Kisruh Caleg Mantan Koruptor
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
JAGAT politik Tanah Air kembali kisruh setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan bakal caleg (bacaleg) mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Keputusan Bawaslu ini memantik kegaduhan lantaran menganulir Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten, dan kota yang melarang bekas koruptor menjadi caleg.
Ihwal lolosnya caleg mantan koruptor berawal dari putusan Bawaslu daerah yang mengabulkan gugatan Syahrial Damapolii, bakal calon anggota DPD asal Sulawesi Utara; Abdullah Puteh, bakal calon anggota DPD Aceh; dan bacaleg DPRD Toraja Utara Joni Kornelius Tondok yang awalnya dinyatakan tidak memenuhi syarat karena berstatus eks narapidana korupsi. Putusan Bawaslu daerah itu nyatanya “memprovokasi” bacaleg bekas koruptor lainnya melakukan gugatan serupa.
Banyak pihak berharap Bawaslu RI menunda putusan Bawaslu daerah itu karena bertentangan dengan Peraturan KPU. Alih-alih menunda, Bawaslu justru melegitimasi putusan kontroversial tersebut serta menuding Peraturan KPU mencederai demokrasi karena sewenang-wenang membatasi hak konstitusional warga negara.
Bawaslu berdalih, demokrasi sejatinya menyediakan ruang terbuka bagi setiap warga untuk ikut berkompetisi dalam jabatan publik. KPU tak bisa melampaui hak konstitusional yang melekat pada dirinya yang sebatas penyelenggara pemilu, bukan menghambat hak politik orang lain. Hanya pengadilan yang berhak menetapkan dan mencabut hak politik seseorang.
Perseteruan KPU dan Bawaslu seakan membuka memori “luka lama” soal kisruh sebelum ditetapkannya larangan eks koruptor menjadi caleg. Dua lembaga ini sejak awal memang terlihat saling menegasi berebut klaim paling sahih dalam membangun argumen.
Matahari Kembar
Laiknya matahari kembar, KPU dan Bawaslu telah bersaing keras sejak awal pembahasan caleg bekas narapidana korupsi digulirkan ke publik. Ide keduanya nyaris tak pernah ketemu. Padahal, secara substansial pelarangan caleg koruptor sebagai upaya menyaring calon pemimpin bersih. Hanya itulah upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk meminimalisasi kemunculan perilaku korup anggota dewan dengan mengurangi caleg bermasalah.
Secara regulasi, KPU punya otoritas membuat peraturan turunan pascaverifikasi administrasi semua caleg. Soal apakah tafsir turunan yang berupa Peraturan KPU sesuai atau tidak dengan selera publik harus disikapi secara konstitusional. Bawaslu mestinya bersabar menunggu fatwa final Mahkamah Agung (MA) karena Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 sedang digugat (judicial review) kalangan aktivis prodemokrasi. Bukan malah “bermain hakim sendiri” menerabas ketentuan yang jelas sah peruntukannya.
Putusan Bawaslu jelas menjadi preseden buruk karena ada aturan yang sengaja ditabrak. Ada hak konstitusional yang bisa digunakan Bawaslu. Sebagai anak kembar penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu sejatinya mampu bersinergi tanpa harus mengumbar aurat perbedaan ke publik. Tak elok rasanya jika penyelenggara pemilu malah sibuk bertengkar tak karuan.
Regulasi mengatur tegas jika terdapat satu klausul perundangan yang tak sesuai, ada mekanisme hukum yang bisa digunakan, yakni mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) atau mediasi melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk mencari jalan ke luar.
Bangsa ini sudah lelah karena sering dipertontonkan pertikaian antarlembaga negara. Misalnya kisruh DPR versus KPK yang perdebatannya tak produktif maupun pertikaian KPK dengan Polri yang disimbolisasi dengan cicak dan buaya. Performa kinerja KPU dan Bawaslu sejatinya senapas seirama dengan meredam segala konfrontasi politik berlebihan.
Titik Temu
Kata pepatah bijak, tak perlu menangisi susu yang sudah tumpah karena tak ada gunanya. Tak perlu pula selalu mengutuk kegelapan. Mulailah nyalakan lilin dalam kegelapan. Perseteruan KPU dan Bawaslu mesti segera dicarikan titik temunya. Tak perlu lama terjebak dalam ego sektoral masing-masing lembaga. Apalagi, caleg definitif akan segera diumumkan KPU yang pada fase selanjutnya memasuki tahapan kampanye pada akhir bulan ini.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencari titik temu kebuntuan politik dua lembaga penyelenggara pemilu. Pertama, KPU dan Bawaslu segera meminta fatwa MA soal legalitas peraturan KPU yang melarang caleg bekas koruptor jadi caleg apakah sah sebagai acuan hukum pemilu. Di tengah upaya penantian fatwa itu, tentu saja segala manuver meloloskan caleg bekas koruptor harus dihentikan.
Hal ini penting dilakukan sebagai upaya meredakan tensi ketegangan dua pihak yang saling ekstrem. Saat ini MA menunda judicial review terhadap PKPU karena pada saat bersamaan klausul larangan mantan napi korupsi jadi caleg juga tengah diuji materikan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Publik menarasikan KPU dan Bawaslu sebagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi, saling mendukung, dan saling melindungi dari berbagai distorsi. Bukan malah “bersaing” seakan berebut menjadi pemain bintang yang ingin pentas monolog menguasai panggung permainan sendirian. Butuh kedewasaan tingkat dewa meredakan ego sektoral antarlembaga. Jangan sampai publik apatis ikut pemilu akibat pertikaian yang tak kunjung selesai ini.
Kedua, pendekatan elite dengan menegaskan kembali pentingnya pakta integritas mengusung caleg bersih. Baiknya KPU dan Bawaslu melakukan pendekatan persuasif ke elite-elite partai untuk menarik caleg yang bermasalah. Suka tak suka, elite partai adalah veto player penentu segala-galanya dalam proses seleksi pencalonan.
Partai telah menandatangani pakta integritas yang isinya sepakat untuk tidak mencalonkan mantan napi korupsi. Partai perlu diingatkan kembali soal komitmen ini. Sebab itulah, kehendak baik (political will) para elite partai menjadi salah satu harapan memutus mata rantai kisruh sengketa caleg koruptor.
Robert Michel dalam Political Party (1984) menyebut elite partai sebagai aktor dominan dalam menentukan kebijakan politik internal partai. Ada hukum besi oligarkis yang bisa digunakan dalam rangka mencegah caleg bermasalah berlaga di pentas politik terhormat. Dalam konteks inilah, "tangan besi" elite parpol harus hadir nyata menyaring kader terbaik menjadi caleg.
Dalam terminologi politik modern disebutkan bahwa calon anggota dewan layaknya seorang agen yang tugas utamanya menyampaikan kepentingan rakyat. Relasi keduanya bersifat mutualisme simbiosis yang saling membutuhkan. Sebab itu, penting kiranya bagi setiap partai untuk menyaring calon politisi parlemen yang berintegritas dengan rekam jejak bersih.
Dalam pola relasi saling membutuhkan, rakyat memiliki peran strategis sebagai pemberi hadiah (reward) dan hukuman (punishment) kepada calon anggota dewan tersebut. Jika calon dewan memiliki rekam baik, bersih, dan berintegritas, kemungkinan besar rakyat akan memilihnya saat pemilu. Sebaliknya, jika calon dewan memiliki lembaran kelam masa lalu, rakyat cenderung ingin menghakimi dengan tidak memilih mereka.
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
JAGAT politik Tanah Air kembali kisruh setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan bakal caleg (bacaleg) mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Keputusan Bawaslu ini memantik kegaduhan lantaran menganulir Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten, dan kota yang melarang bekas koruptor menjadi caleg.
Ihwal lolosnya caleg mantan koruptor berawal dari putusan Bawaslu daerah yang mengabulkan gugatan Syahrial Damapolii, bakal calon anggota DPD asal Sulawesi Utara; Abdullah Puteh, bakal calon anggota DPD Aceh; dan bacaleg DPRD Toraja Utara Joni Kornelius Tondok yang awalnya dinyatakan tidak memenuhi syarat karena berstatus eks narapidana korupsi. Putusan Bawaslu daerah itu nyatanya “memprovokasi” bacaleg bekas koruptor lainnya melakukan gugatan serupa.
Banyak pihak berharap Bawaslu RI menunda putusan Bawaslu daerah itu karena bertentangan dengan Peraturan KPU. Alih-alih menunda, Bawaslu justru melegitimasi putusan kontroversial tersebut serta menuding Peraturan KPU mencederai demokrasi karena sewenang-wenang membatasi hak konstitusional warga negara.
Bawaslu berdalih, demokrasi sejatinya menyediakan ruang terbuka bagi setiap warga untuk ikut berkompetisi dalam jabatan publik. KPU tak bisa melampaui hak konstitusional yang melekat pada dirinya yang sebatas penyelenggara pemilu, bukan menghambat hak politik orang lain. Hanya pengadilan yang berhak menetapkan dan mencabut hak politik seseorang.
Perseteruan KPU dan Bawaslu seakan membuka memori “luka lama” soal kisruh sebelum ditetapkannya larangan eks koruptor menjadi caleg. Dua lembaga ini sejak awal memang terlihat saling menegasi berebut klaim paling sahih dalam membangun argumen.
Matahari Kembar
Laiknya matahari kembar, KPU dan Bawaslu telah bersaing keras sejak awal pembahasan caleg bekas narapidana korupsi digulirkan ke publik. Ide keduanya nyaris tak pernah ketemu. Padahal, secara substansial pelarangan caleg koruptor sebagai upaya menyaring calon pemimpin bersih. Hanya itulah upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk meminimalisasi kemunculan perilaku korup anggota dewan dengan mengurangi caleg bermasalah.
Secara regulasi, KPU punya otoritas membuat peraturan turunan pascaverifikasi administrasi semua caleg. Soal apakah tafsir turunan yang berupa Peraturan KPU sesuai atau tidak dengan selera publik harus disikapi secara konstitusional. Bawaslu mestinya bersabar menunggu fatwa final Mahkamah Agung (MA) karena Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 sedang digugat (judicial review) kalangan aktivis prodemokrasi. Bukan malah “bermain hakim sendiri” menerabas ketentuan yang jelas sah peruntukannya.
Putusan Bawaslu jelas menjadi preseden buruk karena ada aturan yang sengaja ditabrak. Ada hak konstitusional yang bisa digunakan Bawaslu. Sebagai anak kembar penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu sejatinya mampu bersinergi tanpa harus mengumbar aurat perbedaan ke publik. Tak elok rasanya jika penyelenggara pemilu malah sibuk bertengkar tak karuan.
Regulasi mengatur tegas jika terdapat satu klausul perundangan yang tak sesuai, ada mekanisme hukum yang bisa digunakan, yakni mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) atau mediasi melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk mencari jalan ke luar.
Bangsa ini sudah lelah karena sering dipertontonkan pertikaian antarlembaga negara. Misalnya kisruh DPR versus KPK yang perdebatannya tak produktif maupun pertikaian KPK dengan Polri yang disimbolisasi dengan cicak dan buaya. Performa kinerja KPU dan Bawaslu sejatinya senapas seirama dengan meredam segala konfrontasi politik berlebihan.
Titik Temu
Kata pepatah bijak, tak perlu menangisi susu yang sudah tumpah karena tak ada gunanya. Tak perlu pula selalu mengutuk kegelapan. Mulailah nyalakan lilin dalam kegelapan. Perseteruan KPU dan Bawaslu mesti segera dicarikan titik temunya. Tak perlu lama terjebak dalam ego sektoral masing-masing lembaga. Apalagi, caleg definitif akan segera diumumkan KPU yang pada fase selanjutnya memasuki tahapan kampanye pada akhir bulan ini.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencari titik temu kebuntuan politik dua lembaga penyelenggara pemilu. Pertama, KPU dan Bawaslu segera meminta fatwa MA soal legalitas peraturan KPU yang melarang caleg bekas koruptor jadi caleg apakah sah sebagai acuan hukum pemilu. Di tengah upaya penantian fatwa itu, tentu saja segala manuver meloloskan caleg bekas koruptor harus dihentikan.
Hal ini penting dilakukan sebagai upaya meredakan tensi ketegangan dua pihak yang saling ekstrem. Saat ini MA menunda judicial review terhadap PKPU karena pada saat bersamaan klausul larangan mantan napi korupsi jadi caleg juga tengah diuji materikan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Publik menarasikan KPU dan Bawaslu sebagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi, saling mendukung, dan saling melindungi dari berbagai distorsi. Bukan malah “bersaing” seakan berebut menjadi pemain bintang yang ingin pentas monolog menguasai panggung permainan sendirian. Butuh kedewasaan tingkat dewa meredakan ego sektoral antarlembaga. Jangan sampai publik apatis ikut pemilu akibat pertikaian yang tak kunjung selesai ini.
Kedua, pendekatan elite dengan menegaskan kembali pentingnya pakta integritas mengusung caleg bersih. Baiknya KPU dan Bawaslu melakukan pendekatan persuasif ke elite-elite partai untuk menarik caleg yang bermasalah. Suka tak suka, elite partai adalah veto player penentu segala-galanya dalam proses seleksi pencalonan.
Partai telah menandatangani pakta integritas yang isinya sepakat untuk tidak mencalonkan mantan napi korupsi. Partai perlu diingatkan kembali soal komitmen ini. Sebab itulah, kehendak baik (political will) para elite partai menjadi salah satu harapan memutus mata rantai kisruh sengketa caleg koruptor.
Robert Michel dalam Political Party (1984) menyebut elite partai sebagai aktor dominan dalam menentukan kebijakan politik internal partai. Ada hukum besi oligarkis yang bisa digunakan dalam rangka mencegah caleg bermasalah berlaga di pentas politik terhormat. Dalam konteks inilah, "tangan besi" elite parpol harus hadir nyata menyaring kader terbaik menjadi caleg.
Dalam terminologi politik modern disebutkan bahwa calon anggota dewan layaknya seorang agen yang tugas utamanya menyampaikan kepentingan rakyat. Relasi keduanya bersifat mutualisme simbiosis yang saling membutuhkan. Sebab itu, penting kiranya bagi setiap partai untuk menyaring calon politisi parlemen yang berintegritas dengan rekam jejak bersih.
Dalam pola relasi saling membutuhkan, rakyat memiliki peran strategis sebagai pemberi hadiah (reward) dan hukuman (punishment) kepada calon anggota dewan tersebut. Jika calon dewan memiliki rekam baik, bersih, dan berintegritas, kemungkinan besar rakyat akan memilihnya saat pemilu. Sebaliknya, jika calon dewan memiliki lembaran kelam masa lalu, rakyat cenderung ingin menghakimi dengan tidak memilih mereka.
(maf)