Utang untuk Reforma Agraria?

Rabu, 10 Oktober 2018 - 09:31 WIB
Utang untuk Reforma...
Utang untuk Reforma Agraria?
A A A
Iwan Nurdin
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria

TEPAT pada Hari Tani, 24 September 2018, Presiden Joko Widodo mengumumkan telah menandatangani Perpres Reforma Agraria. Ini tentu kado manis bagi petani Indonesia. Sebelumnya, pada Juli 2018, Dewan Direktur Bank Dunia telah menyetujui memberikan hutang kepada pemerintah Indonesia sejumlah 200 juta dolar (Rp2,8 triliun) kepada pemerintah Indonesia untuk program Akselerasi Reforma Agraria.

Apakah Perpres Reforma Agraria dan utang dengan judul yang sama yakni Reforma Agraria tersebut berhubungan? Setelah melihat desain proyek hutang tersebut, proyek ini telah mencatut istilah reforma agraria. Tentu disayangkan, Kementerian ATR/BPN RI dan Bank Dunia memberikan informasi yang salah kepada rakyat Indonesia bahwa kegiatan yang didanai utang tersebut diberi label sebagai Akselerasi Reforma Agraria.

Dijelaskan dalam dokumen tersebut, bahwa proyek hutang ini akan digunakan untuk pelaksanaan satu peta (one map) dan pendaftaran tanah di desa-desa. Proyek yang selama ini kita kenal sebagai Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Memakai judul reforma agraria tentu membawa banyak kesalahan baik dari sisi ilmu pengetahuan juga praktik di lapangan.

Reforma Agraria atau Agrarian Reform dalam khazanah ilmu pengetahuan dan praktik di seluruh dunia bukanlah program pendaftaran tanah, sertifikasi tanah dan pembuatan peta. Ini tentu klaim yang menyesatkan. Reforma Agraria adalah penataan struktur agraria akibat ketimpangan penguasaan struktur agraria nasional. Ketimpangan tersebut bercirikan sebagian besar rakyat khususnya petani, masyarakat adat tidak memiliki tanah atau bertanah sempit. Sementara itu, sebagian kecil badan usaha dan pengusaha menguasai tanah maha luas.

Reforma Agraria juga ditujukan untuk menyelesaikan konflik agraria yang berkepanjangan dengan mengedepankan pemulihan hak masyarakat atas tanah dan sumber-sumber ekonominya. Dengan tujuan-tujuan tersebut, reforma agraria adalah sebuah langkah membuka kesempatan bagi rakyat tak bertanah memiliki tanah.

Karena itu, sertifikasi tanah (land titling) bukanlah reforma agraria, apalagi sebagai akselerator. Sertifikasi tanah adalah pelayanan publik kepada orang yang sudah memiliki tanah, namun belum memiliki bersertifikat. Memakai dana utang yang kelak harus ditanggung bergenerasi tentu tidak adil. Apalagi, masyarakat miskin tak bertanah juga menanggung beban hutang ini.

Dua dekade lalu, Bank Dunia juga memberikan hutang serupa kepada Orde Baru dengan nama Land Administration Project. Dalam setiap lembar dokumennya, tidak disebut proyek ini sebagai reforma agraria. Setidaknya kedua belah pihak taat dengan istilah ilmu pengetahuan dan praktik kebijakan.

Bank Dunia memang memiliki kebijakan tentang reforma agraria yang disebut dengan istilah Land Reform Policy Paper. Program ini sering disebut sebagai market based agrarian reform atau reforma agraria yang berdasarkan mekanisme pasar. Sebuah program di mana pemilik tanah luas akan memberikan tanahnya kepada pihak yang membutuhkan tanah dalam sebuah mekanisme pasar plus harga ganti kerugian yang juga dinilai secara ekonomi pasar.

Meluruskan Reforma Agraria
Ke manakah kiblat reforma agraria nasional? Sebenarnya mekanisme reforma agraria di Indonesia mestilah bersandar kepada Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. UUPA No 5/1960 dan UUD 1945. Memakai regulasi nasional ini, pendaftaran tanah dipakai untuk melihat data ketimpangan, potensi tanah yang tersedia juga potensi penerima tanah. Dengan data ini didapat desain tentang proses ganti rugi, proses pembagian tanah hingga desain pengelolaan. Bahkan, UUPA sendiri mengidealkan agar tanah tersebut dikelola dalam bentuk usaha pertanian modern berbentuk koperasi.

Dari sini kita dapat memahami bahwa kelembagaan pelaksana reforma agraria mestilah dipimpin oleh Presiden karena berisi lintas kementerian dan lembaga sehingga satu sinergi dengan tujuan pelaksanaan reforma agraria.

Pemerintahan Joko Widodo memulai kerangka reforma agraria dengan menggunakan skema redistribusi tanah negara, khususnya tanah eks hak guna usaha dan hutan negara. Skema ini diatur dalam Perpres tentang Reforma Agraria yang baru saja disahkan. Bukankah akan membingungkan jika ada program lain dinamakan reforma agraria yang berlainan dengan skema ini bahkan dibiayai utang? Mencegah kebingungan berlanjut, sebaiknya Presiden membatalkan utang atas nama reforma agraria tersebut. Selain mencatut nama reforma agraria, juga membuat dukungan masyarakat menjadi tak padu akibat salah paham dan salah pemahaman.

Selama ini, dukungan masyarakat sipil terhadap reforma agraria terus dilakukan, bahkan dengan cara mendorong percepatan dan meluruskan reforma agraria tersebut. Sebagai misal, Konsorsium Pembaruan Agraria mendorong agar pemerintah menjalankan proses tersebut secara bottom-up process dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Proses dari bawah ini disebut sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria. Lokasi tersebut merupakan wilayah-wilayah yang telah memenuhi syarat pelaksanaan reforma agraria dalam skema redistribusi, penguatan hak atas tanah dan program pemberdayaan ekonomi lanjutannya.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0993 seconds (0.1#10.140)