Kerugian Belum Terealisasi PLN
A
A
A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan
Mantan Anggota Tim Reformasi Tata-Kelola Migas
Berdasarkan laporan keuangan triwulan III 2018, PT PLN (Persero) mencatatkan laba usaha sebelum selisih kurs sebesar Rp9,6 triliun, meningkat 13,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp8,5 triliun.
Namun, berdasarkan Standard Akuntansi Pencatatan Laporan Keuangan, PLN harus mencatatkan kerugian belum terealisasi (unrealised loss ) akibat selisih kurs mencapai Rp17 triliun.
Unrealised loss merupakan kerugian yang dicatat dalam laporan laba-rugi akibat adanya selisih kurs dari pinjaman jangka panjang yang belum jatuh tempo. Pinjaman itu dalam mata uang dolar AS harus dikurskan ke dalam mata uang rupiah sehingga memunculkan rugi selisih kurs lantaran rupiah lagi melemah.
Peningkatan laba usaha sebelum selisih kurs itu ditopang dari dua sisi, yakni peningkatan pendapatan dan penurunan biaya operasional. Peningkatan pendapatan diperoleh dari penjualan setrum yang meningkat sebesar 6,93% dari Rp181,8 pada triwulan III/2018 2017 naik menjadi Rp194,4 pada periode yang sama pada 2018.
Kendati tarif listrik tidak dinaikkan dan penyesuaian tarif otomatis (automatic adjustment) dihapuskan sejak awal Januari 2018, kenaikan pendapatan PLN lebih dipicu oleh kenaikan jumlah pelanggan, seiring dengan pencapaian rasio elektrifikasi yang sudah mencapai 98,05% pada Oktober 2018.
Jumlah pelanggan mengalami kenaikan sebanyak 2,5 juta pelanggan, dari 68,1 juta pelanggan pada 2017 naik menjadi 70,6 juta pelanggan pada 2018. Kenaikan jumlah pelanggan itu menaikkan volume penjualan listrik sebesar 6,93%, dari Rp181,8 triliun pada 2017 naik menjadi Rp194,4 triliun. Nilai penjualan daya listrik juga mengalami peningkatan sekitar 4,87%, dari 165,1 Terra Watt hour (TWh) pada 2017 naik menjadi 173 TWh pada 2018.
Di tengah kenaikan harga energi primer yang digunakan pembangkit listrik: BBM, gas, solar, dan batubara, biaya operasional PLN masih bisa dikendalikan melalui efisiensi dan ditopang oleh harga Domestic Market Obligation (DMO) batubara.
Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan DMO harga batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar USD70 per ton, yang berlaku sejak 12 Maret 2018. Dengan DMO harga batubara itu, beban biaya operasional dapat diturunkan sehingga menaikkan laba usaha sebelum selisih kurs.
Meningkatnya harga minyak dunia tidak begitu memberatkan biaya operasional PLN. Pasalnya, dalam bauran energi pembangkit PLN tinggal 6%. Sementara penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), yang sumber dayanya tersedia di dalam negeri, semakin meningkat, yang mencapai 12,32%. Kapasitas pembangkit EBT akan meningkat lagi dengan beroperasinya Pembangkit Tenaga Bayu (Wind Power Plant ) 75 MW di Sulawesi Selatan.
Variabel inflasi, yang meningkatkan biaya operasional, memang masih terkendali pada kisaran 3% YOY. Tetapi, pelemahan kurs rupiah yang mencapai Rp15.303 per 1 dolar AS telah memicu unrealised loss, sehingga menggerus laba usaha PLN.
Selain itu, sebagian besar procurement pembangkit listrik PLN menggunakan kurs dolar AS, sedangkan pendapatan PLN semuanya dalam kurs rupiah. Hal ini yang kian memperbesar kerugian selisih kurs.
Selain beban itu, PLN juga harus mengeluarkan biaya dalam menjalankan Public Service Obligation (PSO), penugasan pemerintah, termasuk dalam pencapaian 100% elektrifikasi dan Proyek 35.000 MW.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 38/2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, PLN harus mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum berlistrik dengan prioritas daerah perdesaan belum berkembang, perdesaan terpencil, perdesaan perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk.
Pelemahan kurs rupiah yang menyebabkan unrealized loss merupakan variabel eksternal, yang tidak dapat dikontrol (uncontrollable ) oleh manajemen PLN. Demikian juga dengan penetapan tarif listrik di luar kewenangan PLN, yang ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR.
Dalam kondisi tersebut, PLN masih bisa meraup laba usaha sebelum selisih kurs sebesar Rp9,6 triliun merupakan pencapaian kinerja menggembirakan yang layak diapresiasi, meskipun laba usaha itu tergerus oleh unrealized loss sebesar Rp17 triliun.
Sebagai BUMN strategis, satu-satunya BUMN yang memproduksi dan mendistribusikan listrik, penilaian kinerja PLN semestinya tidak semata-mata didasarkan atas pencapaian kinerja keuangan (financial performance ), tetapi juga didasarkan atas pencapaian kinerja dalam menjalankan PSO, termasuk kinerja pencapaian rasio elektrifikasi yang hampir mencapai 100%.
Adanya unrealized loss juga tidak bisa digunakan sebagai dasar penilaian memburuknya kinerja PLN. Pasalnya, di samping kerugian itu belum terealisasi, penyebab utama unrealized loss lebih disebabkan oleh selisih kurs akibat pelemahan kurs rupiah yang merupakan variabel eksternal yang tidak bisa dikontrol oleh manajemen PLN.
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan
Mantan Anggota Tim Reformasi Tata-Kelola Migas
Berdasarkan laporan keuangan triwulan III 2018, PT PLN (Persero) mencatatkan laba usaha sebelum selisih kurs sebesar Rp9,6 triliun, meningkat 13,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp8,5 triliun.
Namun, berdasarkan Standard Akuntansi Pencatatan Laporan Keuangan, PLN harus mencatatkan kerugian belum terealisasi (unrealised loss ) akibat selisih kurs mencapai Rp17 triliun.
Unrealised loss merupakan kerugian yang dicatat dalam laporan laba-rugi akibat adanya selisih kurs dari pinjaman jangka panjang yang belum jatuh tempo. Pinjaman itu dalam mata uang dolar AS harus dikurskan ke dalam mata uang rupiah sehingga memunculkan rugi selisih kurs lantaran rupiah lagi melemah.
Peningkatan laba usaha sebelum selisih kurs itu ditopang dari dua sisi, yakni peningkatan pendapatan dan penurunan biaya operasional. Peningkatan pendapatan diperoleh dari penjualan setrum yang meningkat sebesar 6,93% dari Rp181,8 pada triwulan III/2018 2017 naik menjadi Rp194,4 pada periode yang sama pada 2018.
Kendati tarif listrik tidak dinaikkan dan penyesuaian tarif otomatis (automatic adjustment) dihapuskan sejak awal Januari 2018, kenaikan pendapatan PLN lebih dipicu oleh kenaikan jumlah pelanggan, seiring dengan pencapaian rasio elektrifikasi yang sudah mencapai 98,05% pada Oktober 2018.
Jumlah pelanggan mengalami kenaikan sebanyak 2,5 juta pelanggan, dari 68,1 juta pelanggan pada 2017 naik menjadi 70,6 juta pelanggan pada 2018. Kenaikan jumlah pelanggan itu menaikkan volume penjualan listrik sebesar 6,93%, dari Rp181,8 triliun pada 2017 naik menjadi Rp194,4 triliun. Nilai penjualan daya listrik juga mengalami peningkatan sekitar 4,87%, dari 165,1 Terra Watt hour (TWh) pada 2017 naik menjadi 173 TWh pada 2018.
Di tengah kenaikan harga energi primer yang digunakan pembangkit listrik: BBM, gas, solar, dan batubara, biaya operasional PLN masih bisa dikendalikan melalui efisiensi dan ditopang oleh harga Domestic Market Obligation (DMO) batubara.
Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan DMO harga batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar USD70 per ton, yang berlaku sejak 12 Maret 2018. Dengan DMO harga batubara itu, beban biaya operasional dapat diturunkan sehingga menaikkan laba usaha sebelum selisih kurs.
Meningkatnya harga minyak dunia tidak begitu memberatkan biaya operasional PLN. Pasalnya, dalam bauran energi pembangkit PLN tinggal 6%. Sementara penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), yang sumber dayanya tersedia di dalam negeri, semakin meningkat, yang mencapai 12,32%. Kapasitas pembangkit EBT akan meningkat lagi dengan beroperasinya Pembangkit Tenaga Bayu (Wind Power Plant ) 75 MW di Sulawesi Selatan.
Variabel inflasi, yang meningkatkan biaya operasional, memang masih terkendali pada kisaran 3% YOY. Tetapi, pelemahan kurs rupiah yang mencapai Rp15.303 per 1 dolar AS telah memicu unrealised loss, sehingga menggerus laba usaha PLN.
Selain itu, sebagian besar procurement pembangkit listrik PLN menggunakan kurs dolar AS, sedangkan pendapatan PLN semuanya dalam kurs rupiah. Hal ini yang kian memperbesar kerugian selisih kurs.
Selain beban itu, PLN juga harus mengeluarkan biaya dalam menjalankan Public Service Obligation (PSO), penugasan pemerintah, termasuk dalam pencapaian 100% elektrifikasi dan Proyek 35.000 MW.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 38/2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, PLN harus mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum berlistrik dengan prioritas daerah perdesaan belum berkembang, perdesaan terpencil, perdesaan perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk.
Pelemahan kurs rupiah yang menyebabkan unrealized loss merupakan variabel eksternal, yang tidak dapat dikontrol (uncontrollable ) oleh manajemen PLN. Demikian juga dengan penetapan tarif listrik di luar kewenangan PLN, yang ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR.
Dalam kondisi tersebut, PLN masih bisa meraup laba usaha sebelum selisih kurs sebesar Rp9,6 triliun merupakan pencapaian kinerja menggembirakan yang layak diapresiasi, meskipun laba usaha itu tergerus oleh unrealized loss sebesar Rp17 triliun.
Sebagai BUMN strategis, satu-satunya BUMN yang memproduksi dan mendistribusikan listrik, penilaian kinerja PLN semestinya tidak semata-mata didasarkan atas pencapaian kinerja keuangan (financial performance ), tetapi juga didasarkan atas pencapaian kinerja dalam menjalankan PSO, termasuk kinerja pencapaian rasio elektrifikasi yang hampir mencapai 100%.
Adanya unrealized loss juga tidak bisa digunakan sebagai dasar penilaian memburuknya kinerja PLN. Pasalnya, di samping kerugian itu belum terealisasi, penyebab utama unrealized loss lebih disebabkan oleh selisih kurs akibat pelemahan kurs rupiah yang merupakan variabel eksternal yang tidak bisa dikontrol oleh manajemen PLN.
(nag)