Perlindungan Hukum terhadap Profesi yang Menjalankan Profesinya

Rabu, 17 Oktober 2018 - 09:01 WIB
Perlindungan Hukum terhadap...
Perlindungan Hukum terhadap Profesi yang Menjalankan Profesinya
A A A
Armand Hasim Advokat Junior Partner di Daud Silalahi & Lawencon Associates Law Firm

BEBERAPA waktu terakhir ini kita mendengar kabar sejumlah orang yang sedang melaksanakan profesinya terpaksa berhadapan dengan proses hukum. Di antaranya advokat yang sedang melaksanakan tugas profesinya, namun kemudian dipandang oleh penyidik sebagai upaya menghalang-halangi proses hukum yang sedang berjalan. Ada pula dosen yang membagikan keahliannya di hadapan persidangan sebagai ahli kemudian juga diperhadapkan dengan proses tuntutan hukum terkait keterangannya sebagai ahli yang disampaikan dalam pengadilan tersebut. Ada pula gugatan terhadap seorang dokter atas tindakan medis yang dilakukannya terhadap seorang pasien.

Proses hukum terhadap berbagai profesi tersebut tentu mengundang tanya dan kekhawatiran atas perlindungan hukum yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Terkait hal ini, sesungguhnya masing-masing profesi telah dilindungi berdasarkan undang-undang yang mengatur profesi mereka (UU 18/2003 tentang Advokat, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, dan UU 14/2004 tentang Guru dan Dosen). Termasuk profesi-profesi lainnya juga telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Perlindungan hukum bagi advokat telah diatur dalam UU 18/2003, khususnya Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan “advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas, dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”, serta Pasal 16 yang berbunyi “advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”

Perlindungan hukum bagi dokter telah diatur dalam UU Nomor 29/2004, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 50 bahwa “dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak antara lain memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.”

Begitupula dengan profesi dosen, dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c UU Nomor 14/2005 dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya dosen memperoleh perlindungan (baca: perlindungan hukum) dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.

Berdasarkan pengaturan pada masing-masing profesi sebagaimana diuraikan di atas, jelas peraturan perundang-undangan Indonesia telah menjamin kepastian perlindungan hukum bagi setiap profesi yang telah diatur oleh undang-undang (belum semua profesi telah diatur dalam undang-undang) sehingga seseorang yang menjalankan tugas profesinya sesungguhnya tidak dapat dibenarkan untuk diproses secara hukum baik pidana maupun perdata.

Namun, jika ditelaah lebih lanjut, perlindungan bagi masing-masing profesi tersebut bukan tanpa suatu pembatasan. Bagi seorang advokat, perlindungan dalam menjalankan tugasnya sebagai advokat dibatasi oleh aturan hukum pula sebagaimana antara lain diatur dalam Pasal 6 UU 18/2003 yang antara lain menjelaskan bahwa seorang advokat dapat dikenai tindakan apabila berbuat ihwal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya atau melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela.

Hal yang sama dengan profesi dokter sebagaimana juga telah dijelaskan dalam Pasal 50 UU Nomor 29/2004 bahwa perlindungan hukum tersebut berlaku sepanjang dokter telah menjalankan profesinya sesuai standar profesi dan standar prosedur yang berlaku. Begitu pula dengan profesi dosen, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 60 huruf e diingatkan bahwa dosen dalam menjalankan keprofesionalnya wajib menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik serta nilai-nilai agama dan etika.

Berdasarkan pengaturan tersebut, perlindungan hukum bagi profesi yang menjalankan tugasnya telah diberikan oleh undang-undang, namun hal tersebut bukan tanpa batasan sehingga apabila para profesional tersebut melakukan pelanggaran terkait profesinya, maka profesional tersebut wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan hukum baik secara pidana maupun perdata. Contohnya, apabila seorang dosen yang menjadi ahli dalam persidangan menyampaikan kebohongan (secara sadar) atas keterangan yang disampaikannya di persidangan, maka ahli tersebut tidak layak memperoleh perlindungan hukum atas keterangan yang disampaikannya.

Khusus terkait keterlibatan dosen dalam proses persidangan sebagai seorang ahli, ada baiknya kita memahami peran ahli dalam proses persidangan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli (baca: bukan sebagai kesaksian). Lebih lanjut Pasal 1 angka 28 KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Hal ini penting dipahami publik bahwa ahli adalah seseorang dihadapkan dalam suatu proses peradilan sebagai pihak yang “netral” meskipun dihadirkan oleh salah satu pihak dalam proses peradilan tersebut. Hal ini sejalan dengan pengertian dosen yang merupakan seorang pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Karena itu, penggunaan Pasal 66 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata” maupun Pasal 76 UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang menyatakan “pelapor dan informan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan” sesungguhnya tidak tepat digunakan untuk melindungi hak seorang ahli dalam suatu proses peradilan karena hal tersebut justru akan merusak tatanan hukum pembuktian.

Ahli tidak boleh berpihak dalam suatu proses peradilan meskipun keterangan dapat menguntungkan salah satu pihak.

Tidak digunakannya pasal-pasal sebagaimana diuraikan di atas bukan kemudian dapat serta-merta diartikan bahwa seorang dosen yang bertindak sebagai ahli dalam persidangan dapat dimintakan pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Perlindungan hukum telah melekat pada seorang dosen dalam menjalankan keprofesionalnya (termasuk sebagai ahli) berdasarkan UU Guru dan Dosen sepanjang dosen tersebut telah melaksanakan keprofesionalnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik serta nilai-nilai agama dan etika. Namun, sekali lagi, apabila terdapat pelanggaran terhadap batasan tersebut, maka dosen yang bersangkutan wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Mudah-mudahan melalui kasus-kasus yang berkembang ini, masyarakat dapat lebih menyadari proses hukum yang berlaku dan dapat berperan aktif dalam mengawal tegaknya hukum di Bumi Pertiwi yang tercinta ini sehingga semangat negara hukum yang ditegaskan dalam konstitusi Indonesia sungguh ditegakkan dengan benar.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0794 seconds (0.1#10.140)