Menjadi Perempuan Ibu Bangsa
A
A
A
Eva K Sundari
Anggota Badan Sosialisasi MPR dari Fraksi PDIP, Ketua Kaukus Pancasila DPR
“Jadilah perempuan ibu bangsa!”
Demikian seruan Presiden Joko Widodo di acara Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia sekaligus pembukaan 35th General Assembly International Council of Women di Yogyakarta pada 14 September 2018. Sebagai ilustrasi, presiden mencontohkan kinerja yang signifikan dari para atlet perempuan dalam menyumbang perolehan medali emas bagi Indonesia.
Ibu bangsa menjadi konsep yang menarik untuk dielabo-rasi, apalagi jika dikaitkan dengan konsep yang lebih dulu kita kenal selama ini yaitu “bapak bangsa”. Sudah pasti Presiden tidak sedang membahas masa lalu dengan pemaknaan keduanya sebagai “founding fathers and mothers”. Presiden sedang bicara tentang visi ke depan, harapan bagi peran perempuan untuk masa depan yang harus dimulai dari masa sekarang.
Selain menyebut kontribusi para perempuan di sektor publik di bidang olahraga, politik, ekonomi, saat melawan penjajahan, Presiden juga mengurai peran perempuan kedua, yaitu di sektor domestik. Para ibu diharapkan mendidik anak-anak agar menjadi generasi emas, yaitu generasi muda yang produktif, kompetitif, kreatif, dan mampu membawa kemajuan bagi bangsa dan dunia.
Soekarno pada buku Sarinah (1947: 43) menyebut peran perempuan sebagai ibu yang melahirkan peradaban dunia. Para perempuanlah yang memulai kegiatan bercocok tanam di saat para lelaki masih berburu. Dengan bercocok tanam, masyarakat menjadi hidup menetap sehingga memungkinkan berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan mulai ilmu hayati, sosial, hukum, politik, dll. Ibu juga disebut sebagai sumber ilmu dan perpustakaan pertama bagi anak-anak.
Dalam pidato di Yogyakarta Presiden Jokowi juga mengimbau perempuan tidak saja mengasuh dan mendidik anak-anaknya, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi-ekonomi rumah tangga mereka demi kesejahteraan bangsa. Presiden dengan tegas membongkar sekat/tembok domestik vs publik, yang sering menyubordinasi perempuan.
Pemikiran yang demikian sejalan dengan Soekarno yang merumuskan peran perempuan dalam perjuangan bangsa, yaitu selain memastikan menjaga kualitas keluarga untuk menjadi tiang bangsa, perempuan juga harus berkontribusi untuk publik yang jika tidak maka akan ada opportunity lost (kehilangan kesempatan) dalam kemajuan bangsa.
Pandangan dua presiden ini relevan dengan kondisi saat ini, di mana pertumbuhan ekonomi bisa dipacu lebih tinggi dengan meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja. Dari simulasi data ekonomi, diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi yang rendah di Jepang dan Eropa maupun di perekonomian di berbagai region lain, termasuk Indonesia, disebabkan masih rendahnya angka partisipasi peran ekonomi perempuan.
Peran perempuan yang ketiga juga dijelaskan Presiden, yaitu terkait peran perempuan dalam menjaga alam dan lingkungan hidup. Peran ini disebutnya sebagai “ibu bumi”, yaitu perempuan diharapkan menjadi ibu bagi alam, terutama dengan bertanam, menumbuhkannya, merawatnya, serta menjaga daya dukung lingkungan agar harmonis dengan manusia, dan sebaliknya.
Konsep ibu bumi harus dikaitkan dengan “bapa angkasa” yang merupakan pemahaman dari filosofi Jawa yang sumbernya adalah ajaran yang disebut Memayu Hayuning Bhawana. Ajaran Jawa ini sepadan dengan doktrin hablun min al-alam dalam Islam yang artinya menyelamatkan dan menyejahterakan alam semesta raya.
Seperti bumi, ibu dengan rahimnya adalah tempat jabang bayi ditanam, dikuatkan, sumber makanan bayi dalam kandungan, dilahirkan dan ketika manusia mati kembali ditanam ke bumi. Pasangannya, bapa angkasa diibaratkan udara tempat oksigen, yang memberi nafas manusia. Artinya, meski bumi memberi sumber makanan untuk tumbuh berkembang, tetapi tanpa udara (O2) kehidupan manusia dan makhluk lain tidak bisa diciptakan, apalagi dilanjutkan.
Ibu bumi-bapa angkasa adalah konsep tunggal, tidak bisa dipisahkan. Pemahaman pertama adalah dikaitkan dengan konsep penciptaan manusia, yaitu manusia ada karena pertemuan antara darah merah perempuan dan darah putih laki-laki. Konsep ini kelak diwujudkan oleh nenek moyang kita menjadi warna umbul-umbul yang disebut gula kelapa yaitu merah putih.
Kedua, pemaknaan kedua terkait relasi kuasa yang laki-laki dan perempuan yang berkesetaraan. Soekarno di dalam buku tersebut (Bab VI) menggambarkannya sebagai berikut: “Tidak mungkin laki-laki ada tanpa perempuan dan demikian pula sebaliknya.” Sehingga antara laki dan perempuan saling membutuhkan, melengkapi dan harus bekerja sama (bergotong-royong) demi kepentingan bangsa.
Lebih jauh Soekarno juga menjabarkan saling ketergantungan antara keduanya, “Tidak bisa kau kaum laki maju sendirian tanpa kemajuan kaum perempuan.” Jadi, laki dan perempuan tidak bisa berada dalam kompetisi yang saling meniadakan karena keduanya saling membutuhkan, saling melengkapi.
Kerja sama atau gotong-royong dalam kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini disimbolkan dengan dua rantai bulat dan persegi dari sila kedua Pancasila yang saling bersambung tiada putus (BK, Kursus Pancasila tahun 1958). Soekarno mengibaratkan bahwa keduanya saling melengkapi demi menjadi dua sayap burung Garuda agar bisa terbang tinggi di angkasa demi mewujudkan cita-cita Proklamasi.
Kesetaraan memang konsensus suami-istri, tapi harus bisa pula difasilitasi negara agar laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama dan berbagi peran baik peran reproduksi, produksi, maupun menjaga lingkungan demi kepentingan bangsa. Menjadi “ibu bangsa” dalam visi Presiden, oleh karenanya, adalah perempuan yang memberdayakan diri untuk mengejar ketertinggalan sehingga menjadi sayap yang sama kuat dengan sayap “bapak bangsa” agar Garuda kuat terbang tinggi di angkasa.
Anggota Badan Sosialisasi MPR dari Fraksi PDIP, Ketua Kaukus Pancasila DPR
“Jadilah perempuan ibu bangsa!”
Demikian seruan Presiden Joko Widodo di acara Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia sekaligus pembukaan 35th General Assembly International Council of Women di Yogyakarta pada 14 September 2018. Sebagai ilustrasi, presiden mencontohkan kinerja yang signifikan dari para atlet perempuan dalam menyumbang perolehan medali emas bagi Indonesia.
Ibu bangsa menjadi konsep yang menarik untuk dielabo-rasi, apalagi jika dikaitkan dengan konsep yang lebih dulu kita kenal selama ini yaitu “bapak bangsa”. Sudah pasti Presiden tidak sedang membahas masa lalu dengan pemaknaan keduanya sebagai “founding fathers and mothers”. Presiden sedang bicara tentang visi ke depan, harapan bagi peran perempuan untuk masa depan yang harus dimulai dari masa sekarang.
Selain menyebut kontribusi para perempuan di sektor publik di bidang olahraga, politik, ekonomi, saat melawan penjajahan, Presiden juga mengurai peran perempuan kedua, yaitu di sektor domestik. Para ibu diharapkan mendidik anak-anak agar menjadi generasi emas, yaitu generasi muda yang produktif, kompetitif, kreatif, dan mampu membawa kemajuan bagi bangsa dan dunia.
Soekarno pada buku Sarinah (1947: 43) menyebut peran perempuan sebagai ibu yang melahirkan peradaban dunia. Para perempuanlah yang memulai kegiatan bercocok tanam di saat para lelaki masih berburu. Dengan bercocok tanam, masyarakat menjadi hidup menetap sehingga memungkinkan berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan mulai ilmu hayati, sosial, hukum, politik, dll. Ibu juga disebut sebagai sumber ilmu dan perpustakaan pertama bagi anak-anak.
Dalam pidato di Yogyakarta Presiden Jokowi juga mengimbau perempuan tidak saja mengasuh dan mendidik anak-anaknya, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi-ekonomi rumah tangga mereka demi kesejahteraan bangsa. Presiden dengan tegas membongkar sekat/tembok domestik vs publik, yang sering menyubordinasi perempuan.
Pemikiran yang demikian sejalan dengan Soekarno yang merumuskan peran perempuan dalam perjuangan bangsa, yaitu selain memastikan menjaga kualitas keluarga untuk menjadi tiang bangsa, perempuan juga harus berkontribusi untuk publik yang jika tidak maka akan ada opportunity lost (kehilangan kesempatan) dalam kemajuan bangsa.
Pandangan dua presiden ini relevan dengan kondisi saat ini, di mana pertumbuhan ekonomi bisa dipacu lebih tinggi dengan meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja. Dari simulasi data ekonomi, diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi yang rendah di Jepang dan Eropa maupun di perekonomian di berbagai region lain, termasuk Indonesia, disebabkan masih rendahnya angka partisipasi peran ekonomi perempuan.
Peran perempuan yang ketiga juga dijelaskan Presiden, yaitu terkait peran perempuan dalam menjaga alam dan lingkungan hidup. Peran ini disebutnya sebagai “ibu bumi”, yaitu perempuan diharapkan menjadi ibu bagi alam, terutama dengan bertanam, menumbuhkannya, merawatnya, serta menjaga daya dukung lingkungan agar harmonis dengan manusia, dan sebaliknya.
Konsep ibu bumi harus dikaitkan dengan “bapa angkasa” yang merupakan pemahaman dari filosofi Jawa yang sumbernya adalah ajaran yang disebut Memayu Hayuning Bhawana. Ajaran Jawa ini sepadan dengan doktrin hablun min al-alam dalam Islam yang artinya menyelamatkan dan menyejahterakan alam semesta raya.
Seperti bumi, ibu dengan rahimnya adalah tempat jabang bayi ditanam, dikuatkan, sumber makanan bayi dalam kandungan, dilahirkan dan ketika manusia mati kembali ditanam ke bumi. Pasangannya, bapa angkasa diibaratkan udara tempat oksigen, yang memberi nafas manusia. Artinya, meski bumi memberi sumber makanan untuk tumbuh berkembang, tetapi tanpa udara (O2) kehidupan manusia dan makhluk lain tidak bisa diciptakan, apalagi dilanjutkan.
Ibu bumi-bapa angkasa adalah konsep tunggal, tidak bisa dipisahkan. Pemahaman pertama adalah dikaitkan dengan konsep penciptaan manusia, yaitu manusia ada karena pertemuan antara darah merah perempuan dan darah putih laki-laki. Konsep ini kelak diwujudkan oleh nenek moyang kita menjadi warna umbul-umbul yang disebut gula kelapa yaitu merah putih.
Kedua, pemaknaan kedua terkait relasi kuasa yang laki-laki dan perempuan yang berkesetaraan. Soekarno di dalam buku tersebut (Bab VI) menggambarkannya sebagai berikut: “Tidak mungkin laki-laki ada tanpa perempuan dan demikian pula sebaliknya.” Sehingga antara laki dan perempuan saling membutuhkan, melengkapi dan harus bekerja sama (bergotong-royong) demi kepentingan bangsa.
Lebih jauh Soekarno juga menjabarkan saling ketergantungan antara keduanya, “Tidak bisa kau kaum laki maju sendirian tanpa kemajuan kaum perempuan.” Jadi, laki dan perempuan tidak bisa berada dalam kompetisi yang saling meniadakan karena keduanya saling membutuhkan, saling melengkapi.
Kerja sama atau gotong-royong dalam kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini disimbolkan dengan dua rantai bulat dan persegi dari sila kedua Pancasila yang saling bersambung tiada putus (BK, Kursus Pancasila tahun 1958). Soekarno mengibaratkan bahwa keduanya saling melengkapi demi menjadi dua sayap burung Garuda agar bisa terbang tinggi di angkasa demi mewujudkan cita-cita Proklamasi.
Kesetaraan memang konsensus suami-istri, tapi harus bisa pula difasilitasi negara agar laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama dan berbagi peran baik peran reproduksi, produksi, maupun menjaga lingkungan demi kepentingan bangsa. Menjadi “ibu bangsa” dalam visi Presiden, oleh karenanya, adalah perempuan yang memberdayakan diri untuk mengejar ketertinggalan sehingga menjadi sayap yang sama kuat dengan sayap “bapak bangsa” agar Garuda kuat terbang tinggi di angkasa.
(pur)