Pro Kontra Wacana Kenaikan Harga BBM

Rabu, 03 Oktober 2018 - 05:30 WIB
Pro Kontra Wacana Kenaikan...
Pro Kontra Wacana Kenaikan Harga BBM
A A A
Bhima Yudhistira Adhinegara Peneliti INDEF

MENCARI jalan keluar harga BBM subsidi yang ideal di tengah naiknya minyak mentah dunia memang cukup pelik. Jika harga BBM jenis subsidi dan penugasan, yakni solar dan premium tidak naik, maka Pertamina sebagai BUMN dan APBN akan menanggung beban yang luar biasa berat. Sementara jika pemerintah mencabut subsidi dan menaikkan harga BBM premium maupun solar imbas pada daya beli masyarakat cukup berbahaya. Apalagi jelang pergelaran akbar Pemilu 2019, kebijakan ekonomi yang berimbas terhadap daya beli perlu ditinjau dengan serius. Adakah jalan tengahnya?

Saat ini harga minyak mentah dunia sudah menembus angka USD83 per barel untuk jenis Brent. Kenaikan harga minyak mentah secara rata-rata telah mencapai 23% sejak awal 2018. Sampai akhir tahun estimasi harga minyak sangat mungkin menembus USD 90–95 per barel. Padahal asumsi harga minyak di APBN 2018 awalnya hanya USD48 per barel. Faktor sanksi yang dilakukan Trump terhadap Iran berupa boikot minyak berpengaruh terhadap pasokan minyak dunia. Negara penghasil minyak besar lainnya seperti Venezuela sedang dilanda chaos yang berlarut-larut. Belum lagi setelah Arab Spring, negara seperti Libya terpecah dalam banyak faksi yang mengganggu stabilitas pasokan minyak negara yang pernah dipimpin Muammar Qaddafi itu.

Kondisi naiknya harga minyak dunia diperburuk oleh pelemahan kurs rupiah. Maklum, sebagai negara net imported minyak yang tiap hari menyedot 800.000 barel minyak impor, faktor kurs yang naik turun juga punya risiko tersendiri. Rupiah sepanjang tahun melemah lebih dari 10%. Depresiasi rupiah jadi salah satu yang terburuk di kawasan ASEAN. Jika harga minyak USD83 per barel, maka impor 800.000 barel membutuhkan dolar setidaknya USD66,4 juta per harinya. Dengan harga subsidi yang makin menjauhi harga keekonomian, jelas Pertamina harus diselamatkan.

Sekarang opsi pertama adalah menaikkan harga BBM subsidi dan penugasan, baik premium maupun solar. Defisit migas bisa sedikit ditekan karena permintaan BBM dalam negeri turun seiring naiknya harga jual di SPBU. Kurs rupiah pun sedikit punya ruang menghadapi liarnya dolar AS. Konsekuensi negatifnya tidak sedikit, harga kebutuhan pokok yang rentan terdorong imported inflation (tekanan kurs rupiah) bisa menyebabkan inflasi bergerak naik pada akhir tahun ini. Gelombang protes tentu tak mudah ditangani rezim yang sedang berusaha melanggengkan kuasa jelang pemilihan presiden. Elektabilitas bisa turun karena dianggap tidak berempati terhadap rakyat kebanyakan.

Opsi kedua sesuai janji pemerintah, yakni menjaga harga BBM dan tarif listrik tidak naik sampai 2019. Memang dari sisi politik amat populis. Pemerintah tinggal menaikkan lagi subsidi BBM dalam APBN. Toh, selama ini utak-atik subsidi energi tidak butuh ketok palu dari DPR karena mekanismenya bisa tanpa APBN Perubahan. Satu lagi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan Pertamina, yaitu dengan menyuntik PMN (Penyertaan Modal Negara) agar likuiditas BUMN tersebut kembali segar.

Pos belanja bisa diambil dari pos lainnya, pemerintah paling ahli soal rekayasa anggaran begini. Utang-utang pemerintah ke Pertamina dalam bentuk subsidi BBM bisa dilunasi lebih cepat dari jadwal. Pemerintah tinggal terbitkan surat utang lagi. Prioritas utama, rakyat happy harga BBM tidak naik, inflasi rendah, dan Pertamina bisa melanjutkan operasionalnya tanpa gangguan signifikan.

Namun, opsi pertama dan kedua ini tentu sama-sama memusingkan kepala para pejabat di Istana. Maka itu, terbuka jalan untuk opsi ketiga, beban Pertamina misalnya BBM satu harga yang ditanggung balance sheet Pertamina bukan dengan APBN harus dievaluasi ulang. Ide BBM satu harga merupakan ide teramat mulia karena kita memang harus memikirkan disparitas harga BBM antara saudara kita di Jawa dengan di daerah terpencil dan terluar republik ini. Masalahnya, ide yang suci itu harus berpijak pada realitas kondisi tekanan ekonomi, potential loss Pertamina membengkak. BBM satu harga sekali lagi harus dievaluasi ulang alias perlahan distop.

Selain menyelamatkan kas Pertamina dari BBM satu harga, usulan untuk menaikkan harga BBM nonsubsidi memang perlu diberikan keleluasan bagi Pertamina. Lapor melapor ke Kementerian ESDM hanya sekadar pemberitahuan. BBM nonsubsidi merupakan hak Pertamina secara bisnis dan disesuaikan dengan mekanisme pasar. Jika harga pertamax dex naik itu karena harga minyak dunia dan kurs rupiah jadi dasar penentuan utama. Tugas pemerintah adalah memitigasi dampak ke sektor riil.

Pada intinya, kita harus berpikir dengan kepala dingin bahwa nasib ekonomi Indonesia tidak hanya masalah elektabilitas 5 tahunan. Pemimpin negeri ini perlu mengambil jalan tidak populis apabila diperlukan, asalkan dengan kalkulasi ekonomi yang matang dan terencana. Tahun 2013 misalnya, di tengah harga minyak naik, pemerintah buktinya berani ambil keputusan menaikkan harga BBM subsidi meskipun didemo sana-sini. Setiap rezim sayangnya punya prioritas dan ceritanya masing-masing. Sekarang yang paling penting adakah jalan keluar dari polemik harga BBM? Jangan terlalu lama berpikir, rakyat sedang menunggu keputusan terbaik.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0662 seconds (0.1#10.140)