Online Versus Offline
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MARK Zuckerberg, pendiri Facebook, pada Februari 2017 mengatakan bahwa jejaring online itu bisa membantu mendekatkan dan memudahkan orang dan teman untuk bisa berkumpul secara fisik atau offline. Pernyataan Zuckerberg itu terbukti benar, namun juga salah.
Benar karena lewat Facebook atau WhatsApp kita sangat terbantu untuk mencari dan menyambung kembali pertemanan yang sudah lama tidak bertemu untuk mengadakan reuni. Teman-teman lama sejak dari tingkat taman kanak-kanak (TK) sampai dengan perguruan tinggi mudah ditelusuri lalu sepakat untuk bertemu melepas kangen dan berbagi cerita lama.
Saya amati dan mendengar cerita dari lingkungan keluarga dan teman, yang namanya reuni dan makan siang bersama teman lama sering sekali diadakan. Persahabatan lama, misalnya, ketika sama-sama belajar di tingkat SMP yang sudah puluhan tahun terpisah tersambung kembali berkat Facebook dan WhatsApp.
Belum lagi persahabatan yang pernah terjalin di kampus dan tempat kerja, sekarang dengan mudah terajut kembali. Ketika bertemu, mereka melakukan perjalanan ke masa lalu.
Mengenang dan merekonstruksi berbagai pengalaman dan kenangan lama yang berserakan, seakan umur bagaikan jarum jam yang bisa diputar berjalan mundur. Maka itu, ketika reuni jika ada “orang luar”, seperti istri atau suami, kalaupun ikut hadir sulit lebur karena tidak punya memori yang sama.
Berkat Facebook dan WhatsApp berbagai kehidupan serta pengalaman yang semula bersifat privasi lalu terbuka ke ruang publik. Sejak dari foto keluarga, beli pakaian baru, kuliner, sampai suasana batin yang lagi muncul disampaikan kepada teman, baik melalui tulisan maupun foto.
Ruang privat semakin mengecil, lalu orang merasa semakin terhubung ke ruang publik namun berupa dunia maya. Mereka merasa dekat dan selalu bertambah banyak teman, tapi tidak terhubung secara fisik dan langsung.
Komunikasi lewat jejaring online lalu membentuk suatu komunitas sendiri atau cyber community. Sebagian terdiri atas teman lama yang pernah dan saling kenal secara fisik, sebagian besar adalah teman baru. Mereka merasa dekat, tetapi sesungguhnya sangat berjarak, baik fisik, lokasi, maupun kepribadian aslinya.
Anehnya, komunitas online ini mengalahkan perhatian kita pada persahabatan offline. Coba saja amati, ketika teman atau keluarga lagi berkumpul, fisiknya saja berdekatan. Namun, masing-masing lebih peduli berkomunikasi dengan teman yang jauh terhubung lewat online.
Sekarang sudah muncul aplikasi yang bisa mendeteksi berapa jam sehari seseorang menggunakan gawai. Ini produk menarik sehingga seseorang bisa mengukur berapa lama menghabiskan waktu di online dibanding berapa lama berbagi pikiran dan perhatian lewat offline.
Salah satu kelebihan offline adalah kita mengenal dan mengamati langsung suasana pikiran, batin, dan gestur seseorang sehingga bisa bersikap tepat. Bisa mengobrol-ngobrol sambil ngopi atau minum teh. Sedangkan teman kita di cyber community, mungkin sekali lebih banyak menipu karena kita hanya mengenal sebagian kecil berupa foto dan celotehannya yang belum tentu mencerminkan kualitas aslinya.
Celotehan copy paste dan forward. Orang merasa senang dengan melihat respons “like” yang tak punya senyum dan hati. Hasil penelitian menunjukkan banyak remaja memiliki teman ribuan di dunia maya, tapi cenderung asosial dan sulit bergaul di dunia nyata.
Demikianlah menjelang pemilu, dunia cyber penuh dengan gosip, kritik, hoaks, serta caci maki. Tapi, mungkin banyak orang yang lama-lama menikmatinya, bagaikan ikan lele yang sudah terbiasa hidup di air keruh.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MARK Zuckerberg, pendiri Facebook, pada Februari 2017 mengatakan bahwa jejaring online itu bisa membantu mendekatkan dan memudahkan orang dan teman untuk bisa berkumpul secara fisik atau offline. Pernyataan Zuckerberg itu terbukti benar, namun juga salah.
Benar karena lewat Facebook atau WhatsApp kita sangat terbantu untuk mencari dan menyambung kembali pertemanan yang sudah lama tidak bertemu untuk mengadakan reuni. Teman-teman lama sejak dari tingkat taman kanak-kanak (TK) sampai dengan perguruan tinggi mudah ditelusuri lalu sepakat untuk bertemu melepas kangen dan berbagi cerita lama.
Saya amati dan mendengar cerita dari lingkungan keluarga dan teman, yang namanya reuni dan makan siang bersama teman lama sering sekali diadakan. Persahabatan lama, misalnya, ketika sama-sama belajar di tingkat SMP yang sudah puluhan tahun terpisah tersambung kembali berkat Facebook dan WhatsApp.
Belum lagi persahabatan yang pernah terjalin di kampus dan tempat kerja, sekarang dengan mudah terajut kembali. Ketika bertemu, mereka melakukan perjalanan ke masa lalu.
Mengenang dan merekonstruksi berbagai pengalaman dan kenangan lama yang berserakan, seakan umur bagaikan jarum jam yang bisa diputar berjalan mundur. Maka itu, ketika reuni jika ada “orang luar”, seperti istri atau suami, kalaupun ikut hadir sulit lebur karena tidak punya memori yang sama.
Berkat Facebook dan WhatsApp berbagai kehidupan serta pengalaman yang semula bersifat privasi lalu terbuka ke ruang publik. Sejak dari foto keluarga, beli pakaian baru, kuliner, sampai suasana batin yang lagi muncul disampaikan kepada teman, baik melalui tulisan maupun foto.
Ruang privat semakin mengecil, lalu orang merasa semakin terhubung ke ruang publik namun berupa dunia maya. Mereka merasa dekat dan selalu bertambah banyak teman, tapi tidak terhubung secara fisik dan langsung.
Komunikasi lewat jejaring online lalu membentuk suatu komunitas sendiri atau cyber community. Sebagian terdiri atas teman lama yang pernah dan saling kenal secara fisik, sebagian besar adalah teman baru. Mereka merasa dekat, tetapi sesungguhnya sangat berjarak, baik fisik, lokasi, maupun kepribadian aslinya.
Anehnya, komunitas online ini mengalahkan perhatian kita pada persahabatan offline. Coba saja amati, ketika teman atau keluarga lagi berkumpul, fisiknya saja berdekatan. Namun, masing-masing lebih peduli berkomunikasi dengan teman yang jauh terhubung lewat online.
Sekarang sudah muncul aplikasi yang bisa mendeteksi berapa jam sehari seseorang menggunakan gawai. Ini produk menarik sehingga seseorang bisa mengukur berapa lama menghabiskan waktu di online dibanding berapa lama berbagi pikiran dan perhatian lewat offline.
Salah satu kelebihan offline adalah kita mengenal dan mengamati langsung suasana pikiran, batin, dan gestur seseorang sehingga bisa bersikap tepat. Bisa mengobrol-ngobrol sambil ngopi atau minum teh. Sedangkan teman kita di cyber community, mungkin sekali lebih banyak menipu karena kita hanya mengenal sebagian kecil berupa foto dan celotehannya yang belum tentu mencerminkan kualitas aslinya.
Celotehan copy paste dan forward. Orang merasa senang dengan melihat respons “like” yang tak punya senyum dan hati. Hasil penelitian menunjukkan banyak remaja memiliki teman ribuan di dunia maya, tapi cenderung asosial dan sulit bergaul di dunia nyata.
Demikianlah menjelang pemilu, dunia cyber penuh dengan gosip, kritik, hoaks, serta caci maki. Tapi, mungkin banyak orang yang lama-lama menikmatinya, bagaikan ikan lele yang sudah terbiasa hidup di air keruh.
(whb)