Makna Hakiki Haji

Selasa, 28 Agustus 2018 - 08:10 WIB
Makna Hakiki Haji
Makna Hakiki Haji
A A A
Mohammad Nasih Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ,

Peserta Haji Undangan Raja Arab Saudi pada 2017

HAJI berasal dari kata hajja-yahujju-hijj, bermakna menuju. Di dalam beberapa ayat dan hadits Nabi Muhammad, makna menuju kemudian men­jadi spesifik karena menyebut kata al-bayt (rumah [Allah]). Jadi yang dituju adalah rumah Allah di Mekkah yang dimuliakan, bukan sem­barang menuju. Namun, dalam Islam ritual haji tidak hanya di­laksanakan di Kakbah, me­lainkan juga beberapa tempat di sekitarnya dan menjadi simbol-simbol sentral, yakni Shafa-Marwah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Haji bahkan tidak sah apabila tidak ada ritual wukuf di Arafah. Sebab, Nabi Muhammad pernah menegaskan: “Haji ada­lah Arafah”. Maksudnya, wukuf di Arafah adalah sangat penting dan tidak tergantikan.

Rangkaian pelaksanaan haji secara keseluruhan sesung­guh­nya mengandung makna yang sangat substansial. Ia tidak ha­nya gerak badan, tetapi me­rupa­kan visi hidup yang luar biasa besar dan hebat. Ali Syari’ati juga mengupas detil makna subs­tansial pada seluruh rangkaian haji ini. Ihram dimaknai sebagai pembebasan diri dari status-status duniawi yang biasanya membuat antara satu orang dengan orang yang lain menjadi berjarak, ber­kontra­diksi, dan bahkan menin­das/ meng­eksploi­tasi.

Dengan me­le­pas­kan pakaian yang biasanya di­pakai dan menggantinya dengan dua helai pakaian putih, berbagai status duniawi telah ditang­gal­kan dan tergantikan oleh satu status bagi seluruh yang melak­sanakan haji, yakni sebagai hamba Allah yang ber­himpun menjadi satu kesatuan umat. Dalam kesamaan pakai­an ser­ba­butih, semua diharap­kan me­miliki kesadaran ten­tang kele­mahan diri, bagaikan sekadar buih di lautan yang sangat luas.

Semua yang telah berihram, kemudian masuk ke dalam gerakan melingkar ke arah ber­lawanan jarum jam di sekeliling Kakbah. Disebut Kakbah kare­na memang berbentuk kubus, cube. Gerakan adalah simbol usaha. Dan Kakbah sebagai pu­sat gerak­an mestilah dipahami bahwa Allah adalah pusat se­galanya. Segala usaha haruslah didasarkan dan diorientasikan untuknya semata.

Berlanjut dengan sai (usaha) dari Shafa ke Marwah. Shafa (bening, jernih) merupakan simbol bahwa usaha keras harus dilakukan dengan hati yang tetap jernih. Usaha keras harus terus dilakukan walaupun seolah belum tampak ada hasil, bahkan tidak ada tanda-tanda sama sekali. Bagaikan Ibu Hajar yang ketika berlari-lari antara Shafa dan Marwah juga tidak menemukan air yang ia cari.

Dengan usaha sepenuh kesung­guh­an, maka yang akan Allah berikan adalah karunia dan kehormatan (marwah). Dengan harapan yang tulus hanya ke­pada Allah, Allah akan mem­berikan yang lebih baik, bahkan yang terbaik, sebagaimana Ibu Hajar mendapatkan air zam­zam pada bekas jejakan bayi mungil Nabi Ismaíil AS.

Dalam usaha yang keras, di­perlukan evaluasi kompre­hen­sif dengan melihat sekeliling. Sebab, usaha-usaha yang tidak dievaluasi tidak akan meng­alami perkembangan dan pe­ning­katan kualitas. Karena itu, diperlukan wukuf di suatu tem­pat yang disebut Arafah pada waktu siang. Waqf berarti ber­henti dan menetap untuk bebe­rapa saat. Di sinilah dilakukan perenungan mendalam untuk melahirkan dan menghadirkan pengetahuan.

Pengetahuan diawali dengan mengopti­mal­kan pancaindera. Sebab itulah, diperlukan cahaya matahari yang ada hanya di waktu siang. Seluruh indera harus diopti­mal­kan untuk membangun para­digma tentang pengetahuan, terutama tentang kualitas diri sendiri. Sebab, hanya orang yang mengenali dirinyalah yang akan mengenali Tuhannya, man arafa nafsah, faqaq arafa rabbah.

Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih kokoh, diperlukan kontemplasi yang lebih mendalam dengan meng­g­unakan kekuatan akal. Upaya ini tidak lagi memerlukan pan­ca­indera, melainkan benar-benar mengoptimalkan logika yang merupakan kekuatan ke­ma­nusi­aan tertinggi. Karena itu­lah, di­per­lukan untuk kembali wukuf atau lebih dikenal dengan ber­malam (mabit) di Muzdalifah pada malam hari.

Malam adalah simbol kegelap­an dan ketenang­an. Di dalam suasana tanpa ca­haya itu bisa dilakukan kontem­plasi yang jauh lebih mendalam untuk mengidentifikasi kebe­nar­an yang objektif. Di Muzda­lifah, para jamaah memper­siap­kan senjata berupa batu kerikil berjumlah minimal tujuh buah untuk melakukan Jumrah Aqabah. Kerikil yang lain bisa diambil di Mina.

Setelah lewat tengah malam, jamaah melanjutkan gerak me­nuju Mina. Di sinilah jamaah ber­metamorfosis bagaikan pasu­kan yang siap untuk berperang melawan segala kejahatan. Untuk melakukan serangan yang benar-benar mematikan, diperlukan persiapan. Jamaah bermalam di Mina untuk me­lakukan persiapan itu. Barulah pada waktunya, mereka berge­rak untuk melakukan lemparan mematikan yang disebut Jumrah Aqabah. Ini adalah lemparan kepada simbol yang justru berada pada posisi paling akhir karena terletak setelah tem­pat untuk melempar Jumrah Al-Ula dan Wustha.

Ali Syariíati bahkan terlalu jauh memaknai tiga lemparan jumrah itu dengan meng­hu­bung­kannya dengan Fir’aun, Qarun, dan Balíam bin Ba’ura’. Sesungguhnya sudah cukup me­maknai bahwa dalam ke­hidup­an untuk menuju ke­murnian penyembahan hanya kepada Allah, banyak sekali gangguan dan godaan. Setan selalu ber­usaha untuk melaku­kan tipu daya dengan berbagai macam bentuk.

Hanya orang-orang yang memiliki kesadaran tinggi­lah yang mampu menya­darinya dan kemudian melaku­kan usaha untuk melakukan per­lawanan. Dalam haji simbol per­lawanan itu adalah melem­par tiga jumrah. Dengan me­lem­par ketiganya, berarti pepe­rangan terhadap musuh-musuh Allah telah dilakukan. Sikap itulah yang akan mengantarkan ke­pada keselamatan di akhirat.

Menyadari betapa men­da­lam makna seluruh rangkaian ritual haji, akan membuat orang yang sudah haji merasakan betapa penting benar-benar merasakan makna hakikinya. Karena itulah, mereka yang sudah haji ber­ke­inginan untuk kembali melaku­kannya. Bukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban, me­lainkan untuk menghadirkan kesadaran tentang makna hakiki haji yang sesungguhnya sangat diper­lu­kan untuk menjalani kehidup­an selanjutnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1054 seconds (0.1#10.140)