Kelaparan dan Politik Pangan Elite

Senin, 24 September 2018 - 07:05 WIB
Kelaparan dan Politik Pangan Elite
Kelaparan dan Politik Pangan Elite
A A A
Abdul Halim

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan

BADAN Pangan dan PertanianPBB, FAO, kembali memublikasikan laporan terbaru berjudul “The State of Food Security and Nutrition in the World 2018” pada 11 September di Roma, Italia. Di dalam laporannya, FAO menyebut jumlah penduduk bumi yang mengalami kelaparan mencapai 821 juta orang pada 2017 atau meningkat 37 juta orang dalam tiga tahun terakhir. Pada konteks inilah, sejatinya konflik antara Bulog dan Kementerian Perdagangan berkaitan dengan rencana mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam tak perlu terjadi apabila pemerintah bersungguh-sungguh memastikan kedaulatan pangan di republik selama empat tahun terakhir.

Tak hanya itu, FAO juga mencatat situasi kelaparan dan maraknya balita yang mengalami stunting terburuk tersebar di Amerika Selatan dan Benua Afrika dalam 12 tahun terakhir. Sementara di Asia justru mengalami perlambatan secara signifikan.

Tingginya angka malnutrisi dan kelaparan memicu lahirnya jutaan generasi kerdil (stunting) di pelbagai belahan bumi. FAO (2018) menyebut jumlah balita (bayi berusia di bawah lima tahun) yang dikategorikan kerdil mencapai 151 juta pada 2017. Sementara 50 juta balita lainnya terindikasi berkembang dengan kekurangan tenaga (wasting). Jika tak diatasi, situasi ini bisa berakibat pada besarnya risiko kematian lebih dari 150 juta balita akibat kondisi kesehatan dan perkembangan yang sangat buruk. Inilah tragedi terburuk di dalam sejarah peradaban umat manusia.

Seperti diketahui, stunting merupakan masalah kurang gizi kronis akibat asupan gizi yang kurang sehingga tinggi badan bayi di bawah standar menurut usianya/pendek. Di Indonesia, penderita stunting sebanyak 9 juta dari 23 juta balita. Dari jumlah tersebut, Kementerian Kesehatan (2017) menemui fakta bahwa prevalensi penderita stunting terbesar berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (40,3%). Sementara Bali merupakan provinsi dengan penderita stunting terendah (19,1%). Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya tengah terjadi di balik membengkaknya jumlah penduduk bumi yang kelaparan?

Tak dimungkiri apabila perilaku eksploitatif manusia terhadap sumber daya alam telah berakibat pada besarnya risiko ketidakpastian iklim yang berujung pada eskalasi bencana ekologis dan krisis pangan. Dalam pada itu, FAO (2018) mencatat, lebih dari 213 bencana ekologis, di antaranya longsor, banjir bandang, dan badai, terjadi antara 1990-2016. Imbasnya, 80% lahan pertanian dilaporkan dalam kondisi rusak berat dan mengalami gagal panen.

Lebih dari itu, antara 2015-2017, telah terjadi kenaikan jumlah warga yang menderita kelaparan di 51 negara, yakni dari 80 juta orang menjadi 124 juta orang. Ironisnya, meluasnya bencana kelaparan justru kian diperburuk oleh konflik berlatar belakang perebutan sumber daya alam dan politik pangan yang dioperasikan oleh pemerintah. Salah satunya melalui kebijakan impor pangan. Hal ini marak terjadi di Benua Afrika, di antaranya di Somalia, Burundi, Chad, Sudan, Sudan Selatan, Kamerun, Guinea-Bissau, Ethiopia, dan Republik Demokratik Kongo. Hal serupa juga terjadi di sejumlah negara di Asia, seperti Afghanistan, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Yaman. Bagaimana dengan Indonesia?

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 2.341 bencana telah terjadi selama 2017. Rincian kejadian bencana tersebut terdiri dari banjir (787), puting beliung (716), tanah longsor (614), kebakaran hutan dan lahan (96), banjir dan tanah longsor (76), kekeringan (19), gempa bumi (20), gelombang pasang dan abrasi (11), dan letusan gunung api (2). Menariknya, 99% di antaranya adalah bencana hidrometeorologi, yaitu bencana yang dipengaruhi oleh cuaca dan aliran permukaan.

Dampak Kerugian

Tingginya frekuensi bencana ekologis yang dipengaruhi oleh cuaca ekstrem sepanjang 2017 berakibat pada banyaknya korban jiwa dan kerugian material. Di dalam laporan BNPB (2017), disebutkan bahwa sedikitnya 377 orang meninggal dunia dan sebagiannya dinyatakan hilang. Sementara itu, 1.005 orang lainnya menderita luka ringan dan berat, serta 3.49 juta orang lainnya harus tinggal di tenda-tenda pengungsian.

Kerugian material akibat bencana ekologis sebagaimana dilaporkan oleh BNPB (2017) juga dialami oleh warga dalam bentuk 47.442 unit rumah rusak (10.457 rusak berat, 10.470 rusak sedang, dan 26.515 rusak ringan), 365.194 unit rumah terendam banjir, dan 2.083 unit bangunan fasilitas umum rusak (1.272 unit fasilitas pendidikan, 698 unit fasilitas peribadatan, dan 113 fasilitas kesehatan).

Seperti dinyatakan oleh FAO (2018), BNPB juga mendapati fakta bahwa banjir dan tanah longsor merupakan bencana ekologis yang paling mematikan. Tidak hanya merenggut korban jiwa dan menimbulkan kerugian material, tetapi juga menghabisi jutaan hektar lahan pertanian produktif. Di Bali, misalnya, hujan dengan intensitas tinggi berujung pada terjadinya bencana tanah longsor Gunung Batur di Kabupaten Bangli. Akibatnya, sebanyak 7 orang dinyatakan meninggal dunia dan 135,57 hektar lahan pertanian produktif mengalami kerusakan.

Setali tiga uang, bencana kekeringan yang melanda Provinsi Jawa Barat berimbas pada 139 hektare (ha) lahan pertanian di 8 kabupaten mengalami gagal panen pada 2017. Dari jumlah tersebut, sebanyak 135 ha lahan berada di Kabupaten Indramayu dan sisanya tersebar di Karawang, Kuningan, Sukabumi, Banjar, Ciamis, Cianjur, dan Tasikmalaya. Belum lagi lahan pertanian seluas 40.000 ha yang terendam banjir sepanjang 2017 (Kementerian Pertanian, Januari 2018).

Lantas, bagaimana situasi yang dihadapi oleh nelayan di laut? Situasi yang dihadapi oleh nelayan tak jauh berbeda dengan kaum tani. Keberpihakan pemerintah yang amat minim berakibat pada tingginya angka kematian dan hilangnya nelayan di laut. Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Agustus 2018) mencatat, sejak 2014-Agustus 2018, jumlah nelayan yang dinyatakan hilang dan meninggal dunia sebanyak 1.250 jiwa.

Saat ini sejumlah spesies ikan juga sudah langka. Pada konteks inilah, perilaku eksploitatif manusia perlu dikoreksi agar krisis pangan tak berkepanjangan. Pertanyaannya, apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi bencana kelaparan tersebut?

Peran Negara

Publik mafhum bahwa Kesepakatan Paris yang dihasilkan pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 2015 tak banyak menghadirkan perubahan. Terlebih setiap negara justru mencari peluang kerja sama yang bertolak belakang dengan spirit kolektif untuk mengatasi kian memburuknya dampak perubahan iklim. Di sinilah pentingnya negara memainkan peran yang lebih strategis. Bagaimana caranya?

Pertama, risiko gagal panen akibat banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang dialami oleh petani dan ancaman hilangnya jiwa di laut yang dihadapi oleh nelayan tak perlu terjadi apabila pemerintah memastikan setiap petani dan nelayan memiliki perlindungan profesi yang memadai, mulai dari jaminan keselamatan dan keamanan berusaha, tersedianya dana cadangan risiko usaha, adanya informasi cuaca dan peta wilayah penangkapan ikan yang bisa digunakan secara mudah oleh petani dan nelayan untuk melengkapi pengetahuan tradisional yang mereka miliki saat bertani dan melaut, serta melakukan hilirisasi produk pertanian dan perikanan di tingkat petani dan nelayan agar penghasilan yang mereka peroleh jauh lebih signifikan.

Kedua, sudah saatnya pemerintah memberikan perlindungan ekstra dan insentif terhadap pelbagai inovasi pangan lokal. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi kelangkaan pasokan yang berpotensi melonjakkan harga pangan. Lebih dari itu, juga bisa mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap produk impor pangan.

Ketiga, sudah seharusnya pemerintah melakukan evaluasi atas pola pembangunan yang mereka lakukan, di antaranya adalah menghentikan praktik alih fungsi lahan dan perairan yang berimplikasi besar terhadap tergerusnya lahan pertanian produktif dan wilayah tangkapan ikan. Kenapa demikian? Karena sejatinya yang dibutuhkan oleh republik adalah berdaulatnya petani di sawah dan nelayan di samudera. Dengan jalan inilah, niscaya kelaparan dan maraknya balita penderita stunting bisa teratasi.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5368 seconds (0.1#10.140)