Memperbaiki Data Pemilih
A
A
A
Ali Rido
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Rasanya telah menjadi penyakit laten adanya kesemrawutan data pemilih menjelang dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu). Entah karena data kependudukan negara kita yang tidak rapi atau karena penyelenggara pemilu yang tidak maksimal dalam memutakhirkan data pemilih. Namun, yang pasti, ketidakberesan daftar pemilih tetap (DPT) harus segera diatasi agar tidak mendegradasi integritas penyelenggaraan pemilu. Terlebih fase krusial pemilu dalam wujud pemilu serentak tidak lama lagi akan dilaksanakan sehingga diperlukan langkah cepat agar kontestasi demokrasi dapat memproduksi wakil rakyat yang bermartabat.
Lini Persoalan
DPT merupakan urat nadi dalam pemilu, karenanya memastikan data yang koheren dan valid menjadi keniscayaan demi terwujudnya iklim demokrasi yang memiliki substansi. Atas hal itu, menyiapkan data yang akurat menjadi niscaya. Sayangnya, hal tersebut terkesan belum disiapkan secara matang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi tumpuan tersedianya data akurat. Malah dengan adanya saling bantah kebenaran data antarkedua institusi tersebut menjadi bukti telanjang ketidaksigapan antarlembaga dalam menjalin koordinasi dan kerja sama.
Disfungsi koordinasi dan kerja sama antarlembaga itu menjadi penegas bahwa ego sektoral masih menjadi arus utama dalam menjalankan organisasi kelembagaan negara. Padahal, dalam bernegara, kita telah bersepakat dalam aktivitasnya dijalankan dengan berpegang pada konsepsi saling mengimbangi dan saling melengkapi. Adanya kemelut KPU vs Kemendagri, justru telah membuka horizon kelembagaan negara yang dijalankan hanya untuk saling menyaingi dan menegasi. Karena itu, ke depan ego sektoral harus disingkirkan dalam lanskap penyelenggaraan negara.
Persoalan lanjutan ialah masih dipraktikkannya langkah usang berupa pembuatan instruksi ke bawah dengan tekanan limitasi waktu tahapan pemilu. Perintah kepada institusi bawah agar bekerja ekstra memutakhirkan data masih menjadi andalan bagi institusi di level pusat. Langkah ini justru sangat mengkhawatirkan dan potensial memperuncing keadaan, karena adanya faktor ketergesaan yang menyelimuti dalam proses itu maka berpeluang lahirnya kembali data yang tidak akurat. Langkah demikian memang tidak sepenuhnya buruk. Namun, resistensi terhadap hasil yang ada menjadikan penting dicarikan alternatif solusi.
Langkah Penyelesaian
Apabila dilakukan anatomi, sistem, dan tata kelola kependudukan berkaitan dengan beberapa aspek, mulai aspek landasan hukum, kelembagaan dan sumber daya manusia, dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Dari keseluruhan aspek, relatif telah tertata dengan baik. Hanya, jika mengandalkan itu tidaklah cukup sehingga diperlukan instrumen lain, yaitu berupa rekayasa sosial (social engineering).Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan “terapi” sosial secara sistemik dan jujur melalui penyisiran dan penghimpunan terhadap orang-orang yang selama ini tidak tersentuh oleh infrastruktur kependudukan. Dalam melaksanakan kerja itu maka KPU dan Kemendagri harus berani turun menghampiri kelompok marginal dan elitis dalam rangka melengkapi data.
Di samping itu, KPU dan Kemendagri juga harus tegas untuk menghapus data siluman yang telanjur masuk rekam TIK. Aspek ini menjadi penting mengingat dari pemilu ke pemilu tetap saja muncul data siluman. Seharusnya data itu sudah hilang pada pemilu sebelumnya, tapi mengapa kemudian muncul kembali menjelang dilaksanakannya pemilu serentak? Hal itu patut diduga adanya ketidaktegasan KPU dan Kemendagri dalam menyegerakan penghapusan data siluman tersebut.
Di samping itu, simpul-simpul sosial juga harus dilibatkan dalam pemutakhiran data. Artinya, pemutakhiran data tidak boleh hanya bertumpu kepada rukun tetangga/rukun warga (RT/RW), namun dapat pula melibatkan organisasi di desa seperti karang taruna untuk ikut membantu pemutakhiran data. Dengan tambahan sumber daya manusia maka diharapkan akan berimplikasi pada cepatnya proses pemutakhiran DPT yang selalu dikejar limitasi waktu pada tiap tahapan pemilu.
Selanjutnya, dalam rangka memastikan tidak lagi timbul saling klaim kebenaran data maka diperlukan adanya data tunggal (single data) pemilih. Dalam mewujudkan data tunggal maka dapat dilakukan dengan saling berbagi tugas. Misalnya, Kemendagri sebagai pencari dan pengumpul data kependudukan, sementara KPU sebagai penerima data untuk dilakukan verifikasi guna menentukan DPT.
Dalam konteks itu, kerja KPU dan Kemendagri mengutamakan prinsip saling kerja sama, bukan sama-sama kerja. Guna menjalankan mekanisme ini maka kesepahaman antarkeduanya harus dibangun. Karena itu, mengubur dalam-dalam ego sektoral menjadi keharusan. Melalui mekanisme tersebut diharapkan dapat mewujud data akurat yang dapat membawa pemilu bermartabat.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Rasanya telah menjadi penyakit laten adanya kesemrawutan data pemilih menjelang dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu). Entah karena data kependudukan negara kita yang tidak rapi atau karena penyelenggara pemilu yang tidak maksimal dalam memutakhirkan data pemilih. Namun, yang pasti, ketidakberesan daftar pemilih tetap (DPT) harus segera diatasi agar tidak mendegradasi integritas penyelenggaraan pemilu. Terlebih fase krusial pemilu dalam wujud pemilu serentak tidak lama lagi akan dilaksanakan sehingga diperlukan langkah cepat agar kontestasi demokrasi dapat memproduksi wakil rakyat yang bermartabat.
Lini Persoalan
DPT merupakan urat nadi dalam pemilu, karenanya memastikan data yang koheren dan valid menjadi keniscayaan demi terwujudnya iklim demokrasi yang memiliki substansi. Atas hal itu, menyiapkan data yang akurat menjadi niscaya. Sayangnya, hal tersebut terkesan belum disiapkan secara matang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi tumpuan tersedianya data akurat. Malah dengan adanya saling bantah kebenaran data antarkedua institusi tersebut menjadi bukti telanjang ketidaksigapan antarlembaga dalam menjalin koordinasi dan kerja sama.
Disfungsi koordinasi dan kerja sama antarlembaga itu menjadi penegas bahwa ego sektoral masih menjadi arus utama dalam menjalankan organisasi kelembagaan negara. Padahal, dalam bernegara, kita telah bersepakat dalam aktivitasnya dijalankan dengan berpegang pada konsepsi saling mengimbangi dan saling melengkapi. Adanya kemelut KPU vs Kemendagri, justru telah membuka horizon kelembagaan negara yang dijalankan hanya untuk saling menyaingi dan menegasi. Karena itu, ke depan ego sektoral harus disingkirkan dalam lanskap penyelenggaraan negara.
Persoalan lanjutan ialah masih dipraktikkannya langkah usang berupa pembuatan instruksi ke bawah dengan tekanan limitasi waktu tahapan pemilu. Perintah kepada institusi bawah agar bekerja ekstra memutakhirkan data masih menjadi andalan bagi institusi di level pusat. Langkah ini justru sangat mengkhawatirkan dan potensial memperuncing keadaan, karena adanya faktor ketergesaan yang menyelimuti dalam proses itu maka berpeluang lahirnya kembali data yang tidak akurat. Langkah demikian memang tidak sepenuhnya buruk. Namun, resistensi terhadap hasil yang ada menjadikan penting dicarikan alternatif solusi.
Langkah Penyelesaian
Apabila dilakukan anatomi, sistem, dan tata kelola kependudukan berkaitan dengan beberapa aspek, mulai aspek landasan hukum, kelembagaan dan sumber daya manusia, dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Dari keseluruhan aspek, relatif telah tertata dengan baik. Hanya, jika mengandalkan itu tidaklah cukup sehingga diperlukan instrumen lain, yaitu berupa rekayasa sosial (social engineering).Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan “terapi” sosial secara sistemik dan jujur melalui penyisiran dan penghimpunan terhadap orang-orang yang selama ini tidak tersentuh oleh infrastruktur kependudukan. Dalam melaksanakan kerja itu maka KPU dan Kemendagri harus berani turun menghampiri kelompok marginal dan elitis dalam rangka melengkapi data.
Di samping itu, KPU dan Kemendagri juga harus tegas untuk menghapus data siluman yang telanjur masuk rekam TIK. Aspek ini menjadi penting mengingat dari pemilu ke pemilu tetap saja muncul data siluman. Seharusnya data itu sudah hilang pada pemilu sebelumnya, tapi mengapa kemudian muncul kembali menjelang dilaksanakannya pemilu serentak? Hal itu patut diduga adanya ketidaktegasan KPU dan Kemendagri dalam menyegerakan penghapusan data siluman tersebut.
Di samping itu, simpul-simpul sosial juga harus dilibatkan dalam pemutakhiran data. Artinya, pemutakhiran data tidak boleh hanya bertumpu kepada rukun tetangga/rukun warga (RT/RW), namun dapat pula melibatkan organisasi di desa seperti karang taruna untuk ikut membantu pemutakhiran data. Dengan tambahan sumber daya manusia maka diharapkan akan berimplikasi pada cepatnya proses pemutakhiran DPT yang selalu dikejar limitasi waktu pada tiap tahapan pemilu.
Selanjutnya, dalam rangka memastikan tidak lagi timbul saling klaim kebenaran data maka diperlukan adanya data tunggal (single data) pemilih. Dalam mewujudkan data tunggal maka dapat dilakukan dengan saling berbagi tugas. Misalnya, Kemendagri sebagai pencari dan pengumpul data kependudukan, sementara KPU sebagai penerima data untuk dilakukan verifikasi guna menentukan DPT.
Dalam konteks itu, kerja KPU dan Kemendagri mengutamakan prinsip saling kerja sama, bukan sama-sama kerja. Guna menjalankan mekanisme ini maka kesepahaman antarkeduanya harus dibangun. Karena itu, mengubur dalam-dalam ego sektoral menjadi keharusan. Melalui mekanisme tersebut diharapkan dapat mewujud data akurat yang dapat membawa pemilu bermartabat.
(rhs)