Percepatan Pengembangan Mobil Listrik
A
A
A
Fahmy Radhi(Pengamat Ekonomi Energi UGM)
SEJAK energi pada 1980-an, produsen automotif dunia mulai mengembangkan kendaraan hemat energi, termasuk mengalihkan dari kendaraan pengguna bahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan listrik.Mobil-mobil bermesin besar dan boros BBM mulai dialihkan ke mobil-mobil bermesin kecil, hibrida, dan mobil listrik. Tren penggunaan mobil listrik berkembang dengan pesat di banyak negara lantaran memiliki beberapa kelebihan dibandingkan mobil konvensional, yang menggunakan BBM.Ada beberapa kelebihan mobil listrik dibandingkan dengan mobil BBM, antara lain: penggunaan energi listrik lebih hemat, dengan biaya sekitar Rp155,34 per km, ketimbang penggunaan energi BBM, dengan biaya lebih besar sekitar Rp791,18 per km.Penghematan penggunaan energi listrik terjadi, baik pada saat kendaraan melaju maupun saat terjadi kemacetan. Perawatan mobil listrik juga lebih mudah lantaran tidak memerlukan pergantian oli, perawatan hanya perlu dilakukan pada baterai. Selain itu, mobil listrik memiliki intelligent transport system, yang dapat melakukan pengereman sendiri secara otomatis saat akan terjadi tabrakan.Pengembangan mobil listrik tidak hanya dilakukan di negara-negara maju, seperti di China, Amerika Serikat (AS), Jepang, Korea Selatan, Kanada, Norwegia, Inggris Raya, Prancis, Jerman, Belanda, dan Swedia, tetapi juga sudah merambah ke negara-negara berkembang seperti di Singapura, Malaysia, dan Thailand, bahkan berkembang dengan pesat di Vietnam dan Sri Langka.Menurut International Energy Agency(IEA), jumlah penjualan mobil listrik secara global pada 2016 mencapai 750.000 unit. Urutan pertama China yang mampu menjual sebanyak 350.000 unit, AS pada urutan kedua menjual 160.000 unit, dan Norwegia menempati urutan ketiga yang berhasil menjual sekitar 50.000 unit.Indonesia juga tidak mau ketinggalan dalam pengembangan mobil listrik. Untuk itu, telah ditetapkan dalam rencana kebijakan kendaraan listrik, yang tertuang dalam Perpres No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 3 Maret 2017. Pada Lampiran I RUEN sudah ditetapkan target penggunaan kendaraan listrik sebanyak 2.200 unit untuk roda 4 dan 2,1 juta untuk kendaraan roda 2, paling lambat pada 2025.Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan bahwa kendaraan listrik bukan lagi kebutuhan masa depan, melainkan untuk kebutuhan masa sekarang, sehingga perlu program percepatan kendaraan listrik. Hadirnya kendaraan listrik di Indonesia sejalan dengan kebijakan ketahanan energi nasional untuk mengurangi penggunaan energi fosil.Kalau kendaraan listrik tidak dapat dihadirkan di Indonesia maka pada 2025 konsumsi BBM diperkirakan akan meningkat dari 1,3 juta barel per hari naik menjadi 2 juta barel per hari. Peningkatan impor BBM dalam jumlah besar itu akan semakin meningkatkan defisit neraca perdagangan, yang berpotensi melemahkan kurs rupiah terhadap dolar AS.Berbeda dengan energi fosil, energi kendaraan listrik tidak perlu diimpor lantaran kebutuhan listrik dipasok oleh PLN. Energi primer yang digunakan PLN dalam bauran energi primer pembangkit listrik, meliputi: batu bara, gas alam, geotermal, matahari, angin, air, dan sampah, yang tidak perlu diimpor karena tersedia secara meruah di dalam negeri.Selain itu, emisi karbon kendaraan listrik juga lebih rendah dibandingkan penggunaan BBM. Diperkirakan penggunaan mobil listrik dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2) sebesar 29%. Penggunaan energi listrik juga sesuai dengan ketentuan EURO-4 dalam penggunaan energi kendaraan bermotor, yang ramah terhadap lingkungan.
Insentif FiskalKendati pemerintahan Presiden Joko Widodo mempunyai komitmen kuat untuk menghadirkan mobil listrik di Indonesia, Peraturan Presiden (Perpres) tentang Program Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik untuk Transportasi Jalan, yang ditargetkan tuntas pada Januari 2018 hingga kini belum juga selesai.Pengesahan perpres itu masih menunggu regulasi mengenai insentif fiskal terkait penetapan besaran pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil listrik dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Status terkini, rancangan perpres itu masih menunggu rakor lanjutan untuk pembahasan hasil revisi terkait insentif fiskal yang diusulkan Kementerian Perindustrian.Insentif fiskal sesungguhnya menjadi faktor penting untuk mendorong percepatan pengembangan mobil listrik di Indonesia. Dari sisi konsumen, harga mobil listrik masih relatif lebih mahal dibandingkan mobil konvensional. Pasalnya, teknologi untuk penyimpan energi listrik pada baterai harganya masih cukup mahal.Tidak bisa dihindari. harga jual mobil listrik menjadi lebih mahal ketimbang mobil konvensional. Insentif fiskal itu dimaksudkan juga untuk mereduksi disparitas harga jual antara mobil listrik dan mobil konvensional.Negara-negara lain juga memberikan insentif dalam pengembangan mobil listrik. China membebaskan pajak pembelian yang bernilai CNY35.000–60.000 atau sekitar USD5.000–8.500. Norwegia membebaskan konsumen mobil listrik untuk membayar pajak pembelian, dengan nilai mencapai NOK100.000 atau sekitar USD11.600. Jepang memberikan subsidi secara progresif berdasarkan tingginya kapasitas listrik, dengan jumlah maksimum subsidi sebesar JPY850.000, setara dengan USD7.700.Belanda memberikan insentif pajak berbasis pada emisi CO2. Kendaraan listrik dengan emisi CO2 sebesar nol dibebaskan dari pajak pendaftaran mobil baru (new car registration). Thailand mengenakan pajak kendaraan listrik sebesar 10%, sedangkan kendaraan berbahan bakar fosil wajib membayar 22–50%. Hampir sama dengan Thailand, Sri Lanka juga mengenakan pajak untuk mobil listrik sebesar 25%, sementara pajak kendaraan konvensional dikenakan pajak mencapai 200%.Berdasarkan penerapan insentif fiskal di negara-negara lain mengindikasikan bahwa apa yang diberikan pemerintah berkorelasi signifikan terhadap peningkatan pangsa pasar mobil listrik di negara-negara tersebut. Dengan demikian, pemberian insentif fiskal yang akan diatur dalam perpres diharapkan menjadi variabel penting dalam percepatan pengembangan listrik di Indonesia sehingga harus segera diselesaikan.Variabel penting lainnya dalam percepatan pengembangan mobil listrik adalah penyediaan infrastruktur pendukung untuk pengisian ulang baterai. PT PLN (persero), badan usaha milik negara di sektor ketenagalistrikan selaku penyedia bahan bakar listrik, menyatakan kesiapannya untuk membangun stasiun pengisian listrik umum (SPLU) di seluruh wilayah Indonesia.Selain PLN, produsen mobil listrik juga sudah berkomitmen untuk membangun SPLU di sejumlah tempat keramaian, di antaranya di sekitar pusat-pusat perbelanjaan. Tanpa pemberian insentif dan penyediaan SPLU, jangan harap percepatan pengembangan mobil listrik di Indonesia dapat dicapai dalam waktu dekat ini.
SEJAK energi pada 1980-an, produsen automotif dunia mulai mengembangkan kendaraan hemat energi, termasuk mengalihkan dari kendaraan pengguna bahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan listrik.Mobil-mobil bermesin besar dan boros BBM mulai dialihkan ke mobil-mobil bermesin kecil, hibrida, dan mobil listrik. Tren penggunaan mobil listrik berkembang dengan pesat di banyak negara lantaran memiliki beberapa kelebihan dibandingkan mobil konvensional, yang menggunakan BBM.Ada beberapa kelebihan mobil listrik dibandingkan dengan mobil BBM, antara lain: penggunaan energi listrik lebih hemat, dengan biaya sekitar Rp155,34 per km, ketimbang penggunaan energi BBM, dengan biaya lebih besar sekitar Rp791,18 per km.Penghematan penggunaan energi listrik terjadi, baik pada saat kendaraan melaju maupun saat terjadi kemacetan. Perawatan mobil listrik juga lebih mudah lantaran tidak memerlukan pergantian oli, perawatan hanya perlu dilakukan pada baterai. Selain itu, mobil listrik memiliki intelligent transport system, yang dapat melakukan pengereman sendiri secara otomatis saat akan terjadi tabrakan.Pengembangan mobil listrik tidak hanya dilakukan di negara-negara maju, seperti di China, Amerika Serikat (AS), Jepang, Korea Selatan, Kanada, Norwegia, Inggris Raya, Prancis, Jerman, Belanda, dan Swedia, tetapi juga sudah merambah ke negara-negara berkembang seperti di Singapura, Malaysia, dan Thailand, bahkan berkembang dengan pesat di Vietnam dan Sri Langka.Menurut International Energy Agency(IEA), jumlah penjualan mobil listrik secara global pada 2016 mencapai 750.000 unit. Urutan pertama China yang mampu menjual sebanyak 350.000 unit, AS pada urutan kedua menjual 160.000 unit, dan Norwegia menempati urutan ketiga yang berhasil menjual sekitar 50.000 unit.Indonesia juga tidak mau ketinggalan dalam pengembangan mobil listrik. Untuk itu, telah ditetapkan dalam rencana kebijakan kendaraan listrik, yang tertuang dalam Perpres No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 3 Maret 2017. Pada Lampiran I RUEN sudah ditetapkan target penggunaan kendaraan listrik sebanyak 2.200 unit untuk roda 4 dan 2,1 juta untuk kendaraan roda 2, paling lambat pada 2025.Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan bahwa kendaraan listrik bukan lagi kebutuhan masa depan, melainkan untuk kebutuhan masa sekarang, sehingga perlu program percepatan kendaraan listrik. Hadirnya kendaraan listrik di Indonesia sejalan dengan kebijakan ketahanan energi nasional untuk mengurangi penggunaan energi fosil.Kalau kendaraan listrik tidak dapat dihadirkan di Indonesia maka pada 2025 konsumsi BBM diperkirakan akan meningkat dari 1,3 juta barel per hari naik menjadi 2 juta barel per hari. Peningkatan impor BBM dalam jumlah besar itu akan semakin meningkatkan defisit neraca perdagangan, yang berpotensi melemahkan kurs rupiah terhadap dolar AS.Berbeda dengan energi fosil, energi kendaraan listrik tidak perlu diimpor lantaran kebutuhan listrik dipasok oleh PLN. Energi primer yang digunakan PLN dalam bauran energi primer pembangkit listrik, meliputi: batu bara, gas alam, geotermal, matahari, angin, air, dan sampah, yang tidak perlu diimpor karena tersedia secara meruah di dalam negeri.Selain itu, emisi karbon kendaraan listrik juga lebih rendah dibandingkan penggunaan BBM. Diperkirakan penggunaan mobil listrik dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2) sebesar 29%. Penggunaan energi listrik juga sesuai dengan ketentuan EURO-4 dalam penggunaan energi kendaraan bermotor, yang ramah terhadap lingkungan.
Insentif FiskalKendati pemerintahan Presiden Joko Widodo mempunyai komitmen kuat untuk menghadirkan mobil listrik di Indonesia, Peraturan Presiden (Perpres) tentang Program Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik untuk Transportasi Jalan, yang ditargetkan tuntas pada Januari 2018 hingga kini belum juga selesai.Pengesahan perpres itu masih menunggu regulasi mengenai insentif fiskal terkait penetapan besaran pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil listrik dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Status terkini, rancangan perpres itu masih menunggu rakor lanjutan untuk pembahasan hasil revisi terkait insentif fiskal yang diusulkan Kementerian Perindustrian.Insentif fiskal sesungguhnya menjadi faktor penting untuk mendorong percepatan pengembangan mobil listrik di Indonesia. Dari sisi konsumen, harga mobil listrik masih relatif lebih mahal dibandingkan mobil konvensional. Pasalnya, teknologi untuk penyimpan energi listrik pada baterai harganya masih cukup mahal.Tidak bisa dihindari. harga jual mobil listrik menjadi lebih mahal ketimbang mobil konvensional. Insentif fiskal itu dimaksudkan juga untuk mereduksi disparitas harga jual antara mobil listrik dan mobil konvensional.Negara-negara lain juga memberikan insentif dalam pengembangan mobil listrik. China membebaskan pajak pembelian yang bernilai CNY35.000–60.000 atau sekitar USD5.000–8.500. Norwegia membebaskan konsumen mobil listrik untuk membayar pajak pembelian, dengan nilai mencapai NOK100.000 atau sekitar USD11.600. Jepang memberikan subsidi secara progresif berdasarkan tingginya kapasitas listrik, dengan jumlah maksimum subsidi sebesar JPY850.000, setara dengan USD7.700.Belanda memberikan insentif pajak berbasis pada emisi CO2. Kendaraan listrik dengan emisi CO2 sebesar nol dibebaskan dari pajak pendaftaran mobil baru (new car registration). Thailand mengenakan pajak kendaraan listrik sebesar 10%, sedangkan kendaraan berbahan bakar fosil wajib membayar 22–50%. Hampir sama dengan Thailand, Sri Lanka juga mengenakan pajak untuk mobil listrik sebesar 25%, sementara pajak kendaraan konvensional dikenakan pajak mencapai 200%.Berdasarkan penerapan insentif fiskal di negara-negara lain mengindikasikan bahwa apa yang diberikan pemerintah berkorelasi signifikan terhadap peningkatan pangsa pasar mobil listrik di negara-negara tersebut. Dengan demikian, pemberian insentif fiskal yang akan diatur dalam perpres diharapkan menjadi variabel penting dalam percepatan pengembangan listrik di Indonesia sehingga harus segera diselesaikan.Variabel penting lainnya dalam percepatan pengembangan mobil listrik adalah penyediaan infrastruktur pendukung untuk pengisian ulang baterai. PT PLN (persero), badan usaha milik negara di sektor ketenagalistrikan selaku penyedia bahan bakar listrik, menyatakan kesiapannya untuk membangun stasiun pengisian listrik umum (SPLU) di seluruh wilayah Indonesia.Selain PLN, produsen mobil listrik juga sudah berkomitmen untuk membangun SPLU di sejumlah tempat keramaian, di antaranya di sekitar pusat-pusat perbelanjaan. Tanpa pemberian insentif dan penyediaan SPLU, jangan harap percepatan pengembangan mobil listrik di Indonesia dapat dicapai dalam waktu dekat ini.
(maf)