Makna Hakiki Haji
A
A
A
Mohammad Nasih Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ,
Peserta Haji Undangan Raja Arab Saudi pada 2017
HAJI berasal dari kata hajja-yahujju-hijj, bermakna menuju. Di dalam beberapa ayat dan hadits Nabi Muhammad, makna menuju kemudian menjadi spesifik karena menyebut kata al-bayt (rumah [Allah]). Jadi yang dituju adalah rumah Allah di Mekkah yang dimuliakan, bukan sembarang menuju. Namun, dalam Islam ritual haji tidak hanya dilaksanakan di Kakbah, melainkan juga beberapa tempat di sekitarnya dan menjadi simbol-simbol sentral, yakni Shafa-Marwah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Haji bahkan tidak sah apabila tidak ada ritual wukuf di Arafah. Sebab, Nabi Muhammad pernah menegaskan: “Haji adalah Arafah”. Maksudnya, wukuf di Arafah adalah sangat penting dan tidak tergantikan.
Rangkaian pelaksanaan haji secara keseluruhan sesungguhnya mengandung makna yang sangat substansial. Ia tidak hanya gerak badan, tetapi merupakan visi hidup yang luar biasa besar dan hebat. Ali Syari’ati juga mengupas detil makna substansial pada seluruh rangkaian haji ini. Ihram dimaknai sebagai pembebasan diri dari status-status duniawi yang biasanya membuat antara satu orang dengan orang yang lain menjadi berjarak, berkontradiksi, dan bahkan menindas/ mengeksploitasi.
Dengan melepaskan pakaian yang biasanya dipakai dan menggantinya dengan dua helai pakaian putih, berbagai status duniawi telah ditanggalkan dan tergantikan oleh satu status bagi seluruh yang melaksanakan haji, yakni sebagai hamba Allah yang berhimpun menjadi satu kesatuan umat. Dalam kesamaan pakaian serbabutih, semua diharapkan memiliki kesadaran tentang kelemahan diri, bagaikan sekadar buih di lautan yang sangat luas.
Semua yang telah berihram, kemudian masuk ke dalam gerakan melingkar ke arah berlawanan jarum jam di sekeliling Kakbah. Disebut Kakbah karena memang berbentuk kubus, cube. Gerakan adalah simbol usaha. Dan Kakbah sebagai pusat gerakan mestilah dipahami bahwa Allah adalah pusat segalanya. Segala usaha haruslah didasarkan dan diorientasikan untuknya semata.
Berlanjut dengan sai (usaha) dari Shafa ke Marwah. Shafa (bening, jernih) merupakan simbol bahwa usaha keras harus dilakukan dengan hati yang tetap jernih. Usaha keras harus terus dilakukan walaupun seolah belum tampak ada hasil, bahkan tidak ada tanda-tanda sama sekali. Bagaikan Ibu Hajar yang ketika berlari-lari antara Shafa dan Marwah juga tidak menemukan air yang ia cari.
Dengan usaha sepenuh kesungguhan, maka yang akan Allah berikan adalah karunia dan kehormatan (marwah). Dengan harapan yang tulus hanya kepada Allah, Allah akan memberikan yang lebih baik, bahkan yang terbaik, sebagaimana Ibu Hajar mendapatkan air zamzam pada bekas jejakan bayi mungil Nabi Ismaíil AS.
Dalam usaha yang keras, diperlukan evaluasi komprehensif dengan melihat sekeliling. Sebab, usaha-usaha yang tidak dievaluasi tidak akan mengalami perkembangan dan peningkatan kualitas. Karena itu, diperlukan wukuf di suatu tempat yang disebut Arafah pada waktu siang. Waqf berarti berhenti dan menetap untuk beberapa saat. Di sinilah dilakukan perenungan mendalam untuk melahirkan dan menghadirkan pengetahuan.
Pengetahuan diawali dengan mengoptimalkan pancaindera. Sebab itulah, diperlukan cahaya matahari yang ada hanya di waktu siang. Seluruh indera harus dioptimalkan untuk membangun paradigma tentang pengetahuan, terutama tentang kualitas diri sendiri. Sebab, hanya orang yang mengenali dirinyalah yang akan mengenali Tuhannya, man arafa nafsah, faqaq arafa rabbah.
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih kokoh, diperlukan kontemplasi yang lebih mendalam dengan menggunakan kekuatan akal. Upaya ini tidak lagi memerlukan pancaindera, melainkan benar-benar mengoptimalkan logika yang merupakan kekuatan kemanusiaan tertinggi. Karena itulah, diperlukan untuk kembali wukuf atau lebih dikenal dengan bermalam (mabit) di Muzdalifah pada malam hari.
Malam adalah simbol kegelapan dan ketenangan. Di dalam suasana tanpa cahaya itu bisa dilakukan kontemplasi yang jauh lebih mendalam untuk mengidentifikasi kebenaran yang objektif. Di Muzdalifah, para jamaah mempersiapkan senjata berupa batu kerikil berjumlah minimal tujuh buah untuk melakukan Jumrah Aqabah. Kerikil yang lain bisa diambil di Mina.
Setelah lewat tengah malam, jamaah melanjutkan gerak menuju Mina. Di sinilah jamaah bermetamorfosis bagaikan pasukan yang siap untuk berperang melawan segala kejahatan. Untuk melakukan serangan yang benar-benar mematikan, diperlukan persiapan. Jamaah bermalam di Mina untuk melakukan persiapan itu. Barulah pada waktunya, mereka bergerak untuk melakukan lemparan mematikan yang disebut Jumrah Aqabah. Ini adalah lemparan kepada simbol yang justru berada pada posisi paling akhir karena terletak setelah tempat untuk melempar Jumrah Al-Ula dan Wustha.
Ali Syariíati bahkan terlalu jauh memaknai tiga lemparan jumrah itu dengan menghubungkannya dengan Fir’aun, Qarun, dan Balíam bin Ba’ura’. Sesungguhnya sudah cukup memaknai bahwa dalam kehidupan untuk menuju kemurnian penyembahan hanya kepada Allah, banyak sekali gangguan dan godaan. Setan selalu berusaha untuk melakukan tipu daya dengan berbagai macam bentuk.
Hanya orang-orang yang memiliki kesadaran tinggilah yang mampu menyadarinya dan kemudian melakukan usaha untuk melakukan perlawanan. Dalam haji simbol perlawanan itu adalah melempar tiga jumrah. Dengan melempar ketiganya, berarti peperangan terhadap musuh-musuh Allah telah dilakukan. Sikap itulah yang akan mengantarkan kepada keselamatan di akhirat.
Menyadari betapa mendalam makna seluruh rangkaian ritual haji, akan membuat orang yang sudah haji merasakan betapa penting benar-benar merasakan makna hakikinya. Karena itulah, mereka yang sudah haji berkeinginan untuk kembali melakukannya. Bukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban, melainkan untuk menghadirkan kesadaran tentang makna hakiki haji yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Peserta Haji Undangan Raja Arab Saudi pada 2017
HAJI berasal dari kata hajja-yahujju-hijj, bermakna menuju. Di dalam beberapa ayat dan hadits Nabi Muhammad, makna menuju kemudian menjadi spesifik karena menyebut kata al-bayt (rumah [Allah]). Jadi yang dituju adalah rumah Allah di Mekkah yang dimuliakan, bukan sembarang menuju. Namun, dalam Islam ritual haji tidak hanya dilaksanakan di Kakbah, melainkan juga beberapa tempat di sekitarnya dan menjadi simbol-simbol sentral, yakni Shafa-Marwah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Haji bahkan tidak sah apabila tidak ada ritual wukuf di Arafah. Sebab, Nabi Muhammad pernah menegaskan: “Haji adalah Arafah”. Maksudnya, wukuf di Arafah adalah sangat penting dan tidak tergantikan.
Rangkaian pelaksanaan haji secara keseluruhan sesungguhnya mengandung makna yang sangat substansial. Ia tidak hanya gerak badan, tetapi merupakan visi hidup yang luar biasa besar dan hebat. Ali Syari’ati juga mengupas detil makna substansial pada seluruh rangkaian haji ini. Ihram dimaknai sebagai pembebasan diri dari status-status duniawi yang biasanya membuat antara satu orang dengan orang yang lain menjadi berjarak, berkontradiksi, dan bahkan menindas/ mengeksploitasi.
Dengan melepaskan pakaian yang biasanya dipakai dan menggantinya dengan dua helai pakaian putih, berbagai status duniawi telah ditanggalkan dan tergantikan oleh satu status bagi seluruh yang melaksanakan haji, yakni sebagai hamba Allah yang berhimpun menjadi satu kesatuan umat. Dalam kesamaan pakaian serbabutih, semua diharapkan memiliki kesadaran tentang kelemahan diri, bagaikan sekadar buih di lautan yang sangat luas.
Semua yang telah berihram, kemudian masuk ke dalam gerakan melingkar ke arah berlawanan jarum jam di sekeliling Kakbah. Disebut Kakbah karena memang berbentuk kubus, cube. Gerakan adalah simbol usaha. Dan Kakbah sebagai pusat gerakan mestilah dipahami bahwa Allah adalah pusat segalanya. Segala usaha haruslah didasarkan dan diorientasikan untuknya semata.
Berlanjut dengan sai (usaha) dari Shafa ke Marwah. Shafa (bening, jernih) merupakan simbol bahwa usaha keras harus dilakukan dengan hati yang tetap jernih. Usaha keras harus terus dilakukan walaupun seolah belum tampak ada hasil, bahkan tidak ada tanda-tanda sama sekali. Bagaikan Ibu Hajar yang ketika berlari-lari antara Shafa dan Marwah juga tidak menemukan air yang ia cari.
Dengan usaha sepenuh kesungguhan, maka yang akan Allah berikan adalah karunia dan kehormatan (marwah). Dengan harapan yang tulus hanya kepada Allah, Allah akan memberikan yang lebih baik, bahkan yang terbaik, sebagaimana Ibu Hajar mendapatkan air zamzam pada bekas jejakan bayi mungil Nabi Ismaíil AS.
Dalam usaha yang keras, diperlukan evaluasi komprehensif dengan melihat sekeliling. Sebab, usaha-usaha yang tidak dievaluasi tidak akan mengalami perkembangan dan peningkatan kualitas. Karena itu, diperlukan wukuf di suatu tempat yang disebut Arafah pada waktu siang. Waqf berarti berhenti dan menetap untuk beberapa saat. Di sinilah dilakukan perenungan mendalam untuk melahirkan dan menghadirkan pengetahuan.
Pengetahuan diawali dengan mengoptimalkan pancaindera. Sebab itulah, diperlukan cahaya matahari yang ada hanya di waktu siang. Seluruh indera harus dioptimalkan untuk membangun paradigma tentang pengetahuan, terutama tentang kualitas diri sendiri. Sebab, hanya orang yang mengenali dirinyalah yang akan mengenali Tuhannya, man arafa nafsah, faqaq arafa rabbah.
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih kokoh, diperlukan kontemplasi yang lebih mendalam dengan menggunakan kekuatan akal. Upaya ini tidak lagi memerlukan pancaindera, melainkan benar-benar mengoptimalkan logika yang merupakan kekuatan kemanusiaan tertinggi. Karena itulah, diperlukan untuk kembali wukuf atau lebih dikenal dengan bermalam (mabit) di Muzdalifah pada malam hari.
Malam adalah simbol kegelapan dan ketenangan. Di dalam suasana tanpa cahaya itu bisa dilakukan kontemplasi yang jauh lebih mendalam untuk mengidentifikasi kebenaran yang objektif. Di Muzdalifah, para jamaah mempersiapkan senjata berupa batu kerikil berjumlah minimal tujuh buah untuk melakukan Jumrah Aqabah. Kerikil yang lain bisa diambil di Mina.
Setelah lewat tengah malam, jamaah melanjutkan gerak menuju Mina. Di sinilah jamaah bermetamorfosis bagaikan pasukan yang siap untuk berperang melawan segala kejahatan. Untuk melakukan serangan yang benar-benar mematikan, diperlukan persiapan. Jamaah bermalam di Mina untuk melakukan persiapan itu. Barulah pada waktunya, mereka bergerak untuk melakukan lemparan mematikan yang disebut Jumrah Aqabah. Ini adalah lemparan kepada simbol yang justru berada pada posisi paling akhir karena terletak setelah tempat untuk melempar Jumrah Al-Ula dan Wustha.
Ali Syariíati bahkan terlalu jauh memaknai tiga lemparan jumrah itu dengan menghubungkannya dengan Fir’aun, Qarun, dan Balíam bin Ba’ura’. Sesungguhnya sudah cukup memaknai bahwa dalam kehidupan untuk menuju kemurnian penyembahan hanya kepada Allah, banyak sekali gangguan dan godaan. Setan selalu berusaha untuk melakukan tipu daya dengan berbagai macam bentuk.
Hanya orang-orang yang memiliki kesadaran tinggilah yang mampu menyadarinya dan kemudian melakukan usaha untuk melakukan perlawanan. Dalam haji simbol perlawanan itu adalah melempar tiga jumrah. Dengan melempar ketiganya, berarti peperangan terhadap musuh-musuh Allah telah dilakukan. Sikap itulah yang akan mengantarkan kepada keselamatan di akhirat.
Menyadari betapa mendalam makna seluruh rangkaian ritual haji, akan membuat orang yang sudah haji merasakan betapa penting benar-benar merasakan makna hakikinya. Karena itulah, mereka yang sudah haji berkeinginan untuk kembali melakukannya. Bukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban, melainkan untuk menghadirkan kesadaran tentang makna hakiki haji yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(kri)