Nasib Perempuan Korban Perdagangan Manusia
A
A
A
Praktik perdagangan manusia yang dikamuflase dalam bentuk kawin kontrak adalah salah satu kejahatan kemanusiaan yang hingga kini belum dapat dieliminasi. Seperti dilaporkan media massa belum lama ini, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendapatkan laporan dari keluarga korban bahwa ada belasan perempuan dari Indonesia ditengarai telah menjadi korban praktik perdagangan manusia ke China.
Semua korban berasal dari keluarga miskin yang rentan diperlakukan salah. Dengan iming-iming pekerjaan dan gaji yang menawan, belasan perempuan berusia di bawah 30 tahun, bahkan sebagian anak-anak itu menjadi korban penipuan jaringan perdagangan manusia. Alih-alih mendapat pekerjaan yang layak, dalam kenyataan mereka ternyata dijual dengan harga sekitar Rp400 juta oleh para calo atau agen perusahaan kepada sejumlah laki-laki yang memperlakukan perempuan itu layaknya barang dagangan.
Di negara tujuan, korban hidup dalam kondisi yang serba-memprihatinkan. Mereka disekap dan diberi makan lewat jendela. Sebagian korban dilaporkan mengalami luka fisik dan acap kali menjadi objek tindak pelecehan seksual. Semua korban hanya bisa mengeluh dan mengabari diam-diam keluarganya, tetapi tidak dapat keluar dari rumah tempat mereka disekap karena terjebak di negeri orang yang jauh.
Tidak Berdaya
Praktik perdagangan manusia sesungguhnya adalah bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran berat terhadap hak asasi dasar manusia. Pada zaman modern seperti sekarang ini, yang dimaksud perdagangan perempuan dan anak bukan terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa, praktik seperti perbudakan di beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan (GAATW, 1999).
Dibandingkan laki-laki, perempuan umumnya lebih rawan menjadi korban trafficking. Perempuan yang menjadi korban umumnya diperdagangkan dalam situasi yang sangat tereksploitasi dan menyengsarakan, dimasukkan ke dalam industri seksual komersial, dalam praktik kerja domestik sebagai pembantu atau melalui kawin paksa di mana mereka diperlakukan tak ubahnya seperti tahanan dan diperkosa terus-menerus oleh suami mereka. Perempuan dan anak yang menjadi korban trafficking biasanya dikuasai lewat kekerasan, ancaman, perkosaan, dan obat bius (Matsui, 2002: 11).
Kasus perdagangan manusia yang terjadi di China ini tentu bukan sekadar pelanggaran keimigrasian, tetapi yang terpenting bahwa trafficking adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang keji karena memperlakukan manusia layaknya komoditas yang dapat diperjualbelikan tanpa mempertimbangkan perasaan dan masa depan korban.
Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi psikologis perempuan yang menjadi korban trafficking ketika menghadapi hari-hari yang penuh dengan ancaman, perlakuan kejam, dan diperlakukan menjadi objek layanan seksual.
Siapa pun yang menjadi korban praktik perdagangan manusia, termasuk perempuan yang menjadi korban perkawinan semu, semuanya rata-rata tak berdaya dan rentan diperlakukan salah. Selain penahanan paspor, penyekapan, dan pelarangan komunikasi dengan pihak luar, penderitaan lain yang tak kalah meresahkan adalah timbulnya perasaan alienasi dan kesendirian yang bukan tidak mungkin diakhiri dengan tindakan bunuh diri.
Melarikan diri bagi perempuan yang berada di negara asing yang tak dikenal dengan baik, boleh dikata adalah hal yang nyaris mustahil
terjadi sehingga ditengarai faktor inilah yang menyebabkan kasus perdagangan perempuan di luar negeri seolah tak terlalu bergaung ke permukaan. Di luar kasus perdagangan manusia yang terjadi di China, bisa dipastikan masih banyak perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib yang sama.
Menyelamatkan Korban
Untuk menyelamatkan perempuan yang menjadi korban praktik perdagangan manusia, yang dibutuhkan bukan hanya investigasi, perlindungan hukum dan penanganan korban di negara lain yang membutuhkan dukungan kerja sama internasional.
Namun lebih dari itu, semua tindakan penanganan yang dilakukan pemerintah hendaknya senantiasa ditujukan kepada korban trafficking dalam rangka repatriasi, rehabilitasi, dan reintegrasi korban kembali ke masyarakat, termasuk memberikan jaminan perlindungan dari
ancaman pelaku trafficking yang mungkin masih mengancam keselamatan korban. Sejumlah upaya yang perlu dikembangkan untuk menangani dan menyikapi ancaman perdagangan manusia adalah:
Pertama, bagi perempuan yang sudah telanjur menjadi korban trafficking , tentu langkah yang dibutuhkan adalah upaya penyelamatan yang benar-benar gigih dan mau berempati kepada penderitaan korban. Bagi perempuan dan keluarga perempuan yang rata-rata miskin, tidaklah mungkin mereka dapat menyelamatkan korban jika tidak ada uluran tangan dari pemerintah yang memang sudah seharusnya melindungi warga negaranya.
Kedua, untuk mencegah agar praktik perdagangan manusia tidak terus terjadi, tentu yang dibutuhkan adalah langkah-langkah preventif yang melibatkan dukungan komunitas dan lembaga sosial di tingkat bawah. Perlu disadari bahwa upaya untuk menanggulangi kasus perdagangan manusia tidaklah mungkin dapat dilakukan pemerintah sendirian.
Tanpa dukungan dari berbagai elemen masyarakat, LSM, dan seluruh stakeholders yang ada, tidaklah mungkin dapat dikembangkan langkah-langkah antisipatif menyikapi cara kerja mafia dan pelaku trafficking yang acap kali beroperasi hingga ke berbagai pelosok desa.
Ketiga, untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap nasib perempuan yang menjadi korban trafficking, satu langkah taktis yang perlu dilakukan adalah bagaimana mencoba menarik keluar isu perdagangan manusia ini menjadi isu publik yang sensitif dan berkaitan dengan kasus pelanggaran hak-hak perempuan yang paling keji dan tak berperikemanusiaan sehingga dalam jangka waktu yang cepat di masyarakat akan tumbuh kepedulian yang sama untuk mencegah dan memberantas persoalan ini hingga ke akar-akarnya secara bersama-sama.
Tanpa dukungan dan kepedulian kita semua, kasus-kasus perdagangan manusia niscaya masih akan tetap menghantui kita semua, terutama kaum perempuan miskin yang papa dan tidak berdaya.
Semua korban berasal dari keluarga miskin yang rentan diperlakukan salah. Dengan iming-iming pekerjaan dan gaji yang menawan, belasan perempuan berusia di bawah 30 tahun, bahkan sebagian anak-anak itu menjadi korban penipuan jaringan perdagangan manusia. Alih-alih mendapat pekerjaan yang layak, dalam kenyataan mereka ternyata dijual dengan harga sekitar Rp400 juta oleh para calo atau agen perusahaan kepada sejumlah laki-laki yang memperlakukan perempuan itu layaknya barang dagangan.
Di negara tujuan, korban hidup dalam kondisi yang serba-memprihatinkan. Mereka disekap dan diberi makan lewat jendela. Sebagian korban dilaporkan mengalami luka fisik dan acap kali menjadi objek tindak pelecehan seksual. Semua korban hanya bisa mengeluh dan mengabari diam-diam keluarganya, tetapi tidak dapat keluar dari rumah tempat mereka disekap karena terjebak di negeri orang yang jauh.
Tidak Berdaya
Praktik perdagangan manusia sesungguhnya adalah bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran berat terhadap hak asasi dasar manusia. Pada zaman modern seperti sekarang ini, yang dimaksud perdagangan perempuan dan anak bukan terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa, praktik seperti perbudakan di beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan (GAATW, 1999).
Dibandingkan laki-laki, perempuan umumnya lebih rawan menjadi korban trafficking. Perempuan yang menjadi korban umumnya diperdagangkan dalam situasi yang sangat tereksploitasi dan menyengsarakan, dimasukkan ke dalam industri seksual komersial, dalam praktik kerja domestik sebagai pembantu atau melalui kawin paksa di mana mereka diperlakukan tak ubahnya seperti tahanan dan diperkosa terus-menerus oleh suami mereka. Perempuan dan anak yang menjadi korban trafficking biasanya dikuasai lewat kekerasan, ancaman, perkosaan, dan obat bius (Matsui, 2002: 11).
Kasus perdagangan manusia yang terjadi di China ini tentu bukan sekadar pelanggaran keimigrasian, tetapi yang terpenting bahwa trafficking adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang keji karena memperlakukan manusia layaknya komoditas yang dapat diperjualbelikan tanpa mempertimbangkan perasaan dan masa depan korban.
Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi psikologis perempuan yang menjadi korban trafficking ketika menghadapi hari-hari yang penuh dengan ancaman, perlakuan kejam, dan diperlakukan menjadi objek layanan seksual.
Siapa pun yang menjadi korban praktik perdagangan manusia, termasuk perempuan yang menjadi korban perkawinan semu, semuanya rata-rata tak berdaya dan rentan diperlakukan salah. Selain penahanan paspor, penyekapan, dan pelarangan komunikasi dengan pihak luar, penderitaan lain yang tak kalah meresahkan adalah timbulnya perasaan alienasi dan kesendirian yang bukan tidak mungkin diakhiri dengan tindakan bunuh diri.
Melarikan diri bagi perempuan yang berada di negara asing yang tak dikenal dengan baik, boleh dikata adalah hal yang nyaris mustahil
terjadi sehingga ditengarai faktor inilah yang menyebabkan kasus perdagangan perempuan di luar negeri seolah tak terlalu bergaung ke permukaan. Di luar kasus perdagangan manusia yang terjadi di China, bisa dipastikan masih banyak perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib yang sama.
Menyelamatkan Korban
Untuk menyelamatkan perempuan yang menjadi korban praktik perdagangan manusia, yang dibutuhkan bukan hanya investigasi, perlindungan hukum dan penanganan korban di negara lain yang membutuhkan dukungan kerja sama internasional.
Namun lebih dari itu, semua tindakan penanganan yang dilakukan pemerintah hendaknya senantiasa ditujukan kepada korban trafficking dalam rangka repatriasi, rehabilitasi, dan reintegrasi korban kembali ke masyarakat, termasuk memberikan jaminan perlindungan dari
ancaman pelaku trafficking yang mungkin masih mengancam keselamatan korban. Sejumlah upaya yang perlu dikembangkan untuk menangani dan menyikapi ancaman perdagangan manusia adalah:
Pertama, bagi perempuan yang sudah telanjur menjadi korban trafficking , tentu langkah yang dibutuhkan adalah upaya penyelamatan yang benar-benar gigih dan mau berempati kepada penderitaan korban. Bagi perempuan dan keluarga perempuan yang rata-rata miskin, tidaklah mungkin mereka dapat menyelamatkan korban jika tidak ada uluran tangan dari pemerintah yang memang sudah seharusnya melindungi warga negaranya.
Kedua, untuk mencegah agar praktik perdagangan manusia tidak terus terjadi, tentu yang dibutuhkan adalah langkah-langkah preventif yang melibatkan dukungan komunitas dan lembaga sosial di tingkat bawah. Perlu disadari bahwa upaya untuk menanggulangi kasus perdagangan manusia tidaklah mungkin dapat dilakukan pemerintah sendirian.
Tanpa dukungan dari berbagai elemen masyarakat, LSM, dan seluruh stakeholders yang ada, tidaklah mungkin dapat dikembangkan langkah-langkah antisipatif menyikapi cara kerja mafia dan pelaku trafficking yang acap kali beroperasi hingga ke berbagai pelosok desa.
Ketiga, untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap nasib perempuan yang menjadi korban trafficking, satu langkah taktis yang perlu dilakukan adalah bagaimana mencoba menarik keluar isu perdagangan manusia ini menjadi isu publik yang sensitif dan berkaitan dengan kasus pelanggaran hak-hak perempuan yang paling keji dan tak berperikemanusiaan sehingga dalam jangka waktu yang cepat di masyarakat akan tumbuh kepedulian yang sama untuk mencegah dan memberantas persoalan ini hingga ke akar-akarnya secara bersama-sama.
Tanpa dukungan dan kepedulian kita semua, kasus-kasus perdagangan manusia niscaya masih akan tetap menghantui kita semua, terutama kaum perempuan miskin yang papa dan tidak berdaya.
(nag)