Melawan Reproduksi Korupsi

Jum'at, 14 September 2018 - 08:15 WIB
Melawan Reproduksi Korupsi
Melawan Reproduksi Korupsi
A A A
Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, KupangBADAN Kepegawaian Negara (BKN) menyatakan sebanyak 2.674 pegawai negeri sipil (PNS) terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap alias inkracht. Namun baru sekitar 317 PNS yang dipecat, sedangkan 2.357 PNS lainnya masih aktif bekerja dan menerima gaji (KORAN SINDO, 5/9). Akibat dari perbuatan tersebut negara dirugikan sekitar Rp21 triliun selama 3 tahun terakhir. Nilai yang fantastis untuk ukuran keuangan negara yang lagi cekak saat ini.
Dari data BKN yang diperoleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada 14 daerah yang mencetak banyak PNS korupsi, yakni Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Makassar, Jakarta, Medan, Palembang, Banjarmasin, Jayapura, Denpasar, Manado, Pekanbaru, Banda Aceh, dan Manokwari. Dari total 2.357 PNS yang terlibat korupsi dan masih aktif, yang telah dipecat atau diberhentikan secara tidak hormat ada 317 dan 1.424 telah diblokir.

Negara masih bersikap lembek terhadap para birokrat korup. Bagaimana mungkin, mereka yang sudah dijatuhi hukuman masih juga diberi dispensasi untuk menikmati uang dan fasilitas yang bukan haknya lagi. Ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi dan sistem pengawasan internal pada lembaga pemerintah belum berjalan efektif.Apalagi selama ini reformasi birokrasi masih ditekankan pada kenaikan penghasilan PNS semata sembari abai pada penataan organisasi dan penguatan integritas dan profesionalisme sebagaimana mandat UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pengawasan yang lemah semakin diperburuk oleh rendahnya pelaporan harta kekayaan ASN. Berdasarkan data catatan Kemenpan-RB pada akhir 2016, laporan harta kekayaan ASN tingkat kementerian atau lembaga baru mencapai 70,71% (provinsi 68,84% dan kabupaten/kota 43,23%).

Data itu tentu saja menyimpan kelatenan perangai korup birokrat yang makin menjadi-jadi. Berdasarkan data yang dipublikasi situs KPK (3/9/2017) untuk kategori PNS eselon I, II, dan III ada 2 orang yang melakukan tindak pidana korupsi pada 2014, kemudian meningkat menjadi 7 orang (2015), 10 orang (2016), dan 2 orang (2017).

Maka sejak 2014 hingga 2017 ada 155 orang yang melakukan tindak pidana korupsi. Jumlah itu menempati posisi kedua terbanyak setelah pelaku korupsi dari pihak swasta yang berjumlah 170 orang. Ternyata data tersebut jauh lebih kecil dari data terbaru yang menggegerkan publik itu.

Setiap tahun negara seakan “membakar uang” untuk membiayai ASN. Pada 2017, pemerintah menggelontorkan Rp495,7 triliun untuk membayar gaji PNS pusat maupun daerah sebanyak 4 jutaan orang. Ironisnya dari 4 jutaan itu, mereka yang memiliki kompetensi tinggi yang bisa diandalkan untuk bekerja profesional hanya 11,5%, sedangkan 34,5% lainnya berkompetensi rendah. Mestinya anggaran segemuk itu bisa meringankan beban kerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik.

Namun kenyataannya menurut Kemenpan-RB tata kelola sektor publik di Indonesia masih terhitung rendah bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Merujuk pada laporan Global Competitiveness Report (2016–2017), peringkat daya saing kita turun empat level dari 37 menjadi 41. Kita kalah dari Thailand (34), Malaysia (25), apalagi Singapura (2). Menurut laporan tersebut, menurunnya daya saing Indonesia karena faktor problem birokrasi dan korupsi.

Paradoks

Sulit dinafikan bahwa meskipun resistensi terhadap korupsi terus digelorakan dari tingkat pemerintah hingga masyarakat akar rumput, bibit-bibit korupsi juga terus tumbuh bak jamur di musim hujan. Mereka yang dianggap beragama, tahu etika, hukum sehingga memiliki imunitas untuk melawan korupsi justru menjadi pengisi barisan prominen dalam mempraktikkan korupsi. Ini selaras dengan paradoks yang sudah membumi di kalangan rakyat bahwa orang jujur, lurus hati hanya dianggap sebagai masyarakat “residu” dari kelompok orang-orang kaya karena korup tapi dihormati masyarakat berhubung kehormatan telanjur diukur dengan simbol-simbol kesuksesan lahiriah (Magnis Suseno, 2012).

Meminjam ungkapan Susana Langer (dalam Morissan, 2013), itulah yang menstimulasi orang-orang untuk pada akhirnya berpikir pragmatis, instan dalam mencapai tujuan, termasuk merampok uang negara demi meraih reputasi invalid dimaksud.

Tiap tahun orang-orang berlomba berburu melamar jadi PNS sebagai profesi primodana, bukan karena rindu melayani rakyat secara tulus, penuh dedikasi, tetapi semata-mata karena mereka menganggap bahwa PNS adalah simbol prestise dan cara paling mudah atau “instan” untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang baik sampai di hari tua, termasuk lahan korupsi. Itu sebabnya saban musim pembukaan penerimaan CPNS selalu muncul calo-calo yang memanfaatkan mentalitas memprimadonakan PNS tersebut seperti kasus terkini di Bengkulu.

Motivasi itulah yang kemudian menciptakan reproduksi korupsi lewat keterulangan praktik-praktik korup yang jarang dipertanyakan lagi oleh masyarakat (Herry Priyono, 2002: 29). Masyarakat kian hari kian permisif untuk memberikan karpet merah bagi para perilaku korupsi sehingga menghilangkan kesadaran diskursif (kesadaran kritis untuk merenungkan korupsi sebagai sebuah kejahatan) para calon dan pelaku korupsi untuk menghentikan kebiasaan destruktifnya.

Simak saja, skandal korupsi yang dilakukan 41 dari jumlah total 45 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur. Mereka diduga “memeras” eksekutif atas dugaan suap pembahasan APBD-P 2015. Dengan perincian kasus suap Pemkot-DPRD Kota Malang seperti ini: uang pokok pikiran Rp700 juta yang belakangan diketahui merupakan uang suap dari Wali Kota Malang Mochamad Anton senilai Rp 18 juta, “uang sampah” Rp 300 juta, fee 1% APBD 2015 Rp5,8 miliar, hal itu memperlihatkan antiklimaks di wajah mereka yang masih semringah di depan kamera meski sudah mengenakan rompi oranye.

Sistem yang Patologis

Bahkan kasus sejenis juga pernah terjadi di wilayah lain seperti di Kota Medan, Sumut. Bahkan jumlah yang terjerat lebih besar, yakni 50 anggota DPRD atau semua anggota parlemen daerah itu terlibat korupsi. Para anggota DPRD Sumut itu berasal dari periode 2009–2014 yang kemudian dijerat KPK dengan sangkaan penerimaan suap dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.

Yang mau dikatakan dari fakta tersebut, pertama, prinsip etis-moral dan kesadaran diskursif dalam diri untuk menolak kejahatan rasuah dan sebaliknya berlaku jujur, penuh integritas kian tereduksi oleh tribalitas kenikmatan korup. Mereka kehilangan rasa malu dan keadaban sehingga sekalipun sudah banyak politisi yang masuk penjara karena korupsi, hal itu tak menerbitkan rasa jera; kedua, akar korupsi ada pada kepentingan oligarkis yang selalu menikmati proses korupsi lewat perilaku kader-kader politik di tubuh pemerintahan (Hadiz, 2005).

Sulit untuk menafikan bahwa maraknya praktik korup di kalangan politisi, termasuk wakil rakyat, dikarenakan patologisnya sistem politik, termasuk sistem kaderisasi dan perekrutan di parpol yang lebih berbasis uang ketimbang integritas dan kapabilitas. Ini sulit diubah selama para oligarkis partai masih menjadikan sistem tersebut untuk memperkuat kekuasaan mereka. Tidak mengherankan, meskipun pakta integritas yang melarang napi eks koruptor mencalonkan diri dalam bursa caleg Pemilu 2019 sudah ditandatangani oleh parpol, parpol tetap saja mencalonkan kader-kader mereka yang mantan koruptor.

Maka melawan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan sistem penegakan hukum semata. Yang tak kalah penting adalah membangun sistem rekrutmen, seleksi, dan promosi yang meritokratis bagi politisi, termasuk birokrat, untuk mencegah benih-benih penyimpangan korupsi. Ini akan semakin efektif jika elemen masyarakat terus bersatu melakukan kontrol moral secara kontinu terhadap keberlangsungan penegakan sistem antikorupsi, terutama dalam upaya pencegahan korupsi baik di parpol maupun di birokrasi.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0764 seconds (0.1#10.140)