi al-Ma’un”. Teologi al-Ma’un merupakan landasan berpikir, bergerak, dan bertindak yang diajarkan KH Ahmad Dahlan dalam memahami dan aktualisasi Islam sebagai agama dan peradaban. Praksis dari teologi al-Ma’un yang diteladankan Ahmad Dahlan ini tidak saja menginspirasi dan memotivasi warga persyarikatan, karena Islam yang diperkenalkan bukan sekadar Islam wacana, melainkan Islam rahmatan lil ’alamin yang membumi secara nyata dan berdaya guna.
Kedua, revitalisasi teologi wal ’ashri–karena Ahmad Dahlan sering juga mengajarkan substansi surat al-’Ashr–menghendaki Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid mampu memadukan gerakan pemikiran sekaligus gerakan peradaban yang bervisi rahmatan li al-’alamin dalam konteks zamannya. Tajdid peradaban yang harus dikembangkan Muhammadiyah bukan hanya untuk melayani dan memajukan umat Islam, tetapi juga memajukan bangsa, membela NKRI, dan membumikan konsep baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tenterem, adil makmur, dan mendapat lindungan ampunan Tuhan) dalam rumah besar NKRI.
Ketiga, tajdid peradaban Muhammadiyah harus dimulai dengan paradigma berpikir holistik integratif dalam memahami, memaknai dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan kebangsaan dan keumatan. Karena itu, ayat-ayat Qur’aniyyah harus dipadukan dan diimplementasikan secara proporsional dengan ayat-ayat kawniyyah dan ijtima’iyyah (alam dan sosial) dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi, visi peradaban Islam yang dikembangkan Muhammadiyah harus dapat ditransformasikan menuju Indonesia berkemajuan. Oleh karena itu, gerakan pemikiran dan peradaban (membangun budaya literasi, gerakan ide, pengembangan ilmu, riset, dan pendidikan) harus dibarengi dan dipadukan dengan gerakan amal sosial melalui pemberdayaan institusi (pendidikan, sosial, budaya, politik) yang efektif dan dinamis.
Aktualisasi tajdid peradaban Muhammadiyah juga meniscayakan pentingnya reformasi sistem pendidikan dari yang bersifat dikotomik-parsial menuju sistem pendidikan holistik intergatif dengan visi profetik. Oleh sebab itu, kualitas sistem pendidikan Muhammadiyah dari TK hingga Perguruan Tinggi harus dikembangkan dan ditingkatkan agar mampu berkontribusi lebih progresif bagi pengembangan wawasan kebangsaan, kedaulatan, dan keadilan sosial.
Islam dan Indonesia berkemajuan sejatinya merupakan sebuah keniscayaan, apabila Muhammadiyah mampu mengisi ruang kebinekaan gagasan, pemikiran, dan aksi-aksi peradaban Indonesiawi yang Islami. Pemaknaan NKRI sebagai dar al-ahdi wa as-syahadah (negeri perjanjian dan pembuktian) mengharuskan Muhammadiyah secara proaktif dan progresif menjadikan dirinya sebagai kekuatan peradaban bangsa dalam membangun kedaulatan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
Dengan visi tajdid peradaban Indonesiawi yang Islami, Muhammadiyah ke depan diharapkan mampu berkontribusi positif melalui aneka gerakan tajdid-nya dalam mengawal tegaknya kedaulatan hukum, politik, ekonomi, energi, pangan, budaya, dan kelautan. Dengan jihad konstitusinya yang berulang kali terbukti mampu mengkritisi dan memenangi juducial review di Mahkamah Konstitusi, Muhammadiyah tentu sangat diandalkan untuk mengakselerasi penegakan hukum yang berkeadilan, mengkritisi, dan menasihati aparat penegak hukum agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, tidak membela yang bayar tapi mengabaikan yang benar.
Dalam al-Akhlaq wa al-Qiyam fi al-Hadharah al-Islamiyyah (Moral dan Nilai-nilai dalam Peradaban Islam), Raghib as-Sirjani (2016) menegaskan bahwa pilar kemajuan peradaban adalah tegaknya keadilan multidimensi (hukum, ekonomi, sosial politik, pendidikan, budaya), silaturahmi (kekeluargaan, kebangsaan, dan kemanusiaan), kasih sayang, solidaritas dan soliditas sosial, keharmonisan kehidupan keluarga bangsa, dan kepemimpinan (keluarga, sosial, politik, dan pemerintahan) yang kuat, berintegritas, berbudaya positif, dan melayani rakyatnya sepenuh jiwa dan raganya. Dalam konteks ini, Muhammadiyah perlu hadir dengan menyiapkan madrasah kepemimpinan bangsa, sebagaimana madrasah antikorupsi, sehingga ke depan mampu menyiapkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bervisi membangun peradaban Indonesia berkemajuan dan berkeadilan sosial.
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah,
Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
PADA 18 November 2018 ini Muhammadiyah genap berusia 106 tahun. Secara psikologis, usia tersebut tergolong sangat matang dan dewasa karena telah melampaui satu abad lebih dalam berdedikasi untuk negeri sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar yang bervisi tajdid (pembaruan, reformasi) menuju Islam berkemajuan di Indonesia tercinta.
Memasuki 100 tahun kedua, Muhammadiyah dinilai sebagai organisasi sosial keagamaan paling konsisten dengan khitahnya, paling tertib administrasinya dan paling akuntabel manajemennya. Dengan mengusung tema milad “Ta’awun untuk Negeri”, Muhammadiyah terus menyinari dan mencerahkan negeri.
Tema “Taíawun “ (saling menolong, berkolaborasi, berbagi, dan bergotong-royong) mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah senantiasa istikamah mengepakkan “sayap dakwah pencerahan dan jihad keumatannya” secara lebih luas dan lebih strategis dengan lima keunggulan amal usahanya: pendidikan, kesehatan, pelayanan dan kesejahteraan sosial, pemikiran keagamaan yang moderat, dan jihad konstitusinya yang sangat prorakyat.
Mengapa Muhammadiyah mampu bertahan melampaui satu abad, melintasi zaman, dan tetap dinamis dengan khitahnya sebagai gerakan tajdid (pembaruan)? Kunci suksesnya dalam aktulisasi Islam berkemajuan adalah keikhlasan, kemandirian, ketekunan, kesederhanaan, dan kesabaran. Keikhlasan para kader dan simpatisan dalam berjuang melalui Muhammadiyah membuat pimpinan, anggota, dan simpatisan selalu berkomitmen untuk “menghidup-hidupi Muhammadiyah” dan tidak mencari penghidupan dalam Muhammadiyah. Persyarikatan ini dijadikan sebagai ladang untuk menanam dan menumbuhkembangkan amal saleh, kinerja keumatan, dan pemajuan peradaban.
Ikhlas Berkhidmat
Kemandirian merupakan salah satu kunci soliditas pimpinan, anggota, dan simpatisan Muhammadiyah sehingga memiliki mental baja dalam mengembangkan amal usaha, tanpa harus bergantung kepada pihak lain, dan tidak juga menjadikan jabatan pada birokrasi pemerintah sebagai “ATM” persyarikatan. Ketekunan pimpinan dalam mengurus amal usaha menjadikan terus berkembang dan berkemajuan. Sekadar contoh dari buah ketekunan, sejak 1915, Muhammadiyah telah merintis penerbitan majalah Suara Muhammadiyah, dan hingga sekarang tetap terbit bahkan semakin maju, sehingga majalah ini meraih rekor Muri sebagai majalah Islam yang terbit berkesinambungan terlama (103 tahun).
Di era milenial ini kita dihadapkan pada tantangan globalisasi, teknologi informasi, dan komunikasi yang semakin kompleks dan menuntut reaktualisasi tajdid (pembaruan) peradaban. Dalam forum Muktamar ke 47 di Makassar, Agustus 2015 lalu, Muhammadiyah telah menghasilkan 13 butir rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh PP Muhammadiyah periode 2015-2020.
Salah satu dari 13 rekomendasi itu adalah membangun masyarakat dengan ilmu. Muhammadiyah menilai budaya ilmu di Indonesia masih rendah dan menjadi masalah serius bagi bangsa. Kelemahan dari budaya keilmuan juga menyebabkan sebagian warga bangsa sering bertindak tidak rasional, bahkan terkadang berperilaku tidak sesuai dengan akal sehat.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu membangun keunggulan dengan mengembangkan masyarakat ilmu melalui pengembangan budaya literasi, gerakan membaca, meneliti, menulis, berpikir rasional, bertindak strategis, bekerja efisien, dan menggunakan teknologi untuk tujuan kemaslahatan, keadaban perilaku, dan aneka kinerja produktif dan konstruktif.
Selain itu, Muktamar Muhammadiyah juga merekomendasikan pentingnya peningkatan daya saing umat Islam. Indonesia selama ini dianggap sebagai negara Islam terbesar di dunia. Namun, eksistensinya belum mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara di dunia internasional. Bahkan, sikap minder dengan negara lain pun kerap muncul. Muslim di Indonesia itu seolah majority with minority mentality atau inferiority complex. Akibatnya, umat ini gampang terpengaruh oleh aneka budaya negatif dan destruktif dari luar. Dua kata kunci rekomendasi tersebut, yaitu masyarakat ilmu dan peningkatan daya saing umat Islam Indonesia mengharuskan reaktualisasi tajdid peradaban era milenial ini.
Aktualisasi Tajdid Peradaban
Islam berkemajuan yang dicita-citakan oleh pendiri Muhammadiyah perlu diperkokoh setidaknya dengan tiga landasan dalam rangka aktualisasi tajdid peradaban ke depan. Pertama, peneguhan “teologi al-Ma’un”. Teologi al-Ma’un merupakan landasan berpikir, bergerak, dan bertindak yang diajarkan KH Ahmad Dahlan dalam memahami dan aktualisasi Islam sebagai agama dan peradaban. Praksis dari teologi al-Ma’un yang diteladankan Ahmad Dahlan ini tidak saja menginspirasi dan memotivasi warga persyarikatan, karena Islam yang diperkenalkan bukan sekadar Islam wacana, melainkan Islam rahmatan lil ’alamin yang membumi secara nyata dan berdaya guna.
Kedua, revitalisasi teologi wal ’ashri–karena Ahmad Dahlan sering juga mengajarkan substansi surat al-’Ashr–menghendaki Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid mampu memadukan gerakan pemikiran sekaligus gerakan peradaban yang bervisi rahmatan li al-’alamin dalam konteks zamannya. Tajdid peradaban yang harus dikembangkan Muhammadiyah bukan hanya untuk melayani dan memajukan umat Islam, tetapi juga memajukan bangsa, membela NKRI, dan membumikan konsep baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tenterem, adil makmur, dan mendapat lindungan ampunan Tuhan) dalam rumah besar NKRI.
Ketiga, tajdid peradaban Muhammadiyah harus dimulai dengan paradigma berpikir holistik integratif dalam memahami, memaknai dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan kebangsaan dan keumatan. Karena itu, ayat-ayat Qur’aniyyah harus dipadukan dan diimplementasikan secara proporsional dengan ayat-ayat kawniyyah dan ijtima’iyyah (alam dan sosial) dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi, visi peradaban Islam yang dikembangkan Muhammadiyah harus dapat ditransformasikan menuju Indonesia berkemajuan. Oleh karena itu, gerakan pemikiran dan peradaban (membangun budaya literasi, gerakan ide, pengembangan ilmu, riset, dan pendidikan) harus dibarengi dan dipadukan dengan gerakan amal sosial melalui pemberdayaan institusi (pendidikan, sosial, budaya, politik) yang efektif dan dinamis.
Aktualisasi tajdid peradaban Muhammadiyah juga meniscayakan pentingnya reformasi sistem pendidikan dari yang bersifat dikotomik-parsial menuju sistem pendidikan holistik intergatif dengan visi profetik. Oleh sebab itu, kualitas sistem pendidikan Muhammadiyah dari TK hingga Perguruan Tinggi harus dikembangkan dan ditingkatkan agar mampu berkontribusi lebih progresif bagi pengembangan wawasan kebangsaan, kedaulatan, dan keadilan sosial.
Islam dan Indonesia berkemajuan sejatinya merupakan sebuah keniscayaan, apabila Muhammadiyah mampu mengisi ruang kebinekaan gagasan, pemikiran, dan aksi-aksi peradaban Indonesiawi yang Islami. Pemaknaan NKRI sebagai dar al-ahdi wa as-syahadah (negeri perjanjian dan pembuktian) mengharuskan Muhammadiyah secara proaktif dan progresif menjadikan dirinya sebagai kekuatan peradaban bangsa dalam membangun kedaulatan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
Dengan visi tajdid peradaban Indonesiawi yang Islami, Muhammadiyah ke depan diharapkan mampu berkontribusi positif melalui aneka gerakan tajdid-nya dalam mengawal tegaknya kedaulatan hukum, politik, ekonomi, energi, pangan, budaya, dan kelautan. Dengan jihad konstitusinya yang berulang kali terbukti mampu mengkritisi dan memenangi juducial review di Mahkamah Konstitusi, Muhammadiyah tentu sangat diandalkan untuk mengakselerasi penegakan hukum yang berkeadilan, mengkritisi, dan menasihati aparat penegak hukum agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, tidak membela yang bayar tapi mengabaikan yang benar.
Dalam al-Akhlaq wa al-Qiyam fi al-Hadharah al-Islamiyyah (Moral dan Nilai-nilai dalam Peradaban Islam), Raghib as-Sirjani (2016) menegaskan bahwa pilar kemajuan peradaban adalah tegaknya keadilan multidimensi (hukum, ekonomi, sosial politik, pendidikan, budaya), silaturahmi (kekeluargaan, kebangsaan, dan kemanusiaan), kasih sayang, solidaritas dan soliditas sosial, keharmonisan kehidupan keluarga bangsa, dan kepemimpinan (keluarga, sosial, politik, dan pemerintahan) yang kuat, berintegritas, berbudaya positif, dan melayani rakyatnya sepenuh jiwa dan raganya. Dalam konteks ini, Muhammadiyah perlu hadir dengan menyiapkan madrasah kepemimpinan bangsa, sebagaimana madrasah antikorupsi, sehingga ke depan mampu menyiapkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bervisi membangun peradaban Indonesia berkemajuan dan berkeadilan sosial.
(kri)