Ancaman Disrupsi Prestasi
A
A
A
FAJAR S PRAMONO
Alumnus Fakultas Pertanian UNS
DISRUPSI adalah gangguan. Disrupsi adalah ancaman. Istilah ini banyak muncul menjadi sebuah terma bisnis yang mengingatkan bahwa existing condition mengenai kejayaan dan kesuksesan sebuah perusahaan atau individu penyedia produk barang dan jasa, akan terancam eksistensinya oleh para pemain baru di bidang yang sama apabila perusahaan atau individu itu tidak mau melakukan inovasi dan pembaruan.
Pada awal kemunculannya, istilah disrupsi sempat disikapi sebagai prediksi yang berlebihan. Rhenald Kasali sebagai salah satu “pencetus utama” istilah itu di Indonesia, didebat dari kanan dan kiri oleh banyak pihak yang mengatakan bahwa prediksi era disrupsi bersifat kontraproduktif bagi perjalanan banyak perusahaan di negeri ini. Bahwa prediksi soal disrupsi dianggap menebarkan virus “ketakutan akan masa depan”, sehingga berbagai pihak tidak tenang dan nyaman lagi ketika berproduksi.
Tapi seiring perjalanan waktu, terbukti bahwa era disrupsi merupakan sebuah keniscayaan. Sebuah hal yang pasti. Dan, berbagai fenomena mengamini, bahwa benar, jika seseorang atau sebuah perusahaan terlena oleh kejayaan dan kehebatannya di masa kini, maka ia akan terlindas oleh newcomers yang datang membawa inovasi untuk masa nanti.
Disrupsi Prestasi
Sesungguhnya, isu disrupsi ini bisa diimplementasikan di hampir semua ranah kehidupan manusia. “Manusia lama” yang hebat pada zamannya akan digantikan oleh para “manusia baru” yang lebih hebat di masa berikutnya. Kita lihat, betapa generasi baru selalu muncul dalam level kehebatan yang berlipat dibanding generasi pendahulunya. Di abad teknologi, regenerasi terasa begitu cepat, kendati secara biologis, umur hidup manusia tak banyak berubah dari rata-rata usia hidup dan usia produktif generasi-generasi sebelumnya.
Kita melihat juga, bagaimana rekor demi rekor pencapaian terbaik selalu berubah positif dari hari ke hari. Amsal “di atas langit masih ada langit” semakin tampak kebenarannya. Bahwa sesuatu yang dianggap luar biasa pada masanya, dalam kejapan mata dikalahkan dengan keluarbiasaan baru yang berlipat ganda nilai pencapaian dan kehebatannya. Prestasi olahraga juga demikian adanya.
Kita bisa melihat rekor demi rekor dari berbagai ajang olahraga semakin baik dan seolah semakin “tidak masuk akal”. Rekor lari dunia 100 meter putra misalnya. Ketika rekor ini mulai diakui Federasi Atletik Internasional (IAAF) pada tahun 1912 mencatatkan nama Don Lippincott dari Amerika Serikat sebagai manusia tercepat dengan catatan waktu 10,6 detik, rekor itu ternyata hanya bertahan tak lebih dari sembilan tahun manakala Charlie Paddock –juga dari Amerika Serikat– mencatatkan waktu 10,4 detik pada sebuah kejuaraan di Relands, AS tanggal 23 April 1921.
Rekor itu terus dipecahkan pada kurun tahun-tahun berikutnya, sampai Usain Bolt (Jamaika) berhasil mencatat waktu terbaiknya yaitu 9,58 detik pada 16 Agustus 2009 di Berlin, Jerman. Usain Bolt sendiri sesungguhnya sudah menjadi pemegang rekor dunia lari 100 meter putra sejak 31 Mei 2008, ketika ia menjadi jawara pada kejuaraan di New York, AS.
Saat itu, ia sudah mampu mencatat waktu 9,72 detik, mengalahkan catatan waktu teman senegaranya Asafa Powell yang memiliki catatan rekor 9,74 detik sekitar satu tahun sebelumnya. Coba lihatlah rekor-rekor pretasi olahraga yang lain. Grafiknya nyaris serupa : prestasi demi prestasi yang semakin baik terus tercipta. Pencetak rekor baru tidak harus berarti mengalahkan secara peer to peer pada sebuah pertandingan atau perlombaan, karena yang “dikalahkan” adalah prestasinya. Pencapaiannya.
Pertanyaannya, bagaimana rekor baru bisa selalu tercipta, sementara manusia secara kodrati terlahir “sama” dari zaman ke zaman? Jawabannya adalah inovasi dalam mencetak prestasi. Mulai dari metode pelatihannya, pengelolaan organisasinya, bentuk dukungan pemerintahan dan masyarakatnya, penggunaan alat-alat latihannya, teknik permainannya, strategi bertandingnya, pemberian motivasinya, kenyamanan hidup official dan pemainnya, hingga ke kualitas asupan gizi untuk tubuh para atletnya.
Faktor-faktor itulah yang bisa membuat generasi berikutnya bisa berbuat “lebih” dibanding generasi pendahulunya. Dan itu adalah efek “disrupsi prestasi”. Keinginan yang kuat untuk mencetak prestasi yang lebih tinggi, yang senantiasa harus diimbangi dengan “inovasi-inovasi” tiada henti dalam berbagai faktor yang melingkupinya.
Para pengurus cabang olahraga (punggawa organisasi/federasi dan tim pelatih) yang paham dengan tuntutan semacam ini pasti akan selalu berusaha belajar dari pengalaman, lalu berupaya memperbaiki diri dan kondisi. Kendati, penerapannya nanti tidak selalu bisa diimplementasikan pada atlet yang sama. Ingat, bahwa pelaku olahraga adalah manusia, yang memiliki keterbatasan alami dan berkejaran dengan faktor usia. Ini yang membedakannya dengan implementasai “sadar disrupsi” di dunia usaha.
Dan, sebagai sebuah aktivitas universal yang bisa dilakukan oleh semua manusia di semua negara di muka bumi ini, maka prestasi demi prestasi olahraga yang ditorehkan bisa menjadi sebuah ranah nasionalistik ketika seorang atlet bertindak sebagai duta olahraga yang membawa nama bangsa dan negara di pundaknya. Asian Games 2018 menjadi contohnya.
Betapa kebanggaan kita sebagai warga negara Indonesia begitu membuncah, ketika kita tidak hanya sukses dalam menyelenggarakan perhelatan olahraga terbesar kedua setelah Olimpiade itu, tapi juga sukses prestasi dengan mendulang rekor baru perolehan medali (31 emas, 24 perak dan 43 perunggu), sekaligus mencatatkan rekor baru dalam peringkat klasemen akhirnya (peringkat 4 dari 45 negara).
Prestasi ini tentu sangat menggembirakan dan membanggakan. Namun euforia memang tidak boleh terlalu lama digelorakan, sebab “disrupsi prestasi” bisa saja segera terjadi. Atlet dan negara lain yang terpaksa turun peringkat tentu segera mengevaluasi dan berbenah diri, demi mengembalikan kejayaannya pada ajang olahraga setelah Asian Games di Indonesia ini.
Maka jika kita justru lengah karena euforia yang berlebihan, bisa jadi kita akan terlambat melakukan start kembali untuk pertarungan prestasi berikutnya. Sehingga bukan perbaikan prestasi yang diperoleh, namun justru penurunan prestasi.
Langkah Antisipasi
Lalu, apa yang harus dilakukan jika kita sepakat bahwa di dunia olahraga ini pun tak bisa lepas dari ancaman disrupsi? Setidaknya ada enam langkah antisipasi yang bisa dilakukan, yang secara teoritis tak berbeda jauh dengan anjuran transformasi di sektor lain yang juga rentan disrupsi (usaha, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain).
Pertama, biasakan trend watching. Atlet, official dan pembina olahraga nasional harus menjadi pengamat yang baik atas tren yang berkembang di level makro olahraga dunia. Perkembangan piranti pendukung latihan, perubahan metodologi pertandingan dan aturan, capaian-capaian prestasi atlet dari negara pesaing, serta perkembangan teknik serta strategi bertanding, harus menjadi “makanan wajib” yang dicermati setiap hari.
Kedua, lakukan research. Riset dilakukan untuk memastikan kebenaran informasi yang diperoleh dari aktivitas trend watching. Jika benar, maka bisa dilakukan langkah analisa dan evaluasi, apakah ilmu dan teknologi baru yang ada di belahan bumi lain itu bisa diimplementasikan sebagai alternatif pola pembinaan yang baru di Indonesia.
Ketiga, jangan lupa untuk menerapkan risk management ketika kita akan mengimplementasikan sebuah metode baru. Berbagai hal sangat mungkin tidak selalu cocok dengan kondisi fisik atlet dan kondisi pusat latihan yang berkarakter khas Indonesia. Namun demikian, penyesuaian-penyesuaian tentu bisa dilakukan, semisal dengan melakukan lawatan tanding atau bahkan mengirim atlet dan pelatih untuk belajar di negeri asal inovasi.
Keempat, inovasi itu sendiri, Dari berbagai asupan materi baru hasil trend watching, research dan perhitungan risk management di atas, lakukan inovasi-inovasi baru yang paling sesuai dengan kondisi atlet-atlet kita. Standar yang diterapkan di kawah candradimuka alias pusat pelatihan kita tentu tidak harus selalu sama persis dengan standar yang ada di luar sama. Namun muaranya harus dipastikan sama, yakni pencapaian hasil latihan dan prestasi yang lebih baik di masa kemudian.
Kelima, jalin partnership. Untuk meraih prestasi, kerjasama harus digalang dengan berbagai pihak. Apalagi jika kita sadar bahwa tidak semua biaya, kebutuhan dan standar ilmu terbaru bisa serta-merta kita dapatkan. Kerja sama di sini tentu bisa diartikan sebagai terobosan dalam upaya memenuhi kebutuhan latihan secara lebih efisien bagi organisasi (misal dengan pola bapak asuh dan sponsorship dari pihak ketiga), juga kerjasama antar organisasi atau federasi olehraga yang sama di negara lain.
Dan, keenam, ini ranah pemerintah, khususnya Kementerian pemuda dan Olahragaadalah keberanian melakukan
change management. Keberanian untuk mengubah pola pikir, budaya, dan bahkan sumber daya manusianya baik itu atlet, official, dan pengurus organisasinya.
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa ada sinyalemen yang mengatakan bahwa beberapa cabang olahraga dikelola secara
kurang profesional. Bahkan sinyal emen yang lebih sarkastis mengatakan bahwa pemilihan pengelola atau pengurus beberapa federasi olah raga nasional lekat dengan keputusan yang sifatnya politis dan tidak berorientasi
prestasi.
Tanpa bermaksud “menuduh”, ini tentu menjadi masukan yang membangun bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa seluruh pengelolaan olahraga di Tanah Air semata adalah demi kejayaan olahraga dan demi keharuman prestasi atlet Indonesia di pentas dunia. Demikian.
Alumnus Fakultas Pertanian UNS
DISRUPSI adalah gangguan. Disrupsi adalah ancaman. Istilah ini banyak muncul menjadi sebuah terma bisnis yang mengingatkan bahwa existing condition mengenai kejayaan dan kesuksesan sebuah perusahaan atau individu penyedia produk barang dan jasa, akan terancam eksistensinya oleh para pemain baru di bidang yang sama apabila perusahaan atau individu itu tidak mau melakukan inovasi dan pembaruan.
Pada awal kemunculannya, istilah disrupsi sempat disikapi sebagai prediksi yang berlebihan. Rhenald Kasali sebagai salah satu “pencetus utama” istilah itu di Indonesia, didebat dari kanan dan kiri oleh banyak pihak yang mengatakan bahwa prediksi era disrupsi bersifat kontraproduktif bagi perjalanan banyak perusahaan di negeri ini. Bahwa prediksi soal disrupsi dianggap menebarkan virus “ketakutan akan masa depan”, sehingga berbagai pihak tidak tenang dan nyaman lagi ketika berproduksi.
Tapi seiring perjalanan waktu, terbukti bahwa era disrupsi merupakan sebuah keniscayaan. Sebuah hal yang pasti. Dan, berbagai fenomena mengamini, bahwa benar, jika seseorang atau sebuah perusahaan terlena oleh kejayaan dan kehebatannya di masa kini, maka ia akan terlindas oleh newcomers yang datang membawa inovasi untuk masa nanti.
Disrupsi Prestasi
Sesungguhnya, isu disrupsi ini bisa diimplementasikan di hampir semua ranah kehidupan manusia. “Manusia lama” yang hebat pada zamannya akan digantikan oleh para “manusia baru” yang lebih hebat di masa berikutnya. Kita lihat, betapa generasi baru selalu muncul dalam level kehebatan yang berlipat dibanding generasi pendahulunya. Di abad teknologi, regenerasi terasa begitu cepat, kendati secara biologis, umur hidup manusia tak banyak berubah dari rata-rata usia hidup dan usia produktif generasi-generasi sebelumnya.
Kita melihat juga, bagaimana rekor demi rekor pencapaian terbaik selalu berubah positif dari hari ke hari. Amsal “di atas langit masih ada langit” semakin tampak kebenarannya. Bahwa sesuatu yang dianggap luar biasa pada masanya, dalam kejapan mata dikalahkan dengan keluarbiasaan baru yang berlipat ganda nilai pencapaian dan kehebatannya. Prestasi olahraga juga demikian adanya.
Kita bisa melihat rekor demi rekor dari berbagai ajang olahraga semakin baik dan seolah semakin “tidak masuk akal”. Rekor lari dunia 100 meter putra misalnya. Ketika rekor ini mulai diakui Federasi Atletik Internasional (IAAF) pada tahun 1912 mencatatkan nama Don Lippincott dari Amerika Serikat sebagai manusia tercepat dengan catatan waktu 10,6 detik, rekor itu ternyata hanya bertahan tak lebih dari sembilan tahun manakala Charlie Paddock –juga dari Amerika Serikat– mencatatkan waktu 10,4 detik pada sebuah kejuaraan di Relands, AS tanggal 23 April 1921.
Rekor itu terus dipecahkan pada kurun tahun-tahun berikutnya, sampai Usain Bolt (Jamaika) berhasil mencatat waktu terbaiknya yaitu 9,58 detik pada 16 Agustus 2009 di Berlin, Jerman. Usain Bolt sendiri sesungguhnya sudah menjadi pemegang rekor dunia lari 100 meter putra sejak 31 Mei 2008, ketika ia menjadi jawara pada kejuaraan di New York, AS.
Saat itu, ia sudah mampu mencatat waktu 9,72 detik, mengalahkan catatan waktu teman senegaranya Asafa Powell yang memiliki catatan rekor 9,74 detik sekitar satu tahun sebelumnya. Coba lihatlah rekor-rekor pretasi olahraga yang lain. Grafiknya nyaris serupa : prestasi demi prestasi yang semakin baik terus tercipta. Pencetak rekor baru tidak harus berarti mengalahkan secara peer to peer pada sebuah pertandingan atau perlombaan, karena yang “dikalahkan” adalah prestasinya. Pencapaiannya.
Pertanyaannya, bagaimana rekor baru bisa selalu tercipta, sementara manusia secara kodrati terlahir “sama” dari zaman ke zaman? Jawabannya adalah inovasi dalam mencetak prestasi. Mulai dari metode pelatihannya, pengelolaan organisasinya, bentuk dukungan pemerintahan dan masyarakatnya, penggunaan alat-alat latihannya, teknik permainannya, strategi bertandingnya, pemberian motivasinya, kenyamanan hidup official dan pemainnya, hingga ke kualitas asupan gizi untuk tubuh para atletnya.
Faktor-faktor itulah yang bisa membuat generasi berikutnya bisa berbuat “lebih” dibanding generasi pendahulunya. Dan itu adalah efek “disrupsi prestasi”. Keinginan yang kuat untuk mencetak prestasi yang lebih tinggi, yang senantiasa harus diimbangi dengan “inovasi-inovasi” tiada henti dalam berbagai faktor yang melingkupinya.
Para pengurus cabang olahraga (punggawa organisasi/federasi dan tim pelatih) yang paham dengan tuntutan semacam ini pasti akan selalu berusaha belajar dari pengalaman, lalu berupaya memperbaiki diri dan kondisi. Kendati, penerapannya nanti tidak selalu bisa diimplementasikan pada atlet yang sama. Ingat, bahwa pelaku olahraga adalah manusia, yang memiliki keterbatasan alami dan berkejaran dengan faktor usia. Ini yang membedakannya dengan implementasai “sadar disrupsi” di dunia usaha.
Dan, sebagai sebuah aktivitas universal yang bisa dilakukan oleh semua manusia di semua negara di muka bumi ini, maka prestasi demi prestasi olahraga yang ditorehkan bisa menjadi sebuah ranah nasionalistik ketika seorang atlet bertindak sebagai duta olahraga yang membawa nama bangsa dan negara di pundaknya. Asian Games 2018 menjadi contohnya.
Betapa kebanggaan kita sebagai warga negara Indonesia begitu membuncah, ketika kita tidak hanya sukses dalam menyelenggarakan perhelatan olahraga terbesar kedua setelah Olimpiade itu, tapi juga sukses prestasi dengan mendulang rekor baru perolehan medali (31 emas, 24 perak dan 43 perunggu), sekaligus mencatatkan rekor baru dalam peringkat klasemen akhirnya (peringkat 4 dari 45 negara).
Prestasi ini tentu sangat menggembirakan dan membanggakan. Namun euforia memang tidak boleh terlalu lama digelorakan, sebab “disrupsi prestasi” bisa saja segera terjadi. Atlet dan negara lain yang terpaksa turun peringkat tentu segera mengevaluasi dan berbenah diri, demi mengembalikan kejayaannya pada ajang olahraga setelah Asian Games di Indonesia ini.
Maka jika kita justru lengah karena euforia yang berlebihan, bisa jadi kita akan terlambat melakukan start kembali untuk pertarungan prestasi berikutnya. Sehingga bukan perbaikan prestasi yang diperoleh, namun justru penurunan prestasi.
Langkah Antisipasi
Lalu, apa yang harus dilakukan jika kita sepakat bahwa di dunia olahraga ini pun tak bisa lepas dari ancaman disrupsi? Setidaknya ada enam langkah antisipasi yang bisa dilakukan, yang secara teoritis tak berbeda jauh dengan anjuran transformasi di sektor lain yang juga rentan disrupsi (usaha, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain).
Pertama, biasakan trend watching. Atlet, official dan pembina olahraga nasional harus menjadi pengamat yang baik atas tren yang berkembang di level makro olahraga dunia. Perkembangan piranti pendukung latihan, perubahan metodologi pertandingan dan aturan, capaian-capaian prestasi atlet dari negara pesaing, serta perkembangan teknik serta strategi bertanding, harus menjadi “makanan wajib” yang dicermati setiap hari.
Kedua, lakukan research. Riset dilakukan untuk memastikan kebenaran informasi yang diperoleh dari aktivitas trend watching. Jika benar, maka bisa dilakukan langkah analisa dan evaluasi, apakah ilmu dan teknologi baru yang ada di belahan bumi lain itu bisa diimplementasikan sebagai alternatif pola pembinaan yang baru di Indonesia.
Ketiga, jangan lupa untuk menerapkan risk management ketika kita akan mengimplementasikan sebuah metode baru. Berbagai hal sangat mungkin tidak selalu cocok dengan kondisi fisik atlet dan kondisi pusat latihan yang berkarakter khas Indonesia. Namun demikian, penyesuaian-penyesuaian tentu bisa dilakukan, semisal dengan melakukan lawatan tanding atau bahkan mengirim atlet dan pelatih untuk belajar di negeri asal inovasi.
Keempat, inovasi itu sendiri, Dari berbagai asupan materi baru hasil trend watching, research dan perhitungan risk management di atas, lakukan inovasi-inovasi baru yang paling sesuai dengan kondisi atlet-atlet kita. Standar yang diterapkan di kawah candradimuka alias pusat pelatihan kita tentu tidak harus selalu sama persis dengan standar yang ada di luar sama. Namun muaranya harus dipastikan sama, yakni pencapaian hasil latihan dan prestasi yang lebih baik di masa kemudian.
Kelima, jalin partnership. Untuk meraih prestasi, kerjasama harus digalang dengan berbagai pihak. Apalagi jika kita sadar bahwa tidak semua biaya, kebutuhan dan standar ilmu terbaru bisa serta-merta kita dapatkan. Kerja sama di sini tentu bisa diartikan sebagai terobosan dalam upaya memenuhi kebutuhan latihan secara lebih efisien bagi organisasi (misal dengan pola bapak asuh dan sponsorship dari pihak ketiga), juga kerjasama antar organisasi atau federasi olehraga yang sama di negara lain.
Dan, keenam, ini ranah pemerintah, khususnya Kementerian pemuda dan Olahragaadalah keberanian melakukan
change management. Keberanian untuk mengubah pola pikir, budaya, dan bahkan sumber daya manusianya baik itu atlet, official, dan pengurus organisasinya.
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa ada sinyalemen yang mengatakan bahwa beberapa cabang olahraga dikelola secara
kurang profesional. Bahkan sinyal emen yang lebih sarkastis mengatakan bahwa pemilihan pengelola atau pengurus beberapa federasi olah raga nasional lekat dengan keputusan yang sifatnya politis dan tidak berorientasi
prestasi.
Tanpa bermaksud “menuduh”, ini tentu menjadi masukan yang membangun bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa seluruh pengelolaan olahraga di Tanah Air semata adalah demi kejayaan olahraga dan demi keharuman prestasi atlet Indonesia di pentas dunia. Demikian.
(thm)