Memaknai RUU Pesantren
A
A
A
Jazilul Fawaid
Ketua Fraksi PKB MPR RI
TIDAK bisa diingkari fakta sejarah menunjukkan bagaimana pesantren dengan para santrinya menjadi avant garde dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan juga membentengi nation state dari ideologi-ideologi yang berusaha mengusiknya. Kalangan pesantren, dengan cara dan juga riyadhahnya tersendiri terbukti ikut mewarnai tegak berdirinya republik ini. Bahkan, jauh sebelum republik ini berdiri, pesantren sudah menanamkan nilai-nilai semangat rasa cinta terhadap Ibu Pertiwi.
Dalam buku Fatwa dan Resolusi Jihad karya Agus Sunyoto (2017) digambarkan bagaimana heroisme para santri dalam membentengi republik ini. Pertempuran 10 November 1945 adalah bukti konkret bahwa perlawanan Indonesia masih ada. Nyali arek-arek Surabaya terlecut senapas dengan semangat santri untuk membentengi bangsa ini dari penindasan dan juga penjajahan.
Sayangnya, narasi tentang heroisme kalangan pesantren baru muncul belakangan. Setidaknya setelah reformasi bergaung. Pada zaman sebelum reformasi, terutama saat Orde Baru, kalangan pesantren nampaknya disembunyikan di semak-semak zaman. Kaum pesantren dipinggirkan. Kalangan santri dilemparkan dari gelanggang ruang-ruang sosial bangsa dan negara. Akibatnya, yang terjadi seperti yang sama-sama kita saksikan, kiprah santri terkesan meredup.
Politik marginalisasi yang dilakukan oleh Orde Baru jelas berimbas pada bagaimana santri memosisikan dirinya. Kalangan pesantren memilih untuk menangkup diri. Meminjam Istilah Horikoshi (1999), kaum pesantren cenderung menerapkan politik isolasi diri. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membentengi diri dari kontestasi yang tidak fair dan ujungnya diyakini merugikan kalangan pesantren.
Ruang-ruang sosial dan juga politik saat itu barangkali merupakan ruang-ruang yang sesak dan pengap. Namun, tidak bisa dingkari beberapa santri—sebagai sebuah pengecualian—erbukti tetap berhasil berkiprah di level nasional, dalam konteks politik kebangsaan. Sebut saja misalnya KH Idham Chalid dan juga KH Saifuddin Zuhri. Ini artinya pesantren boleh menentukan sikap untuk mengisolasi diri, namun tidak menutup kemungkinan ada santri-santri yang “menerobos” dan mencoba “menjebol” tembok sejarah dengan masuk berkiprah, dan sekaligus juga di waktu yang bersamaan bertarung di level nasional, bahkan internasional.
Memberi Saham
Kemerdekaan Indonesia, tentu saja sebagaimana fakta sejarah tidak bisa dipisahkan dengan andil perjuangan kalangan pesantren. Kalangan pesantren bahu-membahu menghalau penjajahan. Belum lagi sebagaimana dinyatakan oleh temuan-temuan terbaru bahwa sebelum kemrdekaan, faktanya perlawanan-perlawanan di sejumlah daerah diinisiasi oleh gerakan tarikat yang tentu saja itu artinya dari kalangan pesantren. Doktrin jihad membela negara untuk mengusir penjajah nampak sekali sangat efektif melecut perjuangan kalangan pesantren.
Maka sebagaimana yang dapat kita lihat bersama saat ini, kita berhasil merdeka dalam arti mengusir bentuk penjajahan yang paling kasatmata. Hal ini sangat urgen untuk dikemukakan guna memberi konteks bahwa kalangan pesantren memiliki saham yang sangat besar dalam perjuangan mendirikan republik ini. Dengan tegas harus dinyatakan bahwa salah satu unsur yang membidani lahirnya republik Indonesia adalah pesantren.
Pernyataan ini bukan berarti ingin membesar-besarkan jasa kalangan santri. Justru yang menjadi titik poin adalah jika selama ini kalangan nasionalis memiliki jargon jas merah yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah, maka kalangan pesantren juga memiliki jargon jas hijau yang memiliki arti jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama. Kuncinya adalah bagaimana harus meletakkan sejarah pada proporsinya.
Dengan begitu maka diharapkan kehidupan sosial berbangsa dan bertanah air akan berjalan dengan fair dan proporsional. Artinya kalangan pesantren tidak lagi diposisikan sebagai “anak tiri” sejarah. Padahal sumbangsihnya bukan saja sebatas memperjuangkan kemerdekaan, namun jauh daripada itu mengisi kemerdekaan dengan menanamkan nilai-nilai Pendidikan yang berbasis nilai-nilai akhlak, karakter dan juga budi pekerti.
RUU Pesantren
Dalam bingkai filosofi berpikir antara lain seperti yang disebutkan di atas, Rancangan Undang-undang (RUU) Madrasah dan Pesantren mencoba untuk diperjuangkan. Perjuangan panjang tersebut dimulai pada sekitar pertengahan 2016. Pelbagai diskusi dan perdebatan mewarnai. Namun, tentu saja banyak pihak yang mendukung. Dukungan utama dirasakan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
PBNU menyatakan memberikan dukungan penuh atas pengajuan draf RUU Pendidikan Madrasah dan Pesantren yang digagas oleh Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) pada 2016 itu. Dukungan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. Pernyataan yang tentu saja memantik dan mendongkrak semangat juang kami di DPR.
Dalam konteks ini, ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengesahkan RUU Madrasah dan Pendidikan Keagamaan menjadi RUU inisiatif DPR RI pada rapat Baleg pada Kamis (13/9) lalu otomatis menjadi angin segar bagi kita semua, utamanya kalangan santri. Sebab, pertama, memperjuangkan RUU Madrasah dan Pesantren tersebut pada hakikatnya memperjuangkan keadilan untuk mendudukan sesuatu pada proporsinya dan kapasitasnya.
Artinya RUU tersebut merupakan usaha untuk mereposisi kalangan pesantren dari pinggiran republik ke tengah-tengah kontestasi kebangsaan. Ini penting setidaknya mengingat darah dan air mata mereka yang telah menetes ikut berjuang mendirikan republik.
Kedua, dalam RUU tersebut sejatinya yang diperjuangkan adalah keberpihakan dan kehadiran negara bagi pesantren. Pesantren adalah institusi penegak moral dan pengajar karakter generasi bangsa. Maka, sebagai komitmen moral negara harus hadir, baik dalam aspek finansial ataupun nonfinansial. Ini penting sebab anggaran pendidikan yang demikian besar, yakni 20% APBN selama ini nyatanya masih sangat minim dan terbatas masuk ke kalangan pesantren. Apalagi jika kita berbicara soal lembaga diniyah dan juga kesejahteraan guru dan tenaga pengajarnya.
Maka, meskipun masih ada tahap-tahap yang harus dilalui, kita harus bersyukur bahwa RUU Pesantren telah disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR. Etos perjuangan dan komitmen kalangan pesantren tidak dapat diragukan lagi. Jika dahulu perjuangan kalangan pesantren adalah menghalau penjajah, dalam konteks saat ini perjuangan mereka adalah mengisi kemerdekaan dengan menghalau kebodohan.
Semoga disahkannya RUU Madrasah dan Pesantren sebagai RUU inisiatif DPR menjadi keberkahan dan pelecut semangat untuk mengisi perjuangan berbangsa dan bernegara. Amin.
Ketua Fraksi PKB MPR RI
TIDAK bisa diingkari fakta sejarah menunjukkan bagaimana pesantren dengan para santrinya menjadi avant garde dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan juga membentengi nation state dari ideologi-ideologi yang berusaha mengusiknya. Kalangan pesantren, dengan cara dan juga riyadhahnya tersendiri terbukti ikut mewarnai tegak berdirinya republik ini. Bahkan, jauh sebelum republik ini berdiri, pesantren sudah menanamkan nilai-nilai semangat rasa cinta terhadap Ibu Pertiwi.
Dalam buku Fatwa dan Resolusi Jihad karya Agus Sunyoto (2017) digambarkan bagaimana heroisme para santri dalam membentengi republik ini. Pertempuran 10 November 1945 adalah bukti konkret bahwa perlawanan Indonesia masih ada. Nyali arek-arek Surabaya terlecut senapas dengan semangat santri untuk membentengi bangsa ini dari penindasan dan juga penjajahan.
Sayangnya, narasi tentang heroisme kalangan pesantren baru muncul belakangan. Setidaknya setelah reformasi bergaung. Pada zaman sebelum reformasi, terutama saat Orde Baru, kalangan pesantren nampaknya disembunyikan di semak-semak zaman. Kaum pesantren dipinggirkan. Kalangan santri dilemparkan dari gelanggang ruang-ruang sosial bangsa dan negara. Akibatnya, yang terjadi seperti yang sama-sama kita saksikan, kiprah santri terkesan meredup.
Politik marginalisasi yang dilakukan oleh Orde Baru jelas berimbas pada bagaimana santri memosisikan dirinya. Kalangan pesantren memilih untuk menangkup diri. Meminjam Istilah Horikoshi (1999), kaum pesantren cenderung menerapkan politik isolasi diri. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membentengi diri dari kontestasi yang tidak fair dan ujungnya diyakini merugikan kalangan pesantren.
Ruang-ruang sosial dan juga politik saat itu barangkali merupakan ruang-ruang yang sesak dan pengap. Namun, tidak bisa dingkari beberapa santri—sebagai sebuah pengecualian—erbukti tetap berhasil berkiprah di level nasional, dalam konteks politik kebangsaan. Sebut saja misalnya KH Idham Chalid dan juga KH Saifuddin Zuhri. Ini artinya pesantren boleh menentukan sikap untuk mengisolasi diri, namun tidak menutup kemungkinan ada santri-santri yang “menerobos” dan mencoba “menjebol” tembok sejarah dengan masuk berkiprah, dan sekaligus juga di waktu yang bersamaan bertarung di level nasional, bahkan internasional.
Memberi Saham
Kemerdekaan Indonesia, tentu saja sebagaimana fakta sejarah tidak bisa dipisahkan dengan andil perjuangan kalangan pesantren. Kalangan pesantren bahu-membahu menghalau penjajahan. Belum lagi sebagaimana dinyatakan oleh temuan-temuan terbaru bahwa sebelum kemrdekaan, faktanya perlawanan-perlawanan di sejumlah daerah diinisiasi oleh gerakan tarikat yang tentu saja itu artinya dari kalangan pesantren. Doktrin jihad membela negara untuk mengusir penjajah nampak sekali sangat efektif melecut perjuangan kalangan pesantren.
Maka sebagaimana yang dapat kita lihat bersama saat ini, kita berhasil merdeka dalam arti mengusir bentuk penjajahan yang paling kasatmata. Hal ini sangat urgen untuk dikemukakan guna memberi konteks bahwa kalangan pesantren memiliki saham yang sangat besar dalam perjuangan mendirikan republik ini. Dengan tegas harus dinyatakan bahwa salah satu unsur yang membidani lahirnya republik Indonesia adalah pesantren.
Pernyataan ini bukan berarti ingin membesar-besarkan jasa kalangan santri. Justru yang menjadi titik poin adalah jika selama ini kalangan nasionalis memiliki jargon jas merah yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah, maka kalangan pesantren juga memiliki jargon jas hijau yang memiliki arti jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama. Kuncinya adalah bagaimana harus meletakkan sejarah pada proporsinya.
Dengan begitu maka diharapkan kehidupan sosial berbangsa dan bertanah air akan berjalan dengan fair dan proporsional. Artinya kalangan pesantren tidak lagi diposisikan sebagai “anak tiri” sejarah. Padahal sumbangsihnya bukan saja sebatas memperjuangkan kemerdekaan, namun jauh daripada itu mengisi kemerdekaan dengan menanamkan nilai-nilai Pendidikan yang berbasis nilai-nilai akhlak, karakter dan juga budi pekerti.
RUU Pesantren
Dalam bingkai filosofi berpikir antara lain seperti yang disebutkan di atas, Rancangan Undang-undang (RUU) Madrasah dan Pesantren mencoba untuk diperjuangkan. Perjuangan panjang tersebut dimulai pada sekitar pertengahan 2016. Pelbagai diskusi dan perdebatan mewarnai. Namun, tentu saja banyak pihak yang mendukung. Dukungan utama dirasakan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
PBNU menyatakan memberikan dukungan penuh atas pengajuan draf RUU Pendidikan Madrasah dan Pesantren yang digagas oleh Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) pada 2016 itu. Dukungan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. Pernyataan yang tentu saja memantik dan mendongkrak semangat juang kami di DPR.
Dalam konteks ini, ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengesahkan RUU Madrasah dan Pendidikan Keagamaan menjadi RUU inisiatif DPR RI pada rapat Baleg pada Kamis (13/9) lalu otomatis menjadi angin segar bagi kita semua, utamanya kalangan santri. Sebab, pertama, memperjuangkan RUU Madrasah dan Pesantren tersebut pada hakikatnya memperjuangkan keadilan untuk mendudukan sesuatu pada proporsinya dan kapasitasnya.
Artinya RUU tersebut merupakan usaha untuk mereposisi kalangan pesantren dari pinggiran republik ke tengah-tengah kontestasi kebangsaan. Ini penting setidaknya mengingat darah dan air mata mereka yang telah menetes ikut berjuang mendirikan republik.
Kedua, dalam RUU tersebut sejatinya yang diperjuangkan adalah keberpihakan dan kehadiran negara bagi pesantren. Pesantren adalah institusi penegak moral dan pengajar karakter generasi bangsa. Maka, sebagai komitmen moral negara harus hadir, baik dalam aspek finansial ataupun nonfinansial. Ini penting sebab anggaran pendidikan yang demikian besar, yakni 20% APBN selama ini nyatanya masih sangat minim dan terbatas masuk ke kalangan pesantren. Apalagi jika kita berbicara soal lembaga diniyah dan juga kesejahteraan guru dan tenaga pengajarnya.
Maka, meskipun masih ada tahap-tahap yang harus dilalui, kita harus bersyukur bahwa RUU Pesantren telah disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR. Etos perjuangan dan komitmen kalangan pesantren tidak dapat diragukan lagi. Jika dahulu perjuangan kalangan pesantren adalah menghalau penjajah, dalam konteks saat ini perjuangan mereka adalah mengisi kemerdekaan dengan menghalau kebodohan.
Semoga disahkannya RUU Madrasah dan Pesantren sebagai RUU inisiatif DPR menjadi keberkahan dan pelecut semangat untuk mengisi perjuangan berbangsa dan bernegara. Amin.
(thm)