Kepala Daerah Tak Netral di Pilpres Dinilai Menyalahi Etika
A
A
A
JAKARTA - Dukungan sejumlah kepala daerah terhadap calon presiden petahana dinilai menyalahi etika. Baru-baru ini, kubu Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan adanya dukungan dari tujuh kepala daerah di Sumatera Barat (Sumbar).
Pengamat politik Manilka Research Herzaky M Putra mengatakan, kepala daerah selaku pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, sebaiknya fokus melayani masyarakat, bukan sibuk menggelar dukungan ke calon presiden manapun di Pilpres 2019.
Dalam konteks administrasi pemerintahan, kepala daerah wajib mendukung program-program pemerintah pusat. Kepala daerah juga wajib patuh terhadap arahan Presiden. Hanya, perlu dibedakan dukungan kepada program pemerintah yang dibuat Presiden dan dukungan kepada calon presiden yang kebetulan Presiden saat ini.
"Secara etika, tidak pantas ketika sedang tidak cuti, kepala daerah menyatakan dukungan ke calon presiden tertentu. Ini sudah masuk ranah politik praktis," kata Zaky kepada SINDOnews, Rabu (19/9/2018).
Zaky mengatakan, jika ingin menyatakan dukungan ke salah satu calon presiden, kepala daerah harus gunakan mekanisme yang ada. Lakukan ketika menjadi juru kampanye, di masa kampanye, dan sesuai dengan aturan kepala daerah harus cuti saat berkampanye.
(Baca juga: Dukungan Kepala Daerah di Sumbar Jadi Angin Segar untuk Jokowi) Zaky menilai, kondisi seperti ini tidak kondusif untuk demokrasi kita. Dengan memberikan dukungan kepada salah satu capres di luar masa cutinya, kepala daerah memberikan contoh dan mendorong aparatur sipil negara yang berada di bawah kendalinya untuk bersikap tidak netral.
Seharusnya, kepala daerah yang menjalankan fungsi kontrol dengan menjaga ASN di bawahnya agar tetap netral. Bukan malah memberikan contoh yang tidak baik.
"Jokowi sebaiknya menegur kepala daerah yang menyampaikan dukungan kepadanya dan meminta kepala daerah fokus kerja, kerja, kerja untuk rakyat sesuai dengan slogan yang diusungnya. Jika ini dilakukan, rakyat malah mengapresiasi Jokowi yang mencegah kemungkinan terjadinya abuse of power," kata Zaky.
"Sedangkan jika Jokowi mendiamkan saja, rakyat bisa berpikir kalau memang ini maunya Jokowi. Persepsi publik bisa berbalik negatif ke Jokowi," imbuh dia.
Pengamat politik Manilka Research Herzaky M Putra mengatakan, kepala daerah selaku pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, sebaiknya fokus melayani masyarakat, bukan sibuk menggelar dukungan ke calon presiden manapun di Pilpres 2019.
Dalam konteks administrasi pemerintahan, kepala daerah wajib mendukung program-program pemerintah pusat. Kepala daerah juga wajib patuh terhadap arahan Presiden. Hanya, perlu dibedakan dukungan kepada program pemerintah yang dibuat Presiden dan dukungan kepada calon presiden yang kebetulan Presiden saat ini.
"Secara etika, tidak pantas ketika sedang tidak cuti, kepala daerah menyatakan dukungan ke calon presiden tertentu. Ini sudah masuk ranah politik praktis," kata Zaky kepada SINDOnews, Rabu (19/9/2018).
Zaky mengatakan, jika ingin menyatakan dukungan ke salah satu calon presiden, kepala daerah harus gunakan mekanisme yang ada. Lakukan ketika menjadi juru kampanye, di masa kampanye, dan sesuai dengan aturan kepala daerah harus cuti saat berkampanye.
(Baca juga: Dukungan Kepala Daerah di Sumbar Jadi Angin Segar untuk Jokowi) Zaky menilai, kondisi seperti ini tidak kondusif untuk demokrasi kita. Dengan memberikan dukungan kepada salah satu capres di luar masa cutinya, kepala daerah memberikan contoh dan mendorong aparatur sipil negara yang berada di bawah kendalinya untuk bersikap tidak netral.
Seharusnya, kepala daerah yang menjalankan fungsi kontrol dengan menjaga ASN di bawahnya agar tetap netral. Bukan malah memberikan contoh yang tidak baik.
"Jokowi sebaiknya menegur kepala daerah yang menyampaikan dukungan kepadanya dan meminta kepala daerah fokus kerja, kerja, kerja untuk rakyat sesuai dengan slogan yang diusungnya. Jika ini dilakukan, rakyat malah mengapresiasi Jokowi yang mencegah kemungkinan terjadinya abuse of power," kata Zaky.
"Sedangkan jika Jokowi mendiamkan saja, rakyat bisa berpikir kalau memang ini maunya Jokowi. Persepsi publik bisa berbalik negatif ke Jokowi," imbuh dia.
(maf)