Pulihkan (Teluk) Jakarta!
A
A
A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
DI Balai Kota DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan melunasi janji kampanyenya untuk menghentikan proyek reklamasi. Dalam pernyataan persnya pada Rabu (26/9), ia menegaskan bahwa, “Reklamasi adalah masa lalu. Masa depan adalah pemulihan Teluk Jakarta dan akses pantai untuk rakyat”. Tak ayal, keputusan ini disambut positif oleh khalayak ramai dan setidaknya membuat komunitas nelayan di Teluk Jakarta bisa bernapas lega.
Pencabutan 13 izin pulau reklamasi ini dilatari oleh verifikasi menyeluruh yang dilakukan oleh Badan Koordinasi dan Pengelolaan Reklamasi (BKP) Pantai Utara Jakarta terhadap izin prinsip seluruh pulau yang dikeluarkan oleh pemerintahan sebelumnya. Hasilnya, Teluk Jakarta membutuhkan pemulihan, bukan penimbunan laut untuk proyek properti kaum elite. Guna menindaklanjuti rekomendasi tersebut, Gubernur DKI Jakarta telah menerbitkan sejumlah dokumen keputusan krusial untuk mencabut 13 izin prinsip pulau reklamasi.
Pertama, Surat Keputusan Gubernur Nomor 1409 Tahun 2018 tentang Pencabutan Beberapa Keputusan Gubernur tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi untuk Pulau F, H, dan I. Kedua, Surat Keputusan Gubernur Nomor 1410 Tahun 2018 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. Ketiga, Surat Gubernur No. 1037/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1282/-1.794.2 dan Surat Gubernur tanggal 18 Februari 2015 Nomor 188/-1.794.2 untuk Pulau P dan Pulau Q. Keempat, Surat Gubernur No. 1038/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1281/-1.794.2 untuk Pulau O. Kelima, Surat Gubernur No. 1039/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1289/-1.794.2 untuk Pulau A dan B. Keenam, Surat Gubernur No. 1040/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1283/-1.794.2 untuk Pulau M. Ketujuh, Surat Gubernur No. 1041/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 21 September 2012 Nomor 1276/-1.794.2 dan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1275/-1.794.2 untuk Pulau I, J, dan L.
Di luar surat keputusan pencabutan izin prinsip pulau reklamasi yang diterbitkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga terlebih dahulu telah membatalkan izin prinsip Pulau E. Hal ini tertera di dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.SK.356/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016.
Bertolak dari pencabutan itulah, pekerjaan rumah warga selanjutnya adalah bekerja sama dengan Gubernur DKI Jakarta untuk memperkuat hak-hak dasar mereka melalui pemulihan Teluk Jakarta. Pertanyaannya, apa saja yang perlu dilakukan untuk memulihkan teluk seluas 514 kilometer persegi tersebut? Pertama, perbaikan kualitas air 13 sungai yang bermuara di Pantura Jakarta.
Seperti diketahui, pengelolaan 13 sungai di wilayah DKI Jakarta berada di bawah kendali pemerintah pusat dan Pemda DKI Jakarta. Hal ini diatur di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 39 Tahun 1989 tentang Pembagian Wilayah Sungai. Mengacu pada aturan tersebut, pemerintah pusat berkewajiban mengelola Kali Angke, Sungai Pesanggrahan, Sungai Krukut, Sungai Ciliwung, Sungai Sunter, Sungai Buaran, Sungai Jati Kramat, dan Sungai Cakung. Sementara Pemda DKI Jakarta bertanggung jawab untuk mengendalikan Sungai Sekretaris, Sungai Grogol, Sungai Cideng, Sungai Kalibaru Timur, dan Sungai Kalibaru Barat. Pada konteks inilah, sinergi antara Gubernur DKI Jakarta dengan Presiden Republik Indonesia mutlak dibutuhkan. Terlebih lagi dengan para pemimpin daerah penyangga di sekitar Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Salah satunya adalah menyelamatkan Sungai Ciliwung.
Temuan Satmoko Yudo dan Nusa Idaman Said (Januari 2018) menunjukkan bahwa Sungai Ciliwung saat ini dalam kondisi tercemar berat, mulai dari hulu (daerah Puncak, Kabupaten Bogor) sampai dengan hilir (di DKI Jakarta). Kondisi Ciliwung kian memburuk akibat perilaku warga kota dan unit usaha di sekitarnya yang menempatkan sungai sebagai tempat pembuangan limbah/sampah. Imbasnya terjadi penyumbatan aliran air, menimbulkan bau yang tak sedap, kotor, dan berujung pada terjadinya banjir. Padahal Sungai Ciliwung diperuntukkan sebagai sumber air baku air minum dengan klasifikasi Golongan B. Hal ini mengacu pada Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Di samping pemulihan 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, hal lain yang tak kalah pentingnya adalah menyelesaikan permasalahan penurunan tanah (land subsidence) akibat penyedotan air yang melebihi batas dan minus penegakan hukum. Padahal, Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat penurunan tanah yang terbilang tinggi. Hasanuddin Z. Abidin, dkk. (2014) menyebutkan bahwa penurunan tanah di wilayah pesisir Jakarta berkisar 1-15 cm per tahun.
Senada dengan itu, Muslim Muin (2013) juga memperkirakan penurunan muka tanah di ibukota sepanjang 2010-2030 sekitar 2 meter. Jika permasalahan ini diabaikan, bisa berimbas pada kian meluasnya ancaman banjir di utara Jakarta. Lambat laun juga berisiko mempercepat intrusi air laut dan memperburuk muka air tanah. Pada akhirnya, kualitas hidup masyarakat bakal menurun drastis. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya sumber air bersih. Pada titik inilah, jelas terlihat bahwa proyek reklamasi justru memperburuk situasi di wilayah pesisir Jakarta.
Pencabutan 13 izin prinsip pulau reklamasi tidak serta-merta menghilangkan ancaman privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pantura Jakarta. Apa yang terjadi di Pulau Pari adalah gambaran betapa aspirasi warga nyaris tak terdengar di Balai Kota Jakarta. Belakangan, sedikitnya 4 orang nelayan justru mengalami praktek kriminalisasi oleh PT Bumi Pari Asri.Di sinilah pentingnya partisipasi warga dan transparansi Pemda DKI Jakarta di dalam proses penyusunan Peraturan Daerah mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mesti dilakukan bersama-sama dengan masyarakat. Pasalnya, keberadaan aturan ini sangat strategis bagi upaya memberikan perlindungan kepada warga Jakarta yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pada akhirnya, langkah Gubernur DKI Jakarta menghentikan proyek reklamasi di Pantura Jakarta harus dibarengi dengan upaya menghentikan praktik privatisasi dan komersialisasi pulau seperti yang tengah terjadi di Pulau Pari. Terlebih lagi warga terus mengalami intimidasi atas kelangsungan sumber-sumber penghidupannya. Kenapa hal ini sedemikian pentingnya? Karena memulihkan Teluk Jakarta tak sebatas mengurangi besarnya resiko bencana banjir dan mengembalikan kondisi 13 sungai untuk menjaga kelangsungan pasokan air bersih, melainkan juga mesti memerdekakan hak-hak dasar warga untuk hidup layak dan bermartabat.Seperti diingatkan oleh Bung Hatta bahwa, “Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya”.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
DI Balai Kota DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan melunasi janji kampanyenya untuk menghentikan proyek reklamasi. Dalam pernyataan persnya pada Rabu (26/9), ia menegaskan bahwa, “Reklamasi adalah masa lalu. Masa depan adalah pemulihan Teluk Jakarta dan akses pantai untuk rakyat”. Tak ayal, keputusan ini disambut positif oleh khalayak ramai dan setidaknya membuat komunitas nelayan di Teluk Jakarta bisa bernapas lega.
Pencabutan 13 izin pulau reklamasi ini dilatari oleh verifikasi menyeluruh yang dilakukan oleh Badan Koordinasi dan Pengelolaan Reklamasi (BKP) Pantai Utara Jakarta terhadap izin prinsip seluruh pulau yang dikeluarkan oleh pemerintahan sebelumnya. Hasilnya, Teluk Jakarta membutuhkan pemulihan, bukan penimbunan laut untuk proyek properti kaum elite. Guna menindaklanjuti rekomendasi tersebut, Gubernur DKI Jakarta telah menerbitkan sejumlah dokumen keputusan krusial untuk mencabut 13 izin prinsip pulau reklamasi.
Pertama, Surat Keputusan Gubernur Nomor 1409 Tahun 2018 tentang Pencabutan Beberapa Keputusan Gubernur tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi untuk Pulau F, H, dan I. Kedua, Surat Keputusan Gubernur Nomor 1410 Tahun 2018 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. Ketiga, Surat Gubernur No. 1037/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1282/-1.794.2 dan Surat Gubernur tanggal 18 Februari 2015 Nomor 188/-1.794.2 untuk Pulau P dan Pulau Q. Keempat, Surat Gubernur No. 1038/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1281/-1.794.2 untuk Pulau O. Kelima, Surat Gubernur No. 1039/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1289/-1.794.2 untuk Pulau A dan B. Keenam, Surat Gubernur No. 1040/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1283/-1.794.2 untuk Pulau M. Ketujuh, Surat Gubernur No. 1041/-1.794.2 tanggal 6 September 2018 tentang Pencabutan Surat Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 21 September 2012 Nomor 1276/-1.794.2 dan Surat Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1275/-1.794.2 untuk Pulau I, J, dan L.
Di luar surat keputusan pencabutan izin prinsip pulau reklamasi yang diterbitkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga terlebih dahulu telah membatalkan izin prinsip Pulau E. Hal ini tertera di dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.SK.356/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016.
Bertolak dari pencabutan itulah, pekerjaan rumah warga selanjutnya adalah bekerja sama dengan Gubernur DKI Jakarta untuk memperkuat hak-hak dasar mereka melalui pemulihan Teluk Jakarta. Pertanyaannya, apa saja yang perlu dilakukan untuk memulihkan teluk seluas 514 kilometer persegi tersebut? Pertama, perbaikan kualitas air 13 sungai yang bermuara di Pantura Jakarta.
Seperti diketahui, pengelolaan 13 sungai di wilayah DKI Jakarta berada di bawah kendali pemerintah pusat dan Pemda DKI Jakarta. Hal ini diatur di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 39 Tahun 1989 tentang Pembagian Wilayah Sungai. Mengacu pada aturan tersebut, pemerintah pusat berkewajiban mengelola Kali Angke, Sungai Pesanggrahan, Sungai Krukut, Sungai Ciliwung, Sungai Sunter, Sungai Buaran, Sungai Jati Kramat, dan Sungai Cakung. Sementara Pemda DKI Jakarta bertanggung jawab untuk mengendalikan Sungai Sekretaris, Sungai Grogol, Sungai Cideng, Sungai Kalibaru Timur, dan Sungai Kalibaru Barat. Pada konteks inilah, sinergi antara Gubernur DKI Jakarta dengan Presiden Republik Indonesia mutlak dibutuhkan. Terlebih lagi dengan para pemimpin daerah penyangga di sekitar Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Salah satunya adalah menyelamatkan Sungai Ciliwung.
Temuan Satmoko Yudo dan Nusa Idaman Said (Januari 2018) menunjukkan bahwa Sungai Ciliwung saat ini dalam kondisi tercemar berat, mulai dari hulu (daerah Puncak, Kabupaten Bogor) sampai dengan hilir (di DKI Jakarta). Kondisi Ciliwung kian memburuk akibat perilaku warga kota dan unit usaha di sekitarnya yang menempatkan sungai sebagai tempat pembuangan limbah/sampah. Imbasnya terjadi penyumbatan aliran air, menimbulkan bau yang tak sedap, kotor, dan berujung pada terjadinya banjir. Padahal Sungai Ciliwung diperuntukkan sebagai sumber air baku air minum dengan klasifikasi Golongan B. Hal ini mengacu pada Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Di samping pemulihan 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, hal lain yang tak kalah pentingnya adalah menyelesaikan permasalahan penurunan tanah (land subsidence) akibat penyedotan air yang melebihi batas dan minus penegakan hukum. Padahal, Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat penurunan tanah yang terbilang tinggi. Hasanuddin Z. Abidin, dkk. (2014) menyebutkan bahwa penurunan tanah di wilayah pesisir Jakarta berkisar 1-15 cm per tahun.
Senada dengan itu, Muslim Muin (2013) juga memperkirakan penurunan muka tanah di ibukota sepanjang 2010-2030 sekitar 2 meter. Jika permasalahan ini diabaikan, bisa berimbas pada kian meluasnya ancaman banjir di utara Jakarta. Lambat laun juga berisiko mempercepat intrusi air laut dan memperburuk muka air tanah. Pada akhirnya, kualitas hidup masyarakat bakal menurun drastis. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya sumber air bersih. Pada titik inilah, jelas terlihat bahwa proyek reklamasi justru memperburuk situasi di wilayah pesisir Jakarta.
Pencabutan 13 izin prinsip pulau reklamasi tidak serta-merta menghilangkan ancaman privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pantura Jakarta. Apa yang terjadi di Pulau Pari adalah gambaran betapa aspirasi warga nyaris tak terdengar di Balai Kota Jakarta. Belakangan, sedikitnya 4 orang nelayan justru mengalami praktek kriminalisasi oleh PT Bumi Pari Asri.Di sinilah pentingnya partisipasi warga dan transparansi Pemda DKI Jakarta di dalam proses penyusunan Peraturan Daerah mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mesti dilakukan bersama-sama dengan masyarakat. Pasalnya, keberadaan aturan ini sangat strategis bagi upaya memberikan perlindungan kepada warga Jakarta yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pada akhirnya, langkah Gubernur DKI Jakarta menghentikan proyek reklamasi di Pantura Jakarta harus dibarengi dengan upaya menghentikan praktik privatisasi dan komersialisasi pulau seperti yang tengah terjadi di Pulau Pari. Terlebih lagi warga terus mengalami intimidasi atas kelangsungan sumber-sumber penghidupannya. Kenapa hal ini sedemikian pentingnya? Karena memulihkan Teluk Jakarta tak sebatas mengurangi besarnya resiko bencana banjir dan mengembalikan kondisi 13 sungai untuk menjaga kelangsungan pasokan air bersih, melainkan juga mesti memerdekakan hak-hak dasar warga untuk hidup layak dan bermartabat.Seperti diingatkan oleh Bung Hatta bahwa, “Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya”.
(whb)