Urgensi Penyatuan Pengujian Peraturan
A
A
A
Jamaludin Ghafur
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII Yogyakarta, Kandidat Doktor FH UI Jakarta
PERMOHONAN pengujian Pasal 7 ayat (1) huruf h Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 20 Tahun 2018 tentang larangan nyaleg bagi mantan napi koruptor sampai saat ini belum menemui titik terang. Mahkamah Agung (MA) belum juga memberikan putusan dan bahkan menangguhkan kasus ini dengan alasan menunggu pengujian UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) selesai terlebih dahulu.
Mandeknya proses persidangan di MA tersebut telah mencuatkan kembali kegaduhan politik, terutama setelah keluarnya keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang membolehkan mantan napi koruptor maju sebagai caleg. Menurut Bawaslu, PKPU tersebut bertentangan dengan UU Pemilu yang secara hierarkis kedudukannya lebih tinggi.
Dalam teori perundang-undangan, pertentangan norma suatu peraturan dengan peraturan yang hierarkinya lebih tinggi merupakan sebuah persoalan serius karena hakikatnya, peraturan yang lebih rendah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan di atasnya. Peraturan yang lebih tinggi merupakan sumber legitimasi bagi keberlakuan peraturan di bawahnya.
Karenanya berlaku asas lex superior derogat legi inferior, yakni hukum yang kedudukannya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Artinya jika terdapat pertentangan norma antarkeduanya, yang berlaku adalah peraturan yang memiliki derajat lebih tinggi.
Secara berurutan, kedudukan (derajat) peraturan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah menurut Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 adalah: (a) UUD 1945, (b) ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, (c) undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, (d) peraturan pemerintah, (e) peraturan presiden, (f) peraturan daerah provinsi, dan (g) peraturan daerah kabupaten/kota.
Problem Dualisme Pengujian Peraturan
Kebenaran akan adanya kontradiksi norma peraturan harus diuji terlebih dahulu di lembaga yudisial. Saat ini pengujian peraturan dilakukan dua lembaga, yaitu pengujian UU terhadap UUD yang menjadi kompetensi MK (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945) dan pengujian peraturan di bawah UU terhadap UU sebagai yurisdiksi MA (Pasal 24A ayat (1) UUD 1945).
Model dualisme ini mengandung sejumlah persoalan. Pertama, ada kemungkinan terdapat peraturan di bawah UU tidak bertentangan dengan UU, tetapi bertentangan langsung dengan UUD 1945. Bila hal ini terjadi, tidak akan ada satu pun lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian.
MA tidak memiliki kompetensi untuk mengadili karena peraturan yang akan menjadi batu ujinya adalah UUD. Sementara MA hanya berwenang mengujinya dengan UU. Begitu juga MK tidak berwenang memeriksanya karena objek peraturan yang akan diuji adalah peraturan di bawah UU, sementara kompetensi MK adalah menguji UU.
Kedua, bila sebuah peraturan di bawah UU yang diduga bertentangan dengan UU sedang diperiksa oleh MA, tetapi pada saat yang bersamaan UU yang menjadi batu ujinya juga sedang diadili di MK, sangat mungkin terjadi hal berikut. MA menyatakan peraturan di bawah UU tersebut tidak bertentangan dengan UU. Sementara pada saat bersamaan MK membatalkan UU yang dijadikan acuan oleh MA tersebut karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Bila hal demikian terjadi, putusan MA akan menjadi sia-sia karena secara hukum, jika suatu peraturan dinyatakan tidak berlaku/batal, secara otomatis peraturan di bawahnya yang menginduk pada peraturan yang dibatalkan tersebut juga harus dianggap tidak sah.
Memang, kemungkinan terjadinya hal demikian telah diantisipasi melalui Pasal 55 UU MK yang menyatakan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan apabila UU yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian MK sampai ada putusan MK.
Ketentuan tersebut di satu sisi memberikan solusi agar ada konsistensi antara putusan MA dan MK dalam pengujian peraturan yang masih memiliki keterkaitan. Namun pada sisi yang lain, mekanisme ini sangat berpeluang melanggar hak konstitusional warga negara, terutama bila aturan yang sedang dihentikan pemeriksaannya oleh MA tersebut membutuhkan putusan yang segera karena keberlakuan peraturan tersebut dibatasi tenggat waktu.
Keberlakuan PKPU tentang larangan caleg mantan napi koruptor jelas dibatasi waktu, yaitu sampai KPU secara resmi menetapkan daftar caleg tetap (DCT). Bila sampai batas waktu tersebut MA belum mengeluarkan putusan, PKPU tersebut harus dianggap sah dan secara otomatis semua mantan napi koruptor tidak boleh menjadi caleg. Maka bila suatu saat putusan MA menyatakan PKPU tersebut bertentangan dengan UU Pemilu, tetapi tahapan penetapan caleg telah usai dan mantan napi koruptor telanjur tidak diizinkan untuk ikut berkontestasi dalam Pemilu 2019, jelas hal itu akan merugikan hak sebagian warga negara.
Mendesak
Dengan demikian pengintegrasian pengujian semua peraturan perundang-undangan di satu lembaga menjadi sangat mendesak untuk dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran hak warga negara yang dilakukan para pembentuk peraturan. Sebab salah satu fungsi utama judicial review adalah untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Sayangnya arah menuju ke sana sangat berat karena harus melalui amendemen konstitusi. Namun bila para anggota MPR memiliki persepsi yang sama bahwa UUD 1945 yang berlaku saat ini tidak cukup memberikan perlindungan hak bagi warga negara secara komprehensif, jalan untuk mengamendemen ulang UUD bisa dengan mudah dilakukan. Karena syarat paling sulit untuk melakukan amendemen adalah mengumpulkan dukungan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII Yogyakarta, Kandidat Doktor FH UI Jakarta
PERMOHONAN pengujian Pasal 7 ayat (1) huruf h Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 20 Tahun 2018 tentang larangan nyaleg bagi mantan napi koruptor sampai saat ini belum menemui titik terang. Mahkamah Agung (MA) belum juga memberikan putusan dan bahkan menangguhkan kasus ini dengan alasan menunggu pengujian UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) selesai terlebih dahulu.
Mandeknya proses persidangan di MA tersebut telah mencuatkan kembali kegaduhan politik, terutama setelah keluarnya keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang membolehkan mantan napi koruptor maju sebagai caleg. Menurut Bawaslu, PKPU tersebut bertentangan dengan UU Pemilu yang secara hierarkis kedudukannya lebih tinggi.
Dalam teori perundang-undangan, pertentangan norma suatu peraturan dengan peraturan yang hierarkinya lebih tinggi merupakan sebuah persoalan serius karena hakikatnya, peraturan yang lebih rendah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan di atasnya. Peraturan yang lebih tinggi merupakan sumber legitimasi bagi keberlakuan peraturan di bawahnya.
Karenanya berlaku asas lex superior derogat legi inferior, yakni hukum yang kedudukannya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Artinya jika terdapat pertentangan norma antarkeduanya, yang berlaku adalah peraturan yang memiliki derajat lebih tinggi.
Secara berurutan, kedudukan (derajat) peraturan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah menurut Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 adalah: (a) UUD 1945, (b) ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, (c) undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, (d) peraturan pemerintah, (e) peraturan presiden, (f) peraturan daerah provinsi, dan (g) peraturan daerah kabupaten/kota.
Problem Dualisme Pengujian Peraturan
Kebenaran akan adanya kontradiksi norma peraturan harus diuji terlebih dahulu di lembaga yudisial. Saat ini pengujian peraturan dilakukan dua lembaga, yaitu pengujian UU terhadap UUD yang menjadi kompetensi MK (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945) dan pengujian peraturan di bawah UU terhadap UU sebagai yurisdiksi MA (Pasal 24A ayat (1) UUD 1945).
Model dualisme ini mengandung sejumlah persoalan. Pertama, ada kemungkinan terdapat peraturan di bawah UU tidak bertentangan dengan UU, tetapi bertentangan langsung dengan UUD 1945. Bila hal ini terjadi, tidak akan ada satu pun lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian.
MA tidak memiliki kompetensi untuk mengadili karena peraturan yang akan menjadi batu ujinya adalah UUD. Sementara MA hanya berwenang mengujinya dengan UU. Begitu juga MK tidak berwenang memeriksanya karena objek peraturan yang akan diuji adalah peraturan di bawah UU, sementara kompetensi MK adalah menguji UU.
Kedua, bila sebuah peraturan di bawah UU yang diduga bertentangan dengan UU sedang diperiksa oleh MA, tetapi pada saat yang bersamaan UU yang menjadi batu ujinya juga sedang diadili di MK, sangat mungkin terjadi hal berikut. MA menyatakan peraturan di bawah UU tersebut tidak bertentangan dengan UU. Sementara pada saat bersamaan MK membatalkan UU yang dijadikan acuan oleh MA tersebut karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Bila hal demikian terjadi, putusan MA akan menjadi sia-sia karena secara hukum, jika suatu peraturan dinyatakan tidak berlaku/batal, secara otomatis peraturan di bawahnya yang menginduk pada peraturan yang dibatalkan tersebut juga harus dianggap tidak sah.
Memang, kemungkinan terjadinya hal demikian telah diantisipasi melalui Pasal 55 UU MK yang menyatakan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan apabila UU yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian MK sampai ada putusan MK.
Ketentuan tersebut di satu sisi memberikan solusi agar ada konsistensi antara putusan MA dan MK dalam pengujian peraturan yang masih memiliki keterkaitan. Namun pada sisi yang lain, mekanisme ini sangat berpeluang melanggar hak konstitusional warga negara, terutama bila aturan yang sedang dihentikan pemeriksaannya oleh MA tersebut membutuhkan putusan yang segera karena keberlakuan peraturan tersebut dibatasi tenggat waktu.
Keberlakuan PKPU tentang larangan caleg mantan napi koruptor jelas dibatasi waktu, yaitu sampai KPU secara resmi menetapkan daftar caleg tetap (DCT). Bila sampai batas waktu tersebut MA belum mengeluarkan putusan, PKPU tersebut harus dianggap sah dan secara otomatis semua mantan napi koruptor tidak boleh menjadi caleg. Maka bila suatu saat putusan MA menyatakan PKPU tersebut bertentangan dengan UU Pemilu, tetapi tahapan penetapan caleg telah usai dan mantan napi koruptor telanjur tidak diizinkan untuk ikut berkontestasi dalam Pemilu 2019, jelas hal itu akan merugikan hak sebagian warga negara.
Mendesak
Dengan demikian pengintegrasian pengujian semua peraturan perundang-undangan di satu lembaga menjadi sangat mendesak untuk dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran hak warga negara yang dilakukan para pembentuk peraturan. Sebab salah satu fungsi utama judicial review adalah untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Sayangnya arah menuju ke sana sangat berat karena harus melalui amendemen konstitusi. Namun bila para anggota MPR memiliki persepsi yang sama bahwa UUD 1945 yang berlaku saat ini tidak cukup memberikan perlindungan hak bagi warga negara secara komprehensif, jalan untuk mengamendemen ulang UUD bisa dengan mudah dilakukan. Karena syarat paling sulit untuk melakukan amendemen adalah mengumpulkan dukungan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
(whb)