Gempa dan Kualitas Bangunan Publik
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
BELUM kering air mata warga Lombok akibat digoyang gempa bumi beberapa pekan silam, kini air mata kembali mengalir, bahkan mungkin lebih deras, manakala warga Kota Palu, Donggala, dan sekitarnya porak-poranda, pasca hantaman gempa 7,7 skala Richter (Jumat, 28/10/2018) plus diterjang tsunami. Hingga tulisan ini dibuat (Senin, 02/10/2018) lebih dari 832 orang dinyatakan meninggal dunia, dan potensinya akan terus bertambah (data Humas BNPB). Data tersebut baru didapat dari korban di Kota Palu, belum lagi di Kota Donggala dan Sigi. Korban akan mencapai ribuan.
Selain korban jiwa, dampak utama gempa adalah rusaknya/robohnya rumah penduduk, tempat ibadah, fasilitas publik, infrastruktur seperti jalan dan jembatan, dan juga bangunan publik seperti hotel dan atau pusat belanja. Terkait gempa Palu, beberapa bangunan/gedung publik seperti mal dan hotel rusak berat, bahkan roboh, rata dengan tanah. Hotel Roa Roa, hotel berbintang tiga, rata dengan tanah; diperkirakan 50-60 orang yang terperangkap di dalamnya dipastikan menjadi korban (meninggal dunia). Juga “Jembatan Kuning”, sebuah jembatan yang dibangun pada 2006 dan menjadi ikon Kota Palu, runtuh, terbelah dua.
Jika yang roboh bangunan penduduk yang memang dibuat ala kadarnya, masih bisa dimaklumi bila tak mampu menahan goyangan gempa. Selain persoalan ekonomi, selama ini nyaris tak ada edukasi perihal bagaimana membuat bangunan/rumah yang tahan gempa.
Namun, jika hal itu terjadi pada bangunan publik seperti mal, hotel, gedung pemerintah, dan juga jembatan; persoalannya menjadi lain. Runtuhnya bangunan publik saat gempa bukan hanya kasus di Palu saja atau Lombok, tetapi juga kerap terjadi di berbagai lokasi di Indonesia pasca goyangan gempa.Kejadian semacam ini jelas sangat menimbulkan rasa takut, tidak nyaman, bahkan mengancam safety konsumen sebagai pengguna bangunan atau gedung publik. Robohnya bangunan publik saat gempa bisa ditengarai ada beberapa hal; pertama, meragukan kualitas bangunan publik tersebut, yang sangat mungkin dibuat tidak sesuai standar, tidak sesuai spek, yakni menggunakan material beton berstandar rendah.Karena itu, patut diduga ada pelanggaran secara sengaja terhadap proses pembangunan gedung publik tersebut. Ketiga, adanya kelalaian atau kesengajaan pengawas selama proses pembangunan gedung publik. Pengawas tahu ada pelanggaran selama proses pembangunan, tapi dibiarkan, cincailah. Atau, bisa jadi bangunan itu dibuat tanpa ada pengawas.Keempat, patut diduga ada potensi tindakan koruptif oleh kontraktor dan konco-konconya. Mereka bersekongkol untuk mengurangi anggaran, mengurangi spek, dan ending-nya adalah buruknya kualitas bangunan publik. Dan, klimaks dari pelanggaran itu adalah runtuhnya bangunan publik saat digoyang gempa, atau bencana alam lain, atau bahkan roboh sebelum waktunya.
Secara regulasi, setidaknya ada dua produk regulasi yang dilanggar atas robohnya bangunan publik saat gempa. Pertama, melanggar kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen, sebagaimana dijamin dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Konsumen membayar mahal untuk menginap di hotel, tapi ongkos yang mahal itu nirjaminan atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatannya.Seharusnya hal ini menjadi prasyarat yang fundamental saat menggunakan produk barang atau jasa, termasuk hotel, restoran, dan mal. Kedua, secara keseluruhan dugaan pelanggaran terhadap UU Nomor 12 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Pelanggaran itu bisa pada konteks persyaratan administratif, persyaratan tata bangunan, persyaratan keandalan, persyaratan keselamatan, plus persyaratan budaya. Bahwa gempa sebuah peristiwa alam yang tak bisa diprediksi, tetapi sebagai bangunan dan gedung publik seharusnya memenuhi berbagai persyaratan yang lebih dibanding rumah residensial. Runtuhnya bangunan publik akibat gempa tetap menyisakan setumpuk pertanyaan.
Karena itu, guna mengantisipasi kejadian serupa dan menelan korban massal, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah patut didesak untuk melakukan audit komprehensif terhadap gedung dan bangunan publik. Audit sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat keandalan gedung dalam menghadapi hantaman bencana alam, termasuk gempa bumi.Gedung dan bangunan publik harus mempunyai sertifikasi antigempa sehingga diketahui pada tingkat mana gedung tersebut masih kokoh berdiri, dan tingkat mana dalam kategori force majour. Kalau digoyang gempa bumi sedikit saja langsung doyong, patut dipertanyakan keandalan dan spek teknisnya.
Kedua, pemerintah juga harus mengintensifkan pengawasan gedung dan bangunan publik. Pengawasan ini sangat urgen untuk memonitor terhadap pemeliharaan gedung dan bangunan publik, termasuk infrastruktur seperti jembatan. Sebab, gedung dan infrastruktur publik seperti jembatan harus ada pemeliharaan secara rutin. Pemeliharaan itu sangat penting untuk melihat ada kemungkinan perubahan/pergeseran struktur karena faktor alam, cuaca, dan akhirnya fatig.
Publik sebagai pengguna gedung publik juga wajib melakukan pengawasan, baik sejak mulai pembangunan dan atau setelahnya. Bahkan, bentuk pengawasan itu bisa dilakukan melalui gugatan perwakilan, sebagaimana dijamin dalam UU Bangunan Gedung (yang merupakan UU lex specialist), dan juga UU Perlindungan Konsumen, yang merupakan UU lex generalis.
Sekali lagi, pemerintah dan bahkan asosiasi profesi harus bertindak dan bergerak cepat guna mengantisipasi kecelakaan massal akibat runtuhnya gedung publik oleh adanya gempa atau bencana alam lainnya. Sebab, faktanya Indonesia adalah negeri yang berjuluk ring of fire, yang setiap saat bencana/gempa bumi bisa terjadi, nirprediksi. Keselamatan publik adalah hal yang pertama dan utama. Konsumen sebagai pengguna gedung publik, apalagi telah merogoh kocek yang cukup mahal, sudah seharusnya mendapatkan haknya: kenyamanan, keamanan, dan keselamatan.Pemerintah sebagai regulator/pengawas harus bekerja ekstra keras, baik sejak pre market control (pemberian izin dan sebagainya), juga pengawasan pada level post market control. Bencana alam tak bisa ditolak dan direkayasa. Tetapi, bencana atas keteledoran manusia bisa menjadi level man made disasterdengan korban massal. Runtuhnya gedung/infrastruktur publik akibat lemahnya pengawasan adalah bentuk nyata man made disaster itu. Fenomena alam tidak harus menjelma menjadi bencana alam jika manusianya mengakomodasi kearifan alam.
Ketua Pengurus Harian YLKI
BELUM kering air mata warga Lombok akibat digoyang gempa bumi beberapa pekan silam, kini air mata kembali mengalir, bahkan mungkin lebih deras, manakala warga Kota Palu, Donggala, dan sekitarnya porak-poranda, pasca hantaman gempa 7,7 skala Richter (Jumat, 28/10/2018) plus diterjang tsunami. Hingga tulisan ini dibuat (Senin, 02/10/2018) lebih dari 832 orang dinyatakan meninggal dunia, dan potensinya akan terus bertambah (data Humas BNPB). Data tersebut baru didapat dari korban di Kota Palu, belum lagi di Kota Donggala dan Sigi. Korban akan mencapai ribuan.
Selain korban jiwa, dampak utama gempa adalah rusaknya/robohnya rumah penduduk, tempat ibadah, fasilitas publik, infrastruktur seperti jalan dan jembatan, dan juga bangunan publik seperti hotel dan atau pusat belanja. Terkait gempa Palu, beberapa bangunan/gedung publik seperti mal dan hotel rusak berat, bahkan roboh, rata dengan tanah. Hotel Roa Roa, hotel berbintang tiga, rata dengan tanah; diperkirakan 50-60 orang yang terperangkap di dalamnya dipastikan menjadi korban (meninggal dunia). Juga “Jembatan Kuning”, sebuah jembatan yang dibangun pada 2006 dan menjadi ikon Kota Palu, runtuh, terbelah dua.
Jika yang roboh bangunan penduduk yang memang dibuat ala kadarnya, masih bisa dimaklumi bila tak mampu menahan goyangan gempa. Selain persoalan ekonomi, selama ini nyaris tak ada edukasi perihal bagaimana membuat bangunan/rumah yang tahan gempa.
Namun, jika hal itu terjadi pada bangunan publik seperti mal, hotel, gedung pemerintah, dan juga jembatan; persoalannya menjadi lain. Runtuhnya bangunan publik saat gempa bukan hanya kasus di Palu saja atau Lombok, tetapi juga kerap terjadi di berbagai lokasi di Indonesia pasca goyangan gempa.Kejadian semacam ini jelas sangat menimbulkan rasa takut, tidak nyaman, bahkan mengancam safety konsumen sebagai pengguna bangunan atau gedung publik. Robohnya bangunan publik saat gempa bisa ditengarai ada beberapa hal; pertama, meragukan kualitas bangunan publik tersebut, yang sangat mungkin dibuat tidak sesuai standar, tidak sesuai spek, yakni menggunakan material beton berstandar rendah.Karena itu, patut diduga ada pelanggaran secara sengaja terhadap proses pembangunan gedung publik tersebut. Ketiga, adanya kelalaian atau kesengajaan pengawas selama proses pembangunan gedung publik. Pengawas tahu ada pelanggaran selama proses pembangunan, tapi dibiarkan, cincailah. Atau, bisa jadi bangunan itu dibuat tanpa ada pengawas.Keempat, patut diduga ada potensi tindakan koruptif oleh kontraktor dan konco-konconya. Mereka bersekongkol untuk mengurangi anggaran, mengurangi spek, dan ending-nya adalah buruknya kualitas bangunan publik. Dan, klimaks dari pelanggaran itu adalah runtuhnya bangunan publik saat digoyang gempa, atau bencana alam lain, atau bahkan roboh sebelum waktunya.
Secara regulasi, setidaknya ada dua produk regulasi yang dilanggar atas robohnya bangunan publik saat gempa. Pertama, melanggar kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen, sebagaimana dijamin dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Konsumen membayar mahal untuk menginap di hotel, tapi ongkos yang mahal itu nirjaminan atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatannya.Seharusnya hal ini menjadi prasyarat yang fundamental saat menggunakan produk barang atau jasa, termasuk hotel, restoran, dan mal. Kedua, secara keseluruhan dugaan pelanggaran terhadap UU Nomor 12 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Pelanggaran itu bisa pada konteks persyaratan administratif, persyaratan tata bangunan, persyaratan keandalan, persyaratan keselamatan, plus persyaratan budaya. Bahwa gempa sebuah peristiwa alam yang tak bisa diprediksi, tetapi sebagai bangunan dan gedung publik seharusnya memenuhi berbagai persyaratan yang lebih dibanding rumah residensial. Runtuhnya bangunan publik akibat gempa tetap menyisakan setumpuk pertanyaan.
Karena itu, guna mengantisipasi kejadian serupa dan menelan korban massal, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah patut didesak untuk melakukan audit komprehensif terhadap gedung dan bangunan publik. Audit sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat keandalan gedung dalam menghadapi hantaman bencana alam, termasuk gempa bumi.Gedung dan bangunan publik harus mempunyai sertifikasi antigempa sehingga diketahui pada tingkat mana gedung tersebut masih kokoh berdiri, dan tingkat mana dalam kategori force majour. Kalau digoyang gempa bumi sedikit saja langsung doyong, patut dipertanyakan keandalan dan spek teknisnya.
Kedua, pemerintah juga harus mengintensifkan pengawasan gedung dan bangunan publik. Pengawasan ini sangat urgen untuk memonitor terhadap pemeliharaan gedung dan bangunan publik, termasuk infrastruktur seperti jembatan. Sebab, gedung dan infrastruktur publik seperti jembatan harus ada pemeliharaan secara rutin. Pemeliharaan itu sangat penting untuk melihat ada kemungkinan perubahan/pergeseran struktur karena faktor alam, cuaca, dan akhirnya fatig.
Publik sebagai pengguna gedung publik juga wajib melakukan pengawasan, baik sejak mulai pembangunan dan atau setelahnya. Bahkan, bentuk pengawasan itu bisa dilakukan melalui gugatan perwakilan, sebagaimana dijamin dalam UU Bangunan Gedung (yang merupakan UU lex specialist), dan juga UU Perlindungan Konsumen, yang merupakan UU lex generalis.
Sekali lagi, pemerintah dan bahkan asosiasi profesi harus bertindak dan bergerak cepat guna mengantisipasi kecelakaan massal akibat runtuhnya gedung publik oleh adanya gempa atau bencana alam lainnya. Sebab, faktanya Indonesia adalah negeri yang berjuluk ring of fire, yang setiap saat bencana/gempa bumi bisa terjadi, nirprediksi. Keselamatan publik adalah hal yang pertama dan utama. Konsumen sebagai pengguna gedung publik, apalagi telah merogoh kocek yang cukup mahal, sudah seharusnya mendapatkan haknya: kenyamanan, keamanan, dan keselamatan.Pemerintah sebagai regulator/pengawas harus bekerja ekstra keras, baik sejak pre market control (pemberian izin dan sebagainya), juga pengawasan pada level post market control. Bencana alam tak bisa ditolak dan direkayasa. Tetapi, bencana atas keteledoran manusia bisa menjadi level man made disasterdengan korban massal. Runtuhnya gedung/infrastruktur publik akibat lemahnya pengawasan adalah bentuk nyata man made disaster itu. Fenomena alam tidak harus menjelma menjadi bencana alam jika manusianya mengakomodasi kearifan alam.
(whb)