Sains, Saintis, dan Vaksin Corona
loading...
A
A
A
Asrudin Azwar
Peneliti, Pendiri The Asrudian Center & Mirza Jaka Suryana, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
AKHIR-AKHIR ini dunia sains mendapat sorotan dari para cendekiawan kenamaan Indonesia di tengah mewabahnya virus Corona. Sorotan ini terkait dengan peranan sains/saintis dalam menyikapi apa yang disebut oleh ilmuwan politik Amerika Serikat, Richard W. Mansbach, sebagai penyakit global.
Perhatian para cendekiawan itu pun melahirkan silang pendapat. Ini bermula ketika AS Laksana (ASL) mengunggah artikel di FB "Sains dan Hal-Hal Baiknya" untuk menanggapi Goenawan Mohamad (GM) yang relativistik. Dalam artikel itu, ASL memosisikan diri layaknya seorang pembela positivisitik yang paling gigih. Memuja sains dengan segala pesonanya.
Dengan percaya diri ASL mengatakan bahwa informasi saintifik membuat pengetahuan kita membaik dan momentum berjangkitnya wabah, disadari atau tidak, telah menjadi pendorong yang efektif bagi penerimaan kita terhadap sains. Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang dari kalangan sains. Ajakan untuk berkhidmat pada sains itu, kata ASL, telah disanggah GM. ASL menuding GM mengecilkan sains dengan menggunakan anekdot tentang Einstein yang mengatakan politik lebih rumit dibandingkan fisika.
Namun, GM tidak tinggal diam. Ia pun menanggapi balik ASL dengan artikel “Sains dan Masalah-Masalahnya”. Dengan gayanya yang khas Heideggerian, GM mengatakan bahwa “sains tidak berfikir”. Dalam risalahnya, “Die Frage nach dem Ding”, Heidegger, sebagaimana dikutip GM, menguraikan lebih lanjut keterbatasan sains dengan sifatnya yang matematis. Ia menjelaskan dengan merujuk makna yang tersirat dalam kata “ta mathemata”. Arti kata Yunani itu, menurut Heidegger, “apa yang kita ketahui tentang hal ihwal lebih dulu”. Sains bersifat matematis karena ia tidak menangkap realitas sebagai sesuatu yang langsung, tanpa mediasi, tapi sudah terlebih dahulu diposisikan dalam kerangka.
Menindaklanjuti silang pendapat itu, ASL dan GM tentu saja memiliki argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Tapi, bukan berarti keduanya bisa bebas dari kritik. Oleh karena itu, kami mengambil sikap intelektual yang berbeda. Bagi kami argumen kedua cendekiawan itu juga memiliki batasan.
Batasan Argumen
Sejarah sains boleh jadi ditulis berdasarkan keberhasilan yang telah dicapai (positivistik ASL) atau kegagalan akibat masalah yang disebabkannya (relativistik GM). Tapi, bagi kami sejarah-sejarah kepenulisan itu juga memiliki batasan.
Sekarang kita lihat batasan dari argumen positivistik ASL. Apa benar capaian sains begitu memesona sehingga ia bisa bebas begitu saja dari kritik. Einstein, kita tahu merupakan seorang jenius. Berkat teori relativitas, ia berhasil mengubah dunia keilmuan. Mengguncang fondasi fisika yang sudah dimapankan Newton. Gravitasi itu bisa dilawan. Pesawat terbang membuktikannya. Perkembangan dunia pun semakin pesat.
Keterhubungan menjadi tak terelakkan. Dalam waktu yang relatif singkat, manusia bisa berada di mana pun di belahan bumi. Tetapi, konsekuensi yang dihasilkan dari pembelotan Einstein terhadap Newton tidak kalah besar. Melawan gravitasi membuat bumi semakin terpolusi. Burung besi yang bisa terbang itu membutuhkan energi besar, yang buangannya merusak lapisan ozon. Selama satu abad belakangan kita mengalami perubahan iklim yang ekstrem. Dunia seolah tidak memiliki harapan.
Peneliti, Pendiri The Asrudian Center & Mirza Jaka Suryana, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
AKHIR-AKHIR ini dunia sains mendapat sorotan dari para cendekiawan kenamaan Indonesia di tengah mewabahnya virus Corona. Sorotan ini terkait dengan peranan sains/saintis dalam menyikapi apa yang disebut oleh ilmuwan politik Amerika Serikat, Richard W. Mansbach, sebagai penyakit global.
Perhatian para cendekiawan itu pun melahirkan silang pendapat. Ini bermula ketika AS Laksana (ASL) mengunggah artikel di FB "Sains dan Hal-Hal Baiknya" untuk menanggapi Goenawan Mohamad (GM) yang relativistik. Dalam artikel itu, ASL memosisikan diri layaknya seorang pembela positivisitik yang paling gigih. Memuja sains dengan segala pesonanya.
Dengan percaya diri ASL mengatakan bahwa informasi saintifik membuat pengetahuan kita membaik dan momentum berjangkitnya wabah, disadari atau tidak, telah menjadi pendorong yang efektif bagi penerimaan kita terhadap sains. Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang dari kalangan sains. Ajakan untuk berkhidmat pada sains itu, kata ASL, telah disanggah GM. ASL menuding GM mengecilkan sains dengan menggunakan anekdot tentang Einstein yang mengatakan politik lebih rumit dibandingkan fisika.
Namun, GM tidak tinggal diam. Ia pun menanggapi balik ASL dengan artikel “Sains dan Masalah-Masalahnya”. Dengan gayanya yang khas Heideggerian, GM mengatakan bahwa “sains tidak berfikir”. Dalam risalahnya, “Die Frage nach dem Ding”, Heidegger, sebagaimana dikutip GM, menguraikan lebih lanjut keterbatasan sains dengan sifatnya yang matematis. Ia menjelaskan dengan merujuk makna yang tersirat dalam kata “ta mathemata”. Arti kata Yunani itu, menurut Heidegger, “apa yang kita ketahui tentang hal ihwal lebih dulu”. Sains bersifat matematis karena ia tidak menangkap realitas sebagai sesuatu yang langsung, tanpa mediasi, tapi sudah terlebih dahulu diposisikan dalam kerangka.
Menindaklanjuti silang pendapat itu, ASL dan GM tentu saja memiliki argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Tapi, bukan berarti keduanya bisa bebas dari kritik. Oleh karena itu, kami mengambil sikap intelektual yang berbeda. Bagi kami argumen kedua cendekiawan itu juga memiliki batasan.
Batasan Argumen
Sejarah sains boleh jadi ditulis berdasarkan keberhasilan yang telah dicapai (positivistik ASL) atau kegagalan akibat masalah yang disebabkannya (relativistik GM). Tapi, bagi kami sejarah-sejarah kepenulisan itu juga memiliki batasan.
Sekarang kita lihat batasan dari argumen positivistik ASL. Apa benar capaian sains begitu memesona sehingga ia bisa bebas begitu saja dari kritik. Einstein, kita tahu merupakan seorang jenius. Berkat teori relativitas, ia berhasil mengubah dunia keilmuan. Mengguncang fondasi fisika yang sudah dimapankan Newton. Gravitasi itu bisa dilawan. Pesawat terbang membuktikannya. Perkembangan dunia pun semakin pesat.
Keterhubungan menjadi tak terelakkan. Dalam waktu yang relatif singkat, manusia bisa berada di mana pun di belahan bumi. Tetapi, konsekuensi yang dihasilkan dari pembelotan Einstein terhadap Newton tidak kalah besar. Melawan gravitasi membuat bumi semakin terpolusi. Burung besi yang bisa terbang itu membutuhkan energi besar, yang buangannya merusak lapisan ozon. Selama satu abad belakangan kita mengalami perubahan iklim yang ekstrem. Dunia seolah tidak memiliki harapan.