Peran Santri untuk NKRI

Selasa, 23 Oktober 2018 - 09:02 WIB
Peran Santri untuk NKRI
Peran Santri untuk NKRI
A A A
Robaytullah Kusuma Jaya
Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia / Mahasiswa FISIP Brawijaya

“Studi mengenai perdamaian belum banyak dilakukan di perguruan tinggi, dengan pendekatan kultural dan terus-menerus proyeksi perdamaian ini bisa dilakukan melalui pondok pesantren.” Bernando JSujibto

TULISAN ini tidak rigid menggambarkan timeline historis bagaimana sepak terjang santri sejak dari lahirnya narasi santri di Indonesia, tidak juga membahas persoalan bagaimana peran santri-santri dalam mempertahankan kemerdekaan hingga perannya dalam semangat menegakkan demokrasi pascareformasi, apalagi menggambarkan bagaimana wacana perubahan struktur pendidikan dari tradisional menuju modern di pondok pesantren (PP) yang sering didialogkan. Tulisan ini hanya akan membahas bagaimana peran santri dalam usaha-usaha mempertahankan stabilitas (stability) dan pembangunan (build) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebelum membahas santri terlebih dahulu kita akan membahas mengenai pesantren, tempat santri menimba ilmu umum dan ilmu agama. Pesantren merupakan institusi pendidikan yang paling tua, apalagi di Jawa, dengan meminjam catatan sejarah dalam sebuah kutipan “pesantren also started to exist at the same time as the process of islamization itself, namely in around 8th and 9th centuries”.

Pesantren tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Orang-orang pesantren mengambil banyak peran sebagai penggerak (movers) dalam hubungan dengan masyarakat tersebut. Pulau Jawa menjadi arena dibangunnya banyak pesantren. Pesantren pada mulanya banyak dibangun lebih dekat dengan perdesaan dan masyarakat kelas bawah.

Pendidikan santri sekarang sudah banyak diarahkan pada dimensi spiritual dan sekuler (spiritual and profane dimension). Hal ini dilakukan untuk membangun karakter yang kuat dari santri demi menghadapi zaman. Santri haruslah menjadi kelompok yang menegakkan agama, membela Tanah Air (negara) tempat tinggalnya, dan memiliki kemampuan yang sama dengan sekolah umum nonpesantren. Posisi reformasi pendidikan santri yang kontekstual ini menjadikan santri-santri bisa melawan zaman dengan kemampuan berpikir yang merdeka, humanis, dan toleran.

Sesuai dengan semangat dari pendirian pesantren yaitu untuk selalu bisa merespons soal sosial masyarakat dan dapat mengambil tindakan atas itu, pesantren harus menjadi institusi pendidikan yang inklusif dan menjadi corong penebar kedamaian di muka bumi (rahmatan li al-alamin). Pesantren tidak bisa lagi bersifat eksklusif dan keras atas nama agama kepada simbol-simbol Barat dalam kondisi penetrasi global. Hal itu juga harus dilakukan dalam narasi positif keindonesiaan, yakni bagaimana pesantren mengambil posisi pada kondisi Indonesia yang plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan di dalamnya.

Posisi yang diduduki santri pasca menjadi alumni pesantren semakin hari semakin positif. Santri menjadi lulusan yang berperan banyak dalam kehidupan sosial maupun kebangsaan dan mulai mengambil peran dalam jabatan-jabatan publik. Pendidikan pesantren sudah jauh dari kesan kuno yang hanya dipandang berkutat dengan persoalan akhirat dan lulusan yang menganggur.

Jika membahas mengenai peran santri dalam perjalanan kebangsaan, maka kita akan bertemu dengan cerita mengenai pembentukan sebuah barisan militer yang bernama Laskar Hizbullah yang merupakan salah satu bukti nyata dari kontribusi santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Laskar Hizbullah yang pada awal pembentukannya bertujuan untuk memperkuat barisan militer Jepang bertransformasi menjadi sebuah barisan militer yang siap sedia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

KH Hasyim Asy’ari mengumandangkan suatu jihad untuk membela bangsa dari cengkeraman kolonialisme. Sebagai suatu bentuk perjuangan Islam dalam membela Tanah Air-nya. Perjuangan yang dilakukan pada 22 Oktober 1945 itu menyulut berbagai perjuangan lain, memberikan semangat bagi munculnya perjuangan yang lebih besar, salah satunya adalah peristiwa heroik di Surabaya pada 10 November 1945. Peristiwa yang dalam ingatan sejarah ditandai sebagai Hari Pahlawan.

Santri dan Jokowi
Tantangan masa depan yang dihadapi santri dan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan bagi santri adalah bagaimana melawan stigma atas tuduhan munculnya gerakan ekstremisme Islam. Ekstremisme Islam atau Islam yang tidak mengakui pemerintahan yang berdaulat dan hanya patuh tunduk terhadap syariat Islam dan usaha untuk menjadikan Hakimiyyat Allah (tegaknya hukum Allah sebagai satu-satunya pengatur kehidupan) banyak menghasilkan gerakan sempalan yang bersifat keras.

Gerakan-gerakan Islam transnasional ini bergerak di tataran ideologi maupun gerakan fisik dan banyak menghasilkan masalah seperti terorisme. Terorisme yang banyak muncul dari kalangan alumnus madrasah dan pesantren ini menjadi tantangan sendiri bagi pesantren untuk mulai melakukan reformasi dari segi kurikulum pendidikan pondok, pesan, maupun tuntutan mengambil peran sosial-politik yang aktif.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 memutuskan bahwa pada 22 Oktober setiap tahunnya akan diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Hal ini menarik karena tidak banyak pemimpin yang memiliki kemauan politik untuk membangun suatu kebijakan yang berfokus pada umat Islam.

Kedekatan Jokowi dengan kelompok santri juga dibuktikan dengan kalangan santri untuk mendampinginya pada Pilpres 2019. Posisi santri dinilai mampu menjadi agen stabilitas nasional terhadap ancaman ekstremisme Islam, alasan ini menjadi titik paling rasional Jokowi selain persoalan hitung-hitungan politik lain.

Safari pesantren juga diakukan Jokowi dalam pemerintahannya selama ini untuk membangun “hubungan baik” antara pemerintah dengan pesantren. Tercatat 70 pesantren telah didatangi Jokowi untuk membicarakan pentingnya persatuan di depan para santri dan kiai. Manuver Jokowi ke pesantren ini memungkinkan ada banyak nilai positif dalam mempertahankan stabilitas nasional.

Aktivitas pemerintah yang longgar dalam menegakkan kedaulatan harus juga mempertimbangkan opini, moral, adat-istiadat, dan karakter masyarakat. Pertama, reformasi kurikulum pesantren yang lebih kontekstual dan fokus pada persoalan sosio-politik masih belum berjalan maksimal pasalnya pesantren tumbuh dengan gayanya yang khas dan masih banyak pesantren yang santrinya bersifat taklid atau ikut dawuh kiai.

Dengan demikian, masuknya pemerintah ada pada tataran menguatkan institusi pondok pesantren pada persoalan penguatan ekonomi, sosial, dan politik. Pemerintah yang dekat dengan pondok pesantren dapat dengan mudah melakukan kontrol atas aktivitas pesantren yang memungkinkan terbendungnya celah untuk munculnya gerakan ekstrem dari pesantren.

Kedua, kedekatan Jokowi (pemerintah) dengan pesantren merupakan suatu legitimasi bagi institusi pesantren atas eksistensinya dan kiprahnya dalam mempertahankan NKRI. Hal ini juga memungkinkan munculnya timbal balik berupa dukungan dari kalangan santri untuk Jokowi. Data menyebutkan bahwa 120 pesantren di Jawa Barat sudah mendeklarasikan diri untuk mendukung Jokowi serta ada pertemuan 1.500 ulama yang sudah mendeklarasikan dukungan serupa.

Hal ini terpicu juga karena Jokowi mengakui eksistensi santri melalui Hari Santri. Ketiga, pembangunan dan pemberdayaan melalui pesantren akan lebih mudah dilakukan dan memiliki imbas yang diharapkan jauh lebih luas selain kepada santri juga imbas kepada masyarakat sekitar sesuai dengan posisi pondok pesantren yang dekat dengan masyarakat (membangun ekonomi umat).

Pada intinya, institusionalisasi pondok pesantren oleh pemerintah merupakan usaha yang gencar dilakukan untuk membendung tindakan yang mengguncang stabilitas negara. Dalam kancah pembangunan ekonomi maupun pembangunan sumber daya manusia. Pengakuan eksistensi santri dalam napak tilas perjuangan bangsa merupakan suatu hal yang rasional selain juga memuat alasan yang politis.

Kelompok santri yang mulai direformasi sejak dari kurikulum pesantren diharapkan bisa menjadi agen yang paham mengenai penegakan agama, yang paham soal menyelesaikan masalah sosial-politik tanah yang ditinggalinya (negaranya), dan secara aktif mampu menciptakan generasi yang kritis dalam berpikir, humanis, dan toleran. Selamat Hari Santri Nasional untuk santri sejagat raya. Santri untuk bangsa.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0511 seconds (0.1#10.140)