Mendiskusikan Kualifikasi Ulama

Jum'at, 28 September 2018 - 06:19 WIB
Mendiskusikan Kualifikasi...
Mendiskusikan Kualifikasi Ulama
A A A
Faisal Ismail

Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

TERMINOLOGI ulama menjadi pembicaraan hangat dewasa ini setelah Sandiaga Uno (cawapres pendamping capres Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019) disebut memenuhi kualifikasi ulama. Perlu diklarifikasi, tulisan ini bersifat ilmiah-akademis, sama sekali tidak ada motif politik mendukung atau tidak mendukung capres-cawapres tertentu. Tulisan ini hendak mendiskusikan pengertian ulama, kualifikasi ulama, dan siapa yang sebenarnya pantas disebut ulama. Kata ulama berasal dari bahasa Arab yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia.

Kata ulama merupakan bentuk jamak dari kata alim (mufrad). Kata ini berasal dari kata kerja alima (fi’il madhi) dan ya’lamu (fi’il mudhari’) yang berarti mengetahui. Jadi kata alim (jamak: ulama) berarti orang yang mengetahui atau orang yang memiliki banyak pengetahuan. Di banyak ayat dalam Alquran, Allah disebut bersifat ‘aliimun (Yang Maha Mengetahui). Sifat ‘aliimun sering dirangkaikan dengan sifat hakiimun (Yang Maha Bijaksana). Sifat aliimun dan hakiimun termasuk 99 asmaul husna (nama-nama terbaik Allah).

Peralatan Intelektual Ulama

Baik dalam literatur Arab/Islam maupun dalam literatur Barat, istilah ulama dipakai secara spesifik untuk menyebut orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ilmu-ilmu agama Islam (ilmu tauhid, tafsir Alquran, hadis, syari’ah, dan fikih/ushul fikih). Ulama dikategorikan sesuai spesialisasi ilmu masing-masing. Ada ulama kalam, ulama tafsir, ulama hadis, dan ulama fikih. Hasil pemahaman ulama terhadap teks/nash Alquran dan sunah Nabi ada yang sama dan ada pula yang berbeda. Namanya saja penalaran yang merupakan produk akal, bisa sama dan bisa pula berlainan. Tapi yang pasti, ulama memakai Alqur’an dan hadis dalam memahami teks.

Contoh, dalam memaknai ayat yadullahi fauqa aidihim (tangan Allah di atas tangan-tangan mereka), teolog Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah mempunyai tangan, tapi tangan-Nya tidak sama dengan tangan manusia dan bentuk tangan-Nya tidak perlu dipertanyakan seperti apa. Itu semua urusan Allah, kata teolog Asy’ariyah. Adapun teolog Muktazilah menakwil ayat itu dan mengatakan bahwa yang dimaksud tangan dalam ayat tersebut adalah kekuasaan atau kerahiman Allah. Kedua pemaknaan dan pemahaman ini dapat diterima. Bedanya adalah pemaknaan versi Asy’ariyah bercorak kurang rasional, sedangkan penafsiran ala Muktazilah bersifat rasional.

Apa yang hendak saya kemukakan dengan mengangkat contoh di atas? Yang ingin saya utarakan adalah, ada seperangkat persyaratan intelektual yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang penafsir Alquran dan menjadi seorang mujtahid (orang yang berijtihad/menggunakan kemampuan diniah-akliah untuk merumuskan hukum Islam). Peralatan intelektual (intellectual tools) yang wajib dimiliki dan dikuasai untuk menjadi penafsir dan mujtahid antara lain adalah (1) menguasai seluk beluk bahasa Arab (misalnya nahwu, sharaf, dan balaghah); (2) memahami asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat Alqur’an); (3) memahami asbabul wurud (sebab-sebab dikeluarkannya hadis-hadis Nabi); (4) memahami munasabah (konteks-hubungan dan relasi antarayat); dan (5) memahami nasikh-mansukh (penghapusan dalil hukum syar’i yang satu dengan dalil hukum syar’i yang lain).

Jika semua peralatan intelektual ini dimiliki dan dikuasai seseorang, yang bersangkutan sudah memenuhi kriteria atau kualifikasi untuk menjadi penafsir Alquran dan atau mujtahid. Dengan kata lain, yang bersangkutan sudah memenuhi syarat, kriteria, dan kualifikasi untuk dikategorikan sebagai ulama. Sebaliknya, apabila persyaratan peralatan intelektual sebagaimana disebutkan di atas (1 sampai dengan 5) belum dimiliki dan dikuasai oleh seseorang, yang bersangkutan belum dapat dikualifikasi dan dikategorisasi sebagai ulama. Di zaman Islam klasik, beberapa mujtahid mampu melakukan ijtihad mandiri (independen), misalnya Imam Hanafie (mazhabnya disebut mazhab Hanafie), Imam Malik (mazhabnya dinamakan mazhab Maliki), Imam Syafi’ie (mazhabnya dikenal sebagai mazhab Syafi’ie), dan Imam Ahmad bin Hanbal (mazhabnya diakui sebagai mazhab Hanbali).

Kolaborasi Ulama dan Pakar

Di era modern yang ditandai kompleksitas permasalahan hidup seperti sekarang ini, praktik ijtihad independen sulit dilaksanakan. Di era modern yang dipenuhi dan dijejali dengan berbagai isu dan problem kehidupan yang kompleks, ijtihad kolektif lebih diutamakan dengan melibatkan ulama, ilmuwan, dan pakar dari berbagai disiplin keilmuan. Ulama, ilmuwan, saintis, akademisi, peneliti, dan pakar dari berbagai lintas keilmuan harus bekerja sama dalam melakukan ijtihad untuk merumuskan pendapat hukum (fatwa) bagi perkara baru yang hukumnya tidak secara eksplisit tertera dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi.

Ijtihad kolektif yang secara sinergis dipraktikkan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah tepat. Salah satu tugas dan fungsi pokok MUI adalah mengeluarkan fatwa bagi perkara baru yang hukumnya tidak secara jelas dan eksplisit tertera dalam Alquran dan hadis. Dalam menjalankan tugasnya, para ulama, pakar, dan peneliti dari berbagai disiplin keilmuan bertukar pikiran secara kritis, diniah, dan ilmiah. Berdasarkan hasil kajian kritis-diniah-ilmiah ini, MUI mengeluarkan fatwa dan fatwa inilah yang menjadi pegangan hukum bagi Umat Islam.

Penggunaan kata ulama sama seperti pemakaian kata madrasah. Arti madrasah adalah sekolah, tapi kata madrasah (yang berarti sekolah itu) diterapkan dalam konteks yang berbeda. Kita misalnya sudah terbiasa menyebut Madrasah Aliyah Negeri (lembaga pendidikan menengah di bawah Kemenag) dan sangat aneh kalau kita menyebutnya Sekolah Aliyah Negeri. Sebaliknya, kita sudah terbiasa menyebut Sekolah Menengah Atas Negeri (lembaga pendidikan menengah di bawah Kemedikbud) dan terasa aneh kalau kita menyebutnya Madrasah Menengah Atas Negeri.

Begitu pun halnya dengan penggunaan kata dan istilah ulama. Dalam dunia akademik, disepakati bahwa terminologi ulama diterapkan kepada para ahli ilmu-ilmu agama Islam ((tafsir, tauhid, hadis, dan fikih). Baik di dunia Arab/Islam maupun di Barat, terminologi ulama dipakai untuk menyebut para ahli di bidang studi ilmu tafsir, tauhid, hadis, dan fikih. Para ahli dan sarjana di bidang ilmu-ilmu umum (misalnya sosiologi, politik, antropologi, ekonomi, dan astronomi) disebut pakar atau begawan. Terasa aneh kalau begawan ekonomi disebut ulama ekonomi atau ulama tafsir disebut begawan tafsir. Perlu ada konsistensi pengertian dan pemakaian istilah agar tidak terjadi kerancuan.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0723 seconds (0.1#10.140)