Pengeras Suara di Masjid
A
A
A
KH Cholil Nafis
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
BEBERAPA lalu sempat terjadi polemik masalah pengeras suara di masjid dan musala. Selain karena mencuatnya berita vonis Meiliana di Tanjung Balai Sumut terkait kasus penodaan agama, juga beredarnya Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor: B3940/DJIII/Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor. Kep./D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
Beredarnya SE tersebut sebenarnya hanya mengingatkan kembali kepada seluruh pejabat vertikal Kementerian Agama akan adanya Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam nomor: KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala agar disosialisasikan kembali kepada pengurus masjid dan musala, mengingat regulasi tersebut masih relevan dengan situasi terkini yang berkembang.
Merespons atas terbitnya SE Dirjen Bimas Islam Kemenag tersebut, lalu muncul spekulasi beragam di masyarakat. Ada yang mendukung dengan segala argumentasinya, namun ada juga menolak keras dengan segala dalihnya. Spekulasi yang berkembang di media sosial dan grup-grup Whatsapp justru berasumsi negatif bahwa pemerintah melarang azan denganspeakerdi masjid dan musala.
Tentu spekulasi tersebut menimbulkan kegaduhan tidak perlu, seperti banyaknya ujaran kebencian (hate-speech), tuduhan sepihak, dan fitnah di medsos bahwa pemerintah melarang syiar Islam yang sudah berjalan sejak bangsa ini ada. Padahal jika kita cermati lebih bijaksana, SE tersebut sama sekali tidak mengatur pembatasan azan, apalagi melarang azan dengan pengeras suara.
Namun, justru memberikan tuntunan kepada pengurus masjid dan musala serta masyarakat pada umumnya dalam menggunakan pengeras suara yang lebih sesuai dengan hakikat beribadah di masjid dan musala, khususnya terkait aktivitas sebelum dan sesudah azan yang menggunakanspeaker.
Kenapa regulasi dalam bentuk SE yang sudah 40 tahun diterbitkan tersebut “dihidupkan” kembali? Karena memang substansinya masih sangat relevan untuk dipedomani bersama, khususnya para pengurus masjid dan musala. Perlu digarisbawahi bahwa kita bangsa Indonesia adalah negeri yang penduduknya beragam. Perlu kearifan bersama dalam menyikapi ini agar suasana kehidupan umat beragama tetap terjaga, saling menghargai, dan menghormati perbedaan.
Namun dalam praktiknya, penggunaanspeakeryang diarahkan keluar (bukan untuk lingkup jamaah), baik masjid dan musala di luar azan masih terjadi, seperti saat pengajian rutin majelis taklim, menyetel suara tarhim dan tilawah Alquran pada waktu tidak tepat dan durasi panjang, bahkan ada puji-pujian oleh anak-anak yang tidak tertib dan lain-lain.
Karena itu, tidak kurang Wakil Presiden RI Jusuf Kala sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) pernah membuat program yang diarahkan untuk memperbaiki kualitas sound pengeras suara di masjid-masjid seluruh Indonesia agar enak didengar dan indah.
Selain itu, Pak JK juga meminta penggunaan pengeras suara di masjid tidak terlalu lama sebagai bentuk penghormatan terhadap lingkungan, termasuk kepada sesama muslim sendiri yang tinggal di sekitar masjid agar tidak terganggu dengan penggunaanspeakeryang tidak tepat.
Lalu, apakah hanya masjid dan musala yang diatur? Mengapa tidak sekalian seluruh rumah ibadah dan semua aktivitas yang menggunakan pengeras suara juga dibuatkan regulasi secara utuh agar tidak terkesan diskriminatif sehingga bisa menciptakan keadilan dan tidak muncul spekulasi? Artinya, regulasi yang dikeluarkan Dirjen Bimas Islam khusus untuk umat Islam dan sudah berusia 40 tahun lalu itu perlu dikuatkan posisinya, seperti dalam bentuk Peraturan Menteri Agama atau Surat Keputusan Bersama (SKB) agar bisa memayungi semua pihak dan bukan hanya untuk umat Islam saja.
Tentu perlu ada penyempurnaan substansi agar sesuai dengan konteks perkembangan zaman dan dinamika lingkungan. Karena itu, regulasi yang memiliki tujuan mulia tersebut benar-benar dapat dijalankan dan dipatuhi oleh masyarakat dan umat beragama khususnya.
Hal ini merupakan bentuk kehadiran pemerintah dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban umum, yang tidak pandang bulu apa agama, keyakinan, dan latar belakangnya. Apalagi di tempat penduduk yang padat dan perkotaan di mana suara-suara bising tanpa aturan bisa mengganggu kenyamanan hidup bersama yang berpotensi menimbulkan kerawanan sosial.
Jika mengacu di negara-negara Islam lain, seperti Arab Saudi sebagaimana dilansir dariarabnews.com, pada 2015, Kementerian Urusan Islam Arab Saudi membatasi penggunaan pengeras suara eksternal, yaitu hanya untuk azan, salat Jumat, salat Idul Fitri, dan doa meminta hujan. Pembatasan ini dilakukan karena adanya keluhan-keluhan dari masyarakat di sekitar masjid merasa terganggu dengan suara dari masjid yang dirasa menciptakan distorsi.
Demikian juga Pemerintah Mesir melarang pengeras suara masjid digunakan selain untuk azan yang didukung Universitas Al-Azhar. Larangan ini terutama mulai diawasi sejak Ramadan 2018 lalu. Al-Azhar mengatakan, pengeras suara bisa mengganggu pasien di rumah sakit atau manula, yang berarti bertentangan dengan ajaran Islam.
Khusus penggunaan pengeras suara untuk azan memang tidak perlu diatur khusus oleh pemerintah, tapi cukup diimbau agarsoundpengeras suara lebih diperbagus dan diisi muazin yang ahli sehingga enak dan indah seperti di Masjidil Haram. Kenapa? Karena azan sudah ada ketentuannya, yaitu memberi tahu masuknya waktu salat sekaligus syiar agama Islam.
Hadis riwayat Imam Bukhari yang diceritakan dari Abi Said al-Khudri bahwa Nabi SAW menganjurkan agar mengeraskan suara azan. Seandainya pun hendak diukur waktu azan sampai denganiqamahsalat hanya memakan waktu sekitar 10 menit. Karena itu, syiar azan memang tak perlu diatur karena tidak mengganggu orang lain selama dilaksanakan sesuai tuntunan syariat Islam.
Sedangkan penggunaan pengeras suara selain azan perlu dikembalikan pada kearifan lokal yang ketentuannya disesuaikan kondisi masyarakat. Bagi masyarakat perkotaan yang padat penduduk dan heterogen perlu ada kearifan dari takmir masjid agar disesuaikan dengan kebutuhan jamaah, kapan menggunakan pengeras suara eksternal dan kapan ke dalam. Lalu, berapa lama mengaji atautarhimmenjelang azan yang cocok untuk masyarakat.
Di sini pendekatannya dengan membangun kesadaran beragama sekaligus peduli dengan heterogenitas masyarakat di sekitar masjid, baik muslim maupun nonmuslim. Dalam sebuah riwayat, pernah sayyidina Ali RA keras-keras bacaan salat dan doanya yang di sampingnya ada orang tidur. Lalu Rasulullah SAW menegurnya: “Bacalah untuk dirimu sendiri, karena engkau tidaklah menyeru kepada Tuhan yang tuli serta jauh, tetapi engkau menyeru kepada Allah yang mendengar dan dekat”.
Akan tetapi, jika kesadaran masyarakat serasa belum memadai, seperti munculnya protes sehingga timbul pertentangan dan kegaduhan sosial, sebaiknya pemerintah bersama ormas keagamaan dan majelis-majelis agama perlu duduk bersama menggagas regulasi sebagai pedoman dan panduan terkait penggunaan pengeras suara di ruang publik secara komprehensif.
Hal ini mendesak dilakukan agar bisa dipedomani oleh seluruh rumah ibadah agama-agama di Indonesia dengan tetap memperhatikan ruang kebebasan menjalankan ajaran agama yang tidak mengganggu kenyamanan hidup bersama.Wallahualam.
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
BEBERAPA lalu sempat terjadi polemik masalah pengeras suara di masjid dan musala. Selain karena mencuatnya berita vonis Meiliana di Tanjung Balai Sumut terkait kasus penodaan agama, juga beredarnya Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor: B3940/DJIII/Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor. Kep./D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
Beredarnya SE tersebut sebenarnya hanya mengingatkan kembali kepada seluruh pejabat vertikal Kementerian Agama akan adanya Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam nomor: KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala agar disosialisasikan kembali kepada pengurus masjid dan musala, mengingat regulasi tersebut masih relevan dengan situasi terkini yang berkembang.
Merespons atas terbitnya SE Dirjen Bimas Islam Kemenag tersebut, lalu muncul spekulasi beragam di masyarakat. Ada yang mendukung dengan segala argumentasinya, namun ada juga menolak keras dengan segala dalihnya. Spekulasi yang berkembang di media sosial dan grup-grup Whatsapp justru berasumsi negatif bahwa pemerintah melarang azan denganspeakerdi masjid dan musala.
Tentu spekulasi tersebut menimbulkan kegaduhan tidak perlu, seperti banyaknya ujaran kebencian (hate-speech), tuduhan sepihak, dan fitnah di medsos bahwa pemerintah melarang syiar Islam yang sudah berjalan sejak bangsa ini ada. Padahal jika kita cermati lebih bijaksana, SE tersebut sama sekali tidak mengatur pembatasan azan, apalagi melarang azan dengan pengeras suara.
Namun, justru memberikan tuntunan kepada pengurus masjid dan musala serta masyarakat pada umumnya dalam menggunakan pengeras suara yang lebih sesuai dengan hakikat beribadah di masjid dan musala, khususnya terkait aktivitas sebelum dan sesudah azan yang menggunakanspeaker.
Kenapa regulasi dalam bentuk SE yang sudah 40 tahun diterbitkan tersebut “dihidupkan” kembali? Karena memang substansinya masih sangat relevan untuk dipedomani bersama, khususnya para pengurus masjid dan musala. Perlu digarisbawahi bahwa kita bangsa Indonesia adalah negeri yang penduduknya beragam. Perlu kearifan bersama dalam menyikapi ini agar suasana kehidupan umat beragama tetap terjaga, saling menghargai, dan menghormati perbedaan.
Namun dalam praktiknya, penggunaanspeakeryang diarahkan keluar (bukan untuk lingkup jamaah), baik masjid dan musala di luar azan masih terjadi, seperti saat pengajian rutin majelis taklim, menyetel suara tarhim dan tilawah Alquran pada waktu tidak tepat dan durasi panjang, bahkan ada puji-pujian oleh anak-anak yang tidak tertib dan lain-lain.
Karena itu, tidak kurang Wakil Presiden RI Jusuf Kala sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) pernah membuat program yang diarahkan untuk memperbaiki kualitas sound pengeras suara di masjid-masjid seluruh Indonesia agar enak didengar dan indah.
Selain itu, Pak JK juga meminta penggunaan pengeras suara di masjid tidak terlalu lama sebagai bentuk penghormatan terhadap lingkungan, termasuk kepada sesama muslim sendiri yang tinggal di sekitar masjid agar tidak terganggu dengan penggunaanspeakeryang tidak tepat.
Lalu, apakah hanya masjid dan musala yang diatur? Mengapa tidak sekalian seluruh rumah ibadah dan semua aktivitas yang menggunakan pengeras suara juga dibuatkan regulasi secara utuh agar tidak terkesan diskriminatif sehingga bisa menciptakan keadilan dan tidak muncul spekulasi? Artinya, regulasi yang dikeluarkan Dirjen Bimas Islam khusus untuk umat Islam dan sudah berusia 40 tahun lalu itu perlu dikuatkan posisinya, seperti dalam bentuk Peraturan Menteri Agama atau Surat Keputusan Bersama (SKB) agar bisa memayungi semua pihak dan bukan hanya untuk umat Islam saja.
Tentu perlu ada penyempurnaan substansi agar sesuai dengan konteks perkembangan zaman dan dinamika lingkungan. Karena itu, regulasi yang memiliki tujuan mulia tersebut benar-benar dapat dijalankan dan dipatuhi oleh masyarakat dan umat beragama khususnya.
Hal ini merupakan bentuk kehadiran pemerintah dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban umum, yang tidak pandang bulu apa agama, keyakinan, dan latar belakangnya. Apalagi di tempat penduduk yang padat dan perkotaan di mana suara-suara bising tanpa aturan bisa mengganggu kenyamanan hidup bersama yang berpotensi menimbulkan kerawanan sosial.
Jika mengacu di negara-negara Islam lain, seperti Arab Saudi sebagaimana dilansir dariarabnews.com, pada 2015, Kementerian Urusan Islam Arab Saudi membatasi penggunaan pengeras suara eksternal, yaitu hanya untuk azan, salat Jumat, salat Idul Fitri, dan doa meminta hujan. Pembatasan ini dilakukan karena adanya keluhan-keluhan dari masyarakat di sekitar masjid merasa terganggu dengan suara dari masjid yang dirasa menciptakan distorsi.
Demikian juga Pemerintah Mesir melarang pengeras suara masjid digunakan selain untuk azan yang didukung Universitas Al-Azhar. Larangan ini terutama mulai diawasi sejak Ramadan 2018 lalu. Al-Azhar mengatakan, pengeras suara bisa mengganggu pasien di rumah sakit atau manula, yang berarti bertentangan dengan ajaran Islam.
Khusus penggunaan pengeras suara untuk azan memang tidak perlu diatur khusus oleh pemerintah, tapi cukup diimbau agarsoundpengeras suara lebih diperbagus dan diisi muazin yang ahli sehingga enak dan indah seperti di Masjidil Haram. Kenapa? Karena azan sudah ada ketentuannya, yaitu memberi tahu masuknya waktu salat sekaligus syiar agama Islam.
Hadis riwayat Imam Bukhari yang diceritakan dari Abi Said al-Khudri bahwa Nabi SAW menganjurkan agar mengeraskan suara azan. Seandainya pun hendak diukur waktu azan sampai denganiqamahsalat hanya memakan waktu sekitar 10 menit. Karena itu, syiar azan memang tak perlu diatur karena tidak mengganggu orang lain selama dilaksanakan sesuai tuntunan syariat Islam.
Sedangkan penggunaan pengeras suara selain azan perlu dikembalikan pada kearifan lokal yang ketentuannya disesuaikan kondisi masyarakat. Bagi masyarakat perkotaan yang padat penduduk dan heterogen perlu ada kearifan dari takmir masjid agar disesuaikan dengan kebutuhan jamaah, kapan menggunakan pengeras suara eksternal dan kapan ke dalam. Lalu, berapa lama mengaji atautarhimmenjelang azan yang cocok untuk masyarakat.
Di sini pendekatannya dengan membangun kesadaran beragama sekaligus peduli dengan heterogenitas masyarakat di sekitar masjid, baik muslim maupun nonmuslim. Dalam sebuah riwayat, pernah sayyidina Ali RA keras-keras bacaan salat dan doanya yang di sampingnya ada orang tidur. Lalu Rasulullah SAW menegurnya: “Bacalah untuk dirimu sendiri, karena engkau tidaklah menyeru kepada Tuhan yang tuli serta jauh, tetapi engkau menyeru kepada Allah yang mendengar dan dekat”.
Akan tetapi, jika kesadaran masyarakat serasa belum memadai, seperti munculnya protes sehingga timbul pertentangan dan kegaduhan sosial, sebaiknya pemerintah bersama ormas keagamaan dan majelis-majelis agama perlu duduk bersama menggagas regulasi sebagai pedoman dan panduan terkait penggunaan pengeras suara di ruang publik secara komprehensif.
Hal ini mendesak dilakukan agar bisa dipedomani oleh seluruh rumah ibadah agama-agama di Indonesia dengan tetap memperhatikan ruang kebebasan menjalankan ajaran agama yang tidak mengganggu kenyamanan hidup bersama.Wallahualam.
(thm)