Nasib Perempuan Korban Perdagangan Manusia

Kamis, 27 September 2018 - 08:47 WIB
Nasib Perempuan Korban Perdagangan Manusia
Nasib Perempuan Korban Perdagangan Manusia
A A A
Praktik per­da­gang­an manusia yang dika­mu­fla­se dalam ben­tuk ka­win kon­trak adalah salah satu kejahatan ke­manusiaan yang hingga kini belum dapat dieliminasi. Se­per­ti dila­por­kan media massa be­lum lama ini, Partai Solidaritas Indo­ne­sia (PSI) mendapatkan la­por­an da­ri keluarga korban bahwa ada belasan perempuan dari In­do­nesia ditengarai telah men­jadi korban praktik per­da­gangan manusia ke China.

Semua korban berasal dari ke­luarga miskin yang rentan di­perlakukan salah. Dengan iming-iming pekerjaan dan gaji yang menawan, belasan pe­rem­puan berusia di bawah 30 tahun, bahkan sebagian anak-anak itu menjadi korban pe­ni­puan jaringan per­da­gang­an ma­nusia. Alih-alih men­da­pat pe­ker­jaan yang layak, da­lam ke­nya­taan mereka ter­nya­ta dijual de­ngan harga sekitar Rp400 juta oleh para calo atau agen peru­sa­ha­an kepada se­jum­lah laki-laki yang mem­per­lakukan perem­pu­an itu la­yak­nya barang dagangan.

Di negara tujuan, korban hi­dup dalam kondisi yang ser­ba-memprihatinkan. Mereka dise­kap dan diberi makan le­wat jen­dela. Sebagian korban dila­por­kan mengalami luka fisik dan acap kali menjadi ob­jek tindak pelecehan seksual. Semua kor­ban hanya bisa me­ngeluh dan mengabari diam-diam keluar­ga­nya, tetapi tidak dapat keluar dari rumah tem­pat mereka dise­kap karena ter­je­bak di negeri orang yang jauh.

Tidak Berdaya

Praktik perdagangan ma­nu­sia sesungguhnya adalah ben­tuk perbudakan masa kini dan pe­lang­garan berat ter­ha­dap hak asasi dasar manusia. Pada za­man modern seperti se­karang ini, yang dimaksud perdagang­an pe­rempuan dan anak bukan ter­ba­tas pada pros­titusi pak­sa­an atau per­dagangan seks, me­lain­kan ju­ga meliputi bentuk-bentuk eks­ploitasi, kerja paksa, prak­tik se­perti perbudakan di be­berapa wi­la­yah dalam sektor in­formal, ter­ma­suk kerja do­mes­tik dan istri pesanan (GAATW, 1999).

Dibandingkan laki-laki, pe­rem­puan umumnya lebih ra­wan menjadi korban traf­fic­king. Perempuan yang menjadi kor­ban umumnya diper­da­gang­kan dalam situasi yang sa­ngat tereksploitasi dan me­nyeng­sarakan, dimasukkan ke dalam industri seksual ko­mer­sial, da­lam praktik kerja do­mes­tik se­bagai pembantu atau me­lalui ka­win paksa di mana mereka di­perlakukan tak ubah­nya seperti tahanan dan di­perkosa terus-menerus oleh suami mereka. Perempuan dan anak yang men­jadi korban trafficking biasanya dikuasai lewat kekerasan, an­cam­an, per­kosaan, dan obat bius (Mat­sui, 2002: 11).

Kasus perdagangan ma­nu­sia yang terjadi di China ini ten­tu bukan sekadar pe­lang­garan keimigrasian, tetapi yang ter­pen­ting bahwa trafficking ada­lah sebuah kejahatan ke­ma­nu­si­aan yang keji karena mem­per­lakukan manusia layaknya ko­moditas yang dapat diper­jual­belikan tanpa mem­per­tim­bangkan perasaan dan ma­sa depan korban.

Bisa di­ba­yang­kan, bagaimana kondisi psi­ko­logis perempuan yang menjadi korban trafficking ke­tika meng­ha­dapi hari-hari yang penuh dengan ancaman, perlakuan ke­jam, dan diper­la­ku­kan men­ja­di objek layanan seksual.

Siapa pun yang menjadi kor­ban praktik perdagangan ma­nu­sia, termasuk perem­pu­an yang menjadi korban per­ka­win­an semu, semuanya rata-rata tak berdaya dan rentan di­per­la­kukan salah. Selain pe­na­hanan paspor, penyekapan, dan pela­rang­an komunikasi de­n­gan pi­hak luar, pen­de­ri­ta­an lain yang tak kalah mere­sah­kan adalah timbulnya pera­sa­an alienasi dan kesendirian yang bukan ti­dak mungkin di­akhiri dengan tin­dakan bunuh diri.

Melarikan diri bagi pe­rem­puan yang berada di ne­ga­ra asing yang tak dikenal de­ngan baik, boleh dikata adalah hal yang nyaris mustahil
ter­ja­di sehing­ga ditengarai faktor ini­lah yang menyebabkan ka­sus perda­gang­an perempuan di luar ne­geri seolah tak terlalu ber­gaung ke permukaan. Di luar kasus per­dagangan manu­sia yang ter­jadi di China, bisa di­pastikan ma­sih banyak pe­rem­puan-pe­rem­puan lain yang mengalami nasib yang sama.

Menyelamatkan Korban

Untuk menyelamatkan pe­rem­puan yang menjadi korban praktik perdagangan manusia, yang dibutuhkan bukan hanya investigasi, perlindungan hu­kum dan penanganan korban di negara lain yang mem­bu­tuh­kan dukungan kerja sama inter­­na­sional.

Namun lebih dari itu, se­mua tindakan pe­nanganan yang dilakukan pe­me­rintah hen­daknya senan­tia­sa ditu­jukan kepada korban trafficking dalam rangka re­pa­triasi, reha­bi­litasi, dan rein­te­grasi korban kem­bali ke ma­sya­rakat, terma­suk memberikan jaminan per­lin­dungan dari
an­caman pelaku trafficking yang mung­kin masih mengancam keselamatan kor­ban. Sejumlah upaya yang perlu dikem­bang­kan untuk me­na­ngani dan me­nyikapi ancaman perda­gang­an manusia adalah:

Pertama, bagi perempuan yang sudah telanjur menjadi kor­ban trafficking , tentu lang­kah yang dibutuhkan adalah upaya penyelamatan yang be­nar-benar gigih dan mau be­rempati kepada penderitaan kor­ban. Bagi perempuan dan ke­luarga perempuan yang rata-rata miskin, tidaklah mungkin mereka dapat menyelamatkan korban jika tidak ada uluran tangan dari pemerintah yang memang sudah seharusnya melindungi warga negaranya.

Kedua, untuk mencegah agar praktik perdagangan ma­nu­sia tidak terus terjadi, tentu yang dibutuhkan adalah lang­kah-langkah preventif yang melibatkan dukungan komu­ni­tas dan lembaga sosial di tingkat bawah. Perlu disadari bahwa upaya untuk menanggulangi kasus perdagangan manusia tidaklah mungkin dapat dila­ku­kan pemerintah sendirian.

Tanpa dukungan dari berbagai elemen masyarakat, LSM, dan seluruh stakeholders yang ada, tidaklah mungkin dapat di­kembangkan langkah-langkah antisipatif menyikapi cara kerja mafia dan pelaku trafficking yang acap kali beroperasi hingga ke berbagai pelosok desa.

Ketiga, untuk menum­buh­kan kepedulian masyarakat ter­hadap nasib perempuan yang menjadi korban trafficking, satu langkah taktis yang perlu di­la­kukan adalah bagaimana men­coba menarik keluar isu per­da­gangan manusia ini menjadi isu publik yang sensitif dan ber­kaitan dengan kasus pelang­gar­an hak-hak perempuan yang paling keji dan tak be­r­pe­ri­ke­ma­nusiaan sehingga dalam jang­ka waktu yang cepat di ma­syarakat akan tumbuh ke­pe­dulian yang sama untuk men­ce­gah dan memberantas per­soal­an ini hingga ke akar-akarnya secara bersama-sama.

Tanpa dukungan dan kepe­dulian kita semua, kasus-kasus perdagangan manusia niscaya masih akan tetap menghantui kita semua, terutama kaum pe­rempuan miskin yang papa dan tidak berdaya.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3071 seconds (0.1#10.140)