Mengamankan Stok Beras di Tahun Politik
A
A
A
Bambang Soesatyo Ketua DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Pemerintah harus all out mengamankan ketersediaan beras di dalam negeri agar tidak terjadi spekulasi harga sepanjang tahun politik 2019. Karena itu, tim ekonomi di Kabinet Kerja harus mampu memberi pesan yang jelas dan tegas tentang ketersediaan beras.
Selain ketersediaan beras yang harus lebih dari cukup, pemerintah pun ditantang untuk memastikan harga komoditi pangan yang satu ini stabil alias tidak naik. Perhatian dan perlakuan yang sama pun hendaknya diberikan pada komoditas kebutuhan pokok lainnya. Bagaimanapun di tahun politik, isu tentang harga kebutuhan pokok bisa menjadi sangat sensitif.
Ketika terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok, apalagi beras, kekuatan oposisi akan menggoreng isu kenaikan harga untuk merusak kredibilitas pemerintah. Faktor ini patut digarisbawahi oleh tim ekonomi di Kabinet Kerja, mengingat kekuatan oposisi sejak beberapa bulan belakangan ini konsisten menyoal harga kebutuhan pokok serta mengeksploitasi keluh kesah emak-emak tentang harga.
Memasuki pekan ketiga Oktober 2018, masalah ketersediaan beras untuk awal tahun 2019 sempat menjadi perbincangan. Oleh karenanya, perbincangan itu fokus pada aman tidaknya stok beras di awal 2019, sudah barang tentu pemerintah perlu memberi perhatian sekaligus tanggapan. Apalagi persoalan ini diangkat ke permukaan oleh komunitas yang sehari-hari mengamati aspek produksi, pengadaan, serta permintaan dan penawaran beras di pasar dalam negeri, yakni asosiasi pengusaha tergabung dalam Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi). Sudah pasti bahwa mereka pun berargumentasi berdasarkan data resmi.
Perpadi memunculkan perkiraan bahwa akan terjadi penyusutan stok beras di dalam negeri pada awal 2019 karena berkurangnya pasokan. Pemerintah pun diminta menyiapkan lagi opsi impor. Namun, seperti diketahui bersama, untuk 2019, pemerintah belum sampai pada opsi impor. Bahkan, Badan Urusan Logistik (Bulog) memastikan ketersediaan beras masih pada level aman hingga Juni 2019 .
Namun, karena hal ini berkait langsung dengan kebutuhan ratusan juta jiwa, apa yang dikemukakan Perpadi perlu juga digarisbawahi pemerintah. Minimal mewaspadai kemungkinan terburuk. Dengan begitu, pemerintah harus bekerja ekstrakeras mengamankan stok beras sekaligus mengelola harga pada level yang membuat masyarakat merasa nyaman.
Perkiraan mengenai menyusutnya volume ketersediaan beras di awal 2019 mengacu pada data atau fakta yang memang tidak boleh dianggap remeh. Asumsi mengenai menyusutnya stok beras di dalam negeri muncul karena terjadi kenaikan harga beras medium pada September 2018 dari sebelumnya Rp9.198 menjadi Rp 9.310 per kilogram, sebagaimana telah dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Kenaikan harga itu terjadi diduga karena berkurangnya pasokan ke pasar. Kalau dugaan itu benar, tentu pertanyaannya adalah mengapa pasokan ke pasar berkurang?
Sangat mudah untuk dipahami publik bahwa periode kekeringan yang panjang dan ekstrem otomatis memengaruhi masa tanam dan menyebabkan bergesernya musim panen. Dari kecenderungan itu, masuk akal pula jika Perpadi memperingatkan pemerintah akan kemungkinan terjadinya kekosongan beras pada Januari, Februari, dan Maret 2019.
Pada awal 2019 diasumsikan bahwa volume stok beras di level aman minimal 9-10 juta ton untuk menutupi kebutuhan Januari hingga Maret plus kebutuhan yang muncul akibat hal-hal tak terduga. Para pengamat maupun anggota Perpadi mengingatkan potensi menyusutnya ketersediaan karena stok beras di dalam negeri diperkirakan maksimal 4 juta ton. Karena itu, muncul rekomendasi agar pemerintah menyiapkan opsi impor beras lagi.
Perbarui Prognosa
Pesan Bulog bahwa stok beras aman hingga Juni 2019 harus dipercaya. Akan tetapi, berdasarkan perkembangan harga beras sebagaimana tercermin pada September 2018 itu, pesan Bulog itu bisa ditanggapi berbeda oleh pasar. Benar bahwa ada surplus beras yang mendekati tiga juta ton, tetapi apakah volume surplus tersebut bisa merespons dengan efektif permintaan pasar yang kadang kala melampaui perkiraan. Artinya, dalam menetapkan volume stok beras harus ada keberanian memunculkan perkiraan tentang peningkatan besaran konsumsi pada saat tertentu yang tentu berakibat pada mengecilnya volume surplus beras. Misalnya, ketika pemerintah harus menyediakan beras di daerah bencana, seperti Palu-Donggala dan Lombok, surplus beras dipastikan menyusut.
Maka itu, jelas bahwa untuk menangkal spekulasi pada kemudian hari, Bulog bersama tim ekonomi di Kabinet Kerja harus mampu memberi pesan jelas dan tegas tentang ketersediaan beras sejak awal 2019. Pesan yang jelas dan tegas itu menjadi sangat penting karena pada 2019 Indonesia masuk tahun politik yang mengagendakan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota DPR/DPRD.
Tidak hanya faktor ketersediaan beras yang harus lebih dari cukup. Bahkan, pemerintah pun ditantang agar memastikan harga komoditi pangan yang satu ini stabil alias tidak naik. Perhatian dan perlakuan sama pun hendaknya diberikan pada komoditas kebutuhan pokok lainnya. Menjadi pemahaman bersama bahwa terwujudnya stabilitas harga kebutuhan pokok menjadi faktor signifikan bagi stabilitas politik nasional demi mulusnya pelaksanaan pemilihan presiden dan anggota parlemen pada tahun mendatang.
Untuk menanggapi apa yang diperkirakan Perpadi dan para pengamat itu, tim ekonomi Kabinet Kerja bersama Bulog perlu memperbaruiprognosa potensi ketersediaan beras sepanjang 2019. Memperbarui perkiraan itu tentu relevan, karena bergesernya musim tanam dan panen akibat kekeringan ekstrem pada sejumlah wilayah di dalam negeri, termasuk daerah-daerah produsen beras. Itu pun bukan aib jika dalam prognosa tersebut dimasukkan pula opsi impor beras pada 2019.
Dengan prognosa yang diperbarui plus opsi impor, pemerintah dan Bulog secara tidak langsung akan memberi pesan sangat jelas dan tegas bahwasanya stok beras di dalam negeri akan aman karena sudah disiapkan strategi pengamanannya. Jika pesan seperti ini sampai ke pasar, ruang bagi para spekulan untuk menggoreng harga beras akan tertutup. Khusus beras, pemerintah memang harus all out melakukan pengamanan dari aspek ketersediaan dan harga sejak awal 2019. Jika tim ekonomi Kabinet Kerja dan Bulog lengah atau minimalis, gejolak harga beras akan menjadi senjata bagi oposisi untuk mendiskreditkan pemerintah, yang pada gilirannya akan memengaruhi elektabilitas Presiden Joko Widodo sebagai calon petahana di Pilpres 2019.
Pemerintah harus all out mengamankan ketersediaan beras di dalam negeri agar tidak terjadi spekulasi harga sepanjang tahun politik 2019. Karena itu, tim ekonomi di Kabinet Kerja harus mampu memberi pesan yang jelas dan tegas tentang ketersediaan beras.
Selain ketersediaan beras yang harus lebih dari cukup, pemerintah pun ditantang untuk memastikan harga komoditi pangan yang satu ini stabil alias tidak naik. Perhatian dan perlakuan yang sama pun hendaknya diberikan pada komoditas kebutuhan pokok lainnya. Bagaimanapun di tahun politik, isu tentang harga kebutuhan pokok bisa menjadi sangat sensitif.
Ketika terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok, apalagi beras, kekuatan oposisi akan menggoreng isu kenaikan harga untuk merusak kredibilitas pemerintah. Faktor ini patut digarisbawahi oleh tim ekonomi di Kabinet Kerja, mengingat kekuatan oposisi sejak beberapa bulan belakangan ini konsisten menyoal harga kebutuhan pokok serta mengeksploitasi keluh kesah emak-emak tentang harga.
Memasuki pekan ketiga Oktober 2018, masalah ketersediaan beras untuk awal tahun 2019 sempat menjadi perbincangan. Oleh karenanya, perbincangan itu fokus pada aman tidaknya stok beras di awal 2019, sudah barang tentu pemerintah perlu memberi perhatian sekaligus tanggapan. Apalagi persoalan ini diangkat ke permukaan oleh komunitas yang sehari-hari mengamati aspek produksi, pengadaan, serta permintaan dan penawaran beras di pasar dalam negeri, yakni asosiasi pengusaha tergabung dalam Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi). Sudah pasti bahwa mereka pun berargumentasi berdasarkan data resmi.
Perpadi memunculkan perkiraan bahwa akan terjadi penyusutan stok beras di dalam negeri pada awal 2019 karena berkurangnya pasokan. Pemerintah pun diminta menyiapkan lagi opsi impor. Namun, seperti diketahui bersama, untuk 2019, pemerintah belum sampai pada opsi impor. Bahkan, Badan Urusan Logistik (Bulog) memastikan ketersediaan beras masih pada level aman hingga Juni 2019 .
Namun, karena hal ini berkait langsung dengan kebutuhan ratusan juta jiwa, apa yang dikemukakan Perpadi perlu juga digarisbawahi pemerintah. Minimal mewaspadai kemungkinan terburuk. Dengan begitu, pemerintah harus bekerja ekstrakeras mengamankan stok beras sekaligus mengelola harga pada level yang membuat masyarakat merasa nyaman.
Perkiraan mengenai menyusutnya volume ketersediaan beras di awal 2019 mengacu pada data atau fakta yang memang tidak boleh dianggap remeh. Asumsi mengenai menyusutnya stok beras di dalam negeri muncul karena terjadi kenaikan harga beras medium pada September 2018 dari sebelumnya Rp9.198 menjadi Rp 9.310 per kilogram, sebagaimana telah dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Kenaikan harga itu terjadi diduga karena berkurangnya pasokan ke pasar. Kalau dugaan itu benar, tentu pertanyaannya adalah mengapa pasokan ke pasar berkurang?
Sangat mudah untuk dipahami publik bahwa periode kekeringan yang panjang dan ekstrem otomatis memengaruhi masa tanam dan menyebabkan bergesernya musim panen. Dari kecenderungan itu, masuk akal pula jika Perpadi memperingatkan pemerintah akan kemungkinan terjadinya kekosongan beras pada Januari, Februari, dan Maret 2019.
Pada awal 2019 diasumsikan bahwa volume stok beras di level aman minimal 9-10 juta ton untuk menutupi kebutuhan Januari hingga Maret plus kebutuhan yang muncul akibat hal-hal tak terduga. Para pengamat maupun anggota Perpadi mengingatkan potensi menyusutnya ketersediaan karena stok beras di dalam negeri diperkirakan maksimal 4 juta ton. Karena itu, muncul rekomendasi agar pemerintah menyiapkan opsi impor beras lagi.
Perbarui Prognosa
Pesan Bulog bahwa stok beras aman hingga Juni 2019 harus dipercaya. Akan tetapi, berdasarkan perkembangan harga beras sebagaimana tercermin pada September 2018 itu, pesan Bulog itu bisa ditanggapi berbeda oleh pasar. Benar bahwa ada surplus beras yang mendekati tiga juta ton, tetapi apakah volume surplus tersebut bisa merespons dengan efektif permintaan pasar yang kadang kala melampaui perkiraan. Artinya, dalam menetapkan volume stok beras harus ada keberanian memunculkan perkiraan tentang peningkatan besaran konsumsi pada saat tertentu yang tentu berakibat pada mengecilnya volume surplus beras. Misalnya, ketika pemerintah harus menyediakan beras di daerah bencana, seperti Palu-Donggala dan Lombok, surplus beras dipastikan menyusut.
Maka itu, jelas bahwa untuk menangkal spekulasi pada kemudian hari, Bulog bersama tim ekonomi di Kabinet Kerja harus mampu memberi pesan jelas dan tegas tentang ketersediaan beras sejak awal 2019. Pesan yang jelas dan tegas itu menjadi sangat penting karena pada 2019 Indonesia masuk tahun politik yang mengagendakan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota DPR/DPRD.
Tidak hanya faktor ketersediaan beras yang harus lebih dari cukup. Bahkan, pemerintah pun ditantang agar memastikan harga komoditi pangan yang satu ini stabil alias tidak naik. Perhatian dan perlakuan sama pun hendaknya diberikan pada komoditas kebutuhan pokok lainnya. Menjadi pemahaman bersama bahwa terwujudnya stabilitas harga kebutuhan pokok menjadi faktor signifikan bagi stabilitas politik nasional demi mulusnya pelaksanaan pemilihan presiden dan anggota parlemen pada tahun mendatang.
Untuk menanggapi apa yang diperkirakan Perpadi dan para pengamat itu, tim ekonomi Kabinet Kerja bersama Bulog perlu memperbaruiprognosa potensi ketersediaan beras sepanjang 2019. Memperbarui perkiraan itu tentu relevan, karena bergesernya musim tanam dan panen akibat kekeringan ekstrem pada sejumlah wilayah di dalam negeri, termasuk daerah-daerah produsen beras. Itu pun bukan aib jika dalam prognosa tersebut dimasukkan pula opsi impor beras pada 2019.
Dengan prognosa yang diperbarui plus opsi impor, pemerintah dan Bulog secara tidak langsung akan memberi pesan sangat jelas dan tegas bahwasanya stok beras di dalam negeri akan aman karena sudah disiapkan strategi pengamanannya. Jika pesan seperti ini sampai ke pasar, ruang bagi para spekulan untuk menggoreng harga beras akan tertutup. Khusus beras, pemerintah memang harus all out melakukan pengamanan dari aspek ketersediaan dan harga sejak awal 2019. Jika tim ekonomi Kabinet Kerja dan Bulog lengah atau minimalis, gejolak harga beras akan menjadi senjata bagi oposisi untuk mendiskreditkan pemerintah, yang pada gilirannya akan memengaruhi elektabilitas Presiden Joko Widodo sebagai calon petahana di Pilpres 2019.
(pur)