Menjadi Perempuan Ibu Bangsa

Rabu, 19 September 2018 - 02:21 WIB
Menjadi Perempuan Ibu Bangsa
Menjadi Perempuan Ibu Bangsa
A A A
Eva K Sundari

Anggota Badan Sosialisasi MPR dari Fraksi PDIP, Ketua Kaukus Pancasila DPR

“Jadilah perempuan ibu bangsa!”

Demikian seruan Presiden Joko Widodo di acara Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia sekaligus pem­buka­an 35th General Assembly Inter­national Council of Women di Yogyakarta pada 14 September 2018. Sebagai ilustrasi, presi­den mencontohkan kinerja yang signifikan dari para atlet perempuan dalam menyum­bang perolehan medali emas bagi Indonesia.

Ibu bangsa menjadi konsep yang menarik untuk dielabo-rasi, apalagi jika dikaitkan de­ngan konsep yang lebih dulu kita kenal selama ini yaitu “bapak bangsa”. Sudah pasti Presiden tidak sedang mem­bahas masa lalu dengan pe­maknaan kedua­nya sebagai “founding fathers and mothers”. Presiden sedang bicara tentang visi ke depan, harapan bagi peran perempuan untuk masa depan yang harus dimulai dari masa sekarang.

Selain menyebut kontribusi para perempuan di sektor publik di bidang olahraga, politik, ekonomi, saat melawan penjajahan, Presiden juga mengurai peran perempuan kedua, yaitu di sektor do­mes­tik. Para ibu diharapkan men­didik anak-anak agar menjadi generasi emas, yaitu generasi muda yang produktif, kompe­titif, kreatif, dan mampu mem­bawa kemajuan bagi bangsa dan dunia.

Soekarno pada buku Sarinah (1947: 43) menyebut peran perempuan sebagai ibu yang melahirkan peradaban dunia. Para perempuanlah yang memulai kegiatan ber­cocok tanam di saat para lelaki masih berburu. Dengan ber­cocok tanam, masyarakat men­jadi hidup menetap sehingga memungkinkan berkem­bang­nya berbagai ilmu penge­tahu­an mulai ilmu hayati, sosial, hukum, politik, dll. Ibu juga di­sebut sebagai sumber ilmu dan perpustakaan pertama bagi anak-anak.

Dalam pidato di Yogyakarta Presiden Jokowi juga mengi­mbau perempuan tidak saja mengasuh dan mendidik anak-anaknya, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi-ekonomi rumah tangga mereka demi kesejahteraan bangsa. Presi­den dengan tegas mem­bong­kar sekat/tembok domestik vs publik, yang sering menyubor­dinasi perempuan.

Pemikiran yang demikian sejalan dengan Soekarno yang merumuskan peran perem­puan dalam per­juangan bang­sa, yaitu selain memastikan men­jaga kualitas ke­luarga untuk menjadi tiang bangsa, perempuan juga harus ber­kontribusi untuk publik yang jika tidak maka akan ada opportunity lost (kehilangan ke­sem­­pat­­an) dalam ke­maju­an bangsa.

Pandangan dua presiden ini rele­van dengan kon­disi saat ini, di mana pertum­buh­an ek­o­nomi bisa dipacu lebih ting­gi dengan me­­ning­katkan parti­sipasi perempuan di dunia kerja. Dari simu­lasi data eko­nomi, dike­tahui bahwa per­tumbuhan ekonomi yang ren­dah di Jepang dan Eropa mau­pun di per­eko­nomian di ber­bagai region lain, termasuk Indonesia, dise­bab­kan masih rendahnya angka partisipasi peran ekono­mi perempuan.

Peran perempuan yang ketiga juga dijelaskan Presiden, yaitu terkait peran perempuan dalam menjaga alam dan lingkungan hidup. Peran ini disebutnya sebagai “ibu bumi”, yaitu perempuan diharapkan menjadi ibu bagi alam, ter­utama dengan bertanam, menumbuhkannya, merawat­nya, serta menjaga daya du­kung lingkungan agar harmo­nis dengan manusia, dan se­baliknya.

Konsep ibu bumi harus di­kaitkan dengan “bapa angkasa” yang merupakan pemahaman dari filosofi Jawa yang sum­ber­nya adalah ajaran yang disebut Memayu Hayuning Bhawana. Ajaran Jawa ini sepadan dengan doktrin hablun min al-alam dalam Islam yang artinya menyelamatkan dan menye­jah­terakan alam semesta raya.

Seperti bumi, ibu dengan rahimnya adalah tempat ja­bang bayi di­tanam, dikuatkan, sumber ma­kanan bayi dalam kandungan, dilahirkan dan ketika manusia mati kembali ditanam ke bumi. Pasang­an­nya, bapa angkasa di­ibaratkan udara tempat oksi­gen, yang memberi nafas ma­nusia. Arti­nya, meski bumi memberi sum­ber makanan untuk tumbuh berkembang, te­tapi tanpa udara (O2) ke­hidupan manusia dan makhluk lain tidak bisa di­ciptakan, apalagi dilanjutkan.

Ibu bumi-bapa angkasa ada­lah konsep tunggal, tidak bisa dipisahkan. Pemahaman per­tama adalah dikaitkan dengan konsep penciptaan manusia, yaitu manusia ada karena per­temuan antara darah merah perempuan dan darah putih laki-laki. Konsep ini kelak di­wujudkan oleh nenek moyang kita menjadi warna umbul-umbul yang disebut gula kelapa yaitu merah putih.

Kedua, pemaknaan kedua terkait relasi kuasa yang laki-laki dan perempuan yang ber­kesetaraan. Soekarno di dalam buku tersebut (Bab VI) meng­gambarkannya se­ba­gai beri­kut: “Tidak mung­kin laki-laki ada tanpa perem­puan dan demi­kian pula sebalik­nya.” Se­hingga antara laki dan pe­rem­puan sa­ling mem­butuh­kan, meleng­kapi dan harus be­kerja sama (ber­gotong-royong) demi ke­pen­ting­an bangsa.

Lebih jauh Soekarno juga menjabarkan saling keter­gan­tungan antara keduanya, “Tidak bisa kau kaum laki maju sendirian tanpa ke­majuan kaum perem­puan.” Jadi, laki dan perempuan tidak bisa ber­ada dalam kompe­tisi yang sa­ling menia­da­kan karena ke­dua­nya saling mem­butuh­kan, saling melengkapi.

Kerja sama atau gotong-royong dalam ke­setaraan antara laki-laki dan perem­puan ini disimbolkan dengan dua rantai bulat dan persegi dari sila kedua Pancasila yang saling bersam­bung tiada putus (BK, Kursus Pancasila tahun 1958). Soekarno meng­iba­ratkan bah­wa keduanya sa­ling meleng­kapi demi menjadi dua sayap burung Garuda agar bisa ter­bang tinggi di angkasa demi mewujudkan cita-cita Proklamasi.

Kesetaraan memang kon­sensus suami-istri, tapi harus bisa pula difasilitasi negara agar laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama dan berbagi peran baik peran reproduksi, pro­duksi, maupun menjaga ling­kungan demi kepentingan bangsa. Men­jadi “ibu bangsa” dalam visi Presiden, oleh karenanya, ada­lah perempuan yang mem­ber­dayakan diri un­tuk mengejar ketertinggalan sehingga men­jadi sayap yang sama kuat dengan sayap “bapak bangsa” agar Garuda kuat terbang tinggi di angkasa.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7371 seconds (0.1#10.140)