Asian Para Games dan Kota Ramah Difabel
A
A
A
Hetifah SjaifudianWakil Ketua Komisi X DPR RI
SEMANGAT Asian Para Games 2018 mengingatkan kita akan pentingnya keberadaan kota ramah difabel di Tanah Air. Berlangsung di Jakarta mulai Sabtu (6/10/2018), ini adalah ajang olahraga terbesar Asia yang dikhususkan bagi para atlet dengan keterbatasan fisik, sensorik, mental, kognitif, ataupun emosional.Mengusung tema The Inspiring Spirit and Energy of Asia, Asian Para Games 2018 seperti membuka mata kita bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi termasuk hak-hak yang harus dipenuhi seperti hak aksesibilitas dan bebas dari diskriminasi. Terkait aksesibilitas, salah satu hak yang harus dipenuhi pemerintah adalah kebutuhan transportasi. Aksesibilitas yang ramah difabel, diperlukan agar mereka bisa mudah berpindah tempat. Hak lain yang juga harus dipenuhi adalah hak terkait pekerjaan.Sebab, meskipun undang-undang mewajibkan setiap perusahaan menampung tenaga kerja difabel setidaknya 1% dari jumlah pegawai, namun manfaatnya saat ini belum banyak dirasakan kaum difabel. Masih banyak perusahaan yang menolak kaum difabel untuk bekerja. Ada juga yang menerima, tapi sebatas kasihan sehingga tidak berlaku adil dalam gaji. Fasilitas di tempat kerja yang tidak ramah kaum difabel juga menjadi masalah serius. Sampai saat ini masih banyak gedung perkantoran yang sangat tidak ramah bagi kaum difabel.Namun, kota ramah difabel tidak sebatas itu. Diperlukan aspek lain dari sisi budaya dan sikap masyarakat atas mereka yang memiliki keterbatasan. Sebab, saat ini masih banyak orang yang memandang rendah kaum difabel dengan melakukan diskriminasi baik secara fisik maupun nonfisik. Sering kaum difabel tidak mendapatkan hak setara atau sejajar dengan orang pada umumnya.Karena itulah, peran pendidikan menjadi penting. Sekolah harus bisa menjadi motor untuk mengajarkan siswa-siswanya menghormati dan menghargai perbedaan. Sekolah inklusi perlu lebih digalakkan sehingga ada integrasi antara siswa difabel dengan siswa pada umumnya. Pendidikan inklusi selain bisa memberikan lingkungan yang tepat guna mencapai kesamaan kesempatan dan partisipasi para penyandang disabilitas, juga akan mendidik anak-anak kita untuk menghargai perbedaan sehingga tidak melakukan diskriminasi kepada kaum difabel.Saya teringat dengan tulisan pada sebuah media massa online terkait kota ramah difabel. Dalam wawancara dengan Jendi Pangabean, atlet renang pemenang lima medali emas Asian Para Games 2017 disebutkan bahwa mereka ingin dihargai, tidak perlu dikasihani, tapi perlu diberi semangat. "Kami punya kekurangan, tapi sama seperti orang lain. Setiap kali punya prestasi, saya selalu ingin buktikan ke orang-orang: jangan pandang kami sebelah mata," kata Jendi.Jendi hanyalah satu dari jutaan rakyat Indonesia penyandang disabilitas. Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO) menghitung pada 2011, ada 10% penduduk Indonesia atau 24 juta orang yang merupakan penyandang disabilitas.Sedangkan menurut data Kementerian Sosial pada 2010 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 11.580.117 orang. Dari jumlah itu 3.474.035 merupakan penyandang disabilitas penglihatan, 3.010.830 penyandang disabilitas fisik, 2.547.626 orang penyandang disabilitas pendengaran, 1,389,614 orang penyandang disabilitas mental, dan 1.158.012 orang penyandang disabilitas kronis.Untuk menjadi kota ramah difabel, diperlukan kebijakan yang juga harus berpihak kepada kaum difabel. Contohnya, dalam menyediakan fasilitas umum seperti jalur pejalan kaki, jembatan penyeberangan, dan toilet khusus tunanetra. Selain itu, sarana fasilitas umum yang juga masih belum ramah difabel adalah transportasi publik. Tidak hanya kurang layak bagi masyarakat umum, angkutan publik di kota-kota di Indonesia juga tidak menyediakan tempat khusus yang memudahkan akses kaum difabel.Sebenarnya, kalau kita lihat sudah banyak kota di Indonesia yang sudah mulai sadar dengan membangun fasilitas umum dengan aksesibilitas yang baik untuk para difabel seperti Jakarta dan beberapa kota besar lain. Di beberapa bandara, akses bagi para disabilitas juga sudah mulai nyata, namun banyak juga kota yang belum bisa menerapkannya.Hal itu bisa jadi karena kesadaran para pemangku kepentingan untuk menjadikan kota ramah difabel masih rendah ataupun memang karena kekurangan anggaran. Kita berharap pelaksanaan Asian Para Games 2018 bisa membawa perubahan bagi kota-kota di Indonesia untuk lebih ramah kepada para difabel. Sebab mereka juga rakyat Indonesia dengan potensi besar seperti juga masyarakat pada umumnya.
SEMANGAT Asian Para Games 2018 mengingatkan kita akan pentingnya keberadaan kota ramah difabel di Tanah Air. Berlangsung di Jakarta mulai Sabtu (6/10/2018), ini adalah ajang olahraga terbesar Asia yang dikhususkan bagi para atlet dengan keterbatasan fisik, sensorik, mental, kognitif, ataupun emosional.Mengusung tema The Inspiring Spirit and Energy of Asia, Asian Para Games 2018 seperti membuka mata kita bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi termasuk hak-hak yang harus dipenuhi seperti hak aksesibilitas dan bebas dari diskriminasi. Terkait aksesibilitas, salah satu hak yang harus dipenuhi pemerintah adalah kebutuhan transportasi. Aksesibilitas yang ramah difabel, diperlukan agar mereka bisa mudah berpindah tempat. Hak lain yang juga harus dipenuhi adalah hak terkait pekerjaan.Sebab, meskipun undang-undang mewajibkan setiap perusahaan menampung tenaga kerja difabel setidaknya 1% dari jumlah pegawai, namun manfaatnya saat ini belum banyak dirasakan kaum difabel. Masih banyak perusahaan yang menolak kaum difabel untuk bekerja. Ada juga yang menerima, tapi sebatas kasihan sehingga tidak berlaku adil dalam gaji. Fasilitas di tempat kerja yang tidak ramah kaum difabel juga menjadi masalah serius. Sampai saat ini masih banyak gedung perkantoran yang sangat tidak ramah bagi kaum difabel.Namun, kota ramah difabel tidak sebatas itu. Diperlukan aspek lain dari sisi budaya dan sikap masyarakat atas mereka yang memiliki keterbatasan. Sebab, saat ini masih banyak orang yang memandang rendah kaum difabel dengan melakukan diskriminasi baik secara fisik maupun nonfisik. Sering kaum difabel tidak mendapatkan hak setara atau sejajar dengan orang pada umumnya.Karena itulah, peran pendidikan menjadi penting. Sekolah harus bisa menjadi motor untuk mengajarkan siswa-siswanya menghormati dan menghargai perbedaan. Sekolah inklusi perlu lebih digalakkan sehingga ada integrasi antara siswa difabel dengan siswa pada umumnya. Pendidikan inklusi selain bisa memberikan lingkungan yang tepat guna mencapai kesamaan kesempatan dan partisipasi para penyandang disabilitas, juga akan mendidik anak-anak kita untuk menghargai perbedaan sehingga tidak melakukan diskriminasi kepada kaum difabel.Saya teringat dengan tulisan pada sebuah media massa online terkait kota ramah difabel. Dalam wawancara dengan Jendi Pangabean, atlet renang pemenang lima medali emas Asian Para Games 2017 disebutkan bahwa mereka ingin dihargai, tidak perlu dikasihani, tapi perlu diberi semangat. "Kami punya kekurangan, tapi sama seperti orang lain. Setiap kali punya prestasi, saya selalu ingin buktikan ke orang-orang: jangan pandang kami sebelah mata," kata Jendi.Jendi hanyalah satu dari jutaan rakyat Indonesia penyandang disabilitas. Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO) menghitung pada 2011, ada 10% penduduk Indonesia atau 24 juta orang yang merupakan penyandang disabilitas.Sedangkan menurut data Kementerian Sosial pada 2010 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 11.580.117 orang. Dari jumlah itu 3.474.035 merupakan penyandang disabilitas penglihatan, 3.010.830 penyandang disabilitas fisik, 2.547.626 orang penyandang disabilitas pendengaran, 1,389,614 orang penyandang disabilitas mental, dan 1.158.012 orang penyandang disabilitas kronis.Untuk menjadi kota ramah difabel, diperlukan kebijakan yang juga harus berpihak kepada kaum difabel. Contohnya, dalam menyediakan fasilitas umum seperti jalur pejalan kaki, jembatan penyeberangan, dan toilet khusus tunanetra. Selain itu, sarana fasilitas umum yang juga masih belum ramah difabel adalah transportasi publik. Tidak hanya kurang layak bagi masyarakat umum, angkutan publik di kota-kota di Indonesia juga tidak menyediakan tempat khusus yang memudahkan akses kaum difabel.Sebenarnya, kalau kita lihat sudah banyak kota di Indonesia yang sudah mulai sadar dengan membangun fasilitas umum dengan aksesibilitas yang baik untuk para difabel seperti Jakarta dan beberapa kota besar lain. Di beberapa bandara, akses bagi para disabilitas juga sudah mulai nyata, namun banyak juga kota yang belum bisa menerapkannya.Hal itu bisa jadi karena kesadaran para pemangku kepentingan untuk menjadikan kota ramah difabel masih rendah ataupun memang karena kekurangan anggaran. Kita berharap pelaksanaan Asian Para Games 2018 bisa membawa perubahan bagi kota-kota di Indonesia untuk lebih ramah kepada para difabel. Sebab mereka juga rakyat Indonesia dengan potensi besar seperti juga masyarakat pada umumnya.
(maf)