Ulama dalam Pusaran Politik Kekuasaan
A
A
A
Syamsul Arifin
Guru Besar Sosiologi Agama dan Wakil Rektor I
Universitas Muhammadiyah Malang
ADAGIUM politik itu kreatif dan dinamis mendapatkan pembuktiannya antara lain saat nama KH Ma’ruf Amin pada akhirnya dideklarasikan menjadi cawapres mendampingi Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019. Dramatis dan mengejutkan! Apalagi Mahfud MD yang terakhir disebut-sebut sebagai cawapres dan bahkan telah mengurus kelengkapan persyaratan cawapres batal dipasangkan dengan Jokowi.Keterkejutan dan perbincangan publik tidak berhenti pada drama jelang deklarasi capres-cawapres kubu Jokowi, tapi berlanjut juga pada perbincangan sosok KH Ma’ruf Amin karena pada dirinya melekat kuat identitas sebagai seorang ulama. Publik sepertinya melupakan rekam jejak KH Ma’ruf Amin yang lama terlibat dalam politik praktis sebelum ditahbiskan sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2015–2020.
Sebagian publik mungkin hanya mengetahui bahwa KH Ma’ruf Amin adalah murni ulama, seorang yang memiliki pengetahuan otoritatif dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan Islam. Padahal sebagaimana dipaparkan secara lugas dalam buku biografi yang ditulis Arif Punto Utomo, KH Ma’ruf Amin:Penggerak Umat,Pengayom Bangsa (2018), alih-alih sebagai ulama dalam kategori keilmuan, KH Ma’ruf adalah seorang yang telah lama malang-melintang dalam dunia politik praktis.
Dalam buku itu terdapat uraian fragmen-fragmen penting keterlibatan KH Ma’ruf Amin dalam politik praktis yang dimulai ketika menjadi anggota DPRD di Jakarta pasca-Pemilu 1971, kemudian menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (1998), dan setahun kemudian memiliki peran krusial dalam pencalonan Gus Dur sebagai Presiden RI keempat.Jika mencermati berbagai fragmen keterlibatan KH Ma’ruf Amin dalam politik, capaian mutakhir sebagai cawapres Jokowi seharusnya dipandang hal yang wajar. Dengan kata lain, posisi yang direngkuh KH Ma’ruf Amin tidak lebih sebagai kelanjutan belaka dari investasi yang ditanam sejak 1970-an.
Muncul spekulasi bahwa KH Ma’ruf Amin dipilih karena diharapkan mampu memperbaiki atau bahkan menghapus stigma yang melekat pada Jokowi sebagai pihak yang kurang diterima oleh umat Islam. Semua spekulasi tersebut memperoleh pembenarannya setidaknya kalau kita menyimak cerita yang disampaikan secara langsung oleh Mahfud MD. KH Ma’ruf jelas merupakan tokoh yang memiliki legitimasi keislaman berlapis.Otoritas di bidang ilmu-ilmu keislaman sehingga memenuhi syarat sebagai seorang ulama hanyalah salah satu legitimasi. Legitimasi berikutnya, KH Ma’ruf Amin adalah tokoh MUI dan tokoh penting dalam organisasi terbesar Islam di Indonesia, NU. Nah, jika legitimasi yang berlapis-lapis itu dikapitalisasi, Jokowi bisa mematahkan tagar #2019GantiPresiden.
Tapi terlepas dari semua itu, di sisi lain, masuknya KH Ma’ruf Amin dalam pusaran kontestasi Pilpres 2019 berhadap-hadapan dengan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno kian memperkuat bahwa ulama tidak melulu sebagai kategori keilmuan, melainkan juga sebagai kategori politik. Tentu kategori pertama––ulama sebagai kategori keilmuan––memiliki justifikasi teologis paling kuat dalam Islam.
Konsep ulama berkait kuat dengan konsep ilmu. Orang yang memiliki ilmu disebut alim. Jika alim merupakan kata tunggal, singular, ulama merupakan kata jamak. Artinya ulama merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.Satu hal yang menarik, kata ilmu (‘ilm) menurut M Dawan Rahardjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (1996) disebut berkali-kali dalam Alquran melebihi jumlah kata al-din. Konsep al-‘ilm disebut sebanyak 105 kali, sedangkan kata al-din sebanyak 103 kali.Banyaknya sebutan kata ‘ilm beserta kata jadiannya itu menunjukkan bahwa Islam menaruh apresiasi yang demikian tinggi terhadap ilmu dan orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Arab disebut dengan alim atau jika banyak disebut dengan ulama. Dalam Surat Al-Mujadila ayat 11 ditegaskan “...Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Sayangnya di Indonesia makna ulama cenderung tereduksi menjadi kiai. Meskipun kedua kata tersebut memiliki kemiripan makna, di sisi lain terdapat perbedaan fundamental: ulama merupakan kategori Alquran (teologi), sementara kiai adalah kategori budaya.Dari segi makna secara substantif, ulama memiliki cakupan lebih luas daripada kiai. Pertama-tama tentu yang disebut alim atau ulama adalah mereka yang memiliki otoritas, seharusnya tidak hanya di bidang ilmu-ilmu keagamaan Islam, tapi juga ilmu-ilmu lain.
Mengapa begitu? Saya teringat buku Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an (1991) yang ditulis Mahdi Ghulsyani. Menurutnya, konsep ilmu (‘ilm) dalam Alquran merupakan konsep generik, umum. Artinya konsep ilmu merupakan cover term yang melingkupi semua ilmu, tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan.Maka jika ada seseorang disebut alim atau ulama, seharusnya hal itu menunjuk pada mereka yang menguasai atau ahli dalam bidang ilmu tertentu. Sekali lagi, tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan.Masalahnya tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang masih terperangkap dalam cara berpikir dualisme-dikotomis yang mempertentangkan antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum. Karena itu penyebutan ulama hanya menunjuk pada mereka yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan, salah satu cakupan dalam ilmu-ilmu keislaman.
Cara berpikir dualisme-dikotomis dan reduksionistis ini lantas berpengaruh antara lain dalam perilaku politik kita. Saya khawatir pelibatan apa yang disebut ulama bukan semata-mata karena alasan seorang mumpuni di bidang keilmuan tertentu, tapi semata-mata karena pertimbangan pragmatisme politik yang cenderung transaksional.Politik, seturut dengan definisi klasiknya sebagaimana dirumuskan oleh Harold Laswell, adalah who gets what, when, and how. Karena itu dikhawatirkan pelibatan ulama dalam arti kiai hanya dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan.
Kekhawatiran yang demikian bisa diterima oleh akal sehat alias make sense mengingat perpolitikan kita telanjur mengalami keterbelahan karena adanya kapitalisasi sedemikian rupa terhadap isu SARA pasca-Pilkada DKI Jakarta. Dalam konteks ini Jokowi distigma sebagai pihak yang kurang begitu bersahabat dengan kalangan Islam.Dalam kalkulasi politik, stigma ini jelas tidak menguntungkan mengingat potensi elektoral umat Islam yang sedemikian besar. Oleh karena itu merupakan pilihan yang masuk akal jika pada akhirnya Jokowi dan partai koalisi menjatuhkan pilihan terhadap KH Ma’ruf Amin.
Tulisan ini tidak ingin terperangkap pada cara berpikir dualisme-dikotomis atau logika biner yang memosisikan ulama secara vis-à-vis dengan politik. Toh dalam sejarah Islam, alih-alih ulama, bahkan Islam sebagai agama pernah mengalami pertautan secara integralistis dengan politik dan kekuasaan dalam waktu yang sangat lama.Sejarah kekhalifahan Islam pasca-kenabian dipegang oleh tokoh-tokoh Islam yang padanya melekat kuat sebagai seorang ulama. Sebut saja misalnya Umar bin Khattab, khalifah Islam kedua yang menggantikan Abu Bakar as-Shiddiq. Sebuah buku dalam versi bahasa Indonesia bertajuk, Metodologi Ijtihad Umar bin Khattab (2005), terjemahan dari buku yang ditulis Muhammad Baltaji, merupakan secuil bukti secara akademis pengakuan terhadap keulamaan Umar bin Khattab, sementara di sisi lain di tangannya tergenggam kekuasaan kekhalifahan selama satu dekade (634–644 M).
Yang terpenting pelibatan dan keterlibatan ulama dalam kontestasi politik kekuasaan bukan semata-mata dibingkai oleh logika pragmatisme politik yang cenderung transaksional, tetapi karena ingin membumikan nilai-nilai keadaban yang berbingkai agama dalam ranah politik untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadaban dan berkemajuan. Semoga!
Guru Besar Sosiologi Agama dan Wakil Rektor I
Universitas Muhammadiyah Malang
ADAGIUM politik itu kreatif dan dinamis mendapatkan pembuktiannya antara lain saat nama KH Ma’ruf Amin pada akhirnya dideklarasikan menjadi cawapres mendampingi Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019. Dramatis dan mengejutkan! Apalagi Mahfud MD yang terakhir disebut-sebut sebagai cawapres dan bahkan telah mengurus kelengkapan persyaratan cawapres batal dipasangkan dengan Jokowi.Keterkejutan dan perbincangan publik tidak berhenti pada drama jelang deklarasi capres-cawapres kubu Jokowi, tapi berlanjut juga pada perbincangan sosok KH Ma’ruf Amin karena pada dirinya melekat kuat identitas sebagai seorang ulama. Publik sepertinya melupakan rekam jejak KH Ma’ruf Amin yang lama terlibat dalam politik praktis sebelum ditahbiskan sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2015–2020.
Sebagian publik mungkin hanya mengetahui bahwa KH Ma’ruf Amin adalah murni ulama, seorang yang memiliki pengetahuan otoritatif dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan Islam. Padahal sebagaimana dipaparkan secara lugas dalam buku biografi yang ditulis Arif Punto Utomo, KH Ma’ruf Amin:Penggerak Umat,Pengayom Bangsa (2018), alih-alih sebagai ulama dalam kategori keilmuan, KH Ma’ruf adalah seorang yang telah lama malang-melintang dalam dunia politik praktis.
Dalam buku itu terdapat uraian fragmen-fragmen penting keterlibatan KH Ma’ruf Amin dalam politik praktis yang dimulai ketika menjadi anggota DPRD di Jakarta pasca-Pemilu 1971, kemudian menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (1998), dan setahun kemudian memiliki peran krusial dalam pencalonan Gus Dur sebagai Presiden RI keempat.Jika mencermati berbagai fragmen keterlibatan KH Ma’ruf Amin dalam politik, capaian mutakhir sebagai cawapres Jokowi seharusnya dipandang hal yang wajar. Dengan kata lain, posisi yang direngkuh KH Ma’ruf Amin tidak lebih sebagai kelanjutan belaka dari investasi yang ditanam sejak 1970-an.
Muncul spekulasi bahwa KH Ma’ruf Amin dipilih karena diharapkan mampu memperbaiki atau bahkan menghapus stigma yang melekat pada Jokowi sebagai pihak yang kurang diterima oleh umat Islam. Semua spekulasi tersebut memperoleh pembenarannya setidaknya kalau kita menyimak cerita yang disampaikan secara langsung oleh Mahfud MD. KH Ma’ruf jelas merupakan tokoh yang memiliki legitimasi keislaman berlapis.Otoritas di bidang ilmu-ilmu keislaman sehingga memenuhi syarat sebagai seorang ulama hanyalah salah satu legitimasi. Legitimasi berikutnya, KH Ma’ruf Amin adalah tokoh MUI dan tokoh penting dalam organisasi terbesar Islam di Indonesia, NU. Nah, jika legitimasi yang berlapis-lapis itu dikapitalisasi, Jokowi bisa mematahkan tagar #2019GantiPresiden.
Tapi terlepas dari semua itu, di sisi lain, masuknya KH Ma’ruf Amin dalam pusaran kontestasi Pilpres 2019 berhadap-hadapan dengan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno kian memperkuat bahwa ulama tidak melulu sebagai kategori keilmuan, melainkan juga sebagai kategori politik. Tentu kategori pertama––ulama sebagai kategori keilmuan––memiliki justifikasi teologis paling kuat dalam Islam.
Konsep ulama berkait kuat dengan konsep ilmu. Orang yang memiliki ilmu disebut alim. Jika alim merupakan kata tunggal, singular, ulama merupakan kata jamak. Artinya ulama merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.Satu hal yang menarik, kata ilmu (‘ilm) menurut M Dawan Rahardjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (1996) disebut berkali-kali dalam Alquran melebihi jumlah kata al-din. Konsep al-‘ilm disebut sebanyak 105 kali, sedangkan kata al-din sebanyak 103 kali.Banyaknya sebutan kata ‘ilm beserta kata jadiannya itu menunjukkan bahwa Islam menaruh apresiasi yang demikian tinggi terhadap ilmu dan orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Arab disebut dengan alim atau jika banyak disebut dengan ulama. Dalam Surat Al-Mujadila ayat 11 ditegaskan “...Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Sayangnya di Indonesia makna ulama cenderung tereduksi menjadi kiai. Meskipun kedua kata tersebut memiliki kemiripan makna, di sisi lain terdapat perbedaan fundamental: ulama merupakan kategori Alquran (teologi), sementara kiai adalah kategori budaya.Dari segi makna secara substantif, ulama memiliki cakupan lebih luas daripada kiai. Pertama-tama tentu yang disebut alim atau ulama adalah mereka yang memiliki otoritas, seharusnya tidak hanya di bidang ilmu-ilmu keagamaan Islam, tapi juga ilmu-ilmu lain.
Mengapa begitu? Saya teringat buku Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an (1991) yang ditulis Mahdi Ghulsyani. Menurutnya, konsep ilmu (‘ilm) dalam Alquran merupakan konsep generik, umum. Artinya konsep ilmu merupakan cover term yang melingkupi semua ilmu, tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan.Maka jika ada seseorang disebut alim atau ulama, seharusnya hal itu menunjuk pada mereka yang menguasai atau ahli dalam bidang ilmu tertentu. Sekali lagi, tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan.Masalahnya tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang masih terperangkap dalam cara berpikir dualisme-dikotomis yang mempertentangkan antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum. Karena itu penyebutan ulama hanya menunjuk pada mereka yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan, salah satu cakupan dalam ilmu-ilmu keislaman.
Cara berpikir dualisme-dikotomis dan reduksionistis ini lantas berpengaruh antara lain dalam perilaku politik kita. Saya khawatir pelibatan apa yang disebut ulama bukan semata-mata karena alasan seorang mumpuni di bidang keilmuan tertentu, tapi semata-mata karena pertimbangan pragmatisme politik yang cenderung transaksional.Politik, seturut dengan definisi klasiknya sebagaimana dirumuskan oleh Harold Laswell, adalah who gets what, when, and how. Karena itu dikhawatirkan pelibatan ulama dalam arti kiai hanya dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan.
Kekhawatiran yang demikian bisa diterima oleh akal sehat alias make sense mengingat perpolitikan kita telanjur mengalami keterbelahan karena adanya kapitalisasi sedemikian rupa terhadap isu SARA pasca-Pilkada DKI Jakarta. Dalam konteks ini Jokowi distigma sebagai pihak yang kurang begitu bersahabat dengan kalangan Islam.Dalam kalkulasi politik, stigma ini jelas tidak menguntungkan mengingat potensi elektoral umat Islam yang sedemikian besar. Oleh karena itu merupakan pilihan yang masuk akal jika pada akhirnya Jokowi dan partai koalisi menjatuhkan pilihan terhadap KH Ma’ruf Amin.
Tulisan ini tidak ingin terperangkap pada cara berpikir dualisme-dikotomis atau logika biner yang memosisikan ulama secara vis-à-vis dengan politik. Toh dalam sejarah Islam, alih-alih ulama, bahkan Islam sebagai agama pernah mengalami pertautan secara integralistis dengan politik dan kekuasaan dalam waktu yang sangat lama.Sejarah kekhalifahan Islam pasca-kenabian dipegang oleh tokoh-tokoh Islam yang padanya melekat kuat sebagai seorang ulama. Sebut saja misalnya Umar bin Khattab, khalifah Islam kedua yang menggantikan Abu Bakar as-Shiddiq. Sebuah buku dalam versi bahasa Indonesia bertajuk, Metodologi Ijtihad Umar bin Khattab (2005), terjemahan dari buku yang ditulis Muhammad Baltaji, merupakan secuil bukti secara akademis pengakuan terhadap keulamaan Umar bin Khattab, sementara di sisi lain di tangannya tergenggam kekuasaan kekhalifahan selama satu dekade (634–644 M).
Yang terpenting pelibatan dan keterlibatan ulama dalam kontestasi politik kekuasaan bukan semata-mata dibingkai oleh logika pragmatisme politik yang cenderung transaksional, tetapi karena ingin membumikan nilai-nilai keadaban yang berbingkai agama dalam ranah politik untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadaban dan berkemajuan. Semoga!
(whb)