Tantangan ASEAN dan Perubahan Lanskap Keamanan di Asia - Pasifik
A
A
A
Faustinus Andrea
Pemerhati Masalah ASEAN dan Editor Jurnal Analisis CSIS, Jakarta
BERITA foto udara dari Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) memperlihatkan kapal perang China yang berada dalam jarak begitu dekat dengan kapal AS di Laut Cina Selatan, akhir-akhir ini mengkhawatirkan banyak pihak. Pasalnya, kapal perusak USS Decatur yang sedang beroperasi navigasi di kawasan sengketa LCS, direspons China dengan mengerahkan kapal perusak Lanzhou. AS menganggap ini manuver berbahaya.
Dalam jarak 41 meter kapal Lanzhou malah merangsek ke Decatur dan memberi peringatan agar meninggalkan kawasan. Decatur pun akhirnya menjauh. Sebelumnya, dua kapal AS--kapal perusak USS Higgins dan kapal penjelajah USS Anitetam--pada Mei 2018 melintas dalam jarak 12 mil laut di Kepulauan Paracel. Reaksi ini ditanggapi China dengan mendaratkan pengebom strategis H-6K di sebuah pos terdepan di Paracel, Woody Island.
AS juga memprotes pengerahan rudal dan peralatan radar di tiga pulau buatan China yang dibangun di Kepulauan Spratly dan menuduh melanggar janji pemimpin China, Xi Jinping, yang dibuat pada 2015 ketika China tidak berniat melakukan militerisasi wilayah yang disengketakan. Sebagai balasan, AS membatalkan undangan China untuk ikut latihan dalam angkatan laut multinasional di dekat Hawaii.
Pada April 2018, tiga kapal perang Australia, HMAS Anzac, HMAS Toowoomba, dan HMAS Success bersitegang dengan kapal militer China. Australia memiliki hak dan kebebasan navigasi berdasarkan hukum internasional di LCS. Sementara itu, latihan perang Rusia-China dengan mobilisasi sekitar 300.000 tentara dan melibatkan 3.200 tentara China dan Mongolia, bertajuk Vostok 2018 pertengahan September, makin menambah eskalasi ketegangan di kawasan.
Keadaan tersebut menyisakan sejumlah pertanyaan dan masalah penting terkait perubahan lanskap politik keamanan dan ekonomi dunia akhir-akhir ini, yang membawa ketidakpastian tingkat tinggi dalam sistem global dan berpengaruh terhadap situasi keamanan Asia Tenggara (ASEAN). Selain AS dan China, India, Jepang, Australia, dan Rusia juga saling berebut pengaruh di kawasan yang pada dasarnya stabil dan damai. Kini malah jadi pusat pertarungan (center of struggle) beberapa negara besar. Oleh para pengamat, pertarungan ini sering disebut kawasan dengan "ketegangan yang terjaga dan tidak meledak", tidak ada konflik terbuka.
Beberapa variabel di bawah ini dapat menjelaskan perubahan lanskap keamanan di Asia-Pasifik. Pertama, krisis Turki dengan kejatuhan mata uang lira membawa dampak ke seluruh pasar global. Pasar saham seluruh Eropa anjlok tajam, di Asia indeks saham dan nilai tukar mata uang juga melemah. Bahkan, perang dagang AS-China memasuki babak baru menyangkut soal penerapan tarif impor. Sebelumnya, perang dagang AS-China, dua negara dengan perekonomian terbesar dunia telah membawa efek buruk di kawasan Asia-Pasifik.
Di tengah pergeseran sentral kekuatan ke arah Asia akibat perkembangan ekonomi dan perkembangan positif di kawasan Asia Timur, yang sering disebut-sebut sebagai pusat gravitasi dunia (center of gravity), keadaannya sangat mencemaskan. Rivalitas perdagangan antara AS dan China mengganggu ketahanan dan inovasi ASEAN di tengah tarikan dan tekanan negara besar. Bahkan sakaguru pertumbuhan dan kemakmuran ASEAN, berupa sistem perdagangan multilateral berbasis aturan, terancam oleh meningkatnya nasionalisme dan proteksionisme.
Kedua, isu denuklirisasi Semenanjung Korea belum berimplikasi positif, padahal upaya itu terus dilakukan. Isu ini masih bertengger pada rivalitas kedua negara, Amerika Serikat dan Korea Utara, yang mengganggu kawasan. AS terus menekan Korut hingga benar-benar melakukan denuklirisasi, sedangkan Korut kesal dengan perilaku AS yang terus menyuarakan sanksi bagi Korut. Padahal, kesepakatan Trump dan Kim Jong-un, di Singapura, Juni 2018, berkomitmen membangun hubungan yang lebih baik, membangun rezim perdamaian abadi dan stabil di Semenanjung Korea, melucuti nuklir secara keseluruhan, serta membebaskan tahanan perang.
Ketiga, situasi keamanan di LCS makin memanas karena China memperkuat klaimnya dan militerisasi di hampir di seluruh kawasan. Bahkan melumpuhkan Kode Tata Berperilaku (Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea-CoC) , yang digagas ASEAN sejak 2002. Kesepakatan ASEAN-China tentang penyusunan draf tunggal CoC yang dicapai di Changsha, China, 27 Juni lalu, tidak mengalami perkembangan berarti sebagai upaya damai yang digagas ASEAN. Doktrin kebijakan luar negeri China "peaceful development" tinggal sekadar jargon.
Dalam menyikapi perubahan geopolitik dan keamanan di atas, peran penting ASEAN dan Indonesia meredakan konfrontasi dan hidup berdampingan secara damai sangat diperlukan. Dalam memperkuat integritasnya menghadapi tantangan percaturan lanskap tersebut, bagaimana ASEAN menyikapi isu baru Indo Pasifik?
Optimalisasi Arsitektur ASEAN
Meski konsep Indo Pasifik belum jelas, kecenderungan mengentalnya rivalitas strategis antar negara besar di wilayah strategis ini, sedikit banyak dapat menjelaskan dari visi kompetitif mengenai tatanan regional di kawasan dalam mendesain ulang mandala strategisnya. Koalisi strategis empat sisi (quad) antara AS, Jepang, India dan Australia dan menguatnya hubungan India-Jepang dalam menata Indo-Pasifik menjadi variabel penting pembentukan arsitektur Indo-Pasifik itu, di samping posisi China yang menolak AS soal LCS.
Perubahan itu bertumpu pada belahan timur dari Asia-Pasifik ke Indo-Pasifik, yaitu keterhubungan dua samudra, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sebagai unit geopolitik dan geoekonomi (Sukma, 2018). Bagi AS, seperti yang disampaikan Presiden Donald Trump pada 2017, Indo-Pasifik ditujukan untuk menghadang perluasan pengaruh dari inisiatif satu sabuk, satu jalan (OBOR) serta prakarsa sabuk dan jalan (BRI) China.
Menghadapi situasi demikian, Indonesia dan ASEAN mengajukan konsep Indo-Pasifik yang bertujuan merangkul semua pihak, dengan mengutamakan pembiasaan dialog dan penghormatan terhadap hukum, yang bertujuan menciptakan lingkungan perdamaian dan stabilitas kawasan untuk meredam pertarungan negara-negara besar di Asia Tenggara. Sejatinya prakarsa Indonesia ini bertujuan mengarusutamakan dan mengoptimalkan arsitektur yang sudah ada (ASEAN, ARF, EAS, APEC) dan memaksimalkan regional grouping .
Ini dimaksudkan untuk antisipasi ancaman pertarungan negara-negara besar di Asia-Pasifik dan Samudra India, yang berpengaruh terhadap Asia Tenggara. Hanya, manuver dan pertarungan politik keamanan AS-China sering merepotkan ASEAN. Padahal, ASEAN sebagai kekuatan penyeimbang dan pemersatu di kawasan cukup tangguh.
Tantangan bagi ASEAN
Untuk itu, saling kebergantungan negara ASEAN sangat diperlukan. Nilai-nilai inklusif dan berbasis aturan, kerja sama, serta peningkatan dialog, yang selama ini menjadi wadah tradisi ASEAN sebagai lawan dari tradisi konfrontasi makin penting. Pendekatan mengajak negara-negara besar ikut menyelesaikan perbedaan kepentingan di kawasan dapat mengurangi tingkat eskalasi konflik.
Di tengah struktur dunia yang multipolar, tindakan asertif ASEAN diperlukan agar rivalitas ekonomi dan politik antara AS dan China dapat dimanfaatkan untuk keuntungan ASEAN, bukan untuk diserahkan, apalagi dikuasai oleh mereka.
Dengan integrasi dan interdependensi yang solid serta memanfaatkan kekuatan-kekuatan ekonomi besar lainnya di Asia, seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan, ASEAN berpeluang menjadi bagian penting dari emerging economies sebagai alternatif pertumbuhan ekonomi dunia. Secara demikian, di tengah gempuran krisis ekonomi global, percaturan Indo-Pasifik, seharusnya dimanfaatkan ASEAN sebagai pusat globalisme baru. Peran proaktif agar ASEAN adaptif dan tidak berpihak pada salah satu negara, juga menjadi penting.
Lebih dari itu, pengembangan tatanan regional ASEAN yang mengedepankan dynamic equlibrium di kawasan juga harus diperjuangkan. Sebagai sendi utama politik luar negeri Indonesia, ASEAN dapat menjadi as roda (lincpin) kepentingan strategi utama di Asia-Pasifik, sekaligus titik tumpu (fulcrum) stabilitas geopolitik memasuki era baru Indo-Pasifik.
Pemerhati Masalah ASEAN dan Editor Jurnal Analisis CSIS, Jakarta
BERITA foto udara dari Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) memperlihatkan kapal perang China yang berada dalam jarak begitu dekat dengan kapal AS di Laut Cina Selatan, akhir-akhir ini mengkhawatirkan banyak pihak. Pasalnya, kapal perusak USS Decatur yang sedang beroperasi navigasi di kawasan sengketa LCS, direspons China dengan mengerahkan kapal perusak Lanzhou. AS menganggap ini manuver berbahaya.
Dalam jarak 41 meter kapal Lanzhou malah merangsek ke Decatur dan memberi peringatan agar meninggalkan kawasan. Decatur pun akhirnya menjauh. Sebelumnya, dua kapal AS--kapal perusak USS Higgins dan kapal penjelajah USS Anitetam--pada Mei 2018 melintas dalam jarak 12 mil laut di Kepulauan Paracel. Reaksi ini ditanggapi China dengan mendaratkan pengebom strategis H-6K di sebuah pos terdepan di Paracel, Woody Island.
AS juga memprotes pengerahan rudal dan peralatan radar di tiga pulau buatan China yang dibangun di Kepulauan Spratly dan menuduh melanggar janji pemimpin China, Xi Jinping, yang dibuat pada 2015 ketika China tidak berniat melakukan militerisasi wilayah yang disengketakan. Sebagai balasan, AS membatalkan undangan China untuk ikut latihan dalam angkatan laut multinasional di dekat Hawaii.
Pada April 2018, tiga kapal perang Australia, HMAS Anzac, HMAS Toowoomba, dan HMAS Success bersitegang dengan kapal militer China. Australia memiliki hak dan kebebasan navigasi berdasarkan hukum internasional di LCS. Sementara itu, latihan perang Rusia-China dengan mobilisasi sekitar 300.000 tentara dan melibatkan 3.200 tentara China dan Mongolia, bertajuk Vostok 2018 pertengahan September, makin menambah eskalasi ketegangan di kawasan.
Keadaan tersebut menyisakan sejumlah pertanyaan dan masalah penting terkait perubahan lanskap politik keamanan dan ekonomi dunia akhir-akhir ini, yang membawa ketidakpastian tingkat tinggi dalam sistem global dan berpengaruh terhadap situasi keamanan Asia Tenggara (ASEAN). Selain AS dan China, India, Jepang, Australia, dan Rusia juga saling berebut pengaruh di kawasan yang pada dasarnya stabil dan damai. Kini malah jadi pusat pertarungan (center of struggle) beberapa negara besar. Oleh para pengamat, pertarungan ini sering disebut kawasan dengan "ketegangan yang terjaga dan tidak meledak", tidak ada konflik terbuka.
Beberapa variabel di bawah ini dapat menjelaskan perubahan lanskap keamanan di Asia-Pasifik. Pertama, krisis Turki dengan kejatuhan mata uang lira membawa dampak ke seluruh pasar global. Pasar saham seluruh Eropa anjlok tajam, di Asia indeks saham dan nilai tukar mata uang juga melemah. Bahkan, perang dagang AS-China memasuki babak baru menyangkut soal penerapan tarif impor. Sebelumnya, perang dagang AS-China, dua negara dengan perekonomian terbesar dunia telah membawa efek buruk di kawasan Asia-Pasifik.
Di tengah pergeseran sentral kekuatan ke arah Asia akibat perkembangan ekonomi dan perkembangan positif di kawasan Asia Timur, yang sering disebut-sebut sebagai pusat gravitasi dunia (center of gravity), keadaannya sangat mencemaskan. Rivalitas perdagangan antara AS dan China mengganggu ketahanan dan inovasi ASEAN di tengah tarikan dan tekanan negara besar. Bahkan sakaguru pertumbuhan dan kemakmuran ASEAN, berupa sistem perdagangan multilateral berbasis aturan, terancam oleh meningkatnya nasionalisme dan proteksionisme.
Kedua, isu denuklirisasi Semenanjung Korea belum berimplikasi positif, padahal upaya itu terus dilakukan. Isu ini masih bertengger pada rivalitas kedua negara, Amerika Serikat dan Korea Utara, yang mengganggu kawasan. AS terus menekan Korut hingga benar-benar melakukan denuklirisasi, sedangkan Korut kesal dengan perilaku AS yang terus menyuarakan sanksi bagi Korut. Padahal, kesepakatan Trump dan Kim Jong-un, di Singapura, Juni 2018, berkomitmen membangun hubungan yang lebih baik, membangun rezim perdamaian abadi dan stabil di Semenanjung Korea, melucuti nuklir secara keseluruhan, serta membebaskan tahanan perang.
Ketiga, situasi keamanan di LCS makin memanas karena China memperkuat klaimnya dan militerisasi di hampir di seluruh kawasan. Bahkan melumpuhkan Kode Tata Berperilaku (Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea-CoC) , yang digagas ASEAN sejak 2002. Kesepakatan ASEAN-China tentang penyusunan draf tunggal CoC yang dicapai di Changsha, China, 27 Juni lalu, tidak mengalami perkembangan berarti sebagai upaya damai yang digagas ASEAN. Doktrin kebijakan luar negeri China "peaceful development" tinggal sekadar jargon.
Dalam menyikapi perubahan geopolitik dan keamanan di atas, peran penting ASEAN dan Indonesia meredakan konfrontasi dan hidup berdampingan secara damai sangat diperlukan. Dalam memperkuat integritasnya menghadapi tantangan percaturan lanskap tersebut, bagaimana ASEAN menyikapi isu baru Indo Pasifik?
Optimalisasi Arsitektur ASEAN
Meski konsep Indo Pasifik belum jelas, kecenderungan mengentalnya rivalitas strategis antar negara besar di wilayah strategis ini, sedikit banyak dapat menjelaskan dari visi kompetitif mengenai tatanan regional di kawasan dalam mendesain ulang mandala strategisnya. Koalisi strategis empat sisi (quad) antara AS, Jepang, India dan Australia dan menguatnya hubungan India-Jepang dalam menata Indo-Pasifik menjadi variabel penting pembentukan arsitektur Indo-Pasifik itu, di samping posisi China yang menolak AS soal LCS.
Perubahan itu bertumpu pada belahan timur dari Asia-Pasifik ke Indo-Pasifik, yaitu keterhubungan dua samudra, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sebagai unit geopolitik dan geoekonomi (Sukma, 2018). Bagi AS, seperti yang disampaikan Presiden Donald Trump pada 2017, Indo-Pasifik ditujukan untuk menghadang perluasan pengaruh dari inisiatif satu sabuk, satu jalan (OBOR) serta prakarsa sabuk dan jalan (BRI) China.
Menghadapi situasi demikian, Indonesia dan ASEAN mengajukan konsep Indo-Pasifik yang bertujuan merangkul semua pihak, dengan mengutamakan pembiasaan dialog dan penghormatan terhadap hukum, yang bertujuan menciptakan lingkungan perdamaian dan stabilitas kawasan untuk meredam pertarungan negara-negara besar di Asia Tenggara. Sejatinya prakarsa Indonesia ini bertujuan mengarusutamakan dan mengoptimalkan arsitektur yang sudah ada (ASEAN, ARF, EAS, APEC) dan memaksimalkan regional grouping .
Ini dimaksudkan untuk antisipasi ancaman pertarungan negara-negara besar di Asia-Pasifik dan Samudra India, yang berpengaruh terhadap Asia Tenggara. Hanya, manuver dan pertarungan politik keamanan AS-China sering merepotkan ASEAN. Padahal, ASEAN sebagai kekuatan penyeimbang dan pemersatu di kawasan cukup tangguh.
Tantangan bagi ASEAN
Untuk itu, saling kebergantungan negara ASEAN sangat diperlukan. Nilai-nilai inklusif dan berbasis aturan, kerja sama, serta peningkatan dialog, yang selama ini menjadi wadah tradisi ASEAN sebagai lawan dari tradisi konfrontasi makin penting. Pendekatan mengajak negara-negara besar ikut menyelesaikan perbedaan kepentingan di kawasan dapat mengurangi tingkat eskalasi konflik.
Di tengah struktur dunia yang multipolar, tindakan asertif ASEAN diperlukan agar rivalitas ekonomi dan politik antara AS dan China dapat dimanfaatkan untuk keuntungan ASEAN, bukan untuk diserahkan, apalagi dikuasai oleh mereka.
Dengan integrasi dan interdependensi yang solid serta memanfaatkan kekuatan-kekuatan ekonomi besar lainnya di Asia, seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan, ASEAN berpeluang menjadi bagian penting dari emerging economies sebagai alternatif pertumbuhan ekonomi dunia. Secara demikian, di tengah gempuran krisis ekonomi global, percaturan Indo-Pasifik, seharusnya dimanfaatkan ASEAN sebagai pusat globalisme baru. Peran proaktif agar ASEAN adaptif dan tidak berpihak pada salah satu negara, juga menjadi penting.
Lebih dari itu, pengembangan tatanan regional ASEAN yang mengedepankan dynamic equlibrium di kawasan juga harus diperjuangkan. Sebagai sendi utama politik luar negeri Indonesia, ASEAN dapat menjadi as roda (lincpin) kepentingan strategi utama di Asia-Pasifik, sekaligus titik tumpu (fulcrum) stabilitas geopolitik memasuki era baru Indo-Pasifik.
(kri)