Teka-Teki JT 610

Kamis, 01 November 2018 - 07:32 WIB
Teka-Teki JT 610
Teka-Teki JT 610
A A A
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

DUKA mendalam kembali menyelimuti Indonesia pascakecelakaan jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 tujuan Pangkalpinang yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat setelah 13 menit lepas landas. Kecelakaan pesawat ini merupakan kecelakaan pesawat yang terparah dalam 10 tahun terakhir dengan sekitar 189 korban jiwa yang terdiri dari dari penumpang dan awak pesawat.

Kini banyak pihak menyoal terjadinya kecelakaan tersebut mengingat pesawat Lion Air JT 610 berjenis Boeing 737-800 Max 8 tergolong pesawat baru yang baru diserahterimakan dari pabriknya di Seattle pada 13 Agustus 2018 dan baru memiliki total jam terbang 800 jam. Tentu banyak kemungkinan yang bisa menuntun pada logika terjadinya kecelakaan pesawat JT 610.

Dalam hukum penerbangan selain persoalan teknis mekanis dan kotak hitam, logbook (buku riwayat pesawat) tersebut juga dapat menjadi bukti untuk mengonstruksikan kemungkinan kecelakaan, meskipun dalam sejarah penerbangan tidak ada kecelakaan dengan seluruh korban meninggal yang dapat ditentukan secara pasti penyebab terjadinya kecelakaan. Yang dapat ditentukan hanyalah perkiraan logis terjadinya kecelakaan seperti kasus kecelakaan Air Asia 8501 atau bahkan tidak dapat ditentukan sama sekali penyebab kecelakaan sebagaimana kasus penerbangan MH 317.

Dalam hal kecelakaan JT 610 Komite Nasional Keselamatan Penerbangan (KNKT) harus memeriksa semua kemungkinan, bahkan kemungkinan yang terkecil sekalipun. Sekali lagi dalam sejarah penerbangan internasional hasil penelitian KNKT internasional juga tidak 100% dapat mengonstruksikan penyebab kecelakaan. Sebagaimana diungkapkan Pilot Sullenberger dalam kasus kecelakaan penerbangan US Airways 1549.

Dalam bukunya Highest Duty, Sullenberger (2009), menyebutkan bahwa dalam hal terjadi kecelakaan pesawat dengan seluruh korban meninggal maka kotak hitam harus menjadi rujukan utama sebab yang mengetahui secara pasti keadaan pesawat di udara adalah pilot, sedangkan hasil penyelidikan KNKT biasanya hanya bersifat sekunder dan hanya menghasilkan hipotesis sehingga harus divalidasi dengan kotak hitam dan logbook history pesawat.

Terkait kecelakaan JT 610 nampaknya hanya ada dua kemungkinan yakni teknis mekanis dan kelalaian dari maskapai penerbangan, mengingat faktor lain diluar dua hal tersebut sudah pasti bukan penyebab kecelakaan seperti misalnya faktor cuaca maupun faktor kejahatan dalam penerbangan seperti terorisme. Dari penjelasan seluruh pihak yang terlibat nampaknya kemungkinan yang paling adequate adalah persoalan teknis-mekanis dan kelalaian (human error).

Mengurai Faktor
Geoffry Thomas (1980), menjelaskan bahwa dalam dunia penerbangan dikenal istilah critical eleven yakni menerangkan bahwa momen-momen kritis penerbangan biasanya di menit-menit awal setelah take off dan menit-menit akhir menjelang landing. Pada momen-momen tersebutlah pesawat rawan mengalami kecelakaan.

Sebagaimana dialami oleh pesawat JT 610, beberapa menit setelah lepas landas pilot meminta return to base (RTB), asumsi yang paling logis adalah pilot meminta RTB karena ada kendala teknis yang tidak dapat diatasi dan kendala tersebut berpotensi mengakibatkan kecelakaan, meskipun dalam hal ini harus dipastikan dengan informasi yang diperoleh dari kotak hitam pesawat JT 610.

Dalam kasus JT 610 jika mengacu pada konvensi penerbangan internasional (Warsawa convention), maka pada inspeksi kecelakaan penerbangan logbook merupakan bukti otentik karena dipandang menggambarkan keadaan pesawat secara objektif sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. History pesawat JT 610 yang sebelumnya telah mengalami gangguan teknis pada penerbangan sebelumnya meskipun berhasil mendarat harus menjadi kondisi yang harus diperhitungkan sebagai penyebab kecelakaan pesawat JT 610.

Kuncinya adalah rekonstruksi dari buku logbook pesawat sejak pesawat mendarat dari penerbangan sebelumnya hingga dinyatakan layak pada penerbangan JT 610. Pascamendarat dari penerbangan sebelumnya, harus ditelaah apakah complain dari penerbangan sebelumnya telah ditindak lanjuti oleh flight engineer secara layak dan apakah flight engineer telah melakukan inspeksi pesawat secara patut sebelum penerbangan JT 610.

Jon Ostrower (2006), menyebutkan bahwa salah satu kesalahan engineer pada pesawat baru adalah tidak melakukan inspeksi secara cermat karena berasumsi pesawat masih baru sehingga mungkin saja menimbulkan kecelakaan fatal. Jika hal ini terjadi maka artinya terjadi kelalaian (human error) dan seharusnya berlaku konsekuensi pidana atas kesalahan tersebut dan pihak maskapai harus bertanggung jawab penuh pada penumpang.

Mengacu pada Civil Aviation Safety Regulation (CASR) article 145 bahwa inspeksi flight engineer dituangkan dalam logbook yang ditanda tangani pilot dengan rekomendasi tidak layak terbang karena alasan teknis atau layak terbang (bisa layak terbang dengan catatan bisa juga layak terbang tanpa catatan).

Jika prosedur tersebut telah diterapkan maka kemungkinan berikutnya yang patut diperiksa adalah kerusakan mesin di udara karena faktor alam sebagaimana kecelakaan yang dialami Pilot Sullenberger dalam kasus kecelakaan penerbangan US Airways 1549 ketika sekawanan burung masuk ke mesin pesawat dan mengakibatkan gangguan teknis fatal.

Jika gangguan mesin yang dialami JT 610 disebabkan karena gangguan mesin di udara karena faktor alam jelas bahwa peristiwa tersebut adalah kecelakaan murni sehingga konsekuensi hukumnya adalah force majeur. Jika hal ini terjadi maka konsekuensinya adalah pihak maskapai harus membayarkan asuransi penumpang.

Kemungkinan kecelakaan JT 610 juga bisa saja disebabkan karena cacat tersembunyi pada mesin pesawat mengingat regulator penerbangan AS sempat menarik kembali pesawat jet Boeing 737 Max karena terdapat cacat produksi, hal ini harus menjadi perhatian tim KNKT dalam penelusuran kecelakaan pesawat JT 610.

Jika dapat dibuktikan bahwa kecelakaan pesawat JT 610 karena ada cacat tersembunyi pada mesin maka mengacu pada kasus British Airways melawan Roll Royce bahwa perusahaan penyedia pesawat dan mesinnya dapat dituntut pertanggungjawabannya atas cacat tersembunyi terhadap pesawat beserta mesin yang diproduksinya. Sehingga jika hal ini terjadi maka pihak Lion Air dapat mengklaim ganti kerugian dan pemuliah nama baik pada produsen pesawat beserta mesinnya tersebut.

Musibah ini tidak saja menimbulkan duka bagi keluarga korban tetapi juga menimbulkan dampak multiplier bagi pariwisata, perekonomian maupun sektor-sektor lainnya. Dalam hal ini pemerintah harus secara serius menangani kecelakaan penerbangan JT 610 dan mengumumkan hasilnya pada masyarakat dan dunia internasional guna menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sistem korektif pada kecelakaan penerbangan sekaligus pengawasan sehingga kecelakaan penerbangan tidak terulang kembali.

Sesuai data IATA menyebutkan bahwa Indonesia kini diproyeksikan naik dari peringkat sepuluh menjadi lima besar pasar penerbangan global sehingga jika kecelakaan pesawat JT 610 tidak ditangani secara serius akan terjadi dampak multiplier yang merugikan.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1637 seconds (0.1#10.140)