Memperkuat Independensi dan Integritas KPU
A
A
A
Muhammad Iqbal
Analis Komisi Pemilihan Umum RI dan Mahasiswa Pascasarjana Tata Kelola Pemilu Universitas Indonesia
DI TENGAH keramaian pemberitaan publik tentang persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah menjalankan satu agenda penting dalam senyap, yaitu memperkuat kelembagaan mereka dengan menyusun aturan-aturan yang menguatkannya sebagai lembaga yang independen dan berintegritas.
Selama ini perhatian publik tersita oleh diskursus tentang hak pilih, data pemilih, verifikasi peserta pemilu, dan pemungutan suara. Perhatian publik juga lebih terkuras kepada gegap gempita pesta demokrasi seperti “pawai” pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.
Tujuan pembenahan internal tersebut untuk menjaga marwah KPU sebagai lembaga yang independen dan memiliki anggota yang berintegritas. Pembenahan internal yang bertajuk Transformasi Kelembagaan ini dilakukan semata-mata untuk penguatan KPU dari sisi keorganisasian.
Transformasi kelembagaan KPU menjadi sebuah urgensitas untuk memenuhi norma-norma global dan mengikuti prinsip -prinsip fundamental penyelenggara pemilu, termasuk independensi, imparsialitas, integritas, transparansi, efisiensi, profesionalitas, dan perspektif pada pelayanan (IDEA, 2004).
Transformasi kelembagaan KPU dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu transformasi organisasi yang meliputi kesekretariatan dan transformasi tata kerja keanggotaan (commissioner). Selama ini dua isu ini belum dilakukan secara komprehensif oleh KPU. Padahal, KPU sudah empat kali berganti rezim terhitung dari 1999. Rezim kedua KPU pada periode 2004-2009 bahkan harus tersandung permasalahan akibat tidak ada standar tata kerja (code of conduct) anggota KPU.
Di periode kedua, publik dihebohkan dengan seorang anggota KPU yang menyeberang ke partai politik. Hal ini disebabkan anggota KPU memang sangat rentan terlibat dengan konflik kepentingan karena perannya sebagai operator kontestasi politik. Transformasi tata kerja komisioner juga harus diikuti dengan transformasi organisasi kesekretariatan yang berperan sebagai supporting system. Mengingat kelembagaan KPU yang terus berkembang dari segi kepegawaian dan tugas-tugas kepemiluan, pengembangan organisasi juga memiliki urgensi tidak kalah penting.
Pengaturan tentang dua hal ini terakhir dilakukan pada 2008, yang masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Pengaturan ini tentu saja sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman dan sudah tidak relevan. Berdasarkan hal inilah, semangat transformasi kelembagaan sebagai bagian dari penguatan kelembagaan KPU harus dijalankan secara komprehensif dan tuntas.
Transformasi kelembagaan KPU sangat diperlukan sebagai upaya reorientasi keorganisasian dan tata kerja anggota KPU, merevitalisasi visi-misi, dan mengadaptasi ihwal baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Transformasi kelembagaan bisa dilakukan dengan memperkuat struktur organisasi KPU, penanaman tata nilai, penerapan kode perilaku, dan reformasi di berbagai sektor.
Secara khusus, permasalahan dari sisi keorganisasian adalah lembaga KPU masih memiliki struktur kesekretariatan lama. Sedangkan kuantitas dan kualitas kepegawaian terus meningkat. KPU tidak sekadar mengurusi teknis penyelenggaraan dan logistik pemilu semata, tetapi juga menyusun program, perencanaan, anggaran, sosialisasi, hingga bertanggung jawab terhadap evaluasi pelaksanaan pemilu. Tugas yang begitu banyak dan berat ini harus ditopang oleh organisasi yang kuat.
Permasalahan dari sisi tata kerja keanggotaan adalah belum ada standar perilaku berupa kode etik yang memuat prinsip-prinsip umum untuk memandu perilaku dan kode perilaku yang mengatur ihwal yang lebih operasional dan dipatuhi oleh anggota KPU, termasuk pegawai kesekretariatan.
Upaya transformasi peraturan KPU tentang tata kerja dengan memasukkan standar perilaku merupakan turunan dari kode etik penyelenggara pemilu yang sudah diatur dan menjadi domain dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Upaya ini tentu saja bukan bermaksud menyalip kewenangan DKPP, tetapi juga sebagai cara untuk mereduksi anggota KPU terlibat perkara dengan DKPP.
Pemilu yang adil dan bebas merupakan prinsip fundamental dalam legitimasi demokrasi dan dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pemilu yang berintegritas dan terjaga kemandiriannya. Pemilu yang adil, bebas, dan bersih merupakan tujuan utama dari sebuah manajemen pemilu yang baik. Dalam mewujudkan hal tersebut diperlukan optimalisasi lembaga penyelenggara pemilu agar bisa mencapai kepercayaan publik pada level tertinggi yang memengaruhi persepsi publik terhadap pemilihan yang bersih. Publik tentu akan mengambinghitamkan KPU jika terjadi kecurangan pemilu (election fraud).
Penguatan Integritas Anggota
Alasan utama transformasi kelembagaan KPU adalah karena lembaga ini sebagai konduktor utama pemilihan umum. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur kewenangan KPU yang kuat. Semakin kuat lembaga KPU, semakin membutuhkan integritas dan profesionalitas dari anggotanya. Di tengah upaya perbaikan kualitas demokrasi, lewat perbaikan kualitas pemilu, jangan sampai ada anggota KPU yang mundur atau terpaksa berhenti di tengah jalan akibat tersandung permasalahan politik atau pidana.
Negara telah melakukan investasi besar-besaran lewat proses rekrutmen anggota KPU yang begitu masif, terbuka, dan dilakukan assessment yang komprehensif hingga fit and proper test oleh parlemen. Syarat sebagai anggota KPU diperberat satu di antaranya tidak terdaftar sebagai anggota partai politik, mengundurkan diri dari jabatan politik dan organisasi kemasyarakatan, dan tidak pernah dipidana penjara merupakan indikator KPU diisi oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas dari anggota KPU sepatutnya menjadikan KPU sebagai lembaga yang sangat independen, mandiri, dan bebas dari intervensi pihak lain.
Sebagai penyelenggara kontestasi politik, KPU tentu sangat rentan terlibat dalam kepentingan-kepentingan politik. Kemandirian dan integritas KPU dipertaruhkan dalam setiap kegiatan tahapan pemilu. Apalagi, KPU dipimpin oleh tujuh anggota yang satu di antaranya bisa saja tersandung konflik kepentingan. Karena itu, transformasi kelembagaan KPU satu di antaranya lewat pengaturan tata kerja keanggotaan menjadi sangat penting dilakukan.
Ini berarti penguatan kelembagaan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang kompeten dan profesional merupakan kebutuhan agar mampu bertindak dengan independensi penuh.
KPU RI adalah satu di antara bentuk organisasi pemerintah yang berwenang menyelenggarakan pemilu. Dalam organisasinya, KPU terdiri atas dua unsur yaitu komisioner dan sekretariat. Komisioner adalah anggota KPU RI yang berjumlah tujuh orang, berasal dari kalangan independen dengan beragam latar belakang, dipimpin oleh seorang ketua KPU. Sedangkan sekretariat adalah birokrat yang berasal dari aparatur sipil negara (ASN), dengan pimpinan tertingginya adalah sekretaris jenderal KPU.
Adanya perbedaan latar belakang ini dapat menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap tugas dan kewenangan yang berdampak pula terhadap kelancaran pekerjaan. Bagaimana menyinergikan antara Komisioner KPU dengan Sekretariat KPU adalah masalah penting yang harus diutamakan dalam rangka memperbaiki tata kelola pemilu karena kualitas tata kelola pemilu tidak akan meningkat jika SDM yang ada di dalam organisasinya tidak dapat bekerja sama dengan baik. Satu di antara caranya dengan transformasi kelembagaan internal organisasi dan tata kerja KPU.
Analis Komisi Pemilihan Umum RI dan Mahasiswa Pascasarjana Tata Kelola Pemilu Universitas Indonesia
DI TENGAH keramaian pemberitaan publik tentang persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah menjalankan satu agenda penting dalam senyap, yaitu memperkuat kelembagaan mereka dengan menyusun aturan-aturan yang menguatkannya sebagai lembaga yang independen dan berintegritas.
Selama ini perhatian publik tersita oleh diskursus tentang hak pilih, data pemilih, verifikasi peserta pemilu, dan pemungutan suara. Perhatian publik juga lebih terkuras kepada gegap gempita pesta demokrasi seperti “pawai” pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.
Tujuan pembenahan internal tersebut untuk menjaga marwah KPU sebagai lembaga yang independen dan memiliki anggota yang berintegritas. Pembenahan internal yang bertajuk Transformasi Kelembagaan ini dilakukan semata-mata untuk penguatan KPU dari sisi keorganisasian.
Transformasi kelembagaan KPU menjadi sebuah urgensitas untuk memenuhi norma-norma global dan mengikuti prinsip -prinsip fundamental penyelenggara pemilu, termasuk independensi, imparsialitas, integritas, transparansi, efisiensi, profesionalitas, dan perspektif pada pelayanan (IDEA, 2004).
Transformasi kelembagaan KPU dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu transformasi organisasi yang meliputi kesekretariatan dan transformasi tata kerja keanggotaan (commissioner). Selama ini dua isu ini belum dilakukan secara komprehensif oleh KPU. Padahal, KPU sudah empat kali berganti rezim terhitung dari 1999. Rezim kedua KPU pada periode 2004-2009 bahkan harus tersandung permasalahan akibat tidak ada standar tata kerja (code of conduct) anggota KPU.
Di periode kedua, publik dihebohkan dengan seorang anggota KPU yang menyeberang ke partai politik. Hal ini disebabkan anggota KPU memang sangat rentan terlibat dengan konflik kepentingan karena perannya sebagai operator kontestasi politik. Transformasi tata kerja komisioner juga harus diikuti dengan transformasi organisasi kesekretariatan yang berperan sebagai supporting system. Mengingat kelembagaan KPU yang terus berkembang dari segi kepegawaian dan tugas-tugas kepemiluan, pengembangan organisasi juga memiliki urgensi tidak kalah penting.
Pengaturan tentang dua hal ini terakhir dilakukan pada 2008, yang masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Pengaturan ini tentu saja sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman dan sudah tidak relevan. Berdasarkan hal inilah, semangat transformasi kelembagaan sebagai bagian dari penguatan kelembagaan KPU harus dijalankan secara komprehensif dan tuntas.
Transformasi kelembagaan KPU sangat diperlukan sebagai upaya reorientasi keorganisasian dan tata kerja anggota KPU, merevitalisasi visi-misi, dan mengadaptasi ihwal baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Transformasi kelembagaan bisa dilakukan dengan memperkuat struktur organisasi KPU, penanaman tata nilai, penerapan kode perilaku, dan reformasi di berbagai sektor.
Secara khusus, permasalahan dari sisi keorganisasian adalah lembaga KPU masih memiliki struktur kesekretariatan lama. Sedangkan kuantitas dan kualitas kepegawaian terus meningkat. KPU tidak sekadar mengurusi teknis penyelenggaraan dan logistik pemilu semata, tetapi juga menyusun program, perencanaan, anggaran, sosialisasi, hingga bertanggung jawab terhadap evaluasi pelaksanaan pemilu. Tugas yang begitu banyak dan berat ini harus ditopang oleh organisasi yang kuat.
Permasalahan dari sisi tata kerja keanggotaan adalah belum ada standar perilaku berupa kode etik yang memuat prinsip-prinsip umum untuk memandu perilaku dan kode perilaku yang mengatur ihwal yang lebih operasional dan dipatuhi oleh anggota KPU, termasuk pegawai kesekretariatan.
Upaya transformasi peraturan KPU tentang tata kerja dengan memasukkan standar perilaku merupakan turunan dari kode etik penyelenggara pemilu yang sudah diatur dan menjadi domain dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Upaya ini tentu saja bukan bermaksud menyalip kewenangan DKPP, tetapi juga sebagai cara untuk mereduksi anggota KPU terlibat perkara dengan DKPP.
Pemilu yang adil dan bebas merupakan prinsip fundamental dalam legitimasi demokrasi dan dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pemilu yang berintegritas dan terjaga kemandiriannya. Pemilu yang adil, bebas, dan bersih merupakan tujuan utama dari sebuah manajemen pemilu yang baik. Dalam mewujudkan hal tersebut diperlukan optimalisasi lembaga penyelenggara pemilu agar bisa mencapai kepercayaan publik pada level tertinggi yang memengaruhi persepsi publik terhadap pemilihan yang bersih. Publik tentu akan mengambinghitamkan KPU jika terjadi kecurangan pemilu (election fraud).
Penguatan Integritas Anggota
Alasan utama transformasi kelembagaan KPU adalah karena lembaga ini sebagai konduktor utama pemilihan umum. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur kewenangan KPU yang kuat. Semakin kuat lembaga KPU, semakin membutuhkan integritas dan profesionalitas dari anggotanya. Di tengah upaya perbaikan kualitas demokrasi, lewat perbaikan kualitas pemilu, jangan sampai ada anggota KPU yang mundur atau terpaksa berhenti di tengah jalan akibat tersandung permasalahan politik atau pidana.
Negara telah melakukan investasi besar-besaran lewat proses rekrutmen anggota KPU yang begitu masif, terbuka, dan dilakukan assessment yang komprehensif hingga fit and proper test oleh parlemen. Syarat sebagai anggota KPU diperberat satu di antaranya tidak terdaftar sebagai anggota partai politik, mengundurkan diri dari jabatan politik dan organisasi kemasyarakatan, dan tidak pernah dipidana penjara merupakan indikator KPU diisi oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas dari anggota KPU sepatutnya menjadikan KPU sebagai lembaga yang sangat independen, mandiri, dan bebas dari intervensi pihak lain.
Sebagai penyelenggara kontestasi politik, KPU tentu sangat rentan terlibat dalam kepentingan-kepentingan politik. Kemandirian dan integritas KPU dipertaruhkan dalam setiap kegiatan tahapan pemilu. Apalagi, KPU dipimpin oleh tujuh anggota yang satu di antaranya bisa saja tersandung konflik kepentingan. Karena itu, transformasi kelembagaan KPU satu di antaranya lewat pengaturan tata kerja keanggotaan menjadi sangat penting dilakukan.
Ini berarti penguatan kelembagaan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang kompeten dan profesional merupakan kebutuhan agar mampu bertindak dengan independensi penuh.
KPU RI adalah satu di antara bentuk organisasi pemerintah yang berwenang menyelenggarakan pemilu. Dalam organisasinya, KPU terdiri atas dua unsur yaitu komisioner dan sekretariat. Komisioner adalah anggota KPU RI yang berjumlah tujuh orang, berasal dari kalangan independen dengan beragam latar belakang, dipimpin oleh seorang ketua KPU. Sedangkan sekretariat adalah birokrat yang berasal dari aparatur sipil negara (ASN), dengan pimpinan tertingginya adalah sekretaris jenderal KPU.
Adanya perbedaan latar belakang ini dapat menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap tugas dan kewenangan yang berdampak pula terhadap kelancaran pekerjaan. Bagaimana menyinergikan antara Komisioner KPU dengan Sekretariat KPU adalah masalah penting yang harus diutamakan dalam rangka memperbaiki tata kelola pemilu karena kualitas tata kelola pemilu tidak akan meningkat jika SDM yang ada di dalam organisasinya tidak dapat bekerja sama dengan baik. Satu di antara caranya dengan transformasi kelembagaan internal organisasi dan tata kerja KPU.
(pur)