Govern to Choose
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
JUDUL artikel ini memang terinspirasi dari tulisan Chatib Basri di salah satu harian nasional yang mengutip argumen Nigel Lawson, Mantan Menteri Keuangan Inggris yang mengatakan bahwa “To govern is to choose. To appear to be unable to choose is to appear to be unable to govern”. Penulis tertarik dengan diksi govern to choose.
Kondisinya kurang lebih sama dengan kondisi perekonomian kita: pemerintah tidak memiliki banyak pilihan untuk menyelesaikan problematika ekonomi yang cukup pelik saat ini. Padahal karakteristik pasar kita masih terjebak pada gaya negara ekonomi berkembang yang cenderung kapitalistik, yakni pemerintah (dituntut) hadir saat terjadi kegagalan pasar (market failure) dalam hal alokasi sumber daya ekonomi secara efisien.
Kebutuhan publik hampir sepenuhnya dibebankan pada pemerintah. Peran swasta juga masih terasa minor untuk meringankan beban pemerintah, khususnya dari segi pembiayaan pembangunan.
Kita semua paham bahwa peran pemerintah senantiasa diperlukan pada saat market failure menyerang stabilitas perekonomian. Saat distribusi kekayaan dan kesejahteraan berjalan kurang merata, mayoritas penguasaan sumber produksi dan distribusi hasil ekonomi akan mengarah terbatas hanya pada segelintir kelompok atau individu. Nanti para penguasa ini akan sekaligus berperan menjadi penentu harga dan dampaknya cenderung menimbulkan distorsi pasar lainnya.
Jika pola pembagian kesejahteraan semakin ekstrem dan eksklusif, stabilitas sosial dan politik akan segera menghadapi tekanan batin yang hebat. Kita belum terlihat memiliki mental yang baik untuk menghadapi krisis.
Saat ini perekonomian nasional menghadapi episode sangat berat. Dari sisi eksternal, kita menghadapi gejolak perekonomian dunia yang penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) dan fragile. Berbagai peristiwa dunia membuat perekonomian domestik terasa seperti musim dingin yang tidak cocok untuk menanam berbagai benih.
Sebagian besar harga komoditi ekspor utama kita, seperti minyak, gas, dan pertambangan, dalam sebulan terakhir tampak seperti sedang flu. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) vs China semakin melahirkan babak-babak baru.
Setelah sulit menemukan titik temu, kini kedua negara semakin rajin membangun koloni-koloni baru. AS baru-baru ini membangun pakta perdagangan dengan Meksiko dan Kanada melalui United States, Mexico, Canada Agreement (USMCA).
Isinya melarang anggota di dalamnya untuk bertransaksi dengan negara “non-market economy” yang secara tersirat banyak dikaitkan dengan China. Status perjanjian dagang yang sebelumnya berkaitan antara sekutu AS dengan China nasibnya mulai banyak simpang siur.
Indonesia mulai juga terdampak karena kita memiliki ikatan politik dan histori yang erat dengan AS, sementara China merupakan mitra perdagangan utama, baik untuk ekspor maupun impor.
Di lain pihak, produksi dalam negeri masih terjebak pada kendala struktural yang sama dan sulit seperti yang diharapkan. Industri yang kita kembangkan belum mampu mendorong penggunaan bahan baku lokal secara signifikan.
Bahkan untuk industri pengolahan makanan dan minuman, 80% bahan bakunya berasal dari impor. Pakan ternak juga sama halnya, sebagian komponennya juga bergantung pada ketersediaan impor. Sungguh ironis bagi bangsa yang mengaku sebagai negara agraris sehingga menghadapi situasi ini, pemerintah dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, terbatas, dan relatif dilematis.
Kendati demikian, mau tidak mau pemerintah harus memilih, walaupun sepahit apa pun konsekuensi yang akan dihadapi kelak. Karena pada pundak merekalah kita menaruh harapan besar agar terhindar dari market failure.
Seperti kata Nigel Lawson tadi, pemerintah perlu semakin memantapkan diri menyiapkan jalan keluar. Dengan demikian, profesionalitas pemerintah sebagai birokrat merangkap teknokrat akan diuji untuk merumuskan dampak terkecil dari kebijakan yang akan diambil. Jika sudah telanjur diputuskan, maka tugas berikutnya adalah mengawal dan bertanggung jawab serta mengantisipasi atas seluruh dampak kebijakan yang diambil berjalan efektif dan konsisten.
Seperti yang tengah dikerjakan saat ini, kebijakan pembangunan infrastruktur menjadi primadona untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dibandingkan negara-negara lain serta mempercepat transformasi dan integrasi perekonomian. Dahulu Jepang melakukan rehabilitasi perekonomian pascaperang melalui pembangunan infrastruktur fisik dan sosial.
Pemerintah Belanda pun membangun Pelabuhan Amsterdam untuk memulihkan perekonomian yang sempat carut-marut. Kita sudah bersepakat bahwa infrastruktur menjadi kendala utama bagi kita untuk mengejar daya saing seperti halnya negara-negara unggul.
Tugas berikutnya adalah mempersiapkan SDM lokal yang unggul untuk memanfaatkan ketersediaan infrastruktur. Kebijakan ini menjadi kebutuhan absolut jika pemerintah menginginkan dampak dari pembangunan infrastruktur berjalan linier dengan target pemerataan pertumbuhan.
Alasannya cukup kompleks, mengapa SDM lokal perlu turut dibangun. Selain untuk kepentingan perluasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, tujuan pendayagunaan SDM lokal juga memuat kepentingan untuk menghindari konflik horizontal.
Kita perlu belajar dari yang sudah pernah terjadi di Indonesia bahwa salah satu muasal aktivitas separatisme, konflik antarsuku dan ras, serta tragedi-tragedi sosial lainnya, timbul dari perasaan “dianaktirikan”. Jalan keluar berikutnya adalah agar standar upah juga semakin merata dan agar tidak terjadi lagi aglomerasi tenaga kerja terampil hanya di wilayah-wilayah tertentu, khususnya di daerah industri di Pulau Jawa.
Setelah pusat-pusat ekonomi dirancang untuk tumbuh lebih merata, langkah selanjutnya adalah menghidupkan integrasi antarwilayah berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Inti dari ide integrasi berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif adalah menciptakan spesialisasi dengan memanfaatkan bahan baku lokal mulai dari sumber daya alam hingga sumber daya sosial. Ikan akan sulit hidup di daratan, sapi juga sukar bertahan hidup di perairan.
Kiasan ini bertujuan menggambarkan bahwa sebuah kebijakan tidak bisa begitu saja dipaksakan. Perlu ada hitung-hitungan ekonomis agar tidak justru menimbulkan high cost economy.
Daerah-daerah yang berbasis SDA, maka kita dorong sebagai pusat produksi SDA. Daerah yang memiliki kapasitas industri yang memadai kita fasilitasi agar menjadi pusat industri. Sedangkan daerah yang berdasarkan hitung-hitungan ekonomis lebih strategis sebagai pusat jasa, maka kita hidupkan sebagai sentra jasa.
Nah, kebijakan ini yang sering kali kita abaikan. Hampir semua daerah dipaksa berlomba-lomba membangun wilayahnya sebagai pusat industri. Daerah-daerah yang sebelumnya menjadi kantong-kantong penghasil pangan disulap menjadi tanah berlapiskan beton (bangunan pabrik).
Namun, kita lupa menyiapkan daya dukung lainnya, seperti SDM yang terampil, ketersediaan bahan baku dan energi yang stabil, serta sistem logistik (mobilisasi dan informasi) yang memadai. Daya saing kita selalu mentok karena persiapan kita dikelola secara serampangan.
Transformasi tenaga kerja juga kurang berjalan baik. Misalnya SDM yang sebelumnya bekerja di wilayah pertanian akan butuh waktu untuk beradaptasi dengan gaya bekerja di bidang industri. Akibatnya pertumbuhan industri yang dipaksakan segera menemukan titik diminishing return-nya karena para investor hanya bisa mengelus dada.
Ketahanan pangan kita menjadi dampak simultannya akibat semakin liarnya konversi lahan pertanian. Hingga sekarang kita mulai terbiasa menikmati impor hasil-hasil pertanian dari negara lain, mulai dari beras, gula, kedelai, bahkan garam.
Ketika transaksi impor dengan negara lain sudah sulit terhindarkan, maka kurs rupiah akan terus naik turun mengikuti perkembangan nilai transaksi dan isu politik global yang kian sensitif. Oleh karena itu, pemerintah perlu secara gradual berupaya menekan tradisi impor jika menginginkan perekonomian kita bisa berdiri lebih stabil.
Strategi pembatasan impor melalui kebijakan kuota dan kenaikan tarif impor tampaknya menjadi langkah jitu yang sudah dilakukan pemerintah, khususnya pada jenis barang yang sebetulnya tidak mendesak untuk diimpor.
Dalam jangka panjang juga dibutuhkan inisiasi kuat untuk menghidupkan industri substitusi impor agar produksi dalam negeri tidak menjadi mahal pada saat kurs rupiah melemah seperti saat ini. Di tengah upaya menjaga inflasi agar tetap rendah, kita sangat perlu berhati-hati terhadap potensi inflasi “kiriman” karena barang-barang impor yang menjadi lebih mahal.
Upaya Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter di dalam menjaga kurs rupiah melalui kenaikan tingkat suku bunga acuan juga patut kita apresiasi. Akan tetapi, ada risiko di dalamnya terhadap upaya peningkatan investasi.
BI dan pemerintah perlu berkoordinasi lebih detail lagi mengenai hal ini, mengingat biasanya suku bunga yang meningkat akan berdampak relatif buruk terhadap minat investasi karena beratnya beban bunga kredit, khususnya pada jenis-jenis kredit produktif. Kita sendiri saat ini juga dibebankan untuk meningkatkan kinerja daya saing ekspor agar cadangan devisa kita bisa kembali meningkat. Sebuah pilihan yang berat karena masing-masing kebijakan memiliki tujuan-tujuan sama baiknya terhadap perekonomian dalam negeri.
Terlepas dari itu semua, kita patut mengapresiasi kinerja pemerintah dan otoritas moneter yang telah menetapkan tekad dan tujuannya, dengan keberanian memilih kebijakan hingga mengeksekusinya. Saat ini tugas utama lain adalah mengawal dan mengoptimalkan pencapaian target yang diinginkan.
Apakah nanti akan berhasil atau tidak, bukan hanya dibebankan pada pemerintah dan otoritas moneter saja. Setidaknya kita jangan hanya berpangku tangan, melainkan turut turun tangan mengatasi persoalan perekonomian sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. Ketahanan ekonomi tidak hanya bergantung pada pilihan kebijakan dari pemerintah, melainkan juga pilihan dari kita semua apakah memilih ikut memperkuat atau justru ikut menjerumuskan secara sengaja ataupun tidak.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
JUDUL artikel ini memang terinspirasi dari tulisan Chatib Basri di salah satu harian nasional yang mengutip argumen Nigel Lawson, Mantan Menteri Keuangan Inggris yang mengatakan bahwa “To govern is to choose. To appear to be unable to choose is to appear to be unable to govern”. Penulis tertarik dengan diksi govern to choose.
Kondisinya kurang lebih sama dengan kondisi perekonomian kita: pemerintah tidak memiliki banyak pilihan untuk menyelesaikan problematika ekonomi yang cukup pelik saat ini. Padahal karakteristik pasar kita masih terjebak pada gaya negara ekonomi berkembang yang cenderung kapitalistik, yakni pemerintah (dituntut) hadir saat terjadi kegagalan pasar (market failure) dalam hal alokasi sumber daya ekonomi secara efisien.
Kebutuhan publik hampir sepenuhnya dibebankan pada pemerintah. Peran swasta juga masih terasa minor untuk meringankan beban pemerintah, khususnya dari segi pembiayaan pembangunan.
Kita semua paham bahwa peran pemerintah senantiasa diperlukan pada saat market failure menyerang stabilitas perekonomian. Saat distribusi kekayaan dan kesejahteraan berjalan kurang merata, mayoritas penguasaan sumber produksi dan distribusi hasil ekonomi akan mengarah terbatas hanya pada segelintir kelompok atau individu. Nanti para penguasa ini akan sekaligus berperan menjadi penentu harga dan dampaknya cenderung menimbulkan distorsi pasar lainnya.
Jika pola pembagian kesejahteraan semakin ekstrem dan eksklusif, stabilitas sosial dan politik akan segera menghadapi tekanan batin yang hebat. Kita belum terlihat memiliki mental yang baik untuk menghadapi krisis.
Saat ini perekonomian nasional menghadapi episode sangat berat. Dari sisi eksternal, kita menghadapi gejolak perekonomian dunia yang penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) dan fragile. Berbagai peristiwa dunia membuat perekonomian domestik terasa seperti musim dingin yang tidak cocok untuk menanam berbagai benih.
Sebagian besar harga komoditi ekspor utama kita, seperti minyak, gas, dan pertambangan, dalam sebulan terakhir tampak seperti sedang flu. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) vs China semakin melahirkan babak-babak baru.
Setelah sulit menemukan titik temu, kini kedua negara semakin rajin membangun koloni-koloni baru. AS baru-baru ini membangun pakta perdagangan dengan Meksiko dan Kanada melalui United States, Mexico, Canada Agreement (USMCA).
Isinya melarang anggota di dalamnya untuk bertransaksi dengan negara “non-market economy” yang secara tersirat banyak dikaitkan dengan China. Status perjanjian dagang yang sebelumnya berkaitan antara sekutu AS dengan China nasibnya mulai banyak simpang siur.
Indonesia mulai juga terdampak karena kita memiliki ikatan politik dan histori yang erat dengan AS, sementara China merupakan mitra perdagangan utama, baik untuk ekspor maupun impor.
Di lain pihak, produksi dalam negeri masih terjebak pada kendala struktural yang sama dan sulit seperti yang diharapkan. Industri yang kita kembangkan belum mampu mendorong penggunaan bahan baku lokal secara signifikan.
Bahkan untuk industri pengolahan makanan dan minuman, 80% bahan bakunya berasal dari impor. Pakan ternak juga sama halnya, sebagian komponennya juga bergantung pada ketersediaan impor. Sungguh ironis bagi bangsa yang mengaku sebagai negara agraris sehingga menghadapi situasi ini, pemerintah dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, terbatas, dan relatif dilematis.
Kendati demikian, mau tidak mau pemerintah harus memilih, walaupun sepahit apa pun konsekuensi yang akan dihadapi kelak. Karena pada pundak merekalah kita menaruh harapan besar agar terhindar dari market failure.
Seperti kata Nigel Lawson tadi, pemerintah perlu semakin memantapkan diri menyiapkan jalan keluar. Dengan demikian, profesionalitas pemerintah sebagai birokrat merangkap teknokrat akan diuji untuk merumuskan dampak terkecil dari kebijakan yang akan diambil. Jika sudah telanjur diputuskan, maka tugas berikutnya adalah mengawal dan bertanggung jawab serta mengantisipasi atas seluruh dampak kebijakan yang diambil berjalan efektif dan konsisten.
Seperti yang tengah dikerjakan saat ini, kebijakan pembangunan infrastruktur menjadi primadona untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dibandingkan negara-negara lain serta mempercepat transformasi dan integrasi perekonomian. Dahulu Jepang melakukan rehabilitasi perekonomian pascaperang melalui pembangunan infrastruktur fisik dan sosial.
Pemerintah Belanda pun membangun Pelabuhan Amsterdam untuk memulihkan perekonomian yang sempat carut-marut. Kita sudah bersepakat bahwa infrastruktur menjadi kendala utama bagi kita untuk mengejar daya saing seperti halnya negara-negara unggul.
Tugas berikutnya adalah mempersiapkan SDM lokal yang unggul untuk memanfaatkan ketersediaan infrastruktur. Kebijakan ini menjadi kebutuhan absolut jika pemerintah menginginkan dampak dari pembangunan infrastruktur berjalan linier dengan target pemerataan pertumbuhan.
Alasannya cukup kompleks, mengapa SDM lokal perlu turut dibangun. Selain untuk kepentingan perluasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, tujuan pendayagunaan SDM lokal juga memuat kepentingan untuk menghindari konflik horizontal.
Kita perlu belajar dari yang sudah pernah terjadi di Indonesia bahwa salah satu muasal aktivitas separatisme, konflik antarsuku dan ras, serta tragedi-tragedi sosial lainnya, timbul dari perasaan “dianaktirikan”. Jalan keluar berikutnya adalah agar standar upah juga semakin merata dan agar tidak terjadi lagi aglomerasi tenaga kerja terampil hanya di wilayah-wilayah tertentu, khususnya di daerah industri di Pulau Jawa.
Setelah pusat-pusat ekonomi dirancang untuk tumbuh lebih merata, langkah selanjutnya adalah menghidupkan integrasi antarwilayah berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Inti dari ide integrasi berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif adalah menciptakan spesialisasi dengan memanfaatkan bahan baku lokal mulai dari sumber daya alam hingga sumber daya sosial. Ikan akan sulit hidup di daratan, sapi juga sukar bertahan hidup di perairan.
Kiasan ini bertujuan menggambarkan bahwa sebuah kebijakan tidak bisa begitu saja dipaksakan. Perlu ada hitung-hitungan ekonomis agar tidak justru menimbulkan high cost economy.
Daerah-daerah yang berbasis SDA, maka kita dorong sebagai pusat produksi SDA. Daerah yang memiliki kapasitas industri yang memadai kita fasilitasi agar menjadi pusat industri. Sedangkan daerah yang berdasarkan hitung-hitungan ekonomis lebih strategis sebagai pusat jasa, maka kita hidupkan sebagai sentra jasa.
Nah, kebijakan ini yang sering kali kita abaikan. Hampir semua daerah dipaksa berlomba-lomba membangun wilayahnya sebagai pusat industri. Daerah-daerah yang sebelumnya menjadi kantong-kantong penghasil pangan disulap menjadi tanah berlapiskan beton (bangunan pabrik).
Namun, kita lupa menyiapkan daya dukung lainnya, seperti SDM yang terampil, ketersediaan bahan baku dan energi yang stabil, serta sistem logistik (mobilisasi dan informasi) yang memadai. Daya saing kita selalu mentok karena persiapan kita dikelola secara serampangan.
Transformasi tenaga kerja juga kurang berjalan baik. Misalnya SDM yang sebelumnya bekerja di wilayah pertanian akan butuh waktu untuk beradaptasi dengan gaya bekerja di bidang industri. Akibatnya pertumbuhan industri yang dipaksakan segera menemukan titik diminishing return-nya karena para investor hanya bisa mengelus dada.
Ketahanan pangan kita menjadi dampak simultannya akibat semakin liarnya konversi lahan pertanian. Hingga sekarang kita mulai terbiasa menikmati impor hasil-hasil pertanian dari negara lain, mulai dari beras, gula, kedelai, bahkan garam.
Ketika transaksi impor dengan negara lain sudah sulit terhindarkan, maka kurs rupiah akan terus naik turun mengikuti perkembangan nilai transaksi dan isu politik global yang kian sensitif. Oleh karena itu, pemerintah perlu secara gradual berupaya menekan tradisi impor jika menginginkan perekonomian kita bisa berdiri lebih stabil.
Strategi pembatasan impor melalui kebijakan kuota dan kenaikan tarif impor tampaknya menjadi langkah jitu yang sudah dilakukan pemerintah, khususnya pada jenis barang yang sebetulnya tidak mendesak untuk diimpor.
Dalam jangka panjang juga dibutuhkan inisiasi kuat untuk menghidupkan industri substitusi impor agar produksi dalam negeri tidak menjadi mahal pada saat kurs rupiah melemah seperti saat ini. Di tengah upaya menjaga inflasi agar tetap rendah, kita sangat perlu berhati-hati terhadap potensi inflasi “kiriman” karena barang-barang impor yang menjadi lebih mahal.
Upaya Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter di dalam menjaga kurs rupiah melalui kenaikan tingkat suku bunga acuan juga patut kita apresiasi. Akan tetapi, ada risiko di dalamnya terhadap upaya peningkatan investasi.
BI dan pemerintah perlu berkoordinasi lebih detail lagi mengenai hal ini, mengingat biasanya suku bunga yang meningkat akan berdampak relatif buruk terhadap minat investasi karena beratnya beban bunga kredit, khususnya pada jenis-jenis kredit produktif. Kita sendiri saat ini juga dibebankan untuk meningkatkan kinerja daya saing ekspor agar cadangan devisa kita bisa kembali meningkat. Sebuah pilihan yang berat karena masing-masing kebijakan memiliki tujuan-tujuan sama baiknya terhadap perekonomian dalam negeri.
Terlepas dari itu semua, kita patut mengapresiasi kinerja pemerintah dan otoritas moneter yang telah menetapkan tekad dan tujuannya, dengan keberanian memilih kebijakan hingga mengeksekusinya. Saat ini tugas utama lain adalah mengawal dan mengoptimalkan pencapaian target yang diinginkan.
Apakah nanti akan berhasil atau tidak, bukan hanya dibebankan pada pemerintah dan otoritas moneter saja. Setidaknya kita jangan hanya berpangku tangan, melainkan turut turun tangan mengatasi persoalan perekonomian sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. Ketahanan ekonomi tidak hanya bergantung pada pilihan kebijakan dari pemerintah, melainkan juga pilihan dari kita semua apakah memilih ikut memperkuat atau justru ikut menjerumuskan secara sengaja ataupun tidak.
(poe)