Quo Vadis Perlindungan Nelayan

Jum'at, 21 September 2018 - 14:07 WIB
Quo Vadis Perlindungan...
Quo Vadis Perlindungan Nelayan
A A A
Witjaksono
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia

PENELITIAN Mubyarto pada 1984 yang mengungkapkan bahwa nelayan Indonesia adalah kelompok termiskin dari kelompok miskin lainnya (the poorest of the poor) belum mampu dijawab oleh pemerintah dari masa ke masa. Hal ini dicerminkan dengan masih rendahnya pendapatan profesi nelayan yang berada di bawah upah minimum kabupaten/kota, terlebih nelayan yang berstatus sebagai nelayan buruh atau anak buah kapal (ABK).

Sementara itu, kemiskinan yang menjebak nelayan bukanlah sesuatu yang ahistoris. Terlepas dari penyebabnya adalah struktural atau kultural, kemiskinan nelayan seakan-akan buah dari kutukan sumber daya alam (natural resouce curse). Natural resouce curse adalah fenomena di mana wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban yang pada akhirnya menyebabkan penduduknya hidup dalam kemiskinan (Fauzi, 2005).

Pemerintah bukan tidak memiliki keberpihakan untuk menuntaskan permasalahan kenelayanan ini, karena berbagai kebijakan dan program sejak Orde Baru hingga saat ini telah dikeluarkan. Namun permasalahannya, kebijakan pemerintah tersebut “terkadang” merugikan nelayan itu sendiri, atau bahkan kebijakan yang ada terbentur kepentingan besar yang harus menggerus kepentingan nelayan. Kebijakan reklamasi misalnya, adalah kontestasi antara kepentingan nelayan dengan pengusaha yang bergandengan dengan penguasa.

Akankah isu permasalahan kenelayanan menjadi penting menjelang perhelatan akbar lima tahunan, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif (pilpres dan pileg)?

Korban Kebijakan
Sebagai masyarakat miskin dari kelompok masyarakat termiskin, nelayan tidak mempunyai bargaining position, bahkan mereka kerap dijadikan tumbal kebijakan oleh kelompok lain, termasuk oleh pemerintah sendiri yang seharusnya melindunginya.

Sebagaimana halnya kebijakan reklamasi yang disebutkan di atas, adalah salah satu momok yang menakutkan bagi nelayan kecil yang hanya beroperasi di sekitar perairan pantai. Bukan mereka tidak ingin pergi melaut lebih jauh, tapi keterbatasan armada tangkap dan teknologi penangkapan ikan yang membatasi mereka saat ini.

Sementara itu, kebijakan penyelamatan sumber daya beberapa tahun ini kurang memperhatikan inklusivitas perikanan yang menjadi ruh dalam mewujudkan pembangunan perikanan berkelanjutan. Hal ini disebabkan pembangunan perikanan berkelanjutan tidak hanya melulu memperhatikan bagaimana ikan dijaga (ekologi an sich), tetapi juga pemerintah harus mampu menjaga perut nelayan dan kesejahteraannya (kepentingan sosial dan ekonomi).

Beberapa kebijakan yang penuh kontroversial antara lain terbitnya pelarangan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), yang kemudian dicabut dengan Permen KP Nomor 71/Permen-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPPNRI. Bukan tidak setuju terhadap kebijakan tersebut, tetapi keluarnya kebijakan tersebut tidak memperhatikan keberlanjutan penghidupan masyarakat nelayan.

Dengan kata lain, kebijakan pro-ekologi harus disertai dengan mitigasi yang cerdas sehingga mampu mewujudkan keseimbangan yang dicita-citakan oleh para pencetus teori pembangunan berkelanjutan, yaitu keadilan sosial, ekonomi, dan ekologi. Akibatnya, kebijakan pelarangan pukat hela dan pukat tarik menjadikan nelayan sebagai korban, di mana beberapa nelayan arad di wilayah pantai utara Jawa menjadi pesakitan oleh aparat, yang tidak mau “mematuhi” surat edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut.

Hal ini sangat beralasan, tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh Polair sudah sesuai Permen KP, di mana penangguhannya hanya dengan surat edaran menteri dan surat edaran sekretaris jenderal, yang bukan merupakan keputusan hukum, alias hanya administrasi yang dipatuhi oleh Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP-Kementerian Kelautan dan Perikanan).

Sementara itu, kebijakan penyelamatan ekonomi nelayan dengan penggantian alat tangkap ramah lingkungan, terlalu terlambat untuk dilaksanakan. Hal ini sangat wajar karena pemerintah yang dalam hal ini KKP, mengabaikan regulatory impact assesment yang semestinya menghasilkan kebijakan mitigasi penyelamatan ekonomi nelayan dan penyelesaian konflik vertikal antara nelayan dan pemerintah. Dengan demikian, kebijakan yang kurang memperhatikan kehati-hatian hanya akan menciptakan bencana kebijakan (policy disaster).

Menantikan Perlindungan Nelayan
Pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo memiliki keberpihakan yang kuat terhadap nelayan. Hal ini dicerminkan dengan diterbitkannya UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Undang-undang yang ditandatangani Presiden pada 14 April 2016 ini merupakan upaya pemerintah dalam melindungi nelayan yang sangat bergantung pada sumber daya ikan, kondisi lingkungan, sarana dan prasarana, kepastian usaha, akses permodalan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.

Sementara itu, UU ini juga memuat strategi perlindungan yang meliputi: (a) penyediaan prasarana usaha perikanan; (b) kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan; (c) jaminan kepastian usaha; (d) jaminan risiko penangkapan ikan; (e) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; (f) pengendalian impor komoditas perikanan; (g) jaminan keamanan dan keselamatan; dan (h) fasilitasi dan bantuan hukum.

Adapun strategi pemberdayaan nelayan meliputi: (a) pendidikan dan pelatihan; (b) penyuluhan dan pendampingan; (c) kemitraan usaha; (d) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan (e) penguatan kelembagaan. Dengan demikian, pemerintahan Jokowi sudah sangat serius dalam menyelesaikan permasalahan kenelayanan yang sangat kompleks ini.

Oleh KKP, beberapa amanat UU Nomor 7 Tahun 2016 sudah dilaksanakan, seperti bantuan pemerintah untuk sarana dan prasarana penangkapan ikan serta jaminan asuransi nelayan. Langkah berikutnya adalah bagaimana amanat undang-undang tersebut diterapkan berkala dan konsisten dengan penuh keadilan dengan cara pemerataan untuk nelayan di seluruh Indonesia.

Penutup
Dalam sistem politik, nelayan bukanlah aktor yang dapat diperhitungkan. Selama ini mereka hanya dijadikan sebagai objek dalam melakukan mobilisasi massa.

Masyarakat nelayan tidak mampu melawan kebijakan pembangunan, bahkan dengan kelemahannya tersebut mereka kadang menjadi tumbal dari pembangunan yang akan atau yang sedang dijalankan. Untuk itu, di tengah rendahnya tawar-menawar kepentingan masyarakat nelayan dengan kelompok masyarakat lainnya, terlebih dengan pemerintah, maka diperlukan pemikiran bersama dalam menciptakan kekuatan politik nelayan.

Dengan demikian, terciptanya penguatan politik nelayan di masa yang akan datang harus segera dilakukan. Penguatan politik nelayan harus memperhitungkan dimensi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya.

Terciptanya kekuatan politik di kalangan masyarakat nelayan merupakan jalan keluar dari kungkungan marginalisasi dalam sistem politik dan sistem sosial yang berlangsung. Oleh karena itu, kehadiran serikat atau jaringan organisasi nelayan yang solid merupakan prasyarat untuk menciptakan masyarakat nelayan yang tangguh sehingga mempunyai daya tawar dengan kelompok lain, termasuk dengan pemerintah.

Permasalahan atau kondisi yang dicerminkan di atas merupakan secuil dari kompleksitas permasalahan yang kerap menimpa masyarakat nelayan. Seiring dengan menjelang musim kampanye pilpres dan Pileg 2019.

Akankah isu-isu peningkatan kesejahteraan nelayan sebagai pahlawan pangan ikan, menjadi agenda para kandidat? Wallau’alam.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0683 seconds (0.1#10.140)