Populisme Islam, Jalan Menuju Istana
A
A
A
Pangi Syarwi Chaniago
Analisis Politik, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
POPULISME Islam menjadi perbincangan di tengah menguatnya fenomena gerakan politik Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia. Populisme Islam pada dasarnya adalah varian dari “populisme politik” yang berkembang pesat di negara-negara Eropa dan Amerika dan telah merambah Asia. Gerakan ini menemukan momentumnya dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat dan kejadian Brexit di Inggris.
Gerakan politik populis pada dasarnya adalah perlawanan terhadap kemapanan sebagai akibat dari eksklusi sosial dan marginalisasi yang menimpa sebagian kelompok dan kelas sosial tertentu yang berujung pada ketidakadilan dan ketimpangan sosial (Hadiz, 2016).
Ketidakadilan dan ketimpangan sosial ini adalah pemicu utama munculnya konflik dan gerakan politik yang membentuk aliansi antarkelas/ kelompok (cross-class alliance) untuk menentang musuh, baik secara ideologi maupun politik.
Populisme Islam pada dasarnya hanyalah bentuk respons terhadap perkembangan ekonomi dan politik yang terus berubah dan cenderung merugikan atau bahkan mengeksklusi sebagian kelompok. Para aktor yang terlibat cenderung diikat oleh persamaan rasa ketertindasan dan ketidakadilan sistem atau rezim yang berkuasa.
Populisme Islam mengorganisasi diri dalam bentuk aliansi antarkelompok di bawah panji-panji Islam sebagai alat pemersatu paling efektif. Dalam konteks Indonesia, populisme Islam menemukan momentumnya pada gelaran Pilkada Jakarta 2017 lalu. Beragam kelompok dan ormas Islam berhasil menyatukan diri dalam sebuah gerakan yang pada mulanya menuntut keadilan (penegakan hukum) atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Seiring perjalanan waktu gerakan yang menamakan diri Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama ini terus aktif menyuarakan ketidakadilan, ketimpangan dan kezaliman rezim berkuasa sehingga gerakan ini terus mereproduksi isu yang dapat mempersatukan dan mendelegitimasi rezim dengan menggambarkan kegagalan, ketidakadilan di sisi yang lain. Maka tidak diragukan lagi sebagian aktor dari gerakan ini juga gencar menyuarakan regenerasi pimpinan nasional melalui tagar #2019GantiPresiden.
Populisme Islam yang telah menjelma menjadi salah satu kekuatan politik juga ikut memainkan peranan yang cukup strategis dalam rangka menggalang kekuatan untuk mendukung atau tidak terhadap poros koalisi yang sudah terbentuk, Ijtima Ulama GNPF 212 adalah bentuk aksi nyata dari gerakan ini dengan mengeluarkan paket nama pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres).
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh gerakan ini menjadi pertimbangan penting yang dijadikan daya tawar (bargaining position) dan lobi politik di tengah semakin dinamisnya pergerakan dan peta politik di kedua poros koalisi yang telah terbentuk.
Rekomendasi dari ulama yang tergabung dalam GNPF ini adalah bentuk dukungan pada poros Prabowo Subianto agar rekomendasi ini dipertimbangkan jika ingin mendapatkan dukungan penuh dari gerakan ini.
Namun sepertinya gerakan populisme Islam ini akan melalui jalan terjal yang berliku dan bisa saja kehilangan momentum. Aliansi yang telah berhasil melahirkan gerakan fenomenal dengan sebutan gerakan 212 ini mulai digembosi dan mulai muncul bibit-bibit perpecahan.
Agenda #2019GantiPresiden akan menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk diwujudkan pada pemilu nanti. Ada beberapa pertimbangan yang mendasari argumentasi ini. Pertama, fragmentasi gerakan. Terpecahnya gerakan 212 ke dalam tiga organisasi terpisah (Presidium 212, Persaudaraan 212, dan Garda 212) akan menurunkan tensi dan daya tekan gerakan yang berujung pada menurunnya efektivitas dalam mobilisasi dukungan.
Kedua, kegagalan mendefinisikan musuh utama. Gerakan 212 sebagai salah-satu representasi dari populisme Islam Indonesia secara elitis akan mudah menerima posisi yang berseberangan dengan pemerintah saat ini, tetapi pada basis akar rumput pemilih akan gagal mendefinisikan dan menerima simpulan yang sama. Hal itu disebabkan oleh upaya serius yang dilakukan poros Joko Widodo (Jokowi) untuk merangkul kalangan Islam dengan pendekatan intensif kepada para ulama, santri, cendekiawan muslim, dan ormas Islam.
Jokowi ingin mengambil posisi tidak berseberangan dengan kekuatan Islam sehingga perlahan tapi pasti Jokowi berhasil memperluas basis dukungannya yang tidak hanya dari kalangan ceruk segmentasi nasionalis.
Ketiga, kombinasi nasionalis-religius. Kombinasi nasionalis-religius adalah pilihan paling ideal untuk meredam ketegangan politik dan berkembangnya politik SARA dan pecah-belah. Kubu Jokowi membuat keputusan strategis dengan mengambil ulama sebagai calon wakil presidennya sebagai bentuk respons serta menjawab isu SARA, menghapus stempel yang mengesankan mereka anti-Islam.
Jokowi menunjukkan keberpihakan nyata kepada umat Islam, bahkan calon wakil presiden pilihannya adalah ulama besar yang memegang posisi strategis sebagai rais aam NU dan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (sebelum mengundurkan diri).
Di sisi lain kubu Prabowo justru memilih Sandiaga Uno rekan separtainya yang jauh dari representasi gerakan populisme Islam. Bahkan pemilihan Sandiaga Uno menunjukkan kesan Partai Gerindra seolah tidak mau berbagi dan memborong semua jabatan strategis mulai dari capres-cawapres hingga ketua tim pemenangan.
Situasi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi kubu oposisi, yaitu akan sulit membangun soliditas koalisi, bahkan yang terpenting adalah sulit membangun argumentasi untuk para pendukungnya, terutama kelompok Islam, yang rekomendasinya tidak menjadi pertimbangan dalam penentuan calon wakil presiden.
Keempat, kebijakan pro-Islam. Pemerintahan Jokowi sadar bahwa ada kelompok yang terus berupaya untuk memberikan label dan stigma negatif terhadap diri dan pemerintahannya. Stigma ini terus dibangun seolah-olah pemerintahan yang dipimpinnya tidak berpihak kepada umat Islam. Namun sepertinya kelompok pembuat stigma ini harus berpikir ulang karena semua tuduhan ini terbantahkan dengan kerja nyata dari pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan berbagai data dan fakta yang menunjukkan hal yang sebaliknya.
Banyak hal yang telah dan akan dilakukan pemerintah yang mungkin oleh sebagian orang belum tahu. Di antaranya adalah program 1.000 balai kerja pesantren dan pembangunan ekonomi pesantren, penetapan Hari Santri Nasional, kunjungan rutin ke 60 pesantren selam 3 tahun (termasuk ritme intensitas kunjungan yang tinggi), komite nasional keuangan syariah, pendirian universitas Islam internasional yang sudah dimulai pembangunannya, lembaga keuangan mikro syariah, peresmian beberapa pesantren baru dan bahkan baru-baru ini Presiden Jokowi dinobatkan sebagai Top 50 tokoh muslim berpengaruh di dunia dengan menduduki peringkat ke-16.
Membaca dinamika dan peta politik terkini, sangatlah tidak tepat jika sentimen keagamaan terus dimainkan dan digoreng menjadi komoditas politik, apalagi digunakan untuk mendiskreditkan kelompok lain, terutama pemerintah. Argumen politik semacam ini sudah tidak relevan untuk menyerang pemerintah jika berkaca pada apa yang sudah dilakukan pemerintahan Jokowi dalam empat tahun terakhir.
Keberpihakan dan perhatian Jokowi terhadap Islam, ulama, pesantren, dan kiai sudah hampir tak ada jarak dan terkesan sangat dekat dengan umat.Adu gagasan dan program harus menjadi roh dari perdebatan politik ke depan, bukan hanya mengedepankan perdebatan yang tidak produktif sehingga masyarakat sebagai pemilih rasional diberi sajian pilihan-pilihan politik tanpa harus melukai dan mendiskreditkan pilihan politik kelompok lainnya.
Analisis Politik, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
POPULISME Islam menjadi perbincangan di tengah menguatnya fenomena gerakan politik Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia. Populisme Islam pada dasarnya adalah varian dari “populisme politik” yang berkembang pesat di negara-negara Eropa dan Amerika dan telah merambah Asia. Gerakan ini menemukan momentumnya dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat dan kejadian Brexit di Inggris.
Gerakan politik populis pada dasarnya adalah perlawanan terhadap kemapanan sebagai akibat dari eksklusi sosial dan marginalisasi yang menimpa sebagian kelompok dan kelas sosial tertentu yang berujung pada ketidakadilan dan ketimpangan sosial (Hadiz, 2016).
Ketidakadilan dan ketimpangan sosial ini adalah pemicu utama munculnya konflik dan gerakan politik yang membentuk aliansi antarkelas/ kelompok (cross-class alliance) untuk menentang musuh, baik secara ideologi maupun politik.
Populisme Islam pada dasarnya hanyalah bentuk respons terhadap perkembangan ekonomi dan politik yang terus berubah dan cenderung merugikan atau bahkan mengeksklusi sebagian kelompok. Para aktor yang terlibat cenderung diikat oleh persamaan rasa ketertindasan dan ketidakadilan sistem atau rezim yang berkuasa.
Populisme Islam mengorganisasi diri dalam bentuk aliansi antarkelompok di bawah panji-panji Islam sebagai alat pemersatu paling efektif. Dalam konteks Indonesia, populisme Islam menemukan momentumnya pada gelaran Pilkada Jakarta 2017 lalu. Beragam kelompok dan ormas Islam berhasil menyatukan diri dalam sebuah gerakan yang pada mulanya menuntut keadilan (penegakan hukum) atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Seiring perjalanan waktu gerakan yang menamakan diri Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama ini terus aktif menyuarakan ketidakadilan, ketimpangan dan kezaliman rezim berkuasa sehingga gerakan ini terus mereproduksi isu yang dapat mempersatukan dan mendelegitimasi rezim dengan menggambarkan kegagalan, ketidakadilan di sisi yang lain. Maka tidak diragukan lagi sebagian aktor dari gerakan ini juga gencar menyuarakan regenerasi pimpinan nasional melalui tagar #2019GantiPresiden.
Populisme Islam yang telah menjelma menjadi salah satu kekuatan politik juga ikut memainkan peranan yang cukup strategis dalam rangka menggalang kekuatan untuk mendukung atau tidak terhadap poros koalisi yang sudah terbentuk, Ijtima Ulama GNPF 212 adalah bentuk aksi nyata dari gerakan ini dengan mengeluarkan paket nama pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres).
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh gerakan ini menjadi pertimbangan penting yang dijadikan daya tawar (bargaining position) dan lobi politik di tengah semakin dinamisnya pergerakan dan peta politik di kedua poros koalisi yang telah terbentuk.
Rekomendasi dari ulama yang tergabung dalam GNPF ini adalah bentuk dukungan pada poros Prabowo Subianto agar rekomendasi ini dipertimbangkan jika ingin mendapatkan dukungan penuh dari gerakan ini.
Namun sepertinya gerakan populisme Islam ini akan melalui jalan terjal yang berliku dan bisa saja kehilangan momentum. Aliansi yang telah berhasil melahirkan gerakan fenomenal dengan sebutan gerakan 212 ini mulai digembosi dan mulai muncul bibit-bibit perpecahan.
Agenda #2019GantiPresiden akan menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk diwujudkan pada pemilu nanti. Ada beberapa pertimbangan yang mendasari argumentasi ini. Pertama, fragmentasi gerakan. Terpecahnya gerakan 212 ke dalam tiga organisasi terpisah (Presidium 212, Persaudaraan 212, dan Garda 212) akan menurunkan tensi dan daya tekan gerakan yang berujung pada menurunnya efektivitas dalam mobilisasi dukungan.
Kedua, kegagalan mendefinisikan musuh utama. Gerakan 212 sebagai salah-satu representasi dari populisme Islam Indonesia secara elitis akan mudah menerima posisi yang berseberangan dengan pemerintah saat ini, tetapi pada basis akar rumput pemilih akan gagal mendefinisikan dan menerima simpulan yang sama. Hal itu disebabkan oleh upaya serius yang dilakukan poros Joko Widodo (Jokowi) untuk merangkul kalangan Islam dengan pendekatan intensif kepada para ulama, santri, cendekiawan muslim, dan ormas Islam.
Jokowi ingin mengambil posisi tidak berseberangan dengan kekuatan Islam sehingga perlahan tapi pasti Jokowi berhasil memperluas basis dukungannya yang tidak hanya dari kalangan ceruk segmentasi nasionalis.
Ketiga, kombinasi nasionalis-religius. Kombinasi nasionalis-religius adalah pilihan paling ideal untuk meredam ketegangan politik dan berkembangnya politik SARA dan pecah-belah. Kubu Jokowi membuat keputusan strategis dengan mengambil ulama sebagai calon wakil presidennya sebagai bentuk respons serta menjawab isu SARA, menghapus stempel yang mengesankan mereka anti-Islam.
Jokowi menunjukkan keberpihakan nyata kepada umat Islam, bahkan calon wakil presiden pilihannya adalah ulama besar yang memegang posisi strategis sebagai rais aam NU dan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (sebelum mengundurkan diri).
Di sisi lain kubu Prabowo justru memilih Sandiaga Uno rekan separtainya yang jauh dari representasi gerakan populisme Islam. Bahkan pemilihan Sandiaga Uno menunjukkan kesan Partai Gerindra seolah tidak mau berbagi dan memborong semua jabatan strategis mulai dari capres-cawapres hingga ketua tim pemenangan.
Situasi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi kubu oposisi, yaitu akan sulit membangun soliditas koalisi, bahkan yang terpenting adalah sulit membangun argumentasi untuk para pendukungnya, terutama kelompok Islam, yang rekomendasinya tidak menjadi pertimbangan dalam penentuan calon wakil presiden.
Keempat, kebijakan pro-Islam. Pemerintahan Jokowi sadar bahwa ada kelompok yang terus berupaya untuk memberikan label dan stigma negatif terhadap diri dan pemerintahannya. Stigma ini terus dibangun seolah-olah pemerintahan yang dipimpinnya tidak berpihak kepada umat Islam. Namun sepertinya kelompok pembuat stigma ini harus berpikir ulang karena semua tuduhan ini terbantahkan dengan kerja nyata dari pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan berbagai data dan fakta yang menunjukkan hal yang sebaliknya.
Banyak hal yang telah dan akan dilakukan pemerintah yang mungkin oleh sebagian orang belum tahu. Di antaranya adalah program 1.000 balai kerja pesantren dan pembangunan ekonomi pesantren, penetapan Hari Santri Nasional, kunjungan rutin ke 60 pesantren selam 3 tahun (termasuk ritme intensitas kunjungan yang tinggi), komite nasional keuangan syariah, pendirian universitas Islam internasional yang sudah dimulai pembangunannya, lembaga keuangan mikro syariah, peresmian beberapa pesantren baru dan bahkan baru-baru ini Presiden Jokowi dinobatkan sebagai Top 50 tokoh muslim berpengaruh di dunia dengan menduduki peringkat ke-16.
Membaca dinamika dan peta politik terkini, sangatlah tidak tepat jika sentimen keagamaan terus dimainkan dan digoreng menjadi komoditas politik, apalagi digunakan untuk mendiskreditkan kelompok lain, terutama pemerintah. Argumen politik semacam ini sudah tidak relevan untuk menyerang pemerintah jika berkaca pada apa yang sudah dilakukan pemerintahan Jokowi dalam empat tahun terakhir.
Keberpihakan dan perhatian Jokowi terhadap Islam, ulama, pesantren, dan kiai sudah hampir tak ada jarak dan terkesan sangat dekat dengan umat.Adu gagasan dan program harus menjadi roh dari perdebatan politik ke depan, bukan hanya mengedepankan perdebatan yang tidak produktif sehingga masyarakat sebagai pemilih rasional diberi sajian pilihan-pilihan politik tanpa harus melukai dan mendiskreditkan pilihan politik kelompok lainnya.
(pur)