Menuju Kampanye Beretika

Senin, 08 Oktober 2018 - 08:30 WIB
Menuju Kampanye Beretika
Menuju Kampanye Beretika
A A A
Ferry Kurnia Rizkiyansyah Pengajar Ilmu Politik Unpad, Pendiri dan Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), serta Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI)

BARU-baru ini Ba­was­lu merilis in­deks kerawanan pe­milu (IKP) yang men­jadi bahan acuan dalam me­ngurai sisi-sisi kerawanan pada Pemilu 2019. Indeks basis ke­rawanan rata-rata nasional hasil IKP Ba­waslu adalah 49,00 yang dilihat dari aspek sosial politik, penye­leng­gara pemilu yang bebas dan adil, kontestasi, dan partisipasi politik. Yang men­jadi perhatian saat ini ada­lah masa kampanye, menurut IKP Ba­was­lu dengan kategori ra­wan tinggi terdapat di 127 (24,7%) daerah dan kate­gori ra­wan sedang di 387 (75,3%) dae­rah. Aspek yang sa­ngat ra­wan dalam masa kam­pa­nye ter­se­but, salah satunya ujaran ke­ben­cian dan politisasi SARA yang terdapat di 90 daerah ser­ta politik uang, yang ter­se­bar di 176 daerah dengan kategori me­miliki kerawanan tinggi. Data di atas menggambarkan bahwa kampanye pada pemilu kali ini masih rawan dan di­kha­wa­tirkan diwarnai dengan tin­dakan-tindakan yang kon­tra­pro­duktif dan tidak mendidik ma­syarakat. Indeks yang ter­catat di sejumlah daerah men­jadi “warning “ bagi peny­e­leng­garaan pemilu yang damai dan berkualitas.

Kampanye pemilu serentak presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD akan berlangsung selama ham­pir tujuh bulan sejak dimulai pa­da 23 September 2018 dan ber­akhir 13 April 2019. Sejak awal semua peserta pemilu su­dah mendeklarasikan komit­men untuk melaksanakan kam­panye yang berintegritas, damai, dan antihoaks. Kam­pa­nye yang sesuai dengan aturan yang su­dah ditetapkan dengan me­nge­de­pankan nilai-nilai edukasi dan nondiskriminasi. Menjauh­kan diri dari kam­pa­nye yang dis­kri­minatif, meng­hu­jat, mem­fit­nah, dan mene­bar kebencian. Ke­giatan kam­pa­nye tidak boleh mengganggu ko­hesivitas sosial masyarakat.

Tanggung Jawab Peserta Pemilu

Implementasinya tentu ki­ta berharap partai politik dan pa­sangan calon beserta tim kam­pa­nyelah yang ber­tang­gung ja­wab untuk memastikan semua ka­der dan simpa­ti­san­nya tidak ber­tindak agresif baik dalam ben­tuk keagresifan ver­bal, apa­lagi tindakan agresif se­ca­ra fisik. Sebab ke­agre­sif­an ver­bal yang bia­sa­nya disertai dengan tak­tik penghinaan, kata-kata ancam­an dan le­dekan emosional, me­nu­rut Do­mi­nic Ifanta (1996), hanya akan menghasilkan ke­ma­­rah­an, keadaan me­ma­lukan, me­nya­kiti pe­ra­sa­an, dan reaksi ne­gatif lain. Ten­si politik yang se­ma­kin tinggi saat ini sampai men­jelang hari pemungutan suara 17 April 2019 nanti sa­ngat mungkin me­micu ke­agre­sifan verbal lewat orasi-orasi po­litik para petinggi partai. Per­ta­rung­an kata-kata jika ber­langsung secara terus menerus akan meng­guncang emosi dan ter­ganggu stabi­li­tas­nya. Dam­pak­nya pertarungan kata-kata dapat termanifestasi dalam ben­trokan antar pen­du­kung par­tai dan kandidat.

Partai dan pasangan calon juga diharapkan menghindar dari isu-isu primordial. Jangan sampai bangunan masyarakat Indonesia yang multikulturalis dan pluralis yang tadinya hidup berdampingan dengan damai tercabik-cabik karena kam­pa­nye. Sentimen primordial ha­nya akan merusak rasionalitas pe­mi­lih. Akibatnya, pemilih men­ja­tuhkan pilihan pada orang yang memiliki ikatan pri­mordial dengan mereka tanpa melihat kapasitas, kredibilitas, dan inte­gritas dari sang kan­didat.

Edukasi Politik

Kampanye pemilu serentak kali ini perlu diwujudkan se­mua stakeholders yang terlibat de­ngan lebih elegan dan me­ne­rap­kan nilai edukasi sebagai muat­an utama dalam pe­lak­sa­na­an kampanye. Edukasi poli­tik yang dilaksanakan di­ha­rap­kan dapat membangun ke­sa­daran ma­sya­rakat akan hak dan ke­wa­jib­an­nya ­serta men­jadi masyarakat pemilih yang rasional dan kritis. Secara te­ori­tik, edukasi atau pen­didikan po­litik memiliki tiga tujuan: membentuk kepri­ba­dian poli­tik, kesadaran politik, dan ke­mampuan dalam ber­par­ti­si­pasi di bidang politik, di ma­na indi­vidu dapat men­ja­lan­kan par­tisipasi politik dalam ben­tuk yang positif. Pem­ben­tukan ke­pri­b­adian politik dapat dila­ku­kan melalui metode tidak lang­sung yaitu sosialisasi dan pe­la­tih­an, serta metode yang ber­sifat langsung yaitu penga­jar­an politik melalui institusi pen­di­dikan. Karena itu, apa pun ben­tuk kegiatan kam­pa­nye yang di­la­kukan, substansi kampanye harus diutamakan. Porsi pe­nyam­paian visi, misi, dan pro­gram partai harus lebih do­mi­nan dibanding dengan kegiatan hiburan. Namun, jus­tru inilah problem peserta pe­milu kita hari ini. Kampanye be­lum diisi secara maksimal de­ngan kontestasi ga­gasan, te­ta­pi masih lebih do­mi­nan ke­giat­an seremonial. Pa­da­hal, hanya de­ngan pendidikan po­litik, ma­ka partisipasi politik ma­sya­rakat dapat diwujudkan de­ngan mak­simal. Hanya ma­sya­­ra­kat yang berpengetahuan dan memiliki kesadaran yang dapat meng­gu­nakan hak-hak politiknya, salah satunya meng­gunakan hak pi­lihnya se­cara cerdas, ra­sio­nal, dan mandiri.

Selain untuk pendidikan po­li­tik, kampanye juga ber­tu­juan untuk membangun ko­mit­men antarwarga ne­ga­ra de­ngan pe­ser­ta pemilu dalam rangka me­yakinkan pemilih untuk men­da­patkan du­kung­an sebesar-be­sar­nya dari ma­sya­rakat. Nah, bagai­ma­na mung­kin komitmen dapat di­bangun dengan ma­sya­ra­kat jika basis pengetahuan dan ke­sa­daran mereka tidak ditum­buh­kan terhadap politik dan sistem politik ideal yang hen­dak di­bangun. Memang pen­di­dikan politik tidak dapat di­wu­judkan hanya lewat kegiatan kam­pa­nye. Sejatinya pen­di­dik­an po­li­tik adalah kegiatan yang berke­si­nambungan dan ber­lang­sung se­panjang hidup ma­nusia. Te­tapi, seharusnya mo­mentum kam­panye menjadi pertanda sebuah komitmen pe­serta pe­milu untuk mela­ku­kan pen­di­dikan politik secara berke­lan­jut­an dalam rangka mentransfer nilai-nilai dan ideol­ogi politik ke setiap ge­ne­ra­si penerus bangsa dalam rangka membentuk wa­tak bangsa (national character building).

Transparansi, Dialogis, dan Informatif

Di samping itu, masyarakat membutuhkan informasi yang berkualitas tentang segala se­suatu yang berkaitan dengan kan­didat, pribadi, gagasan, dan re­kam jejaknya. Bernard Grof­man (1995) mengatakan infor­masi le­vel tinggi merupakan kondisi pen­ting bagi stabilitas demokrasi ka­rena bila para pe­milih tidak me­miliki pem­a­ham­an tentang apa yang akan me­re­ka pilih akan ter­jadi kesen­jang­an ekspektasi dari warga negara yang akan menga­rah pada erosi kepercayaan dalam demokrasi. Karena itu, kandidat harus be­ra­ni membuka diri, ber­in­te­rak­si, dan membangun dialog dengan war­ga. Jangan mem­bung­kus di­ri dengan berbagai ben­tuk pen­citraan yang tidak perlu.

Kampanye dialogis pun di­ha­rap­kan menjadi budaya dalam masyarakat yang multikultural. Proses dialog antarpemimpin dengan masyarakat tidak saja menjadi gambaran pada masa-masa kampanye. Proses dialog justru lebih dibutuhkan pada perumusan kebijakan, setelah seorang kandidat memenangi kontestasi dan menduduki ke­kuasaan. Seseorang yang dipilih melalui mekanisme demokrasi maka pengelolaan pemerintah­an­nya pun harus dilakukan de­ngan cara-cara demokratis me­la­lui proses dialog, uji publik, de­bat publik, dan berbagai bentuk pe­li­batan publik lainnya untuk men­capai sebuah konsensus bersama dalam menata pe­me­rin­tahan. Dan, di sinilah peran penye­leng­gara (KPU) harus mam­pu dan berani membuka akses seluas-luasnya terkait in­formasi para kandidat yang ber­kontestasi.

Media Sosial

Peran media sosial yang saat ini marak di semua kalangan menjadi penting dalam kam­panye saat ini. Media sosial se­baik­nya digunakan oleh para kan­didat dan para pendu­kung­nya untuk mengampanyekan gagasan-gagasan segar yang da­pat memancing anak-anak mu­da untuk terlibat berdiskusi dan menelurkan ide-ide kreatifnya. Isu-isu yang bersifat hoaks, ujar­an kebencian, primordial, tidak menghargai perbedaan, dan cen­derung menyudutkan orang lain tak masanya lagi untuk di­ke­mukakan. Anak muda dan pe­mi­lih pemula sebagai aset masa de­pan bangsa harus kita disuguhi dengan informasi yang dapat mendorong kreativitas mereka untuk berkontribusi bagi pem­ba­ngunan dan demokrasi. Se­men­tara tantangan bangsa ke depan makin berat. Pemimpin yang visioner dan transformatif tidak akan ditemukan dari pro­ses pemilu yang diisi dengan kam­panye yang menge­de­pan­kan hoaks, ujaran kebencian, dan primordialis. Jika partai mem­biarkan dirinya terjebak dalam kampanye hitam, men­je­lekkan pihak lain bahkan ber­upa­ya membunuh karakter kom­petitor maka otomatis cita-cita kelahiran partai politik da­lam kerangka menjaga per­satu­an dan kesatuan bangsa tidak akan dapat tercapai. Malahan yang terjadi kohesivitas sosial kita semakin keropos, modal so­sial kita untuk membangun se­makin tergerus dan men­ta­li­tas masyarakat kita semakin rusak.

Karenanya, partai politik dan tim kampanye pasangan calon harus memastikan semua anggota, pengurus, dan caleg-calegnya berkampanye dengan menjunjung tinggi etika. Se­mo­ga kampanye peserta pemilu te­tap mengedepankan etika dan pen­didikan politik buat masya­ra­kat sehingga meningkatkan par­tisipasi masyarakat untuk terlibat aktif dalam pemilu.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6598 seconds (0.1#10.140)