Rasisme dan Liberalisme di Eropa
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
RASISME dan politisasi perbedaan identitas menjadi salah satu masalah atau tantangan yang dihadapi masyarakat Eropa saat ini. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi banyak orang termasuk saya.
Bagaimana atmosfer rasisme itu dapat tumbuh subur di benua yang menjadikan hak asasi manusia (HAM) sebagai standar dan nilai-nilai kehidupan mereka? Bukankah masyarakat Eropa adalah masyarakat yang maju peradabannya baik dari teknologi dan sistem sosial-politiknya? Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Situasi di atas mungkin sama dengan temuan yang mengatakan bahwa 39% dari kalangan terdidik di Indonesia terpapar oleh ideologi radikalisme atau intoleransi. Ada asumsi bahwa kalangan terdidik seharusnya kebal terhadap ide-ide semacam itu.
Fenomena ini menunjukkan bahwa gagasan dan sikap intoleran, rasisme, radikalisme, atau xenofobia memengaruhi seluruh kalangan yang terdidik atau tidak terdidik. Baik di pusat atau daerah. Negara maju atau negara berkembang.
Fenomena di atas juga memperlihatkan bahwa sikap dan gagasan intoleran dan rasis juga adalah hasil cara berpikir manusia yang rasional. Saya ingat sebuah hasil penelitian namun lupa sumbernya dari mana yang menceritakan tentang kebiasaan bertaman di masyarakat Jerman dan tumbuhnya dukungan terhadap politik Nazi di zaman Hitler.
Pada masa itu, masyarakat Jerman memiliki kebiasaan untuk merawat tanaman dengan begitu baik. Bagian-bagian dari tanaman seperti benalu atau kutu yang dianggap akan merusak keseluruhan tanaman atau sebuah taman akan dipangkas habis.
Kebiasaan itu juga menjadi ciri dari masyarakat Jerman yang sudah sangat rasional dan sangat metodis. Hal ini mungkin juga dapat dilihat dari pola permainan sepak bola tim Jerman yang dikenal sangat disiplin, rasional, terorganisasi walaupun kaku dan menutup celah untuk improvisasi.
Kebiasaan bertaman dan pikiran yang rasional itu cocok dengan ide-ide Hitler untuk memurnikan Ras Arya dari ras-ras lain, terutama Yahudi. Warga keturunan Yahudi maju menonjol dalam berbagai bidang, seperti khususnya dalam ilmu pengetahuan. Dan, bisnis Yahudi dianggap membuat masyarakat Jerman terpinggirkan sehingga perlu dipangkas seperti halnya benalu.
Gagasan pemurnian Ras Arya dari ras-ras lain mendapat dukungan oleh masyarakat Jerman pada masa Hitler; bukan hanya karena gagasan itu mengeksploitasi emosi, melainkan juga karena disampaikan secara rasional.
Banyak tulisan dan buku-buku yang mendukung gagasan-gagasan tersebut dan menjadi bahan diskusi termasuk pikiran dan pengalaman hidup Hitler yang dituangkan menjadi 720 halaman buku Mein Kampf (Perjuanganku). Buku ini terdiri atas dua jilid dan menjadi buku paling populer pada 1930-an.
Meskipun menyerang dengan terbuka masyarakat Yahudi dan komunisme, gagasan itu tidak bisa dilarang karena sistem politik dan demokrasi pada masa itu melindungi kebebasan berpikir dan berpendapat. Hitler memanfaatkan celah itu dan kemudian menutupnya tidak dengan membuat pemerintahan menjadi lebih demokratis tetapi justru menjadi otoritarian.
Ada rasa khawatir di sebagian masyarakat Eropa bahwa pengalaman bersama Hitler pada masa lalu akan terulang dalam lima atau sepuluh tahun lagi. Tema ini telah menjadi sumber debat diskusi yang panjang dan mendalam di Eropa.
Suasana diskusi dan debatnya mirip dengan ketika kita membahas apakah pelarangan HTI membahayakan demokrasi atau tidak. Perbedaannya dengan apa yang terjadi Tanah Air bahwa Eropa tidak akan melarang organisasi yang memproduksi gagasan atau ide-ide rasial atau antiasing.
Mereka memandang bahwa pelarangan itu akan membawa demokrasi jauh lebih buruk dan tidak menguntungkan semua pihak. Selain itu, banyak gagasan tersebut juga banyak disuarakan secara formal melalui partai politik garis kanan yang keras dan mereka memperjuangkannya di dalam parlemen yang dilindungi oleh e-konsitusi.
Saya tidak akan menilai dalam ruang yang terbatas ini apakah keputusan Eropa untuk tidak melarang gagasan intoleran lebih baik dibandingkan pelarangan seperti yang terjadi di Indonesia. Apa yang menarik dalam pengalaman dan pengamatan di Eropa bahwa ada hubungan antara menolak untuk melarang gagasan yang dianggap intoleran, rasis atau radikal dengan suasana kehidupan yang liberal di Eropa.
Suasana kehidupan di Eropa memang sangat kontras dengan Asia. Negara memang hadir secara detail dalam berbagai bentuk aturan dan hukum dalam melindungi kebebasan dan HAM individu.
Setiap hukum dan peraturan tersebut memuat logika dan rasionalitas yang akan menjadi dasar nilai-nilai liberal. Contoh, dalam masyarakat liberal, hukum tidak peduli apakah Anda tersinggung atau sakit hati karena ucapan seseorang yang melakukan perbuatan itu sebagai bagian dari kebebasan berpendapatnya. Hukum justru lebih khawatir apabila kebebasan berbicara dibatasi karena fungsi kritik dan koreksi menjadi mandul.
Persoalan apakah kritik seseorang membuat orang yang lain sakit hati adalah masalah persepsi orang yang mendengarnya dan hal itu bersifat relatif. Relatif karena kritiknya mungkin menyakitkan buat satu orang tetapi tidak bagi yang lain. Daripada menjaga orang tidak tersinggung, yang mana bersifat relatif, maka lebih baik menjaga kebebasan berbicara yang sifatnya absolut.
Oleh sebab itu, kebebasan berbicara atau berpikir dalam berbagai bentuk sangat dijamin. Dalam hal politik, tokoh-tokoh politik dapat menyuarakan dengan menggelorakan sentimen rasisme dalam kampanye mereka untuk mendulang suara tanpa takut dilaporkan pencemaran nama baik.
Umumnya, kampanye semacam ini juga dilawan dengan kampanye yang sama frontalnya. Gagasan dilawan dengan gagasan. Aksi massa ditandingi dengan aksi massa lainnya.
Dalam bidang sosial, Anda bisa menemukan sejumlah majalah yang masuk dalam kategori nudity di lobi sebuah hotel menengah atas di Kota Berlin tanpa takut akan digerebek oleh ormas-ormas yang mungkin tersinggung dengan kehadiran majalah tersebut di lobi hotel. Iklan-iklan prostitusi juga bebas terpampang di sudut-sudut komersial kota. Selain menjadi pendapatan, iklan-iklan itu masuk dalam kategori kebebasan berekspresi.
Gambaran di atas hanya sebagian kecil dari cerita tentang bagaimana individu memiliki otonomi dan mendapat tempat yang tertinggi dalam sistem masyarakat Eropa. Setiap individu di Eropa memiliki dunianya sendiri yang dilindungi oleh konstitusi.
Anda bisa melakukan apa saja di dalam dunia Anda sendiri meskipun membuat orang lain tidak nyaman atau risih. Hubungan individu dengan individu adalah setara dan mereka dapat melakukan apa saja selama tidak melanggar aturan pidana.
Kita di Indonesia juga mempunyai hak bebas untuk berbicara tetapi juga mengukur melalui “self-censorship” sejauh mana hak itu membuat orang tersinggung atau sakit hati. Hukum kita mengatur bagaimana meminimalisasi rasa ketersinggungan atas digunakannya hak bebas untuk berpendapat.
Hal ini mungkin refleksi dari sosiologi masyarakat Asia yang masih mengutamakan ikatan batin dan relasi sosial dengan keluarga inti dan keluarga besar, hubungan baik dengan orang lain atau tetangga, menghormati senioritas, bahkan leluhur yang sudah meninggal. Banyak nilai atau hal yang tabu diekspresikan secara terbuka.
Saya dapat membayangkan bagaimana kesulitan para pengungsi dan imigran yang berasal dari Timur Tengah atau Asia dalam “mengintegrasikan” diri mereka di dalam masyarakat Eropa. Integrasi dalam kamus masyarakat Eropa adalah mengikuti sistem politik dan hukum yang berlaku termasuk nilai-nilai individual dan liberal.
Para pengungsi di sana mungkin membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk bisa memutus ikatan sosial dan sejarah mereka di masa lalu untuk bisa menyatu dan “terintegrasi” dengan masyarakat Eropa. Masalah mereka juga semakin berat dengan adanya politisasi perbedaan identitas, xenofobia dan rasisme. Mereka sendiri tidak memiliki kekuatan secara politik kecuali mengandalkan para politisi yang berdiri berseberangan dengan partai politik yang menggunakan sentimen rasis tersebut.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
RASISME dan politisasi perbedaan identitas menjadi salah satu masalah atau tantangan yang dihadapi masyarakat Eropa saat ini. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi banyak orang termasuk saya.
Bagaimana atmosfer rasisme itu dapat tumbuh subur di benua yang menjadikan hak asasi manusia (HAM) sebagai standar dan nilai-nilai kehidupan mereka? Bukankah masyarakat Eropa adalah masyarakat yang maju peradabannya baik dari teknologi dan sistem sosial-politiknya? Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Situasi di atas mungkin sama dengan temuan yang mengatakan bahwa 39% dari kalangan terdidik di Indonesia terpapar oleh ideologi radikalisme atau intoleransi. Ada asumsi bahwa kalangan terdidik seharusnya kebal terhadap ide-ide semacam itu.
Fenomena ini menunjukkan bahwa gagasan dan sikap intoleran, rasisme, radikalisme, atau xenofobia memengaruhi seluruh kalangan yang terdidik atau tidak terdidik. Baik di pusat atau daerah. Negara maju atau negara berkembang.
Fenomena di atas juga memperlihatkan bahwa sikap dan gagasan intoleran dan rasis juga adalah hasil cara berpikir manusia yang rasional. Saya ingat sebuah hasil penelitian namun lupa sumbernya dari mana yang menceritakan tentang kebiasaan bertaman di masyarakat Jerman dan tumbuhnya dukungan terhadap politik Nazi di zaman Hitler.
Pada masa itu, masyarakat Jerman memiliki kebiasaan untuk merawat tanaman dengan begitu baik. Bagian-bagian dari tanaman seperti benalu atau kutu yang dianggap akan merusak keseluruhan tanaman atau sebuah taman akan dipangkas habis.
Kebiasaan itu juga menjadi ciri dari masyarakat Jerman yang sudah sangat rasional dan sangat metodis. Hal ini mungkin juga dapat dilihat dari pola permainan sepak bola tim Jerman yang dikenal sangat disiplin, rasional, terorganisasi walaupun kaku dan menutup celah untuk improvisasi.
Kebiasaan bertaman dan pikiran yang rasional itu cocok dengan ide-ide Hitler untuk memurnikan Ras Arya dari ras-ras lain, terutama Yahudi. Warga keturunan Yahudi maju menonjol dalam berbagai bidang, seperti khususnya dalam ilmu pengetahuan. Dan, bisnis Yahudi dianggap membuat masyarakat Jerman terpinggirkan sehingga perlu dipangkas seperti halnya benalu.
Gagasan pemurnian Ras Arya dari ras-ras lain mendapat dukungan oleh masyarakat Jerman pada masa Hitler; bukan hanya karena gagasan itu mengeksploitasi emosi, melainkan juga karena disampaikan secara rasional.
Banyak tulisan dan buku-buku yang mendukung gagasan-gagasan tersebut dan menjadi bahan diskusi termasuk pikiran dan pengalaman hidup Hitler yang dituangkan menjadi 720 halaman buku Mein Kampf (Perjuanganku). Buku ini terdiri atas dua jilid dan menjadi buku paling populer pada 1930-an.
Meskipun menyerang dengan terbuka masyarakat Yahudi dan komunisme, gagasan itu tidak bisa dilarang karena sistem politik dan demokrasi pada masa itu melindungi kebebasan berpikir dan berpendapat. Hitler memanfaatkan celah itu dan kemudian menutupnya tidak dengan membuat pemerintahan menjadi lebih demokratis tetapi justru menjadi otoritarian.
Ada rasa khawatir di sebagian masyarakat Eropa bahwa pengalaman bersama Hitler pada masa lalu akan terulang dalam lima atau sepuluh tahun lagi. Tema ini telah menjadi sumber debat diskusi yang panjang dan mendalam di Eropa.
Suasana diskusi dan debatnya mirip dengan ketika kita membahas apakah pelarangan HTI membahayakan demokrasi atau tidak. Perbedaannya dengan apa yang terjadi Tanah Air bahwa Eropa tidak akan melarang organisasi yang memproduksi gagasan atau ide-ide rasial atau antiasing.
Mereka memandang bahwa pelarangan itu akan membawa demokrasi jauh lebih buruk dan tidak menguntungkan semua pihak. Selain itu, banyak gagasan tersebut juga banyak disuarakan secara formal melalui partai politik garis kanan yang keras dan mereka memperjuangkannya di dalam parlemen yang dilindungi oleh e-konsitusi.
Saya tidak akan menilai dalam ruang yang terbatas ini apakah keputusan Eropa untuk tidak melarang gagasan intoleran lebih baik dibandingkan pelarangan seperti yang terjadi di Indonesia. Apa yang menarik dalam pengalaman dan pengamatan di Eropa bahwa ada hubungan antara menolak untuk melarang gagasan yang dianggap intoleran, rasis atau radikal dengan suasana kehidupan yang liberal di Eropa.
Suasana kehidupan di Eropa memang sangat kontras dengan Asia. Negara memang hadir secara detail dalam berbagai bentuk aturan dan hukum dalam melindungi kebebasan dan HAM individu.
Setiap hukum dan peraturan tersebut memuat logika dan rasionalitas yang akan menjadi dasar nilai-nilai liberal. Contoh, dalam masyarakat liberal, hukum tidak peduli apakah Anda tersinggung atau sakit hati karena ucapan seseorang yang melakukan perbuatan itu sebagai bagian dari kebebasan berpendapatnya. Hukum justru lebih khawatir apabila kebebasan berbicara dibatasi karena fungsi kritik dan koreksi menjadi mandul.
Persoalan apakah kritik seseorang membuat orang yang lain sakit hati adalah masalah persepsi orang yang mendengarnya dan hal itu bersifat relatif. Relatif karena kritiknya mungkin menyakitkan buat satu orang tetapi tidak bagi yang lain. Daripada menjaga orang tidak tersinggung, yang mana bersifat relatif, maka lebih baik menjaga kebebasan berbicara yang sifatnya absolut.
Oleh sebab itu, kebebasan berbicara atau berpikir dalam berbagai bentuk sangat dijamin. Dalam hal politik, tokoh-tokoh politik dapat menyuarakan dengan menggelorakan sentimen rasisme dalam kampanye mereka untuk mendulang suara tanpa takut dilaporkan pencemaran nama baik.
Umumnya, kampanye semacam ini juga dilawan dengan kampanye yang sama frontalnya. Gagasan dilawan dengan gagasan. Aksi massa ditandingi dengan aksi massa lainnya.
Dalam bidang sosial, Anda bisa menemukan sejumlah majalah yang masuk dalam kategori nudity di lobi sebuah hotel menengah atas di Kota Berlin tanpa takut akan digerebek oleh ormas-ormas yang mungkin tersinggung dengan kehadiran majalah tersebut di lobi hotel. Iklan-iklan prostitusi juga bebas terpampang di sudut-sudut komersial kota. Selain menjadi pendapatan, iklan-iklan itu masuk dalam kategori kebebasan berekspresi.
Gambaran di atas hanya sebagian kecil dari cerita tentang bagaimana individu memiliki otonomi dan mendapat tempat yang tertinggi dalam sistem masyarakat Eropa. Setiap individu di Eropa memiliki dunianya sendiri yang dilindungi oleh konstitusi.
Anda bisa melakukan apa saja di dalam dunia Anda sendiri meskipun membuat orang lain tidak nyaman atau risih. Hubungan individu dengan individu adalah setara dan mereka dapat melakukan apa saja selama tidak melanggar aturan pidana.
Kita di Indonesia juga mempunyai hak bebas untuk berbicara tetapi juga mengukur melalui “self-censorship” sejauh mana hak itu membuat orang tersinggung atau sakit hati. Hukum kita mengatur bagaimana meminimalisasi rasa ketersinggungan atas digunakannya hak bebas untuk berpendapat.
Hal ini mungkin refleksi dari sosiologi masyarakat Asia yang masih mengutamakan ikatan batin dan relasi sosial dengan keluarga inti dan keluarga besar, hubungan baik dengan orang lain atau tetangga, menghormati senioritas, bahkan leluhur yang sudah meninggal. Banyak nilai atau hal yang tabu diekspresikan secara terbuka.
Saya dapat membayangkan bagaimana kesulitan para pengungsi dan imigran yang berasal dari Timur Tengah atau Asia dalam “mengintegrasikan” diri mereka di dalam masyarakat Eropa. Integrasi dalam kamus masyarakat Eropa adalah mengikuti sistem politik dan hukum yang berlaku termasuk nilai-nilai individual dan liberal.
Para pengungsi di sana mungkin membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk bisa memutus ikatan sosial dan sejarah mereka di masa lalu untuk bisa menyatu dan “terintegrasi” dengan masyarakat Eropa. Masalah mereka juga semakin berat dengan adanya politisasi perbedaan identitas, xenofobia dan rasisme. Mereka sendiri tidak memiliki kekuatan secara politik kecuali mengandalkan para politisi yang berdiri berseberangan dengan partai politik yang menggunakan sentimen rasis tersebut.
(poe)