Tampang Boyolali

Senin, 05 November 2018 - 05:20 WIB
Tampang Boyolali
Tampang Boyolali
A A A
Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mung­kin tak pernah menduga pidatonya yang membahas soal kemiskinan yang dialami sebagian rakyat akan menjadi viral dan memantik polemik luas.Saat ber­bi­cara pada acara peresmian Kantor Badan Pemenangan Prabowo-San­di di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (30/10), Prabowo menyinggung soal "tampang Boyolali". Potongan kalimat dalam pidato tersebut sebagai berikut: "...dan saya yakin kalian nggak pernah masuk hotel-hotel tersebut, betul? Mungkin kalian diusir, tampang kalian tidak tampang orang kaya. Tampang kalian ya tampang orang Boyolali ini ."Salah seorang warga Boyolali, Dakun, melaporkan pidato Pra­bo­wo tersebut ke Polda Metro Jaya, Jumat (2/11). Dia menilai pidato ter­sebut melecehkan warga Boyolali. Bukan hanya Dakun, sejumlah elite politik juga berkomentar atas pernyataan Prabowo tersebut. Bahkan kemarin ribuan warga Boyolali menggelar unjuk rasa me­ngecam dan menuntut Prabowo meminta maaf.Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Sriyanto Saputro, menyebut pi­hak­nya tak akan meminta maaf karena tidak ada kesalahan atas ucap­an Prabowo dalam pidato pembukaan posko relawan itu. Apa yang disampaikan Prabowo tidak masalah karena di forum internal pendukung, relawan sehingga seharusnya tidak perlu ada yang ter­provokasi.Pidato Prabowo ini hanya salah satu dari sekian banyak isu yang mewarnai sengitnya pertarungan dua kubu capres dalam merebut simpati pemilih. Sebelumnya kubu petahana Joko Widodo (Jokowi) juga mendapat kritik serupa ketika menyebut istilah “politisi sontoloyo”. Oleh kubu oposisi, Jokowi sebagai presiden dinilai tidak pan­tas mengucapkan kalimat yang bernada kasar.Tanpa mengurangi simpati dan rasa hormat kepada warga Bo­yolali, sekilas apa yang disampaikan Prabowo dalam pidatonya se­sung­guhnya hal yang normal saja. Dia sedang ingin meng­gam­bar­kan kemiskinan yang menjadi problem besar bangsa saat ini. Pada pidato di Boyolali itu Prabowo menggunakan kiasan atau analogi “tampang Boyolali” untuk menggambarkan kemiskinan yang di­alami sebagian warga di daerah itu. Namun sesuatu yang se­sungguhnya biasa saja bisa berubah luar biasa ketika itu terungkap di tahun politik di mana apa-apa seolah menjadi sangat sensitif.Apa boleh buat, hari-hari ini publik Tanah Air memang akan banyak disuguhi model pertarungan politik seperti ini. Hingga sebulan setelah dimulainya masa kampanye pilpres, terlihat jelas dua kubu menggunakan jurus yang sama: memanfaatkan blunder lawan. Ketika kubu lawan melakukan kecerobohan, misalnya ke­se­leo lidah, pihak seberang sudah siap dengan serangannya. Akibatnya media massa dan lini media masa media sosial ramai dengan per­tengkaran dan saling hujat.Terlihat ada upaya dari para elite politik untuk mengeksploitasi emosi massa. Menyadari massa di akar rumput cenderung mudah ter­sulut amarah, digunakanlah berbagai isu untuk memancing emosi. Tujuannya satu: menyudutkan kubu lawan. Pada titik ini ra­sionalitas politik mulai diabaikan.Sangat disayangkan karena di pilpres ini publik sesungguhnya se­dang mendambakan pertarungan gagasan. Dua kubu capres di­ha­rapkan bertarung ide soal bagaimana memajukan bangsa ke depan, terutama bagaimana mengatasi berbagai problem yang dialami hari ini.Publik butuh capres dan cawapres yang memberikan solusi alter­natif atas kebuntuan yang terjadi saat ini sehingga berbagai masalah yang dihadapi seperti kemiskinan, kurangnya lapangan kerja, harga barang-barang yang mahal bisa menemukan jalan keluar.Kritik atas kebijakan pemerintah oleh kubu oposisi penting, tetapi tetap harus kons­truktif dengan berlandaskan data, bukan asumsi semata. Tu­juannya pun untuk membantu mengatasi masalah yang dialami rak­yat. Sebaliknya kubu pemerintah tidak perlu alergi dengan meng­anggap semua kritik sebagai bentuk kenyinyiran.Masih ada waktu lima bulan untuk menampilkan wajah pilpres yang sejuk dan damai. Para elite dalam upaya merebut kemenangan diha­rap­kan bisa tetap memberikan teladan kepada rakyat dengan me­nam­pil­kan politik yang santun, etis, dan bermartabat. Menjadi penting me­nyimak seruan dari mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Ketika politik berada pada titik yang tidak rasional, sangat penting untuk me­nge­de­pankan spirit return to sanity. Bahwa dalam berpolitik kita tetap perlu me­miliki pikiran waras dan mental yang sehat. Semoga elite politik kita ma­sih memiliki kesadaran itu.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0680 seconds (0.1#10.140)