Menuju Kampanye Beretika
A
A
A
Ferry Kurnia Rizkiyansyah Pengajar Ilmu Politik Unpad, Pendiri dan Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), serta Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI)
BARU-baru ini Bawaslu merilis indeks kerawanan pemilu (IKP) yang menjadi bahan acuan dalam mengurai sisi-sisi kerawanan pada Pemilu 2019. Indeks basis kerawanan rata-rata nasional hasil IKP Bawaslu adalah 49,00 yang dilihat dari aspek sosial politik, penyelenggara pemilu yang bebas dan adil, kontestasi, dan partisipasi politik. Yang menjadi perhatian saat ini adalah masa kampanye, menurut IKP Bawaslu dengan kategori rawan tinggi terdapat di 127 (24,7%) daerah dan kategori rawan sedang di 387 (75,3%) daerah. Aspek yang sangat rawan dalam masa kampanye tersebut, salah satunya ujaran kebencian dan politisasi SARA yang terdapat di 90 daerah serta politik uang, yang tersebar di 176 daerah dengan kategori memiliki kerawanan tinggi. Data di atas menggambarkan bahwa kampanye pada pemilu kali ini masih rawan dan dikhawatirkan diwarnai dengan tindakan-tindakan yang kontraproduktif dan tidak mendidik masyarakat. Indeks yang tercatat di sejumlah daerah menjadi “warning “ bagi penyelenggaraan pemilu yang damai dan berkualitas.
Kampanye pemilu serentak presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD akan berlangsung selama hampir tujuh bulan sejak dimulai pada 23 September 2018 dan berakhir 13 April 2019. Sejak awal semua peserta pemilu sudah mendeklarasikan komitmen untuk melaksanakan kampanye yang berintegritas, damai, dan antihoaks. Kampanye yang sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan dengan mengedepankan nilai-nilai edukasi dan nondiskriminasi. Menjauhkan diri dari kampanye yang diskriminatif, menghujat, memfitnah, dan menebar kebencian. Kegiatan kampanye tidak boleh mengganggu kohesivitas sosial masyarakat.
Tanggung Jawab Peserta Pemilu
Implementasinya tentu kita berharap partai politik dan pasangan calon beserta tim kampanyelah yang bertanggung jawab untuk memastikan semua kader dan simpatisannya tidak bertindak agresif baik dalam bentuk keagresifan verbal, apalagi tindakan agresif secara fisik. Sebab keagresifan verbal yang biasanya disertai dengan taktik penghinaan, kata-kata ancaman dan ledekan emosional, menurut Dominic Ifanta (1996), hanya akan menghasilkan kemarahan, keadaan memalukan, menyakiti perasaan, dan reaksi negatif lain. Tensi politik yang semakin tinggi saat ini sampai menjelang hari pemungutan suara 17 April 2019 nanti sangat mungkin memicu keagresifan verbal lewat orasi-orasi politik para petinggi partai. Pertarungan kata-kata jika berlangsung secara terus menerus akan mengguncang emosi dan terganggu stabilitasnya. Dampaknya pertarungan kata-kata dapat termanifestasi dalam bentrokan antar pendukung partai dan kandidat.
Partai dan pasangan calon juga diharapkan menghindar dari isu-isu primordial. Jangan sampai bangunan masyarakat Indonesia yang multikulturalis dan pluralis yang tadinya hidup berdampingan dengan damai tercabik-cabik karena kampanye. Sentimen primordial hanya akan merusak rasionalitas pemilih. Akibatnya, pemilih menjatuhkan pilihan pada orang yang memiliki ikatan primordial dengan mereka tanpa melihat kapasitas, kredibilitas, dan integritas dari sang kandidat.
Edukasi Politik
Kampanye pemilu serentak kali ini perlu diwujudkan semua stakeholders yang terlibat dengan lebih elegan dan menerapkan nilai edukasi sebagai muatan utama dalam pelaksanaan kampanye. Edukasi politik yang dilaksanakan diharapkan dapat membangun kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya serta menjadi masyarakat pemilih yang rasional dan kritis. Secara teoritik, edukasi atau pendidikan politik memiliki tiga tujuan: membentuk kepribadian politik, kesadaran politik, dan kemampuan dalam berpartisipasi di bidang politik, di mana individu dapat menjalankan partisipasi politik dalam bentuk yang positif. Pembentukan kepribadian politik dapat dilakukan melalui metode tidak langsung yaitu sosialisasi dan pelatihan, serta metode yang bersifat langsung yaitu pengajaran politik melalui institusi pendidikan. Karena itu, apa pun bentuk kegiatan kampanye yang dilakukan, substansi kampanye harus diutamakan. Porsi penyampaian visi, misi, dan program partai harus lebih dominan dibanding dengan kegiatan hiburan. Namun, justru inilah problem peserta pemilu kita hari ini. Kampanye belum diisi secara maksimal dengan kontestasi gagasan, tetapi masih lebih dominan kegiatan seremonial. Padahal, hanya dengan pendidikan politik, maka partisipasi politik masyarakat dapat diwujudkan dengan maksimal. Hanya masyarakat yang berpengetahuan dan memiliki kesadaran yang dapat menggunakan hak-hak politiknya, salah satunya menggunakan hak pilihnya secara cerdas, rasional, dan mandiri.
Selain untuk pendidikan politik, kampanye juga bertujuan untuk membangun komitmen antarwarga negara dengan peserta pemilu dalam rangka meyakinkan pemilih untuk mendapatkan dukungan sebesar-besarnya dari masyarakat. Nah, bagaimana mungkin komitmen dapat dibangun dengan masyarakat jika basis pengetahuan dan kesadaran mereka tidak ditumbuhkan terhadap politik dan sistem politik ideal yang hendak dibangun. Memang pendidikan politik tidak dapat diwujudkan hanya lewat kegiatan kampanye. Sejatinya pendidikan politik adalah kegiatan yang berkesinambungan dan berlangsung sepanjang hidup manusia. Tetapi, seharusnya momentum kampanye menjadi pertanda sebuah komitmen peserta pemilu untuk melakukan pendidikan politik secara berkelanjutan dalam rangka mentransfer nilai-nilai dan ideologi politik ke setiap generasi penerus bangsa dalam rangka membentuk watak bangsa (national character building).
Transparansi, Dialogis, dan Informatif
Di samping itu, masyarakat membutuhkan informasi yang berkualitas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kandidat, pribadi, gagasan, dan rekam jejaknya. Bernard Grofman (1995) mengatakan informasi level tinggi merupakan kondisi penting bagi stabilitas demokrasi karena bila para pemilih tidak memiliki pemahaman tentang apa yang akan mereka pilih akan terjadi kesenjangan ekspektasi dari warga negara yang akan mengarah pada erosi kepercayaan dalam demokrasi. Karena itu, kandidat harus berani membuka diri, berinteraksi, dan membangun dialog dengan warga. Jangan membungkus diri dengan berbagai bentuk pencitraan yang tidak perlu.
Kampanye dialogis pun diharapkan menjadi budaya dalam masyarakat yang multikultural. Proses dialog antarpemimpin dengan masyarakat tidak saja menjadi gambaran pada masa-masa kampanye. Proses dialog justru lebih dibutuhkan pada perumusan kebijakan, setelah seorang kandidat memenangi kontestasi dan menduduki kekuasaan. Seseorang yang dipilih melalui mekanisme demokrasi maka pengelolaan pemerintahannya pun harus dilakukan dengan cara-cara demokratis melalui proses dialog, uji publik, debat publik, dan berbagai bentuk pelibatan publik lainnya untuk mencapai sebuah konsensus bersama dalam menata pemerintahan. Dan, di sinilah peran penyelenggara (KPU) harus mampu dan berani membuka akses seluas-luasnya terkait informasi para kandidat yang berkontestasi.
Media Sosial
Peran media sosial yang saat ini marak di semua kalangan menjadi penting dalam kampanye saat ini. Media sosial sebaiknya digunakan oleh para kandidat dan para pendukungnya untuk mengampanyekan gagasan-gagasan segar yang dapat memancing anak-anak muda untuk terlibat berdiskusi dan menelurkan ide-ide kreatifnya. Isu-isu yang bersifat hoaks, ujaran kebencian, primordial, tidak menghargai perbedaan, dan cenderung menyudutkan orang lain tak masanya lagi untuk dikemukakan. Anak muda dan pemilih pemula sebagai aset masa depan bangsa harus kita disuguhi dengan informasi yang dapat mendorong kreativitas mereka untuk berkontribusi bagi pembangunan dan demokrasi. Sementara tantangan bangsa ke depan makin berat. Pemimpin yang visioner dan transformatif tidak akan ditemukan dari proses pemilu yang diisi dengan kampanye yang mengedepankan hoaks, ujaran kebencian, dan primordialis. Jika partai membiarkan dirinya terjebak dalam kampanye hitam, menjelekkan pihak lain bahkan berupaya membunuh karakter kompetitor maka otomatis cita-cita kelahiran partai politik dalam kerangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa tidak akan dapat tercapai. Malahan yang terjadi kohesivitas sosial kita semakin keropos, modal sosial kita untuk membangun semakin tergerus dan mentalitas masyarakat kita semakin rusak.
Karenanya, partai politik dan tim kampanye pasangan calon harus memastikan semua anggota, pengurus, dan caleg-calegnya berkampanye dengan menjunjung tinggi etika. Semoga kampanye peserta pemilu tetap mengedepankan etika dan pendidikan politik buat masyarakat sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat untuk terlibat aktif dalam pemilu.
BARU-baru ini Bawaslu merilis indeks kerawanan pemilu (IKP) yang menjadi bahan acuan dalam mengurai sisi-sisi kerawanan pada Pemilu 2019. Indeks basis kerawanan rata-rata nasional hasil IKP Bawaslu adalah 49,00 yang dilihat dari aspek sosial politik, penyelenggara pemilu yang bebas dan adil, kontestasi, dan partisipasi politik. Yang menjadi perhatian saat ini adalah masa kampanye, menurut IKP Bawaslu dengan kategori rawan tinggi terdapat di 127 (24,7%) daerah dan kategori rawan sedang di 387 (75,3%) daerah. Aspek yang sangat rawan dalam masa kampanye tersebut, salah satunya ujaran kebencian dan politisasi SARA yang terdapat di 90 daerah serta politik uang, yang tersebar di 176 daerah dengan kategori memiliki kerawanan tinggi. Data di atas menggambarkan bahwa kampanye pada pemilu kali ini masih rawan dan dikhawatirkan diwarnai dengan tindakan-tindakan yang kontraproduktif dan tidak mendidik masyarakat. Indeks yang tercatat di sejumlah daerah menjadi “warning “ bagi penyelenggaraan pemilu yang damai dan berkualitas.
Kampanye pemilu serentak presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD akan berlangsung selama hampir tujuh bulan sejak dimulai pada 23 September 2018 dan berakhir 13 April 2019. Sejak awal semua peserta pemilu sudah mendeklarasikan komitmen untuk melaksanakan kampanye yang berintegritas, damai, dan antihoaks. Kampanye yang sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan dengan mengedepankan nilai-nilai edukasi dan nondiskriminasi. Menjauhkan diri dari kampanye yang diskriminatif, menghujat, memfitnah, dan menebar kebencian. Kegiatan kampanye tidak boleh mengganggu kohesivitas sosial masyarakat.
Tanggung Jawab Peserta Pemilu
Implementasinya tentu kita berharap partai politik dan pasangan calon beserta tim kampanyelah yang bertanggung jawab untuk memastikan semua kader dan simpatisannya tidak bertindak agresif baik dalam bentuk keagresifan verbal, apalagi tindakan agresif secara fisik. Sebab keagresifan verbal yang biasanya disertai dengan taktik penghinaan, kata-kata ancaman dan ledekan emosional, menurut Dominic Ifanta (1996), hanya akan menghasilkan kemarahan, keadaan memalukan, menyakiti perasaan, dan reaksi negatif lain. Tensi politik yang semakin tinggi saat ini sampai menjelang hari pemungutan suara 17 April 2019 nanti sangat mungkin memicu keagresifan verbal lewat orasi-orasi politik para petinggi partai. Pertarungan kata-kata jika berlangsung secara terus menerus akan mengguncang emosi dan terganggu stabilitasnya. Dampaknya pertarungan kata-kata dapat termanifestasi dalam bentrokan antar pendukung partai dan kandidat.
Partai dan pasangan calon juga diharapkan menghindar dari isu-isu primordial. Jangan sampai bangunan masyarakat Indonesia yang multikulturalis dan pluralis yang tadinya hidup berdampingan dengan damai tercabik-cabik karena kampanye. Sentimen primordial hanya akan merusak rasionalitas pemilih. Akibatnya, pemilih menjatuhkan pilihan pada orang yang memiliki ikatan primordial dengan mereka tanpa melihat kapasitas, kredibilitas, dan integritas dari sang kandidat.
Edukasi Politik
Kampanye pemilu serentak kali ini perlu diwujudkan semua stakeholders yang terlibat dengan lebih elegan dan menerapkan nilai edukasi sebagai muatan utama dalam pelaksanaan kampanye. Edukasi politik yang dilaksanakan diharapkan dapat membangun kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya serta menjadi masyarakat pemilih yang rasional dan kritis. Secara teoritik, edukasi atau pendidikan politik memiliki tiga tujuan: membentuk kepribadian politik, kesadaran politik, dan kemampuan dalam berpartisipasi di bidang politik, di mana individu dapat menjalankan partisipasi politik dalam bentuk yang positif. Pembentukan kepribadian politik dapat dilakukan melalui metode tidak langsung yaitu sosialisasi dan pelatihan, serta metode yang bersifat langsung yaitu pengajaran politik melalui institusi pendidikan. Karena itu, apa pun bentuk kegiatan kampanye yang dilakukan, substansi kampanye harus diutamakan. Porsi penyampaian visi, misi, dan program partai harus lebih dominan dibanding dengan kegiatan hiburan. Namun, justru inilah problem peserta pemilu kita hari ini. Kampanye belum diisi secara maksimal dengan kontestasi gagasan, tetapi masih lebih dominan kegiatan seremonial. Padahal, hanya dengan pendidikan politik, maka partisipasi politik masyarakat dapat diwujudkan dengan maksimal. Hanya masyarakat yang berpengetahuan dan memiliki kesadaran yang dapat menggunakan hak-hak politiknya, salah satunya menggunakan hak pilihnya secara cerdas, rasional, dan mandiri.
Selain untuk pendidikan politik, kampanye juga bertujuan untuk membangun komitmen antarwarga negara dengan peserta pemilu dalam rangka meyakinkan pemilih untuk mendapatkan dukungan sebesar-besarnya dari masyarakat. Nah, bagaimana mungkin komitmen dapat dibangun dengan masyarakat jika basis pengetahuan dan kesadaran mereka tidak ditumbuhkan terhadap politik dan sistem politik ideal yang hendak dibangun. Memang pendidikan politik tidak dapat diwujudkan hanya lewat kegiatan kampanye. Sejatinya pendidikan politik adalah kegiatan yang berkesinambungan dan berlangsung sepanjang hidup manusia. Tetapi, seharusnya momentum kampanye menjadi pertanda sebuah komitmen peserta pemilu untuk melakukan pendidikan politik secara berkelanjutan dalam rangka mentransfer nilai-nilai dan ideologi politik ke setiap generasi penerus bangsa dalam rangka membentuk watak bangsa (national character building).
Transparansi, Dialogis, dan Informatif
Di samping itu, masyarakat membutuhkan informasi yang berkualitas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kandidat, pribadi, gagasan, dan rekam jejaknya. Bernard Grofman (1995) mengatakan informasi level tinggi merupakan kondisi penting bagi stabilitas demokrasi karena bila para pemilih tidak memiliki pemahaman tentang apa yang akan mereka pilih akan terjadi kesenjangan ekspektasi dari warga negara yang akan mengarah pada erosi kepercayaan dalam demokrasi. Karena itu, kandidat harus berani membuka diri, berinteraksi, dan membangun dialog dengan warga. Jangan membungkus diri dengan berbagai bentuk pencitraan yang tidak perlu.
Kampanye dialogis pun diharapkan menjadi budaya dalam masyarakat yang multikultural. Proses dialog antarpemimpin dengan masyarakat tidak saja menjadi gambaran pada masa-masa kampanye. Proses dialog justru lebih dibutuhkan pada perumusan kebijakan, setelah seorang kandidat memenangi kontestasi dan menduduki kekuasaan. Seseorang yang dipilih melalui mekanisme demokrasi maka pengelolaan pemerintahannya pun harus dilakukan dengan cara-cara demokratis melalui proses dialog, uji publik, debat publik, dan berbagai bentuk pelibatan publik lainnya untuk mencapai sebuah konsensus bersama dalam menata pemerintahan. Dan, di sinilah peran penyelenggara (KPU) harus mampu dan berani membuka akses seluas-luasnya terkait informasi para kandidat yang berkontestasi.
Media Sosial
Peran media sosial yang saat ini marak di semua kalangan menjadi penting dalam kampanye saat ini. Media sosial sebaiknya digunakan oleh para kandidat dan para pendukungnya untuk mengampanyekan gagasan-gagasan segar yang dapat memancing anak-anak muda untuk terlibat berdiskusi dan menelurkan ide-ide kreatifnya. Isu-isu yang bersifat hoaks, ujaran kebencian, primordial, tidak menghargai perbedaan, dan cenderung menyudutkan orang lain tak masanya lagi untuk dikemukakan. Anak muda dan pemilih pemula sebagai aset masa depan bangsa harus kita disuguhi dengan informasi yang dapat mendorong kreativitas mereka untuk berkontribusi bagi pembangunan dan demokrasi. Sementara tantangan bangsa ke depan makin berat. Pemimpin yang visioner dan transformatif tidak akan ditemukan dari proses pemilu yang diisi dengan kampanye yang mengedepankan hoaks, ujaran kebencian, dan primordialis. Jika partai membiarkan dirinya terjebak dalam kampanye hitam, menjelekkan pihak lain bahkan berupaya membunuh karakter kompetitor maka otomatis cita-cita kelahiran partai politik dalam kerangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa tidak akan dapat tercapai. Malahan yang terjadi kohesivitas sosial kita semakin keropos, modal sosial kita untuk membangun semakin tergerus dan mentalitas masyarakat kita semakin rusak.
Karenanya, partai politik dan tim kampanye pasangan calon harus memastikan semua anggota, pengurus, dan caleg-calegnya berkampanye dengan menjunjung tinggi etika. Semoga kampanye peserta pemilu tetap mengedepankan etika dan pendidikan politik buat masyarakat sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat untuk terlibat aktif dalam pemilu.
(mhd)